Di New York — Kediaman Andersson.
Di sebuah rumah megah, suasana hening dan gelap menyelimuti setiap sudut, waktu sudah menunjukkan pukul 12 malam. Tuan Louis dan Nyonya Alice duduk di ruang tamu yang elegan, wajah Alice masih terlihat cemas.
"Kau benar-benar tidak ingin berusaha agar Ethan kembali pulang, Louis? Dia harapan kita satu-satunya. Sudahlah, kamu mengalah saja. Biarkan Ethan menjadi seperti apa yang dia inginkan," ucap Nyonya Alice, wanita itu tak pernah bosan untuk membujuk suaminya itu.
"Kamu tenang saja, Alice. Aku sudah memiliki rencana bagus agar Ethan kembali," ucap Louis santai.
"Apa rencanamu, Louis?" tanya Nyonya Alice dengan suara gemetar, menatap suaminya yang duduk di seberang sambil menyesapsebuah rokok.
Louis hanya tersenyum miring, menatap jauh ke luar jendela. "Pokoknya kamu tenang saja, Alice. Rencana ini akan membuat anak keras kepala itu pulang dengan sendirinya. Tapi, aku belum bisa memberi tahu kamu sekarang." jawabnya dengan nada misterius.
Nyonya Alice merasa penasaran, ia terus memaksa suaminya untuk berbicara. Namun, tiba-tiba terdengar suara keras dobrakan pintu rumah. Louis dan Alice langsung terkejut.
Segerombolan lelaki berpakaian hitam dengan wajah yang ditutupi memasuki rumah Louis dengan langkah cepat. Mereka membawa senjata. Louis dan Alice, yang terpojok di ruang tamu, saling berpegangan tangan.
"Apa yang kalain inginkan?" teriak Louis, berusaha keras untuk tidak menunjukkan rasa takutnya.
Salah satu lelaki berpakaian hitam, yang tampaknya merupakan pemimpin mereka, maju ke depan. Laki-laki itu membuka penutup wajahnya. Louis dan Alice sangat mengenal wajah pria itu, membuat Alice dan Louis saling lempar pandang.
"Lama tak jumpa, Louis. Kau pasti sudah tahu apa yang aku inginkan." ucap pemimpin lelaki berpakaian hitam itu dengan nada sinis. "Halo, Alice! Kau makin cantik saja, Sayang!" Laki-laki Itu menyentuh wajah Alice, namun segera ditepis oleh Louis.
"Jangan sentuh istriku! Kau tidak akan mendapatkan apa yang kau inginkan! Alice milikku, selamanya akan tetap menjadi milikku!" ucap Louis dengan lantang, sebelah tangannya masih memegang erat tangan Alice.
"Aku tidak peduli! Aku ingin kau mati, Louis!" teriak lelaki itu, lalu mengangkat senjatanya dan menembak beberapa kali ke arah Louis.
Dor! Dor! Dor!
Louis terjatuh, tubuhnya tertembak beberapa kali. Alice histeris melihat suaminya yang tak berdaya di lantai, darah mengalir deras dari lukanya.
"TIDAK!" teriak Alice.
Alice mundur perlahan, tubuhnya gemetar. Ia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, suaminya ditembak berkali-kali.
"Alice, kabur! Jangan biarkan mereka menangkapmu!" teriak Louis dengan suara yang lemah, sebelum akhirnya dirinya memejamkan kedua matanya.
Alice diam mematung, tubuhnya terasa lemah dan rapuh saat melihat suaminya mati dengan cara mengenaskan.
"Ayo kita pergi!" Lelaki yang menjadi pemimpin itu mengajak segerombolan itu keluar dari kediaman Andersson.
Namun, sebelum mereka pergi. Mereka berpencar mencari para pelayan yang ada dikediaman tersebut.
Dor! Dor! Dor!
Para pelayan di kediaman ini mati tertembak. Tersisa hanya Alice. Dan mereka juga mencari putra tunggal Louis dan Alice, keluarga Andersson harus lenyap tak tersisa. Tadinya, Alice juga mau dihabisi. Namun tidak jadi. Rasanya tidak tega jika harus menghabisi wanita yang ia cintai.
Tadi juga mereka bisa masuk karena penjaga yang ada berada dikediaman Andersson, mereka habisi juga secara keji.
***
Ethan menatap layar televisi dengan mata terbelalak. Pemberitaan yang sedang tayang membuat tubuhnya gemetar tak bisa berkata-kata. Kediaman keluarga Andersson, tempat orang tuanya tinggal telah dibantai oleh sekelompok orang tak dikenal. Bahkan para pelayan dan penjaga di kediaman itu telah mati dengan cara yang mengerikan.
Tuan Louis—ayahnya juga ditemukan tewas, dan hanya Nyonya Alice—Ibunya, yang masih hidup. Namun, wanita itu mengalami depresi hingga sulit memberikan klarifikasi. Hanya Alice menjadi saksi mata satu-satunya dari kejadian mengerikan itu, sehingga polisi kesulitan untuk mencari para pelaku.
"Brengsek!" umpat Ethan tangannya mengepalkan tinju.
"Siapa yang tega membunuh Papaku!" geram Ethan, tatapannya melotot.
Kemarahan memuncak di dalam diri Ethan. Ia yang sedang berada di kota Manhattan langsung memutuskan untuk pergi ke New York demi menyelidiki kasus pembantaian keluarganya.
Namun, ia tidak akan merubah penampilannya.
Sesampainya di New York, Ethan bergegas menuju rumah sakit kejiwaan tempat ibunya dirawat. Dia berjalan tergesa-gesa melalui lorong-lorong rumah sakit, seakan tak sabar ingin menemui ibunya dan mengetahui kebenaran dari kejadian itu.
"Saya ingin bertemu dengan Nyonya Alice Andersson," ujar Ethan pada perawat yang bertugas.
"Kamar 305, Tuan. Tapi, Nyonya Andersson sedang dalam kondisi tidak stabil. Saya harap Anda bisa bersabar dan tidak memaksanya untuk berbicara," jawab perawat itu dengan nada prihatin.
Ethan mengangguk dan melangkah menuju kamar 305. Begitu memasuki kamar tersebut, dia mendapati ibunya terbaring lemah dengan mata nanar. Ethan berjalan mendekati ibunya, meraih tangannya yang dingin dan mengusapnya pelan.
"Mama, bagaimana keadaanmu? Apa yang terjadi semalam?" tanya Ethan dengan nada penuh kekhawatiran.
Alice menoleh ke arah Ethan, matanya tampak kosong dan bingung. Tak ada kata yang terucap dari mulut wanita itu. Kejadian semalam membuat Alice depresi berat.
"Ya Tuhan, Mama.... " Ethan langsung memeluk ibunya, ternyata benar jika sang mama tidak bisa diajak bicara.
Ethan merasa semakin marah, namun dia berusaha menenangkan diri demi ibunya.
"Tenanglah, Ma. Ethan akan mencari tahu siapa pelaku di balik semua ini. Mereka akan membayar atas apa yang telah mereka lakukan," ucap Ethan dengan nada tegas.
Dalam hati ia berkata, "mereka telah menghancurkan keluargaku. Bahkan, ayahku sampai terbunuh. Lihat saja! Aku akan membalasnya. Nyawa harus dibayar dengan nyawa! Kalian harus mati perlahan!"
Ethan kemudian meninggalkan kamar ibunya dan langsung bergegas menuju ke kediaman Asisten pribadi Tuan Louis—orang kepercayaannya. Dia adalah Tuan Maxim. Sebelum itu, Ethan merubah penampilannya terlebih dahulu.
"Tuan Muda Ethan, Anda kembali?" tanya Tuan Maxim. Pria yang usianya 35 tahun ini masih belum percaya dengan pemberitaan semalam di kediaman Andersson.
"Tentu saja aku kembali, Maxim!" jawab Ethan.
Tujuan Ethan menemui Maxim—orang kepercayaan almarhum ayahnya, niatnya untuk meminta Maxim menggantikan posisi Almarhum Tuan Louis dan mengurus perusahaan Andersson Grup.
"Tuan Muda Ethan, apakah kamu yakin dengan keputusan ini?" tanya Maxim dengan ekspresi khawatir.
"Ya, Maxim. Aku ingin kau mengurus perusahaan, aku juga akan membantu mengurus perusahaan ini, tetapi aku akan melakukannya secara tersembunyi," jawab Ethan dengan tegas. "Aku akan kembali ke kota Manhattan, aken tetap menjadi pengamen di sana," jelas Ethan.
"Tapi mengapa kamu masih ingin menyamar sebagai pengamen jalanan di kota Manhattan?" tanya Maxim heran.
"Aku ingin menjaga identitasku agar tidak diketahui oleh orang-orang yang mungkin terlibat dalam pembunuhan ayahku," jelas Ethan, "aku yakin, mereka pasti mencariku juga."
Maxim mengangguk mengerti, "Baiklah, aku akan membantu kamu mengurus perusahaan ini. Apakah ada hal lain yang ingin kamu minta?" tanya Maxim.
Ethan menghela napas sejenak sebelum menjawab, "Maxim, aku ingin kamu memasang CCTV di ruang rawat tempat mama di rawat. Namun, jangan sampai ada yang tahu tentang ini. Jangan sampai terlihat juga," kata Ethan.
"Untuk apa, Tuan Muda Ethan?" tanya Maxim, penasaran.
"Aku ingin memastikan bahwa tidak ada ancaman bagi Ibu. Aku yakin, mereka juga pasti mengincar Ibuku. Pokoknya aku akan berusaha mencari tahu siapa pembunuh Ayahku, bagaimana pun caranya," ujar Ethan dengan nada tegas.
Maxim menatap Ethan dalam-dalam, kemudian mengangguk setuju. "Baiklah, Tuan Muda Ethan. Aku akan melakukan apa yang kamu minta. Aku akan memasang CCTV di ruang rawat Nyonya Alice."
"Terima kasih, Maxim. Oh iya, katakan kepada media kalau kasus ini ditutup saja. Jika mereka menanyakan keberadaanku, bilang saja aku sudah mati terbunuh juga," kata Ethan.
"Baik, Tuan Muda Ethan!"
Pemberitaan kematian Tuan Louis Andersson Make masih ramai diperbincangkan, bahkan banyak yang mengikuti kelanjutan kasusnya.
Ethan akan kembali menyamar lagi sebagai pengamen jalanan di kota Manhattan. Dari sana, ia mengikuti perkembangan perusahaan Andersson Grup melalui Maxim dan terus mencari tahu tentang pembunuhan ayahnya.
Maxim juga sudah berhasil memasang CCTV di ruang rawat Nyonya Alice.
Maxim dan Ethan akan bekerja sama dengan baik, saling membantu dan melindungi satu sama lain demi mencapai tujuan Ethan yang ingin balas dendam.
"Aku bersumpah, Mah! Aku akan membalas apa yang sudah mereka lakukan kepada keluarga kita!" Ethan berkata dalam hati, saat ini dirinya sedang dalam perjalanan menuju ke kota Manhattan.
***
Di tengah hiruk pikuk perkumpulan wartawan, Maxim—orang kepercayaan keluarga Andersson, berdiri tegak menghadapi pertanyaan yang dilontarkan satu per satu. Para wartawan yang ingin mengetahui perkembangan kasus pembantaian di kediaman Andersson, tak henti-hentinya menggiring pertanyaan.
"Apakah ada perkembangan terbaru tentang kasus pembantaian di rumah Tuan Louis Andersson?" tanya seorang wartawan dengan suara lantang.
Maxim menjawab dengan tenang, "Kasus tersebut sudah ditutup dan tidak ada yang mengurusnya lagi."
"Bagaimana dengan Tuan Muda Make? Di mana dia sekarang?" tanya wartawan lain dengan rasa penasaran.
Maxim menarik napas dalam-dalam, lalu menjawab, "Tuan Muda Make telah mati terbunuh di tempat lain. Setelah mereka membunuh Tuan Louis."
Suasana di antara para wartawan semakin gencar, pertanyaan demi pertanyaan terus mengalir tanpa henti. Namun, Maxim tetap tenang dan menjawab dengan sabar.
"Apakah Anda yakin Tuan Muda Make sudah mati?" timpal wartawan yang lain.
"Saya bisa memastikan bahwa Tuan Muda Make sudah tidak ada di antara kita," jawab Maxim tegas.
"Bagaimana dengan Nyonya Alice? Apakah sekarang keadaannya baik-baik saja?" tanya seorang wartawan yang menggali informasi lebih dalam.
Maxim terlihat sedikit gelisah, namun tetap menjawab, "Nyonya Alice mengalami depresi berat setelah kejadian tersebut dan sampai saat ini masih sulit untuk dimintai keterangan."
Para wartawan masih belum puas dengan jawaban Maxim, mereka terus menanyakan berbagai hal terkait kasus pembantaian di rumah keluarga Andersson. Maxim mencoba menjawab sebanyak mungkin pertanyaan yang dia bisa, namun tetap menjaga agar tidak mengungkapkan informasi yang seharusnya tidak diketahui publik.
"Apakah ada tersangka dalam kasus pembantaian ini?" tanya seorang wartawan.
"Seperti yang saya katakan sebelumnya, kasus ini sudah ditutup dan tidak ada yang mengurusnya lagi," jawab Maxim kembali.
"Apakah keluarga Andersson akan menuntut balik atau mencari keadilan atas kejadian ini?" tanya wartawan yang tak kenal lelah.
Maxim menghela napas sejenak, lalu menjawab, "Saya tidak bisa menjawab pertanyaan tersebut. Saya hanya bisa mengatakan bahwa keluarga Andersson berusaha untuk pulih dari kejadian ini dan menjalani hidup seperti biasa."
Wartawan terus menggali informasi lebih dalam, namun Maxim tetap teguh menjaga rahasia keluarga Andersson. Meskipun belum puas dengan jawaban Maxim, akhirnya para wartawan perlahan mulai membubarkan diri.
Meskipun demikian, Maxim tetap waspada dan berjaga-jaga, ia tahu bahwa kasus ini tidak akan berakhir begitu saja. Sebagai orang kepercayaan keluarga Andersson, ia harus bisa menjaga rahasia tentang keberadaan sang Tuan Muda—Ethan Jonathan Make.
Ethan hanya bisa tersenyum saat melihat berita di televisi tentang Maxim yang diserbu para wartawan.
"Bagus Maxim. Biarkan saja mereka menganggap aku sudah mati!" desis Ethan.
Ethan keluar dari Apartemen kecilnya itu, ia akan kembali mengamen.
"Ethan!" teriak Evellyne memanggil Ethan, gadis ini datang lagi setelah beberapa hari dirinya tidak bertemu dengan Ethan.
Ethan tersenyum menyambut kedatangannya gadis cantik itu.
"Mau mengamen ya?" tanya Evellyne.
"Iya," jawab Ethan.
"Aku ikut ya, boleh?"
"Kamu yakin mau ikut, Evellyne? Apakah kamu tidak malu? Seorang Mahasiswi kedokteran mau ikut mengamen denganku?" Ethan meragukan niat baik Evellyne yang ingin ikut mengamen.
"Ngapain harus malu? Aku sama sekali tidak malu."
"Baiklah!"
Ethan dan Evellyne pun berjalan kaki menuju ke tempat-tempat yang ramai di kunjungi.
Di tempat lain, serorang laki-laki paruh baya tengah mengepal tangannya setelah dirinya melihat pemberitaan mengenai kasus keluarga Andersson.
"Putranya Louis dan Alice mati terbunuh?" gumamnya, pria ini merasa ragu dengan informasi yang diberikan oleh Maxim.
"Tidak mungkin! Saya belum membunuhnya. Pemuda bernama Make itu pasti sedang bersembunyi! Saya harus cari tahu di mana anak itu!"
Ethan dan Evellyne sedang mengamen di trotoar, tiba-tiba Evellyne teringat sesuatu dan mengeluarkan ponselnya. Ia mulai membuka sosial media dan menemukan sebuah pengumuman tentang kontes nyanyi yang sangat menarik. Hadiahnya adalah $25.000 dan kesempatan untuk dikontrak langsung oleh seorang produser musik terkenal."Wow! Ini keren banget kontesnya!"Ethan langsung menoleh kearah Evellyne, "kontes apa?" tanya Ethan."Ethan, lihat ini!" seru Evellyne sambil menunjukkan layar ponselnya. "Ada kontes nyanyi, hadiahnya $25.000 dan bisa langsung dikontrak oleh produser musik! Kamu harus ikutan, Ethan. Kalau mau, besok aku antar kamu. Aku jemput kamu."Ethan menatap layar ponsel Evellyne dengan mata berbinar, "Serius? Kapan audisinya?""Besok jam 8 pagi. Kamu harus datang lebih awal biar bisa daftar!" balas Evellyne semangat."Oke, semoga kali ini keberuntungan berpihak!" ucap Ethan penuh semangat.Keesokan harinya, Ethan dan Evellyne tiba di tempat audisi. Setelah mendaftar, Ethan mendapat
"Aku tidak bisa memastikan, Tuan Muda. Aku akan mengambil foto jejak kaki ini. Siapa tahu, kita membutuhkan bukti ini," ujar Maxim. "Baiklah, lakukan itu. Aku akan segera pulang ke New York," ucap Ethan dengan nada lega. "Jangan khawatir, Tuan Muda. Aku akan terus mengawasi rumah ini. Semoga kita bisa segera menemukan dalang di balik pembantaian itu," tutup Maxim dengan penuh tekad. "Iya semoga saja, Max." Esok harinya, Ethan segera bergegas pergi ke New York. Tetap menyamar, disebelah pipinya masih ada tahi lalat. Penyamaran Ethan ini cukup sukses sampai tidak ada satu pun yang mengenal jika pria yang selalu mengamen ini adalah seorang Tuan Muda dari keturunan Andersson. Tak lama, Ethan sampai di Apartemen Maxim. "Apa langkah kamu selanjutnya, Tuan Muda?" tanya Maxim. "Aku akan menyamar jadi Cleaning Servis di Perusahaan Andersson. Bisakah kamu bantu aku, Maxim?" "Tentu saja, aku akan membantumu." Ethan berharap dengan cara dirinya menyamar menjadi cleaning servis bisa mengu
Ethan berdiri tegak di depan jendela, ia menatap langit yang mulai berubah warna karena mendekati senja. Ia merasa lega karena akhirnya orang-orang yang terlibat dalam penggelapan uang perusahaan telah ditangkap dan dipenjara. Namun, ia tahu bahwa bahaya belum sepenuhnya berlalu."Maxim," panggil Ethan kepada orang yang paling ia percayai, "aku ingin kau tetap waspada. Meskipun orang-orang pengkhianat itu sudah dipenjara, kita tidak tahu apa yang mungkin terjadi.""Baik, Tuan Muda," jawab Maxim dengan tegas, "aku akan terus waspada."Ethan menghela napas, lalu melanjutkan, "Dan jangan lupa untuk menjaga orang itu, orang yang kita tahan di gudang. Jangan biarkan dia lolos."Maxim mengangguk paham. "Tentu, Tuan Muda. Aku akan menjaga dia dengan baik."Ethan tersenyum tipis, menghargai kesetiaan Maxim yang tak pernah goyah. "Terima kasih, Maxim. Aku akan kembali ke kota Manhattan sebentar lagi, meninggalkan kota New York ini. Jika ada sesuatu yang terjadi, jangan ragu untuk memberikan ka
Ethan pun melanjutkan kontes tersebut hingga berhasil masuk ke 3 besar. Saat Grand Final, Ethan harus bersaing dengan kontestan yang memiliki suara suaranya biasa saja."Ethan, ini saatnya kamu menunjukkan bakatmu. Jangan biarkan orang lain mengalahkanmu.""Aku akan berusaha, Evellyne. Semoga hasilnya memuaskan."Namun, di saat yang menentukan, Ethan harus puas dengan juara 2 setelah kalah dengan kontestan yang suaranya biasa saja. Ethan hanya mendapatkan hadiah $15000, namun tidak mendapatkan kontrak ekslusif."Ethan, jangan bersedih. Kamu sudah berhasil sampai di tahap ini. Itu sudah prestasi yang luar biasa.""Aku tahu, Evellyne. Tapi, rasanya sedikit kecewa karena tidak mendapatkan kontrak. Padahal, itu impianku sejak dulu.""Tenang saja, Ethan. Mungkin ini bukan saat yang tepat. Aku yakin kesempatan lain akan datang. Teruslah berkarya dan jangan menyerah.""Iya, Evellyne. Aku berharap suatu saat nanti akan ada kesempatan yang lebih baik lagi.""Tentu saja! Aku yakin kamu akan mer
"Dia adalah ....""Iya, dia siapa? Kamu harus mengatakan identitasnya," ujar Ethan seraya menunjuk pria yang sedang terikat di kursi di ruang penyekapan.Tiba-tiba, suara tembakan terdengar. Dor! Dor! Dor! Orang yang sedang terikat di kursi itu mati tertembak. Ethan dan Maxim tercengang melihat pemandangan di depan mata mereka."Siapa yang berani melakukan ini?" "Maxim, siapa orang itu?" teriak Ethan yang langsung berlari ke arah pintu, berusaha mengejar pelaku yang sudah menghilang di kejauhan. Namun hatinya merasa hampa, bagaimana mungkin pelakunya dapat melarikan diri dengan begitu cepat?"Mungkinkah pelaku itu orang dalam?" gumam Ethan dalam hati.Maxim segera menyusul Ethan, berlari sekuat tenaga demi mengungkap misteri yang semakin menggulita. Namun sayang, usaha mereka sia-sia. Seseorang yang baru saja menembak orang tersebut sudah berhasil melarikan diri. Tak ada jejak yang bisa mereka kejar."Sial! Ternyata orang-orang yang terlibat pembunuhan ayah masih berkeliaran!" geram E
"Maaf, Tuan Muda, keadaan ibu Anda belum ada kemajuan sama sekali," ucap sang Dokter. Ethan menghela napas panjang saat mendengar kabar dari dokter yang menangani ibunya. "Saya harap Mama bisa segera pulih," ucapnya pelan, penuh harap. Ia menghabiskan beberapa saat di sana, memberikan dukungan kepada ibunya sebelum akhirnya meninggalkan rumah sakit kejiwaan itu."Halo, Maxim!" Ethan menghubungi Maxim lewat telepon. "Ada apa, Tuan Muda?" sahut Maxim diujung telepon. "Aku akan kembali ke Manhattan. Aku titip mama," ucap Ethan. "Baik, Tuan Muda, saya pasti akan menjaga Nyonya. Apakah Tuan Muda perlu di antar ke sana?" tawar Maxim. "Tidak perlu, Maxim. Aku bisa pergi ke sana sendiri," ujar Ethan menolak tawaran dari Maxim. "Baik kalau begitu, Tuan Muda, hati-hati."Ethan segera menutup teleponnya, ia segera bersiap untuk pergi ke kota tersebut. Kota yang menjadi tempat persembunyian saat ini. Kembali ke Manhattan, Ethan segera menyamar kembali. Ia tahu betul bahwa ancaman masih men
PLAK!Tamparan keras sampai bulak-balik mengenai wajahnya Ethan Jonathan Make."Apa-apan ini, Ethan! Kamu sudah membuat perusahaan mengalami kerugian besar!" bentak Tuan Louis, sambil menunjukkan dokumen-dokumen yang tersebar di atas meja. Tampak jelas kesalahan yang telah dilakukan oleh putra semata wayangnya dalam mengelola bisnis keluarga.Ethan yang memang tidak ingin menjadi seorang pengusaha menatap papanya dengan sorot mata yang tajam.BRAK!Ethan memukul meja dengan sangat kasar, kedua tangannya mengepal bahkan nafasnya sudah memburu."Sudah aku katakan! Aku tidak mau menjadi pengusaha seperti Papa. Aku ingin menjadi musisi!" teriak Ethan dengan lantang.Tuan Louis menghela nafas panjang, "Ethan, kita sudah membahas ini berkali-kali. Bisnis ini warisan keluarga, kamu harus melanjutkannya. Lagipula, kamu pikir dunia musik itu mudah? Hanya dengan menjadi musisi, kamu bisa mencukupi kebutuhan hidup?" bentak Tuan."Aku percaya pada bakatku, Papa! Dan aku tidak ingin menghabiskan h
Ethan memutuskan untuk tinggal di bawah kolong jembatan yang dingin dan gelap, tempat yang jauh berbeda dari kehidupan mewah yang biasa dia jalani."Untuk sementara, tempat ini lumayan untuk berteduh," gumam Ethan tersenyum miris.Inilah pilihannya, tak ada gunanya untuk mengeluh. Jalani apa yang sudah ia pilih. Kini, dia harus beradaptasi dengan tidur di atas alas kardus tipis yang diletakkan di atas tanah yang keras dan kotor, di mana AC dan kasur empuk yang biasa memeluk tubuhnya sudah tak ada. Udara di tampat ini begitu lembab membuat Ethan tidak bisa tidur."Mana bisa tidur, mana banyak nyamuk," gumamnya dengan hembusan nafas yang terdengar berat.Ethan pun berusaha untuk tidur, karena besok dirinya harus kembali mengamen lagi.Sepanjang hari, Ethan mengamen di jalanan dari tempat ke tempat lainnya. Suara kendaraan yang melintas berpadu dengan suara orang yang berbicara keras, membuat suasana menjadi ramai. Ethan mencoba mengumpulkan uang meskipun hanya uang recehan."Sepertinya
"Maaf, Tuan Muda, keadaan ibu Anda belum ada kemajuan sama sekali," ucap sang Dokter. Ethan menghela napas panjang saat mendengar kabar dari dokter yang menangani ibunya. "Saya harap Mama bisa segera pulih," ucapnya pelan, penuh harap. Ia menghabiskan beberapa saat di sana, memberikan dukungan kepada ibunya sebelum akhirnya meninggalkan rumah sakit kejiwaan itu."Halo, Maxim!" Ethan menghubungi Maxim lewat telepon. "Ada apa, Tuan Muda?" sahut Maxim diujung telepon. "Aku akan kembali ke Manhattan. Aku titip mama," ucap Ethan. "Baik, Tuan Muda, saya pasti akan menjaga Nyonya. Apakah Tuan Muda perlu di antar ke sana?" tawar Maxim. "Tidak perlu, Maxim. Aku bisa pergi ke sana sendiri," ujar Ethan menolak tawaran dari Maxim. "Baik kalau begitu, Tuan Muda, hati-hati."Ethan segera menutup teleponnya, ia segera bersiap untuk pergi ke kota tersebut. Kota yang menjadi tempat persembunyian saat ini. Kembali ke Manhattan, Ethan segera menyamar kembali. Ia tahu betul bahwa ancaman masih men
"Dia adalah ....""Iya, dia siapa? Kamu harus mengatakan identitasnya," ujar Ethan seraya menunjuk pria yang sedang terikat di kursi di ruang penyekapan.Tiba-tiba, suara tembakan terdengar. Dor! Dor! Dor! Orang yang sedang terikat di kursi itu mati tertembak. Ethan dan Maxim tercengang melihat pemandangan di depan mata mereka."Siapa yang berani melakukan ini?" "Maxim, siapa orang itu?" teriak Ethan yang langsung berlari ke arah pintu, berusaha mengejar pelaku yang sudah menghilang di kejauhan. Namun hatinya merasa hampa, bagaimana mungkin pelakunya dapat melarikan diri dengan begitu cepat?"Mungkinkah pelaku itu orang dalam?" gumam Ethan dalam hati.Maxim segera menyusul Ethan, berlari sekuat tenaga demi mengungkap misteri yang semakin menggulita. Namun sayang, usaha mereka sia-sia. Seseorang yang baru saja menembak orang tersebut sudah berhasil melarikan diri. Tak ada jejak yang bisa mereka kejar."Sial! Ternyata orang-orang yang terlibat pembunuhan ayah masih berkeliaran!" geram E
Ethan pun melanjutkan kontes tersebut hingga berhasil masuk ke 3 besar. Saat Grand Final, Ethan harus bersaing dengan kontestan yang memiliki suara suaranya biasa saja."Ethan, ini saatnya kamu menunjukkan bakatmu. Jangan biarkan orang lain mengalahkanmu.""Aku akan berusaha, Evellyne. Semoga hasilnya memuaskan."Namun, di saat yang menentukan, Ethan harus puas dengan juara 2 setelah kalah dengan kontestan yang suaranya biasa saja. Ethan hanya mendapatkan hadiah $15000, namun tidak mendapatkan kontrak ekslusif."Ethan, jangan bersedih. Kamu sudah berhasil sampai di tahap ini. Itu sudah prestasi yang luar biasa.""Aku tahu, Evellyne. Tapi, rasanya sedikit kecewa karena tidak mendapatkan kontrak. Padahal, itu impianku sejak dulu.""Tenang saja, Ethan. Mungkin ini bukan saat yang tepat. Aku yakin kesempatan lain akan datang. Teruslah berkarya dan jangan menyerah.""Iya, Evellyne. Aku berharap suatu saat nanti akan ada kesempatan yang lebih baik lagi.""Tentu saja! Aku yakin kamu akan mer
Ethan berdiri tegak di depan jendela, ia menatap langit yang mulai berubah warna karena mendekati senja. Ia merasa lega karena akhirnya orang-orang yang terlibat dalam penggelapan uang perusahaan telah ditangkap dan dipenjara. Namun, ia tahu bahwa bahaya belum sepenuhnya berlalu."Maxim," panggil Ethan kepada orang yang paling ia percayai, "aku ingin kau tetap waspada. Meskipun orang-orang pengkhianat itu sudah dipenjara, kita tidak tahu apa yang mungkin terjadi.""Baik, Tuan Muda," jawab Maxim dengan tegas, "aku akan terus waspada."Ethan menghela napas, lalu melanjutkan, "Dan jangan lupa untuk menjaga orang itu, orang yang kita tahan di gudang. Jangan biarkan dia lolos."Maxim mengangguk paham. "Tentu, Tuan Muda. Aku akan menjaga dia dengan baik."Ethan tersenyum tipis, menghargai kesetiaan Maxim yang tak pernah goyah. "Terima kasih, Maxim. Aku akan kembali ke kota Manhattan sebentar lagi, meninggalkan kota New York ini. Jika ada sesuatu yang terjadi, jangan ragu untuk memberikan ka
"Aku tidak bisa memastikan, Tuan Muda. Aku akan mengambil foto jejak kaki ini. Siapa tahu, kita membutuhkan bukti ini," ujar Maxim. "Baiklah, lakukan itu. Aku akan segera pulang ke New York," ucap Ethan dengan nada lega. "Jangan khawatir, Tuan Muda. Aku akan terus mengawasi rumah ini. Semoga kita bisa segera menemukan dalang di balik pembantaian itu," tutup Maxim dengan penuh tekad. "Iya semoga saja, Max." Esok harinya, Ethan segera bergegas pergi ke New York. Tetap menyamar, disebelah pipinya masih ada tahi lalat. Penyamaran Ethan ini cukup sukses sampai tidak ada satu pun yang mengenal jika pria yang selalu mengamen ini adalah seorang Tuan Muda dari keturunan Andersson. Tak lama, Ethan sampai di Apartemen Maxim. "Apa langkah kamu selanjutnya, Tuan Muda?" tanya Maxim. "Aku akan menyamar jadi Cleaning Servis di Perusahaan Andersson. Bisakah kamu bantu aku, Maxim?" "Tentu saja, aku akan membantumu." Ethan berharap dengan cara dirinya menyamar menjadi cleaning servis bisa mengu
Ethan dan Evellyne sedang mengamen di trotoar, tiba-tiba Evellyne teringat sesuatu dan mengeluarkan ponselnya. Ia mulai membuka sosial media dan menemukan sebuah pengumuman tentang kontes nyanyi yang sangat menarik. Hadiahnya adalah $25.000 dan kesempatan untuk dikontrak langsung oleh seorang produser musik terkenal."Wow! Ini keren banget kontesnya!"Ethan langsung menoleh kearah Evellyne, "kontes apa?" tanya Ethan."Ethan, lihat ini!" seru Evellyne sambil menunjukkan layar ponselnya. "Ada kontes nyanyi, hadiahnya $25.000 dan bisa langsung dikontrak oleh produser musik! Kamu harus ikutan, Ethan. Kalau mau, besok aku antar kamu. Aku jemput kamu."Ethan menatap layar ponsel Evellyne dengan mata berbinar, "Serius? Kapan audisinya?""Besok jam 8 pagi. Kamu harus datang lebih awal biar bisa daftar!" balas Evellyne semangat."Oke, semoga kali ini keberuntungan berpihak!" ucap Ethan penuh semangat.Keesokan harinya, Ethan dan Evellyne tiba di tempat audisi. Setelah mendaftar, Ethan mendapat
Di New York — Kediaman Andersson. Di sebuah rumah megah, suasana hening dan gelap menyelimuti setiap sudut, waktu sudah menunjukkan pukul 12 malam. Tuan Louis dan Nyonya Alice duduk di ruang tamu yang elegan, wajah Alice masih terlihat cemas. "Kau benar-benar tidak ingin berusaha agar Ethan kembali pulang, Louis? Dia harapan kita satu-satunya. Sudahlah, kamu mengalah saja. Biarkan Ethan menjadi seperti apa yang dia inginkan," ucap Nyonya Alice, wanita itu tak pernah bosan untuk membujuk suaminya itu. "Kamu tenang saja, Alice. Aku sudah memiliki rencana bagus agar Ethan kembali," ucap Louis santai. "Apa rencanamu, Louis?" tanya Nyonya Alice dengan suara gemetar, menatap suaminya yang duduk di seberang sambil menyesapsebuah rokok. Louis hanya tersenyum miring, menatap jauh ke luar jendela. "Pokoknya kamu tenang saja, Alice. Rencana ini akan membuat anak keras kepala itu pulang dengan sendirinya. Tapi, aku belum bisa memberi tahu kamu sekarang." jawabnya dengan nada misterius. Nyon
Ethan melangkah dengan semangat menuju studio musik. Langkahnya ringan seiring alunan musik yang tercipta di benaknya. Suasana kota terlihat sibuk dan penuh kehidupan semakin menambah semangatnya untuk menggapai mimpinya tersebut. Namun, tiba-tiba langkahnya terhenti saat empat orang lelaki bertubuh kekar menghalanginya."Minggir! Saya mau lewat!" ucap Ethan dengan tegas.Namun, para lelaki bertubuh kekar itu malah mengambil gitar milik Ethan yang sedang digendong di punggungnya. Mereka berlari, membawa gitar kesyangan Ethan."Kebalikan gitarku!" teriak Ethan dengan marah sambil langsung berlari mengejar keempat lelaki kekar itu. Keempat lelaki itu tertawa terbahak-bahak sambil berlari membawa gitar kesayangannya.Ethan mengejar para lelaki itu, ia berlari sekuat tenaga memasuki sebuah gang sempit yang tidak terlalu ramai. Di tempat yang terlihat sepi, Ethan berhasil mengejar para lelaki bertubuh kekar itu."Kembalikan gitarku, atau kalian akan menyesal!" ancam Ethan dengan nada beran
Ethan memutuskan untuk tinggal di bawah kolong jembatan yang dingin dan gelap, tempat yang jauh berbeda dari kehidupan mewah yang biasa dia jalani."Untuk sementara, tempat ini lumayan untuk berteduh," gumam Ethan tersenyum miris.Inilah pilihannya, tak ada gunanya untuk mengeluh. Jalani apa yang sudah ia pilih. Kini, dia harus beradaptasi dengan tidur di atas alas kardus tipis yang diletakkan di atas tanah yang keras dan kotor, di mana AC dan kasur empuk yang biasa memeluk tubuhnya sudah tak ada. Udara di tampat ini begitu lembab membuat Ethan tidak bisa tidur."Mana bisa tidur, mana banyak nyamuk," gumamnya dengan hembusan nafas yang terdengar berat.Ethan pun berusaha untuk tidur, karena besok dirinya harus kembali mengamen lagi.Sepanjang hari, Ethan mengamen di jalanan dari tempat ke tempat lainnya. Suara kendaraan yang melintas berpadu dengan suara orang yang berbicara keras, membuat suasana menjadi ramai. Ethan mencoba mengumpulkan uang meskipun hanya uang recehan."Sepertinya