Hari ini, Maya kembali menjumpai dokter kandungan untuk melakukan konsultasi.
“Dokter, beberapa hari ini saya sudah tidak mengkonsumsi obat kontrasepsi. Apakah kesuburanku tidak terganggu karena terlalu lama mengkonsumsinya?” “Jangan khawatir, begitu Bu Maya tidak mengkonsumsinya, maka siklus akan kembali normal. Perbanyak mengkonsumsi sayur dan buah ya. Jika dalam tiga bulan Anda belum hamil, kita akan melakukan program hamil bersama suami Bu Maya,” kata dokter memberikan saran. Maya hanya terdiam, ia berharap akan segera hamil dalam waktu satu bulan ini. “Baik, Dokter, terima kasih,” kata Maya tampak pasrah. Maya berjalan keluar klinik dan langsung pulang. Sesampainya di rumah mewah milik mertuanya, terlihat ada sebuah mobil asing yang terparkir di halaman. Di sofa ruang tamu, ada seorang pria berpenampilan rapi sedang berbincang dengan Ambar. Pria itu menoleh ke arah pintu depan, ketika terdengar langkah kaki Maya yang memasuki rumah. Sesaat Maya dan pria itu saling tatap, kemudian saling melempar senyum. “Pak Fardian,” sapa Maya menarik lengkung bibirnya. “Bu Maya, pengurus panti asuhan Mery Gold?” “Iya betul, kebetulan sekali Pak Fardian, kita bertemu di sini,” kata Maya sopan. “Kalian sudah saling kenal?” sela Ambar menatap bergantian Maya dan Fardian. “Kemarin Pak Fardian datang ke yayasan, Bu... dan beliau sekarang adalah donatur tetap Yayasan Mery Gold,” jelas Maya. Ambar lalu terlihat bahagia dan memasang wajah ramah pada tamunya itu. “Terima kasih atas partisipasi dan kepedulian Anda terhadap yayasan kami,” timpal Ambar. “Sama-sama, Bu Ambar,” jawab pria muda bernama Fardian itu. “Maya, Pak Fardian ini akan bergabung dalam kuasa hukum kita di Darmawan Group, ia seorang pengacara muda yang sukses,” jelas Ambar. Maya hanya mengulum senyum, ada rasa kagum pada pria tampan di depannya. Sebenarnya Maya ingin sekali melanjutkan pendidikan di fakultas hukum, tapi Rendra melarangnya, membuat Maya akhirnya mengubur impiannya itu. “Senang bertemu Anda di sini, Pak Fardian. Kalau begitu, saya permisi dulu,” pamit Maya, lalu melangkah menuju lantai atas. Pria berwajah teduh tapi memiliki garis wajah tegas itu hanya mengangguk dan tersenyum, kemudian melanjutkan pembicaraannya dengan Ambar. “Pak Fardian, bagaimana jika kita bicara di ruang kerja saja, menantuku sudah pulang, aku tidak mau dia mendengar pembicaraan kita,” ajak Ambar. Meski bingung, Fardian mengangguk dan mengikuti langkah Ambar menuju ruangannya yang terletak di dekat halaman samping rumahnya. Setelah keduanya masuk, Ambar menutup pintu dengan rapat. Mereka duduk di sofa panjang yang terletak di sudut ruangan yang besar untuk ukuran ruang kerja. “Sebenarnya saya belum mempercayai kinerja Anda, Pak Fardian, tapi karena temanku merekomendasikan Anda untuk mengganti pengacara lama saya, jadi saya ingin kita bekerja sama.” “Baik, Bu Ambar, saya akan melakukan yang terbaik.” “Begini, aku ingin Anda mengurus perceraian Rendra dan Maya. Aku tidak ingin dalam perceraian mereka ada pembagian harta atau apapun itu. Maya tidak membawa apa-apa waktu menikah, jadi aku tidak ingin wanita itu meminta tunjangan atau apapun. Apalagi selama menikah, mereka tidak memiliki anak. Jadi aku ingin Anda mengurus semua secepatnya.” “Saya mengerti. Apa ada yang ingin Anda sampaikan lagi?” “Ada satu lagi yang membuatku risau, soal yayasan Mery Gold. Mendiang suamiku menyerahkan yayasan itu pada Maya, apakah Anda bisa mengembalikan yayasan itu padaku, jika Maya dan Rendra bercerai?” Fardian terdiam dan tampak berpikir serius. “Kenapa Anda menginginkan yayasan itu Bu Ambar? Seorang pengusaha dan juga politikus seperti Anda, apakah tertarik dengan sebuah panti asuhan?” “Jangan mengubah arah pembicaraan, Pak Fardian, saya hanya bertanya apakah Anda bisa. Jika tidak, kita sudahi saja pembicaraan ini!” kata Ambar tegas. “Tentu saja bisa. Anda tahu sendiri, saya adalah donatur tetap di yayasan itu, saya akan mengembalikan yayasan itu pada pemilik sebenarnya.” Senyum hangat terurai di wajah Ambar, lalu kembali menatap serius sang pengacara di depannya. “Kalau begitu kita perlu mendapatkan tanda tangan Bu Maya untuk mengubahnya kembali.” “Itu mudah. Menantuku itu berada dalam kendaliku. Aku rasa sudah waktunya menyingkirkan dia dari rumah dan yayasan Mery Gold,” tegas Ambar dengan seringai tipis di wajahnya. Fardian tersenyum tipis menatap wanita setengah baya yang keserakahannya masih terlihat jelas di wajah yang tak lagi muda. Setelah pembicaraan penting mengenai kepemilikan yayasan, keduanya meninggalkan ruangan dan beralih ke ruang makan. Ambar menjamu Fardian dengan makan siang. Di sana juga terlihat Maya sibuk membantu Bi Siti mempersiapkan semuanya. Setelah terhidang, Ambar dan Fardian pun menyantap makan siang. “Bu Maya, makan sianglah bersama kami. Anda tuan rumah juga ‘kan?” Maya terlihat canggung, pasalnya mertuanya tidak menawarinya. “Terima kasih Pak Fardian, saya masih ada pekerjaan, silahkan menikmati makan siang ini,” balas Maya, lalu menunduk dan pamit pergi. Fardian menatap punggung Maya hingga lenyap di balik dinding. ‘Gadis yang belum berubah, masih sederhana dan polos,’ batin Fardian. Sambil tersenyum kecil, ada binar bahagia tergambar di wajah teduh pemuda tampan itu.Waktu menunjukan pukul sepuluh malam, tapi Rendra belum juga pulang. Maya terlihat khawatir. Sejak sore tadi, ponsel suaminya tidak bisa dihubungi. Tapi tak lama sebuah pesan masuk, bergegas Maya meraih ponselnya dan senyum mengembang di bibir ranumnya.{Aku tidak pulang malam ini, ada meeting dadakan di Bandung, kamu tidurlah dulu.}Chat dari Rendra membuat Maya bernapas lega, meski hal itu sedikit mengusiknya sebab tak biasanya suaminya pergi mendadak. Namun, Maya segera merebahkan tubuhnya di kasur, tanpa suami di sampingnya.Hingga pagi menyapa, Maya perlahan bangkit dan membuka korden kamarnya. Hawa sejuk dihirupnya, tapi tiba-tiba rasa mual menyergap. Dengan setengah berlari, ia pun menuju kamar mandi, memuntahkan cairan kekuningan yang terasa pahit.Maya membasuh mukanya, entah kenapa pagi ini terasa berbeda dengan tubuhnya, rasa pening tiba-tiba datang menyerang kepalanya, hingga Maya memutuskan berbaring lagi di tempat tidur.Maya menoleh ke arah pintu ketika terdengar suara
Maya mencoba menghubungi Rendra, tapi ponselnya tidak aktif, wanita itu terlihat sangat kesal. Lalu tatapannya mengarah tajam pada Ambar.“Apa rencana ibu sebenarnya, jika ibu menginginkan yayasan itu, Maya akan berikan, tapi tolong jangan pisahkan Maya dengan Mas Rendra, hanya dia yang Maya punya saat ini,”pinta Maya dengan nada permohonan.“Apa istimewanya dirimu Maya, hingga mendiang suamiku memilih dirimu untuk menjadi menantu dan menyerahkan yayasan Mery gold padamu!”sarkas Ambar.“Ibu menginginkan Mery Gold, ambilah, akan aku berikan, tolong jangan campuri lagi pernikahanku dengan Mas Rendra,”pinta Maya sekali lagi kali ini ia memohon sambil berlutut di depan ibu mertuanya.“Mery gold akan menjadi miliku tanpa kamu akan menyerahkannya, sebentar lagi Kamu dan Rendra akan bercerai, dan semuanya otomatis akan pindah ke tanganku, “jawab Ambar dengan menyilangkan kedua tanganya di dadaMaya bangkit dari jongkoknya, dan menatap sinis wanita dengan potongan rambut bob itu.“Ibu memberi
“Cepatlah beri cucu! Karena hanya seorang cucu yang bisa membuat aku menerimamu sebagai menantu. Jika kamu tidak bisa memberikan cucu padaku, Rendra akan menceraikanmu!” Dada Maya bergemuruh mendengar ucapan ibu mertuanya. Baru beberapa menit yang lalu suaminya berangkat ke kantor, dan mertuanya itu langsung mencecarnya. “Iya, Bu. Kami sudah berikhtiar setiap malam, demi memenuhi keinginan ibu,” kata Maya menahan perih di hatinya.“Kamu beruntung karena dicintai dan dikagumi oleh putraku. Gadis yatim piatu sepertimu pasti bangga menjadi anggota keluarga Dermawan.”Maya terdiam, kata-kata seperti itu selalu didengar oleh telinganya, seakan dirinya wanita yang tidak pantas bersanding dengan Rendra.“Iya, Bu, aku sangat beruntung,” sahut Maya, berusaha tidak memasukkan ucapan ibu mertuanya ke dalam hati. Ambar mendengus dan menatap Maya sinis. “Jangan hanya menjadi parasit di keluargaku, setidaknya kamu harus melahirkan keturunan keluarga Dermawan!” tegasnya. Maya hanya bisa menunduk
Sepulang dari klinik, Maya melihat sang ibu mertua sedang duduk sambil menikmati sore di taman rumahnya yang sangat luas itu. Ingin rasanya Maya bertanya, mengapa sang mertua memberinya pil kontrasepsi alih-alih vitamin sungguhan. Tapi niat itu diurungkan, percuma berdebat dengan ibu mertuanya yang memiliki kuasa atas semuanya di rumah ini. Maya lantas menghampiri Ambar. “Apa perlu Maya buatkan camilan untuk menemani sore Ibu?” tanyanya, berusaha meredakan amarah dalam dadanya.“Oh… kamu sudah pulang,” sahut Ambar acuh tak acuh. “Tidak usah, lebih baik kamu bantu Bi Siti memasak, nanti malam ada tamu spesial yang akan datang,” titah wanita itu.“Baik, Bu.”Maya bergegas menuju dapur untuk memenuhi perintah sang ibu mertua.Sesampainya di dapur, Maya menatap lekat Bi Siti. Ia berpikir wanita yang berusia 40 tahunan itu juga ikut andil dalam rencana busuk Ambar.“Bi... aku ingin tahu, vitamin apa yang diberikan Ibu padaku setiap malam?”Siti tampak terkejut mendengar pertanyaan tiba-t
Mendengar ucapan ibu mertuanya yang lagi-lagi merendahkannya, Maya hanya bisa menghela napas pelan. Setelah terlihat mobil Arnia menghilang di balik pagar tinggi rumahnya, Ambar pun masuk ke dalam rumah.“Bi Siti, antar vitamin itu pada Maya, suruh ia meminumnya!” perintah Ambar pada sang asisten rumah tangga.“Baik, Nyonya,” jawab Siti dengan sangat patuh.Siti beranjak ke dapur, membuka salah satu laci kabinet, kemudian meraih tablet dan mengeluarkan dari bungkusnya. Setelah itu ditaruhnya di nampan beserta segelas air mineral.Diam-diam, Maya memperhatikan apa yang dilakukan Siti, hingga wanita berdaster longgar itu berjalan ke arah tangga, tapi Maya mencegat langkahnya.“Bi Siti, itu untukku ‘kan? Sini biar aku bawa ke kamar, nanti aku minum,” pinta Maya, seraya meraih nampan kecil dari tangan Bi Siti.“Non Maya masih di bawah to, saya kira sudah di kamar,” kata Siti.Maya hanya mengulum senyum, dan melangkahkan kakinya menuju lantai atas. Sesampainya di kamar, pil yang diberikan