Share

BAB 3 Malam Tanpa Pil Kontrasepsi

Mendengar ucapan ibu mertuanya yang lagi-lagi merendahkannya, Maya hanya bisa menghela napas pelan.

Setelah terlihat mobil Arnia menghilang di balik pagar tinggi rumahnya, Ambar pun masuk ke dalam rumah.

“Bi Siti, antar vitamin itu pada Maya, suruh ia meminumnya!” perintah Ambar pada sang asisten rumah tangga.

“Baik, Nyonya,” jawab Siti dengan sangat patuh.

Siti beranjak ke dapur, membuka salah satu laci kabinet, kemudian meraih tablet dan mengeluarkan dari bungkusnya. Setelah itu ditaruhnya di nampan beserta segelas air mineral.

Diam-diam, Maya memperhatikan apa yang dilakukan Siti, hingga wanita berdaster longgar itu berjalan ke arah tangga, tapi Maya mencegat langkahnya.

“Bi Siti, itu untukku ‘kan? Sini biar aku bawa ke kamar, nanti aku minum,” pinta Maya, seraya meraih nampan kecil dari tangan Bi Siti.

“Non Maya masih di bawah to, saya kira sudah di kamar,” kata Siti.

Maya hanya mengulum senyum, dan melangkahkan kakinya menuju lantai atas. Sesampainya di kamar, pil yang diberikan Bi Siti, dibuangnya ke wastafel kamar mandi.

Sementara itu, Rendra sedang sibuk menatap layar ponsel sambil duduk bersandar di tempat tidur.

“Cantik ya Mas, temanmu Arnia,” seloroh Maya.

“Hmm, dia primadona waktu SMA,” jawab Rendra datar dan santai.

“Kenapa kamu tidak mencintai wanita secantik dan berkelas seperti Arnia?”

Rendra mengalihkan tatapannya dari ponsel ke arah Maya yang kini duduk di tepi tempat tidur.

“Siapa bilang aku tidak mencintai Arnia? Aku pernah mencintainya, tapi cintaku ditolak. Ia memilih melanjutkan sekolah di Singapura.”

Jawaban sang suami sungguh di luar dugaan Maya. Apalagi Rendra menjawab pertanyaan itu dengan sangat lugas, tidak tampak enggan sama sekali. Hal itu membuat api cemburu menjalar di hati Maya.

“Berarti, jika satu bulan ini kita tidak bisa memenuhi keinginan ibu untuk memiliki cucu, apa Mas Rendra akan menceraikanku dan akan menikahi Arnia sesuai keinginan Ibu?”

Rendra memajukan tubuhnya mendekati Maya yang terlihat sedih. “Kenapa kamu berpikiran seperti itu, Sayang? Kita akan berusaha memiliki seorang anak, aku rasa ibu hanya menggertak saja.”

Tangan Rendra mulai menjelajahi tubuh Maya, menyentuh dan bermain di area sensitif milik sang istri, hingga penyatuan tubuh pun terjadi.

Maya berharap, dua malam yang ia lalui bersama sang suami tanpa menelan pil kontrasepsi akan membuahkan hasil. Ia harap sebuah benih akan tertanam di rahimnya.

Pukul satu dini hari, Maya terbangun. Diuraikannya pelukan Rendra, pelan dan perlahan Maya bangkit meraih gaun tidur yang tercecer di lantai dan mengenakannya kembali.

Maya menuruni tangga dan berjalan menuju dapur. Dibukanya sebuah laci tempat Siti menyimpan obat dan mencari tablet yang sering diberikan padanya. Setelah ketemu, Maya memotret obat itu dengan kamera ponsel, kemudian mengembalikannya ke tempat semula.

Maya kembali ke kamar. Rendra masih terlelap. Maya duduk di sofa, mengamati obat yang difotonya tadi, lalu mencari tahu tentang obat itu di internet.

Ternyata … itu memang obat kontrasepsi. Dan efek obat itu jika dikonsumsi berkepanjangan bisa membuat badan gemuk dan muncul flek hitam.

“Pantas saja …,” lirih Maya. Perubahan tubuhnya yang cukup signifikan itu ternyata karena obat yang ia minum.

‘Jahat sekali Bu Ambar, tidak hanya menginginkan aku tidak bisa hamil, tapi juga ingin merusak penampilanku,’ batin Maya.

Maya tak bisa tidur malam itu. Kepalanya berisik dengan banyak hal. Ia tak tahu harus melakukan apa.

Saat pagi menyapa, saat mereka tengah menikmati sarapan pagi, Ambar terlihat antusias memuji Arnia.

“Makin lama Arnia makin cantik dan juga dewasa. Usianya dua tahun di bawahmu Ren, tapi terlihat lebih matang, iya ‘kan?”

“Iya Bu. Empat tahun tak jumpa dengannya aku sampai pangling,” sahut Rendra ringan.

“Sebentar lagi Arnia akan menyelesaikan kuliahnya di Singapura dan meneruskan bisnis orang tuanya. Sungguh beruntung jika bisa mempersuntingnya,” kata Ambar lagi, ekor matanya melirik ke arah Maya yang diam sambil menyuap nasi goreng ke dalam mulut.

Sementara Rendra tidak menanggapi perkataan ibunya. Matanya fokus pada ponsel sambil sesekali tersenyum kecil.

Tak lama kemudian, Rendra bergegas meninggalkan rumah untuk pergi ke kantor.

Maya menghela napas panjang sambil menyaksikan kepergian suaminya.

“Apa kamu sudah mentransfer uang dari yayasan ke rekeningku, May?”

“Maaf Bu, untuk bulan ini pemasukan dari para donatur berkurang, dan semuanya habis untuk keperluan panti.”

“Maya, aku tidak peduli dengan panti asuhan itu! Kamu harus tetap mentransfer uang ke rekening pribadiku. Paham kamu?!” bentak Ambar seraya menatap tajam pada Maya.

“Baik Bu, jika begitu aku harus berhemat untuk keperluan panti,” jawab Maya sambil tertunduk.

“Lakukan sebisamu. Aku rasa kamu harus lebih giat lagi menarik para donatur untuk memberikan uangnya pada panti asuhan!” suruh Ambar.

Maya menghela napas panjang ketika Ambar berlalu meninggalkannya. Ia pun lantas bergegas pergi ke panti asuhan yang ia kelola. Yayasan itu berada di bawah naungan Dermawan Group. Mendiang ayah mertuanya mempercayakan pengelolaan yayasan pada Maya.

Dulu, Maya juga dibesarkan di panti asuhan yang diberi nama Mery Gold itu, jadi ia sudah begitu dekat akrab dan menganggapnya sebagai rumah kedua.

Seperti yang diperintahkan Ambar, Maya segera mentransfer sejumlah uang ke rekening wanita itu. Dengan terpaksa, Maya harus menggunakan rekening pribadinya untuk memenuhi keinginan sang mertua.

Untunglah Maya selalu bisa berhemat dari nafkah yang diberikan Rendra padanya.

Saat tengah sibuk dengan pekerjaannya, terlihat sebuah mobil mewah berhenti di halaman. Maya berjalan menghampiri dan melihat seorang pemuda tampan keluar dari mobil. Penampilannya elegan, khas seorang eksekutif muda.

Maya pun menatap pria itu yang berjalan mendekatinya. “Selamat siang, bisakah saya bertemu pengelola yayasan ini?”

“Saya yang bertanggung jawab akan yayasan panti asuhan Mery Gold,” balas Maya dengan sopan.

“Oh, kebetulan sekali, aku ingin menjadi donatur tetap untuk yayasan ini.”

Maya membelalak mendengarnya. Tanpa sadar, bibirnya mengurai senyum bahagia.

Akhirnya donatur datang!

“Terima kasih atas niat baik Anda, kenalkan saya Maya,” Maya mengulurkan tangannya dan disambut oleh tangan pemuda itu.

“Saya Fardian,” sahutnya sambil melempar senyum pada wanita cantik walau berpenampilan sederhana di hadapannya itu.

Lalu keduanya pun masuk ke dalam ruang tamu dan berbincang mengenai kondisi panti asuhan.

Sementara itu di tempat lain, tepatnya di sebuah restoran merah, Rendra tampak asyik berbincang dengan Arnia sambil menikmati makan siang.

Keduanya tampak menikmati kebersamaan yang beberapa tahun ini terlewat.

“Apa kamu menikmati pernikahanmu dengan Maya?”

Rendra tersenyum ke arah wanita cantik dengan bibir berlipstik merah marun yang sangat bold itu.

“Aku menikmati pernikahanku dengan Maya,” jawab Rendra apa adanya.

“Aku dengar Tante Ambar tidak setuju dengan pernikahan kalian. Apa yang membuatmu jatuh cinta pada wanita sederhana dan tidak berpendidikan seperti Maya?”

Rendra berdeham. “Ibuku memang menentang pernikahan kami, tapi Maya adalah calon istri pilihan mendiang ayahku,” jawabnya.

Arnia tersenyum manis. “Jadi kamu menikahinya karena terpaksa?”

Rendra hanya diam, membiarkan pertanyaan itu menggantung di udara.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status