Share

BAB 5 Di Balik Rencana Sang Mertua

Waktu menunjukan pukul sepuluh malam, tapi Rendra belum juga pulang.

Maya terlihat khawatir. Sejak sore tadi, ponsel suaminya tidak bisa dihubungi. Tapi tak lama sebuah pesan masuk, bergegas Maya meraih ponselnya dan senyum mengembang di bibir ranumnya.

{Aku tidak pulang malam ini, ada meeting dadakan di Bandung, kamu tidurlah dulu.}

Chat dari Rendra membuat Maya bernapas lega, meski hal itu sedikit mengusiknya sebab tak biasanya suaminya pergi mendadak. Namun, Maya segera merebahkan tubuhnya di kasur, tanpa suami di sampingnya.

Hingga pagi menyapa, Maya perlahan bangkit dan membuka korden kamarnya. Hawa sejuk dihirupnya, tapi tiba-tiba rasa mual menyergap. Dengan setengah berlari, ia pun menuju kamar mandi, memuntahkan cairan kekuningan yang terasa pahit.

Maya membasuh mukanya, entah kenapa pagi ini terasa berbeda dengan tubuhnya, rasa pening tiba-tiba datang menyerang kepalanya, hingga Maya memutuskan berbaring lagi di tempat tidur.

Maya menoleh ke arah pintu ketika terdengar suara ketukan, lalu terlihat pintu terbuka, Bi Siti masuk ke dalam kamar.

“Non Maya, kenapa tidak turun ke bawah? Nyonya Ambar ingin bicara dengan Non Maya,” ucap wanita tua itu.

“Oh… aku lagi tak enak badan. Tapi baiklah, aku akan segera turun menemui ibu,” jawab Maya.

Asisten rumah tangga itu pun berlalu, tapi langkahnya terhenti ketika melihat obat di atas nampan masih ada.

“Non Maya, semalam tidak minum vitamin?”

Maya menatap nampan di atas meja, ia lupa membuang pil kontrasepsi dari mertuanya.

“Aku lupa,” jawab Maya.

“Jika begitu, segeralah minum sebelum Nyonya Ambar tahu dan marah,” kata Siti dengan wajah tampak cemas.

“Iya, nanti aku minum. Lagipula, sehari tidak minum vitamin ‘kan tidak mengapa,” sahut Maya sambil berjalan ke arah meja kecil. “Keluarlah, apa aku harus minum pil ini di hadapan Bi Siti?” tanya Maya lagi, kali ini dengan nada yang sedikit menuding.

“Baiklah, saya keluar.” Siti tampak ragu, tapi tatapan tajam Maya membuat Siti merasa tak enak, lalu wanita itu pergi.

Setelah kepergian Siti, Maya membuang pil itu di wastafel kamar mandi, lalu membersihkan tubuhnya dan segera menemui ibu mertuanya.

Kini, Maya duduk di kursi di depan meja kerja, sedangkan Ambar juga duduk di kursi seberangnya, menatap sejenak menantu yang tidak diharapkannya itu.

“Aku dengar, Rendra tidak pulang semalam?”

“Iya Bu, Mas Rendra ada pekerjaan di luar kota.”

Helaan napas terdengar di bibir Ambar. “Sebenarnya aku ingin berbicara dengan kalian berdua, tapi karena Rendra tidak di rumah, lebih baik kita berbicara dulu.” Ambar berbicara dengan tatapan serius pada Maya.

“Kamu tahu ‘kan, kurang menghitung hari lagi kesepakatan kita berakhir. Jika sudah satu tahun genap pernikahan kalian dan kamu belum juga hamil, maka kamu dan Rendra akan bercerai.”

Maya tertunduk mendengar ucapan Ambar.

“Dalam perceraian, tidak ada pembagian harta gono gini. Kamu harus paham posisimu waktu menjadi menantu keluarga Darmawan, kamu hanya gadis yatim piatu. Kamu tidak akan mendapat tunjangan apapun. Aku sudah meminta pengacara untuk mempersiapkan berkas, kamu tinggal tanda tangan saja,” kata Ambar dengan angkuhnya.

“Tapi, jika Mas Rendra tidak berniat menceraikanku, apakah ibu akan memaksa juga?”

Ambar tersenyum simpul. “Rendra akan memenuhi perintahku!” katanya. Tatapan Ambar begitu sinis. “Dan satu lagi, kamu harus mengembalikan kepemilikan Yayasan Mery Gold padaku, karena kamu tidak bisa melahirkan keturunan Darmawan. Bukankah seperti itu persyaratan surat wasiat dari mendiang suamiku?”

Maya terdiam. Kini ia mengerti, kenapa Ambar tidak menginginkan dirinya hamil. Itu karena Ambar menginginkan kepemilikan Yayasan Mery Gold kembali ke tangannya.

“Aku masih punya beberapa hari lagi, mungkin saja Tuhan berkehendak lain dan ingin menyelamatkan pernikahanku dengan Mas Rendra,” kata Maya dengan suara bergetar.

“Jangan mimpi kamu. Kamu tak akan bisa hamil karena—” Ambar tiba-tiba menghentikan ucapannya.

Tapi Maya mengerti, dan paham sekali kenapa sang mertua yakin dirinya tidak akan bisa hamil.

“Karena vitamin yang setiap malam ibu berikan,” timpal Maya.

Ambar tampak terkejut, matanya bahkan melotot menatap Maya. Sementara wanita muda itu masih menunduk dengan rasa kecewa yang mendalam.

“Justru vitamin itu agar bisa membuatmu hamil!” bantah Ambar.

“Tapi kenapa aku belum hamil, Bu? Obat apa yang ibu berikan padaku?” Maya pura-pura tidak tahu dan mencari kejujuran ibu mertuanya.

Ambar bangkit berdiri, lalu tiba-tiba menarik rambut Maya. “Kamu berani menanyaiku begitu?! Rupanya kamu harus diingatkan posisimu. Kamu hanya anak panti asuhan yang dinikahi Rendra. Jadi kamu harus sopan dan tunduk padaku, dasar parasit!” berang Ambar, lalu dengan kasar melepas tangannya dari rambut Maya.

Air mata Maya menetes membasahi pipi. Ia mengusapnya perlahan dan berusaha menenangkan diri.

Maya lantas bangkit dan melangkah pergi meninggalkan rumah mewah mertuanya itu. Seperti biasa, Maya mengendarai motor maticnya menuju yayasan.

Sesampainya di sana, ia duduk memeriksa administrasi yayasan. Pikirannya melayang di saat ayah mertuanya menyerahkan pengelolaan yayasan padanya tiga tahun lalu, dan di saat itulah Ambar mulai membencinya.

“Ah... jadi selama ini Bu Ambar membenciku karena masalah yayasan. Apa belum cukup 30 persen dari para donatur dan Rajas Shopping Center bagi dirinya, hingga mengincar kedudukan di yayasan Mery Gold?” gumam Maya sambil menghela napas panjang.

Maya lalu membuka laci mejanya dan mengambil surat wasiat dari ayah mertuanya. Kembali Maya membaca salinan surat wasiat itu, dibacanya dengan cermat. Dulu ia mengabaikan surat itu karena baginya menikah dengan Rendra adalah impiannya.

“Aku tidak begitu paham dengan surat wasiat ini, apa aku harus menemui pengacara ya,” gumam Maya sambil menggigit bibir bawahnya dan menatap serius lembaran kertas di tangannya.

Tiba-tiba ketukan pintu terdengar, Maya mempersilahkan sang pengetuk pintu untuk masuk.

“Masuk!”

Seorang pria muncul dan berkata dengan sopan, “Maaf Bu Maya, saya mengganggu waktu Anda,” ucapnya.

Maya cukup terkejut melihat pria itu, tapi sebuah ide kemudian muncul di kepalanya. “Pak Fardian, masuklah. Kebetulan sekali Anda datang, aku ingin berkonsultasi,” katanya dengan ramah.

Pria yang mengenakan kemeja warna biru tua itu menutup pintu kembali, lalu melangkah duduk di depan Maya.

“Konsultasi masalah apa?”

“Bisakah Anda menjelaskan isi dari surat wasiat ini?” Maya langsung menyerahkan lembaran kertas pada Fardian.

Pria yang duduk di hadapan Maya meraih kertas itu, membacanya dengan serius.

“Anda menjadi pemilik yayasan Mery Gold untuk saat ini, tapi jika dalam pernikahan tidak memiliki anak dan terjadi perceraian, maka yayasan ini akan dilimpahkan pada Bu Ambar,” jelas Fardian.

Maya terlihat sedih. “Sebenarnya bukan masalah yayasan ini yang aku risaukan, tapi masalah perceraianku,” ucap Maya dengan nada parau.

“Kebetulan saya ke sini ingin membahas perceraian Anda dengan Pak Rendra, ini atas perintah Bu Ambar,” ungkap Fardian.

Maya menatap pria bermata teduh itu dengan terkejut. “Jadi, ibu mertuaku sudah mempersiapkan perceraianku dengan Mas Rendra?”

“Seperti itulah. Bu Maya harus mempersiapkan semuanya, karena dalam perceraian tidak akan ada pembagian harta dan juga tunjangan,” jelas Fardian bernada ringan.

“Aku harus bicara dengan Mas Rendra, tapi ia sekarang di keluar kota,” sahut Maya menjadi panik.

Maya meraih ponselnya, mencoba menghubungi sang suami. Tapi ponsel Rendra tidak aktif. Lalu Maya menghubungi staf kantor, dan dari keterangan staf, Rendra sedang berada di kantor RSC.

Desahan gusar terdengar dari bibir Maya. Ia lalu meraih tas kecilnya. “Aku akan pergi ke kantor suamiku,” pamit Maya.

“Baiklah Bu Maya. Aku harap Anda bisa menyelesaikan masalah pernikahan dengan Pak Rendra,” kata Fardian, lalu bangkit dan pamit pergi.

Maya juga bergegas pergi dengan motornya. Beberapa menit kemudian, sampailah ia di gedung berlantai 10 RSC milik keluarga Darmawan.

Dengan langkah lebar, Maya berjalan menuju kantor manajemen di lantai teratas gedung itu. Ia tidak sabar untuk menemui Rendra. Semalam suaminya tidak pulang dan saat ini ponselnya juga dimatikan.

Maya tiba di sebuah ruangan yang terletak di paling ujung. Ia membuka pintu besar itu, tapi lantas tertegun melihat Ambarlah yang duduk di kursi kerja milik suaminya.

Ibu mertuanya menatap tajam ke arah Maya yang bergeming di ambang pintu.

“Yang sopan Maya! Apa kamu tidak bisa mengetuk pintu?!” cetus Ambar dengan ekspresi mengeras.

“Aku ingin bertemu Mas Rendra, Bu. Kata staf, Mas Rendra ada di kantor.”

Ambar tersenyum miring, lalu menatap Maya dengan wajah penuh kemenangan.

“Kamu terlambat. Lima menit yang lalu Rendra sudah pergi ke bandara. Setengah jam lagi ia akan terbang ke Singapura.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status