Share

BAB 2 Menantu Idaman

Sepulang dari klinik, Maya melihat sang ibu mertua sedang duduk sambil menikmati sore di taman rumahnya yang sangat luas itu.

Ingin rasanya Maya bertanya, mengapa sang mertua memberinya pil kontrasepsi alih-alih vitamin sungguhan. Tapi niat itu diurungkan, percuma berdebat dengan ibu mertuanya yang memiliki kuasa atas semuanya di rumah ini.

Maya lantas menghampiri Ambar. “Apa perlu Maya buatkan camilan untuk menemani sore Ibu?” tanyanya, berusaha meredakan amarah dalam dadanya.

“Oh… kamu sudah pulang,” sahut Ambar acuh tak acuh. “Tidak usah, lebih baik kamu bantu Bi Siti memasak, nanti malam ada tamu spesial yang akan datang,” titah wanita itu.

“Baik, Bu.”

Maya bergegas menuju dapur untuk memenuhi perintah sang ibu mertua.

Sesampainya di dapur, Maya menatap lekat Bi Siti. Ia berpikir wanita yang berusia 40 tahunan itu juga ikut andil dalam rencana busuk Ambar.

“Bi... aku ingin tahu, vitamin apa yang diberikan Ibu padaku setiap malam?”

Siti tampak terkejut mendengar pertanyaan tiba-tiba itu. Sesaat ia gugup akan pertanyaan Maya.

“Sa-saya tidak tahu Non Maya. Saya hanya disuruh menyiapkan vitamin itu setiap malam,” kata Siti.

Maya hanya menghela napas berat. Ia tidak bisa menyalahkan asisten rumah tangga di depannya, wanita itu hanya bekerja pada Ambar, jadi pastilah ia menuruti perintah sang majikan.

Malam dengan semilir angin yang dingin sudah menyapa. Tepat pukul delapan malam, Rendra memarkirkan mobilnya di garasi.

Seperti biasa, Maya menungguinya di teras rumah. Dengan sigap Maya membawakan tas kerja Rendra.

“Mas, aku akan siapkan air hangat dan teh hangat, tunggulah sebentar,” ucap Maya seraya tersenyum.

“Kamu memang istri idaman May, tak salah aku memilihmu menjadi istriku,” ucap Rendra mencubit mesra hidung mancung Maya, dan wanita muda itu hanya mengulum senyum.

“Rendra, cepatlah mandi, dan segera turun. Malam ini akan ada tamu spesial,” titah Ambar pada putranya.

“Tamu, siapa Bu?” tanya Rendra menoleh ke arah Ambar yang sudah berpenampilan rapi.

“Nanti juga kamu akan tahu, sana cepat bersihkan dirimu,” suruh Ambar lagi.

Maya bergegas menuju kamar, menyiapkan air hangat untuk mandi suaminya dan sekaligus menyiapkan baju untuk suaminya.

“Kamu tahu, May, tamu yang dimaksud ibu?” tanya Rendra, seraya berjalan kamar mandi.

“Tidak tahu Mas, tadi aku diminta ibu masak spesial untuk menyambut tamu, mungkin teman ibu yang datang,” sahut Maya.

Setelah itu, Maya turun ke bawah untuk menyiapkan menu makan malam bersama Siti.

Bertepatan dengan menu yang sudah tertata rapi di atas meja, terdengar suara mobil yang berhenti di halaman depan.

“Maya, panggil suamimu, tamunya sudah datang!” perintah Ambar dengan binar wajah bahagia, lalu ia melangkah ke ruang depan untuk menyambut sang tamu yang sepertinya sangat spesial.

Maya pun bergegas memanggil sang suami untuk turun menyambut tamu spesial itu.

Seorang wanita bertubuh molek, dengan kulit putih susu yang halus, berjalan memasuki ruang makan. Ambar menyambutnya dengan ramah dan terlihat bahagia akan kedatangan wanita itu.

Sementara itu, Maya hanya diam menyaksikan pertemuan Rendra dengan tamu spesial ibu mertuanya dari ujung tangga di lantai dua.

“Halo, Arnia, jadi tamu spesial itu adalah dirimu,” sapa Rendra, lalu memberi pelukan singkat pada wanita muda bernama Arnia itu.

“Apa kabar Mas Rendra? Lama tak jumpa, aku dengar dirimu diam-diam sudah menikah?”

“Halah, jangan bicarakan pernikahan Rendra dengan wanita yang tak sederajat dengan kita. Lagipula, jika Rendra tak kunjung punya anak dari istrinya, mereka akan bercerai,” timpal Ambar dengan nada santai.

“Bu, rasanya kurang pantas membicarakan hal ini di hadapan Arnia,” sela Rendra tak suka.

“Kenapa? Arnia sudah kuanggap seperti putriku sendiri. Kalian begitu dekat dari SD hingga SMA, dan kami para orang tua sangat ingin menjodohkan kalian. Tapi takdir berkata lain, kamu dan Ayahmu membawa Maya dan memperkenalkannya sebagai istrimu,” kata Ambar terlihat kesal sekaligus kecewa.

Maya mendengar percakapan itu karena suara Ambar begitu lantang, seolah sengaja agar ucapannya tak luput dari sang menantu.

Wanita itu tampak sedih dan kecewa, masih berdiri di ujung tangga menatap ketiga orang yang mulai menikmati makan malam.

“Lalu di mana istrimu, Mas? Kenapa tidak ikut makan malam bersama kita?” tanya wanita cantik dengan rambut lurus sebahu itu.

“Aku akan panggil Maya,” jawab Rendra.

Baru saja Rendra akan bangkit dari duduknya, tangan Ambar menghentikanya.

“Tidak usah dipanggil. Dia mungkin capek, habis bantu Bi Siti di dapur, apa lagi Maya pasti tidak akan nyambung dengan pembicaraan kita,” kata Ambar.

Rendra yang enggan berdebat dengan ibunya di hadapan Arnia pun memilih untuk menuruti kemauan sang ibu. Ia kembali duduk dan tersenyum ke arah wanita yang berpenampilan elegan di sampingnya.

“Bagaimana kabarmu, Ar? Apa kuliah bisnis di Singapura telah selesai?” tanya Rendra mengubah arah pembicaraan.

“Satu bulan lagi akan wisuda, dan setelah itu aku diminta Papa untuk mengelola usaha kosmetik.”

“Wow, jabatan yang sangat mengesankan, Arnia. Tante bangga padamu. Brand kosmetikmu sudah terkenal di seluruh negeri ini. Dan juga masih tetap menarik konsumen di salah satu gerai Rajas Shopping Center, aku rasa kerjasama ini akan berlanjut,” kata Ambar yang terlihat begitu antusias.

“RSC juga makin berkembang di tangan Rendra,” puji Arnia sambil tersenyum manis.

“Jika aku pikir-pikir, kalian adalah pasangan yang sangat serasi.” Ambar menatap bergantian Rendra dan Arnia.

Arnia hanya tersenyum mendengar perkataan Ambar. Suara langkah kaki menuruni tangga membuat wanita yang berusia 25 tahun itu menatap wanita yang saat ini berjalan ke arah meja makan.

“Kenalkan saya Maya, istri Mas Rendra.” Maya mengulurkan tangan pada Arnia seraya tersenyum.

“Halo, saya Arnia, teman Rendra,” balas wanita yang mengenakan gaun sepanjang lutut itu seraya menyambut uluran tangan Maya.

Lalu Maya duduk di samping sang suami, dan itu membuat Ambar tidak senang.

“Aku pikir kamu istirahat karena kelelahan,” ucap Rendra pada Maya.

“Aku tidak mungkin tidak menyambut tamu spesial ibu. Iya ‘kan, Bu?” sahut Maya, menoleh pada Ambar.

“Sudahlah, kita selesaikan saja makan malam ini, setelah itu kita bisa berbincang ringan mengenai bisnis,” kata Ambar, tidak berusaha menutupi rasa tidak senangnya.

Malam semakin larut, Ambar dan Arnia tampak begitu akrab. Maya hanya menatap pilu dengan rasa kecewa yang dalam, menyaksikan ibu mertuanya yang selalu merendahkannya dan membandingkannya dengan Arnia. Sudah jelas mereka adalah dua sosok yang berbeda seperti bumi dan langit.

Tapi yang membuat Maya lebih sedih, Rendra terlihat menikmati pertemuannya dengan teman lamanya itu.

Akhirnya, perbincangan selesai, dan Arnia pun berpamitan pulang. Rendra mengantarkannya sampai di depan mobil, sedangkan Ambar berdiri di teras persis di samping Maya.

“Kamu lihat kan? Arnia adalah calon menantu yang aku idamkan untuk mendampingi Rendra,” kata Ambar sambil menatap Maya dengan senyum miring. “Jika kamu tidak hamil dalam waktu satu bulan ini, aku harap kamu tahu diri. Bercerailah dengan Rendra!” titah Ambar dengan nada sinis.

“Aku akan hamil,” sahut Maya dengan suara gemetar. “Aku akan melahirkan cucu untuk keluarga Dermawan,” katanya dengan sangat yakin.

Ambar melirik ke arah Maya. Senyum sinis di bibirnya semakin terlihat jelas.

“Menurutmu begitu?” kata Ambar, menatap Maya tajam. “Bagiku, kamu hanyalah parasit di rumah ini.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status