Pak Harry dan Raisa tersentak secara bersamaan begitu mendengarnya, mencerna dalam sepersekian detik.Kemudian, saling bertukar pandang satu sama lain, tengah menyamakan frequensi.Ruang tamu mendadak lengang. Raisa dan Pak Harry terdiam. Tengah memikirkan syarat yang diajukan oleh Pak Damar tersebut. Sementara Pak Damar menunggu keputusan mereka berdua sembari menenggak minuman di atas meja yang sedari tadi belum tersentuh sama sekali. Air minum itu terasa segar saat melewati tenggorokannya, sebab ia juga baru saja marah-marah, meluapkan emosi yang membuat energinya terkuras habis.Pak Damar yakin sekali jika Pak Harry setuju akan memberikan saham perusahaan miliknya sebesar 50 persen kepada dirinya. Ia sudah mendengar semua keluhan, keputusasaan dan ketidakmampuan mereka berdua dalam merebut hak mereka kembali dari tangan seseorang yang telah mengkhianati mereka. Pak Damar melihat hal itu sebagai peluang bisnis, bisa untuk menambah sumber penghasilan dan sekalian untuk memberi
Dion dan Dimas lalu menjelaskan apa yang harus dilakukan oleh Anggia. Memperjelas apa yang telah dijelaskan oleh Dimas sebelumnya.Anggia tersentak, sesekali keningnya berkerut, sesekali rahangnya mengeras, sesekali juga mengangguk-angguk. Anggia terdiam untuk beberapa saat setelah keduanya telah selesai menjelaskan. Selagi menunggu Anggia merespon, kedua orang itu kembali saling menenggak minuman di tangan masing-masing sambil menahan senyumnya. Sudah tidak sabar. "Orang itu kaya raya, Mbak Anggia. Kamu dan anakmu akan hidup bahagia nantinya kalau kamu berhasil meyakinkan lelaki itu!" Kata Dion. Mencoba mempengaruhi pikiran Anggia supaya mau diajak bekerja sama. "Dan selain itu, kamu juga akan mendapat bayaran yang tinggi dari kami berdua kalau kamu berhasil melaksanakan tugasmu dengan baik." Sambung Dimas setelah itu. Anggia menatap Dion dan Dimas bergantian, tapi tidak kunjung bersuara. Tiba-tiba rahang Anggia menggeras, tampak berpikir. Ia memperbaiki posisi duduk lebih
Aliando mengusap wajah dengan kasar, menatap lekat sang Ayah seraya berkacak pinggang."Kalau Ayah enggak tau caranya, enggak punya ide dan rencana sama sekali, kenapa Ayah sok-sok an bilang mau membantu merebut semua kekayaan Pak Harry dari tangan musuhnya?!" Aliando berseru kesal. Kemudian, Aliando menghembuskan napas berat, melanjutkan kalimatnya. "Ayah...dengarkan Al...yang akan Ayah hadapi itu...bukan orang sembarangan...mereka adalah kelompok mafia, Ayah! Sangat berbahaya!"Pak Damar balas menghela napas. Dia tahu itu. Ia juga tahu kalau tindakannya itu bisa dibilang bodoh. Ceroboh. Tapi ia sudah terlanjur. Sudah tidak bisa mundur lagi. Satu-satunya cara adalah dengan meminta bantuan kepada putranya. Apalagi putranya itu pernah membantu menyerang markas musuhnya Pak Harry dan berhasil mengalahkannya. Aliando yang sekarang sudah jadi orang yang berkuasa. Siapa yang berani menyinggungnya, mencari masalah dengannya, maka, tamat sudah riwayatnya! "Kan ada kamu, Al. Masak
"Emang aku udah enggak mau berhubungan sama mereka lagi, Nad seperti janjiku sama kamu --tapi kalau kali ini itu benar-benar idenya Ayah. Enggak ada hubungannya sama sekali sama aku." Jelas Aliando.Setelahnya harap-harap cemas karena tidak ingin emosi Nadine jadi meluap. Aliando menghela napas, kemudian melanjutkan kalimatnya. "Ayah udah terlanjur bilang seperti itu sama mereka, sayang dan Ayah meminta bantuan kepadaku karna Ayah tidak ada ide dan rencana sama sekali. Aku terpaksa mengiyakan mau membantu Ayah karna yang akan Ayah hadapi itu adalah kelompok mafia. Mereka sangat berbahaya, sayang. Ak-aku tidak mau Ayah kenapa-napa nantinya." Kata Aliando lagi. Suaranya melemah di ujung kalimat. Mata Nadine membeliak seketika itu. Menatap suaminya dan Pak Damar bergantian. Benar kah hal itu?Nadine menelan ludah, jadi ikutan mencemaskan Ayah mertuanya. Ia juga tidak mau jika terjadi sesuatu dengan Ayah mertuanya. "Iya. Itu benar, Nad. Benar apa yang barusan dikatakan oleh Alia
Mobil terus berdatangan silih berganti, berhenti di halaman rumahnya Rizal, mobil-mobil itu menurunkan para tukang pukul, yang kemudian langsung bergabung dengan para tukang pukul lainnya. Semangat Raisa langsung membara seketika itu tatkala melihat aktivitas yang sedang dilakukan oleh para tukang pukul -yang sedang melakukan persiapan untuk nanti malam.Raisa terkejut saat Ferdian, Heru dan Reza (mereka adalah anak buahnya yang tetap setia kepada Ayahnya dan dirinya) -datang dengan membawa pasukan.Tentu saja Raisa sangat senang. Ternyata mereka bertiga berhasil merekrut tambahan pasukan dan hal itu pasti akan menambah kekuatan. Mereka bertiga berkata kepada Raisa kalau tukang pukul yang mereka bawa itu adalah campuran dari tukang pukul sebelumnya (yang memilih setia) dan tukang pukul baru. Mendengar hal tersebut, membuat Raisa jadi sedikit terharu. Ternyata masih ada anak buahnya yang setia. Raisa dan Pak Harry merasa sudah cukup dengan pasukannya saat ini, kekuatannya suda
"Eh, pengkhianat. Aku menelfonmu itu bukan mau berbasa-basi denganmu. Aku menelfonmu itu karna mau memberitahu kalau malam ini --aku akan menyerangmu dan aku akan merebut kembali semua apa yang sudah kamu rebut dari kami sebelumnya!" Ucap Raisa dengan suara lantang. Kedua matanya menyala-nyala -memancarkan aura kemarahan. Namun ucapan Raisa malah mendapat sambutan gelak tawa di sebrang sana. Ucapan Raisa yang penuh percaya diri itu malah dianggap sebuah lelucon oleh Gading.Mendengar Gading yang malah tertawa, membuat Raisa jadi geram. Gading tidak percaya? Jika ia bisa melakukan hal itu?Raisa mendengus sebal, satu tangannya terkepal kuat. Namun Raisa tak sengaja melihat jika Ayahnya sedang memberi kode kepadanya, ia pun langsung melirik Ayahnya -yang seakan-akan menyuruh dirinya untuk jangan tersulut emosi.Raisa mengangguk, menurut. Kemudian, memejamkan matanya kuat-kuat, mencoba menekan amarahnya supaya tidak meledak-ledak saja detik ini juga. Ayahnya itu benar. Lebih baik
Sehabis menurunkan ponsel dari telinga, menyerahkanya kepada Raisa, Pak Harry menatap Raisa dan Pak Damar bergantian dengan wajah mengeras dan gigi gemeretak. Kedua tangannya terkepal kuat.Kilat tajam tampak menghiasi kedua matanya. Penuh dengan semangat yang berkobar. Mereka bertiga lalu kompak saling bertukar pandang satu sama lain, sebelum akhirnya saling balas mengangguk. Persiapan sudah selesai, tinggal briefing, setelah itu, mereka akan segera beraksi. Pandangan Pak Harry lalu beralih menatap Pak Damar. Ketegangan yang beberapa detik yang lalu tampak menguasai wajahnya kini secara perlahan mengendur, menghela napas lebih dulu, sebelum kemudian berkata. "Aku serahkan semuanya padamu, Pak Damar. Ingat. Kita --di sini sama-sama diuntungkan!" Pak Damar mangguk-mangguk. Mengerti. Kemudian, pandangan Pak Harry beralih kepada Raisa. Berpesan kepada putrinya itu untuk menjaga diri, berjanji pulang dalam keadaan baik-baik saja dan kalau bisa membawa kabar baik. Raisa mangguk-
Akan tetapi, setelah ia mencari info mengenai laki-laki itu lebih lanjut, ternyata dia hanya orang biasa. Bahkan, semua info yang dia dapatkan rata-rata menyebutkan bahwa laki-laki itu payah, dikatai sampah dan tidak berguna. Namun hal yang membuat Gading heran adalah kenapa waktu itu dia bisa datang bersama pasukan dan bodyguard terlatih? Bisa mengalahkan Pak Raka dan pasukannya? Itu sedikit aneh dan janggal menurutnya!Tangan kanan Gading menggeleng. "Tidak, Boss. Laki-laki bernama Aliando itu tidak ikut menyerang dengan pasukannya Nona Raisa kali ini. Tapi, justru, Ayahnya lah yang memimpin penyerangan itu secara langsung!" Kata tangan kanannya lagi. Gading memutar bola matanya -seketika.Kemudian, refleks menoleh, memastikan ia tidak salah dengar. "Apa? Malahan Ayahnya yang memimpin penyerangan itu secara langsung?!" Mulut Gading kontan ternganga sekilas. Tentu saja hal itu mengejutkannya. Tangan kanan Gading mengangguk. Membenarkan. Hal itu malah jadi semakin aneh. Ke
Melihat kedatangan anggota keluarga Sadewa, senyum dan tawa yang tengah menyertai obrolan diantara anggota keluarga Aryaprasaja mendadak pudar begitu saja. Detik berikutnya, tatapan mereka berubah sinis. Juga dingin. Di saat yang sama, terbit senyum penuh kemenangan di bibir mereka masing-masing. Rasakan pembalasan dari keluarga Aryaprasaja! Sementara Tuan Aryaprasaja mendengus dingin, ekspresi wajahnya buruk, entah kenapa, masih muak melihat melihat wajah-wajah anggota keluarga Sadewa. Akan tetapi, tiba-tiba ia menyeringai kala teringat keluarga mereka yang kini telah hancur! Dengan segala sisa-sisa tenaga, keberanian, Reno segera menjatuhkan diri di lantai diikuti yang lain setelahnya. Bersimpuh di hadapan Tuan Besar Arya dan Nyonya Kartika. "Tu ... tuan Aryaprasaja ... " ucap Reno dengan suara terbata selagi kepalanya tertunduk. "Ma ... maafkan keluarga kami karna selama ini keluarga kami telah berbuat jahat kepada Tuan Muda Aliando, kepada putra Anda ... kami mohon,
Setelah Aliando resmi diumumkan ke publik, Tuan Besar Aryaprasaja menggelar pesta besar-besar an. Pesta itu digelar sebagai bentuk rasa syukur dan bahagia atas anak laki-laki, satu-satunya keluarga mereka yang telah lama menghilang—yang tidak lain dan tidak bukan adalah Aliando—akhirnya ditemukan juga dan telah kembali ke keluarga mereka. Tuan Besar Aryaprasaja dan Nyonya Besar Kartika Sari juga ingin mengenalkan Aliando kepada semua kerabat, kolega dan kenalan mereka. Serta mengumumkan Aliando sebagai pewaris tunggal keluarga Aryaprasaja. Kerajaan bisnis keluarga Aryaprasaja. Juga sebagai Presiden Direktur perusahaan milik keluarga mereka yang baru. Tidak hanya Aliando saja yang akan dikenalkan, keluarga Aryaprasaja juga akan mengenalkan Nadine, sang istri sekaligus menantu mereka, yang kini resmi menjadi bagian dari keluarga mereka. Selain itu, untuk merayakan kebahagiaan atas hamilnya Nadine, yang mana, itu berarti mereka akan segera dikaruniai cucu. Anggota keluarga Arya
Tiba di ruangan Presiden Direktur perusahaan milik keluarga Aryaprasaja, semua anggota keluarga Sadewa kompak membelakakan mata saat melihat Aliando yang sedang duduk di kursi kebesarannya dengan balutan jas mahal nan elegan. Tampan sekali. Berbeda jauh dengan tampilan Aliando yang selama ini mereka kenal. Selama sesaat, tubuh mereka membeku di tempat. Mulut-mulut terbuka lebar, terpelongo. Jadi benar jika Aliando adalah Presiden Direktur Prasaja Group! Pewaris tunggal keluarga kaya raya—keluarga Aryaprasaja! Melihat kedatangan anggota keluarga Sadewa, Aliando tersenyum kecut di kursi, lalu bangkit dari tempat duduk, keluar dari tempat kerjanya. Berjalan mendekat ke arah mereka dengan santai dan penuh wibawa. Nadine yang sedang duduk di sofa tengah menyesap teh, segera meletakan teh di atas meja, lantas berdiri dan ikutan berjalan mendekat ke arah anggota keluarganya. Melihat Aliando tampak sedang berjalan menghampiri mereka, membuat semua anggota keluarga Sadewa tersada
Reno dan Mayang yang sedang sarapan langsung tidak selera melanjutkan sarapannya setelah mengetahui bahwa Aliando beneran anaknya Tuan Besar Aryaprasaja dan Nyonya Besar Kartika Sari. Keluarga konglomerat di Jakarta. Salah satu keluarga terkaya di Indonesia. Pemilik Prasaja Group—perusahaan multinasional terbesar di negara ini. Raut muka mereka berdua langsung memancarkan aura ketakutan luar biasa. Pun pucat pasi bak mayat hidup. Di saat bersamaan, jantung mereka berdua berdetak kencang. Keringat dingin membahasi wajah mereka masing-masing. Sebab teringat akan kejahatan yang pernah mereka lakukan dulu kepada Aliando. Dalam waktu lama, mereka berdua membeku di tempat duduk masing-masing. Tengah mencerna fakta gila yang baru saja mereka berdua ketahui. Walau sebelumnya mereka sudah menduga, menebak, menerka-nerka bahwa kemungkinannya Aliando adalah putra tunggal dari pasangan salah satu keluarga terkaya di Indonesia itu, begitu tebakan mereka seratus persen benar, mere
Terduduk di kursi ruangan rapat gedung kantor perusahan keluarga Sadewa, tampilan sang presdir itu kini benar-benar kacau. "Ini ... pasti perbuatan keluarga aslinya suamimu, 'kan, Nad? Mereka yang telah membuat perusahaan kita bangkrut?" tebak Reno. Suara dan bibirnya bergetar. Pun melemah di ujung kalimat. Serta dengan pandangan lurus ke depan, kentara lemas tak berdaya. Sementara semua peserta rapat sudah keluar dari ruangan tersebut, menyisakan dirinya, Nadine dan Arjuna. Reno tidak bisa menyelamatkan perusahaannya. Benar-benar telah bangkrut. Hancur lebur dalam sekejab! Nadine menoleh dan menatap sang paman diikuti Arjuna setelahnya. Akan tetapi, mereka berdua tidak langsung menjawab, terdiam untuk beberapa saat. Setelah menghembuskan napas berat, Nadine mengangguk pelan. Membenarkan. Alhasil, ekspresi wajah Reno langsung berubah murung. Seketika lemas sejadi-jadinya. Di titik ini, Reno menyadari kesalahan dan kejahatannya yang pernah ia perbuat kepada Aliando.
Di dalam kamar, Aliando dan Nadine terlihat sedang bersiap hendak tidur. "Aku mau memberitahu sesuatu sama kamu, sayang." Ucap Aliando dengan punggung bersandar pada tepi ranjang. Setelah mengatakan hal itu, pandangan pria tampan itu yang sebelumnya menatap lurus ke depan, berganti menoleh ke arah sang istri di sampingnya. Nadine yang sedang memposisikan diri di ranjang seketika balas menoleh. "Soal apa, Mas?" tanya Nadine setelah terdiam sebentar, lantas ikutan menyenderkan punggung ke tepi ranjang. Aliando menghela napas lebih dulu sebelum kemudian melanjutkan bicara. "Tapi aku mohon sama kamu untuk enggak menjadikan bahan pikiran dengan apa yang akan aku katakan ini sama kamu, ya, sayang karena kamu dan kedua orang tuamu enggak akan dibawa-bawa, enggak akan menjadi target, kalian adalah pengecualian. Okay?" Lipatan di kening Nadine semakin bertambah. Ia dan kedua orang tuanya tidak akan dibawa-bawa? Tidak akan menjadi target? Adalah pengecualian? Nadine mencerna perk
Pukul empat sore, mobil yang ditumpangi Aliando dan Nadine berhenti di depan halaman rumah mereka. Di dalam mobil, mereka melihat ada mobil yang tak asing terparkir di halaman rumah. Itu adalah mobilnya Lidya. Aliando dan Nadine sudah tahu jika kakaknya itu datang ke rumah sore ini karena Lidya memberitahu Nadine sebelumnya. Ditambah mendapat laporan dari satpam rumah pula. Akan tetapi, Nadine tidak tahu apa tujuan sang kakak ke rumahnya. Lidya tidak memberitahukannya di telepon. Namun keduanya menduga jika Lidya hendak memohon supaya sang suami dibebaskan dari penjara, memohon supaya keduanya mencabut laporannya. Lalu, keduanya turun dari mobil, segera membawa langkahnya masuk ke dalam rumah setelah sebelumnya satpam rumah sempat melapor perihal kedatangan Lidya. Tiba di ruang tamu, Aliando dan Nadine langsung disambut Lidya dan kedua anaknya. Melihat kedatangan Aliando dan Nadine, mereka bertiga refleks berdiri. "Al ... Nadine ... " panggil Lidya dengan suara lirih, me
Pagi hari. Di rumah keluarga Aryprasaja ruangan kerja sang kepala keluarga... Tampak Pak Irawan memasuki ruangan tersebut, berjalan mendekat ke arah Tuan Besar Arya yang saat ini sedang duduk di kursi meja kerjanya. Beberapa menit yang lalu, ia mendapat pesan dari Tuan Besar Arya yang menyuruhnya untuk datang ke rumahnya. Sepertinya ada hal penting yang mau dibicarakan atau ada tugas yang akan diberikan kepadanya. Tiba di hadapan sang Tuan Besarnya, Pak Irawan langsung membungkukan badan dengan hormat lebih dulu sebelum kemudian menegapkan tubuhnya kembali. Kemudian, Tuan Besar Arya menyuruh Pak Irawan untuk duduk. Mendapati hal itu, Pak Irawan pun segera menjatuhkan diri di kursi dihadapan sang tuan besar dan duduk di sana. Memperbaiki posisi duduk lebih dulu, telah siap mendengarkan apa yang akan dikatakan oleh majikannya itu. Tuan Besar Arya menatap Pak Irawan untuk beberapa saat sebelum kemudian menarik punggung dari sandaran kursi. Di saat bersamaan, rahangnya men
"Asal Kak Lidya tau aja ya ... aku itu masih kecewa sama Kakak karna tindakan Kakak yang waktu itu enggak langsung memihakku ... dan tindakan Kakak waktu itu ... keputusan Kakak waktu itu ... menandakan ... kalau Kakak sepertinya senang melihat aku dan Mas Al ribut." Lidya buru-buru menggeleng dengan isak tangis yang terdengar semakin keras begitu mendengar hal itu, kini ia benar-benar menyesal dengan tindakannya waktu di pesta itu. Seharusnya ia bersikap semestinya. Bukannya malah ikut mengompor-ngompori. Selagi Lidya bungkam, Nadine lanjut berkata. "Dan soal masalah yang sedang terjadi ... semua keputusan ada di tangan Mas Al."Mendengar itu, semua orang langsung memasang wajah tak berdaya. Begitu juga dengan Lidya. "Kami akan melakukan apa saja, Al ... asalkan kamu mau memaafkan Dion dan Dimas ... asalkan kamu mau mencabut tuntutanmu." Reno kembali bersuara setelah agak lama terdiam. Ternyata dia belum menyerah juga. Aliando menoleh dan menatap Reno. Tertarik mendengar ucapa