Di perjalanan hendak pulang, Diam masih terus menangis memikirkan Citra. Wanita itu tak menyangka akan merasakan kehilangan saat mengantar anaknya mondok."Sudahlah sayang, doakan saja biar Citra sehat dan bisa belajar dengan baik di sana," kata Rian. Jauh dalam hatinya lelaki yang tengah menyetir itu merasakan hal yang sama, hanya saja ia lebih bisa menutupi perasaannya."Iya Mas," balas Dian sembari memaksakan senyum. Sementara Syadea yang tengah duduk di samping Hasna itu tetap anteng sambil senyum-senyum kecil. Menyadari gelagat cucunya, Hasna lantas bertanya."Syadea kenapa? Kok senyum-senyum?" tanya Hasna sembari mengerutkan dahi."Aku pengen cepat sampe, Oma. Setelah aku pikir-pikir kayaknya asyik gak ada Kak Citra, selain aku bisa pakai baju-bajunya, aku juga gak mesti rebutan apapun lagi," jawab Syadea antusias, sementara Hasna hanya tersenyum kecil mendengar jawaban polos cucunya."Seminggu pertama mungkin senang, tapi Oma yakin hari berikutnya kamu pasti kehilangan," timpal
Di sepanjang perjalanan saat mengikuti suaminya, hati Nengsih semakin gusar. Wanita itu menakutkan kedua tangan dengan jantung berdebar-debar.'Ya Rabb, semoga semua firasatku salah.'Nengsih berdoa dalam hati, ia tak ingin pernikahan yang sudah dijalani lama itu berakhir dengan pengkhianatan. Selama ini, ia merasa hidup dengan seorang pangeran setia yang rasanya mustahil akan khianat."Pak, lebih cepat sedikit ya."Nengsih meminta sopir taksi untuk mempercepat laju kendaraan agar tak kehilangan gerak suaminya."Iya, Bu." Sopir itu mengangguk kemudian menaikkan kecepatan kendaraan yang dikemudikannya.Hati Nengsih semakin tak karuan saat melihat mobil Beni berbelok ke arah lain. Padahal, arah kantornya masih lurus. Hati wanita itu semakin gusar, kecurigaan membuat pikirannya kacau.Jantungnya berpacu semakin cepat saat mobil Beni memasuki gerbang sebuah perumahan bersubsidi. Dahi Nengsih mengerut, meskipun dulu ia orang miskin yang tidak mempunyai apa-apa, tetapi setelah hidup dengan
Tanpa menyia-nyiakan waktu, Beni dan semua orang yang berada di sana bergegas ke rumah sakit. Meskipun hatinya tercabik nyeri, tetapi Nengsih ikut bersama mereka ke rumah sakit untuk memantau kondisi anak yang membuat hatinya terluka."Pak, ini uangnya, maaf saya pergi sama mereka," kata Nengsih sambil memberikan uang ongkos beserta tip dua kali lipat dari tarif karena sopir sudah menunggu."Ayo masuk sayang," titah Radit pada istrinya.Tiara yang berjalan dari arah belakang mobil hendak memasuki pintu samping kemudi, tetapi ia urung dan pindah saat melihat Nengsih langsung duduk di samping suaminya. Akhirnya Tiara dan ibunya memilih duduk di kursi belakang. Bagi mereka saat ini adalah keselamatan Syafia.Di perjalanan, semua yang ada di mobil membisu, hanya sesekali tangisan Syafia terdengar kian nyaring. Beni yang sudah ingin menjelaskan tentang semua yang terjadi pada sang istri terpaksa ditunda demi keselamatan Syafia.Sesampainya di rumah sakit, Bayi mungil nan cantik itu langsun
Dua bulan yang lalu ...."Iya, ini aku lagi perjalanan ke hotel. Kamu jaga diri di rumah ya, mungkin lusa aku pulang dari Bandung, kebetulan besok aku masih ada seminar di salah satu kampus, terus malamnya aku ada perlu dulu sama teman, aku titip anak-anak, love you," kata Beni pada istrinya melalui saluran telepon.Setelah panggilan terputus, lelaki yang tengah mengemudi itu menaruh kembali ponselnya di saku. Malam sudah semakin larut, tetapi ia masih di perjalanan, terlebih jalan yang dilalui adalah area perkampungan karena hari ini ia mempunyai klien seorang juragan di sana. Karena satu dan lain hal akhirnya ia kemalaman di jalan.Beni memacu laju kendaraannya karena hari sudah sangat sepi. Ia ingin sampai di hotel sesegera mungkin karena tubuhnya sudah lelah beraktivitas seharian di kota kembang itu.Tepat di sebuah jembatan, tiba-tiba saja lelaki yang tengah mengemudi dengan kecepatan tinggi itu melihat seorang wanita dengan perut besar hendak melompat.Beni gegas menghentikan la
"Kamu tahu? Kalau nilai terus seperti ini, poin kamu buat ikut ujian kenaikan kelas gak akan mencukupi!"Suara Farel penuh penegasan, ia sangat ambisius sehingga seluruh siswa harus mengerti dengan mata pelajarannya. Biasanya para siswa dan siswi akan takut mendengar suara guru yang satu itu ketika marah, tetapi berbeda dengan Syadea, ia justru suka karena semakin Farel menampakkan wajah kesal, lelaki itu semakin manis dan membuatnya terpesona.Seperti sekarang, bukannya menyesal--gadis itu malah senyum-senyum sendiri sambil terus memperhatikan wajah gurunya."Syadea! Kamu dengar gak?" tanya Farel dengan suara meninggi, ia kesal karena muridnya yang satu itu sangat bebal, kali ini suaranya berhasil membuat Syadea tersentak."Eh iya, m_maaaf Pak, kasih saya kesempatan, besok-besok saya belajar yang rajin," jawab Syadea dengan menampakkan raut sesal."Ya sudah, sore ini sepulang sekolah kamu harus ikut kelas tambahan di rumah saya!"Farel yang terkenal dingin dan killer itu langsung ber
"Ya sudah, mungkin Maira sibuk."Radit menyisir pandangan ke sekitar, tetapi tak ia temukan Maira di sana. Padahal sudah berkali-kali Maira dipanggil, tetapi gadis itu tak kunjung datang dengan berbagai alasan. Jauh dalam hati, Radit merasakan ada sesuatu yang beda dari putri sambungnya, tetapi lelaki itu berusaha berpikiran positif."Ya sudah, Papa sama Mama Firda hati-hati, ya. Nanti Citra sampein ke Maira," jawab Citra sambil menggenggam barang titipan ayahnya untuk sang sepupu.Setelah ayah dan ibu sambungnya pergi, Citra gegas mencari Maira di kelas, tetapi ia tak menemukan Maira di sana. Citra mencari di asrama, tetapi tak juga ditemukan. Hati gadis itu gelisah, ia merasa ada sesuatu hal yang mungkin sedang dirasakan sepupunya.Langkah Citra membawanya ke belakang sekolah, mata gadis itu terbelalak saat melihat Maira tengah menangis sambil menciumi foto Raya.Citra yang mulai mengerti dengan apa yang dirasakan Maira pun berjalan perlahan menghampiri saudaranya."Ma, aku kangen M
"Dian, Syadea mana kok belum pulang?" tanya Hasna pada anaknya. Wanita yang baru saja pulang dari rumah Indira itu langsung mencari sang cucu, tetapi ia tak menemukan adiknya Citra di manapun."Katanya tadi ada kelas tambahan, tadi gurunya nelpon aku, Bu," jawab Dian yang tengah memainkan ponselnya kemudian menaruh sejenak gadget dalam genggamannya ke atas meja."Oh, terus dia pulang sama siapa?" tanya Hasna lagi."Sama gurunya, tadi bilang mau diantar," balas Dian sambil menatap Hasna yang semakin tua dan rambutnya telah memutih itu."Gurunya laki-laki atau perempuan? Terus orangnya bisa dipercaya enggak?" Hasna memberondong anaknya dengan pertanyaan saking khawatir pada Syadea."Laki-laki, InsyaAllah baik kok, Bu, gak usah berpikiran macam-macam," timpal Dian sambil tersenyum."Ibu cuma takut aja, Nak," sahut Hasna kemudian duduk di samping putrinya."Iya, Dian ngerti kok, Bu." Dian tersenyum haru menatap wajah sang ibunda."Tadi ibu ketemu sama Mega di rumah Indira, katanya dia tit
"Oh ...."Syadea hanya membulatkan bibirnya, tetapi sorot mata gadis itu tak mampu berbohong kalau ia merasa sakit dengan perkataan ibu dan neneknya. Hanya saja Dian yang tengah tertawa itu kurang sadar dengan reaksi wajah anak keduanya."Ya sudah, kamu makan dulu ya, Mama tadi masak makanan kesukaan kamu," titah Dian."Aku udah makan Ma, kebetulan tadi di sana ditawari makan juga, kalau gitu aku masuk kamar dulu, ya." Syadea bangkit kemudian berlalu dengan wajah lesu.Melihat raut tak biasa dari wajah putrinya, Dian lantas merasa aneh. Namun, wanita itu berpikir anaknya kelelahan karena belajar seharian."Ya sudah, habis itu istirahat ya," titah Dian pada putrinya.Sesampainya di kamar, Syadea langsung menjatuhkan tubuh ke atas kasur sambil menangis. Ia tak mengerti kenapa hanya dengan kalimat sederhana itu hatinya seperti tertusuk."Ya Tuhan, apa ini yang namanya patah hati?" bisik Syadea sembari membenamkan wajahnya ke bantal dalam-dalam.Kata-kata Hasna tentang perjodohan Citra de
"Sayang."Beni menghampiri Nengsih yang masih tersedu-sedu. Air mata wanita itu sulit terhenti. Hatinya masih saja nyeri membayangkan masalah yang menimpa keluarganya."Hmmm."Nengsih hanya berdehem, setelah jarak suaminya dekat, ia pun justru mengalihkan pandangan. Kondisi mood sedang buruk lantaran tengah premenstrual syndrom. Sehingga, hormonnya sangat berpengaruh terhadap masalah yang tengah dihadapi.Biasanya, Nengsih akan berpikir rasional. Namun, entah mengapa kali ini seakan-akan ia membenarkan ucapan Abizar bahwa semua yang terjadi antara keluarganya dengan keluarga Tiara disebabkan oleh pengkhianatan suaminya.Beni yang lelah, lantas mencoba diam, lelaki itu mencerna sikap istrinya kemudian instrospeksi diri. Namun, setelah diperhatikan sekian lama ia baru peka bahwa istrinya tengah mengalami mood swing. Sehingga, ia memeluk istrinya dari belakang, tak peduli Nengsih mengamuk, ia hanya ingin menunjukkan bahwa dirinya sangat mencintai sang istri dibandingkan orang lain."Apaa
"Ya udah, sambil nunggu Kak Citra masuk aja dulu, yuk."Kedua insan itu lantas masuk ke rumah Dian. Di dalam, Abizar langsung disambut hangat oleh Dian."Abizar, apa kabar?" tanya Dian begitu pandangannya bersitatap dengan putra kedua Beni."Alhamdulillah, aku sehat Tante, Tante Dian apa kabar?"Abizar meraih tangan Dian lalu menciumnya takzim. Lelaki itu kemudian duduk di sofa, sementara Syadea pergi ke dapur untuk mengambilkan jamuan untuk sahabatnya."Katanya mau berangkat siang, ini masih pagi, lho," ujar Dian, ia menoleh ke arah jam dinding yang baru menunjukkan pukul sembilan.Belum sempat Abizar menjawab, Syadea yang baru kembali dari dapur sembari membawa air dan kudapan itu menyahut."Biasa Ma, dia gak sabar," ujar Syadea dengan menaikkan sebelah alisnya.Dian tersenyum, wanita itu kemudian menganggukkan kepala dan pergi ke halaman rumah untuk mengurus semua tanaman hias kesayangannya.Setelah Dian berlalu, wajah Abizar kembali pias kala mengingat sang ayah. Rasa kecewa kemba
Beni mengejar istrinya yang tengah dikuasai emosi. Lelaki itu tahu betul bukan seperti ini karakter Nengsih. Namun, ia pun memaklumi apa yang dirasakan sang istri."Sayang, tunggu!"Beni menyeru istrinya yang baru saja membuka pintu kamar. Sedangkan Nengsih yang baru saja memutar kenop pintu itu menghentikan langkahnya sejenak. Wanita itu terisak, kemudian menyeka air mata yang berkejaran di pipinya.Melihat butiran kristal yang terus meluruh dari manik belahan jiwanya, Beni lantas memeluk sang istri erat. Ia tak mengatakan apapun meski ada yang ingin dikatakan.Beni memilih untuk membiarkan Nengsih mengekspresikan perasaannya. Sedih, marah, kecewa adalah rasa yang sangat manusiawi. Sebaik apapun sang istri, lelaki itu sadar wanitanya bukanlah malaikat. Sama seperti dirinya, kendatipun sudah berusaha menjadi orang baik, tetap saja ia selalu melakukan kesalahan."Mungkin benar kata Abizar, aku yang membuat semua jadi begini, andai aku gak menikahi Tiara untuk membantunya, andai aku jug
Mendengar kalimat yang dilontarkan oleh Asih, Beni dan istrinya lantas saling pandang. kedua insan itu mengerutkan dahi sebab rasa penasaran."Maksud Bu Asih?" tanya Nengsih tak mengerti.Begitupun dengan Beni, ia menatap mata mantan mertuanya penuh selidik. Entah, lelaki itu merasa ada makna tersirat dari kalimat yang diucapkan oleh Asih.Tak langsung menjawab, Asih justru menangis semakin kencang hingga membuat Abizar yang sebelumnya tak peduli dengan tamu kedua orang tuanya pun ikut menghampiri."Ma, Pa, ada apa?" tanya Abizar setengah berlari, ia takut ada orang kesurupan di rumahnya mengingat sang ibu pernah diganggu makhluk halus."Ssst, gak ada apa-apa," jawab Beni dengan meletakkan jari telunjuk di bibirnya.Namun, bukannya pergi, Abizar justru tertarik ingin mendengar obrolan mereka. Sehingga, lelaki kelas tiga sekolah menengah atas itu duduk di kursi lainnya yang kosong.Asih yang tengah menangis tak memedulikan kehadiran putra Beni, ia tak lagi malu untuk mengemis maaf."Be
Alarm berbunyi di pukul empat pagi. Sehingga, membuat Citra dan suaminya terperanjat. Boy yang masih merasa lelah itupun meraih ponsel di atas meja, kemudian ia mematikan alarmnya. Namun, bukannya bangkit, lelaki itu justru merebahkan lagi kepalanya ke atas bantal."Kok tidur lagi?"Citra yang juga terbangun karena mendengar alarm lantas menoleh ke arah suaminya. Tubuh keduanya masih polos dan hanya ditutupi oleh selimut saja."Masih ngantuk," jawab Boy dengan suara parau. Matanya seakan-akan sulit terbuka karena rasa lelahnya."Ish, bangun yuk, sebentar lagi kan subuh," ajak Citra.Wanita yang baru saja melepas kegadisannya itu bangkit kemudian duduk di samping Boy, ia menutup dadanya dengan selimut yang dikenakan."Hufft, ayo."Meskipun masih terasa lelah karena pertarungan semalam, tetapi Boy masih selalu ingat dengan kewajibannya. Kendatipun mengantuk dan kerap dihantui rasa malas, tetapi ia selalu bangun untuk bersih-bersih sebelum subuh.Lelaki itu lantas ikut bangkit lalu menci
"Kamu siap, gak?" tanya Boy.Lelaki itu berbisik di daun telinga sang istri dengan suara lembut dan berat. Sementara Citra hanya mengangguk dengan wajah tersipu."Tapi kita harus berdoa dulu," ujar Citra.Ia hampir tak berani melihat mata suaminya sebab malu, takut dan gelisah terus menghantuinya. Namun, tak dipungkiri ia pun sangat menginginkan malam ini."Iya, aku tahu, yuk kita berdoa dulu," jawab Boy.Keduanya saling melempar senyum, kemudian melafalkan doa sebelum berhubungan. Keduanya berharap semoga setelah malam ini akan lahir keturunan yang sholeh dan sholehah.Namun, setelah berdoa keduanya justru merasa kaku dan malu. Citra bingung begitupun Boy, sehingga lelaki dengan janggut tipis itu menggaruk-garuk kepala sebab salah tingkah yang membuat keduanya tertawa.Tak ingin gagal, Boy yang sangat senang dengan bibir istrinya lantas kembali melabuhkannya di sana. Pun Citra, ia sudah merasa terbiasa sehingga tak lagi malu seperti saat pertama menikah.Lama Boy memainkan bibirnya d
"Aku sakit karena membaca surat kamu sama Maira," jawab Citra, bukannya sedih, gadis itu justru tertawa mengingat kekonyolannya. Namun, tidak bagi Boy, ia justru semakin merasa bersalah dan menyadari betapa besar cinta sang istri padanya."Iya kah?" tanya Boy."Iya, kamu tahu gak, kamu adalah orang pertama yang aku cintai."Citra melanjutkan perjalanan, sementara Boy terus menatapnya dengan perasaan kagum juga bahagia."Aku berasa terbang karena dicintai begitu dalam," jawab Boy sembari tertawa. Lelaki itupun meraih kembali jemari Citra dan menuntunnya keluar dari area makam.Setelah sampai di parkiran, Boy meraih helm dan membantu Citra mengenakannya."Aku juga bisa pakai sendiri," tolak Citra, tetapi tak dipungkiri hatinya meleleh dengan perlakuan Boy yang begitu manis."Gak apa-apa, kamu cantik kalau pakai helm," puji Boy sembari menepuk-nepuk benda penutup kepala itu lembut."Ya sudah, sekarang kita cari masjid dulu yuk, habis itu kita makan, aku laper," ajak Citra."Ayok," balas
"Kak Farel, ada Oma sama Opa."Maira berbisik di telinga suaminya. Ia malu sebab ketahuan bermesraan di dapur. Sehingga, keduanya yang tengah berhadapan dengan jarak yang sangat dekat itu lantas menjauh."Gak usah malu, justru kita senang ya, Mas," ujar Indira pada suaminya.kedua pasangan berusia lanjut itu saling melempar senyum. Indira tanpa ragu menggandeng lengan suaminya di hadapan pengantin baru itu."Iya, gak apa-apa, jangan kalah sama kita yang udah tua," sahut Adi sembari tertawa kemudian berlalu meninggalkan Maira dan suaminya di sana.Saat langkah Adi menjauh, Farel masih tersenyum lebar. Ia sangat bahagia karena melihat keromantisan nenek dan kakek Maira meski sudah berusia lanjut."Oma sama Opa romantis banget, ya. Pasti dulu mereka saling mencintai," puji Farel saat kedua orang yang merawat istrinya pergi."Enggak, justru di masa lalu mereka pernah bercerai. Bahkan, kehadiran Mama pun belum bisa membuat Oma mencintai suaminya," balas Maira."Yang benar?"Farel terkejut,
Di rumah Indira, Maira tengah memasak untuk sarapan. Sementara nenek dan kakeknya tengah berjalan-jalan pagi. Mereka sadar sudah tak muda lagi dan harus memerhatikan kesehatan agar tak menjadi pesakitan."Masak apa?"Farel yang baru saja keluar kamar itu menghampiri sang istri, ia memeluk Maira dari belakang sehingga membuat istrinya sedikit terkejut."Eh, aku masak nasi goreng buat sarapan," jawab Maira.Wanita itu membiarkan tangan suaminya melingkar di pinggang. Sehingga, Maira bisa merasakan kehangatan di punggungnya yang menempel dengan dada Farel."Baunya enak," puji Farel.Melihat rambut Maira yang diikat ke belakang dan menampilkan leher jenjang membuat kecantikan wanita itu kian paripurna. Sehingga, membuat Farel semakin senang bermanja-manja dengannya."Oh ya, hari ini mau temani aku ke kantor, enggak?" tanya Maira.Saat libur kuliah, ia memang sering menghabiskan waktu untuk mengurus perusahaan Mega. Maira yang memang mengambil jurusan manajemen dan administrasi bisnis itu