Dua bulan yang lalu ...."Iya, ini aku lagi perjalanan ke hotel. Kamu jaga diri di rumah ya, mungkin lusa aku pulang dari Bandung, kebetulan besok aku masih ada seminar di salah satu kampus, terus malamnya aku ada perlu dulu sama teman, aku titip anak-anak, love you," kata Beni pada istrinya melalui saluran telepon.Setelah panggilan terputus, lelaki yang tengah mengemudi itu menaruh kembali ponselnya di saku. Malam sudah semakin larut, tetapi ia masih di perjalanan, terlebih jalan yang dilalui adalah area perkampungan karena hari ini ia mempunyai klien seorang juragan di sana. Karena satu dan lain hal akhirnya ia kemalaman di jalan.Beni memacu laju kendaraannya karena hari sudah sangat sepi. Ia ingin sampai di hotel sesegera mungkin karena tubuhnya sudah lelah beraktivitas seharian di kota kembang itu.Tepat di sebuah jembatan, tiba-tiba saja lelaki yang tengah mengemudi dengan kecepatan tinggi itu melihat seorang wanita dengan perut besar hendak melompat.Beni gegas menghentikan la
"Kamu tahu? Kalau nilai terus seperti ini, poin kamu buat ikut ujian kenaikan kelas gak akan mencukupi!"Suara Farel penuh penegasan, ia sangat ambisius sehingga seluruh siswa harus mengerti dengan mata pelajarannya. Biasanya para siswa dan siswi akan takut mendengar suara guru yang satu itu ketika marah, tetapi berbeda dengan Syadea, ia justru suka karena semakin Farel menampakkan wajah kesal, lelaki itu semakin manis dan membuatnya terpesona.Seperti sekarang, bukannya menyesal--gadis itu malah senyum-senyum sendiri sambil terus memperhatikan wajah gurunya."Syadea! Kamu dengar gak?" tanya Farel dengan suara meninggi, ia kesal karena muridnya yang satu itu sangat bebal, kali ini suaranya berhasil membuat Syadea tersentak."Eh iya, m_maaaf Pak, kasih saya kesempatan, besok-besok saya belajar yang rajin," jawab Syadea dengan menampakkan raut sesal."Ya sudah, sore ini sepulang sekolah kamu harus ikut kelas tambahan di rumah saya!"Farel yang terkenal dingin dan killer itu langsung ber
"Ya sudah, mungkin Maira sibuk."Radit menyisir pandangan ke sekitar, tetapi tak ia temukan Maira di sana. Padahal sudah berkali-kali Maira dipanggil, tetapi gadis itu tak kunjung datang dengan berbagai alasan. Jauh dalam hati, Radit merasakan ada sesuatu yang beda dari putri sambungnya, tetapi lelaki itu berusaha berpikiran positif."Ya sudah, Papa sama Mama Firda hati-hati, ya. Nanti Citra sampein ke Maira," jawab Citra sambil menggenggam barang titipan ayahnya untuk sang sepupu.Setelah ayah dan ibu sambungnya pergi, Citra gegas mencari Maira di kelas, tetapi ia tak menemukan Maira di sana. Citra mencari di asrama, tetapi tak juga ditemukan. Hati gadis itu gelisah, ia merasa ada sesuatu hal yang mungkin sedang dirasakan sepupunya.Langkah Citra membawanya ke belakang sekolah, mata gadis itu terbelalak saat melihat Maira tengah menangis sambil menciumi foto Raya.Citra yang mulai mengerti dengan apa yang dirasakan Maira pun berjalan perlahan menghampiri saudaranya."Ma, aku kangen M
"Dian, Syadea mana kok belum pulang?" tanya Hasna pada anaknya. Wanita yang baru saja pulang dari rumah Indira itu langsung mencari sang cucu, tetapi ia tak menemukan adiknya Citra di manapun."Katanya tadi ada kelas tambahan, tadi gurunya nelpon aku, Bu," jawab Dian yang tengah memainkan ponselnya kemudian menaruh sejenak gadget dalam genggamannya ke atas meja."Oh, terus dia pulang sama siapa?" tanya Hasna lagi."Sama gurunya, tadi bilang mau diantar," balas Dian sambil menatap Hasna yang semakin tua dan rambutnya telah memutih itu."Gurunya laki-laki atau perempuan? Terus orangnya bisa dipercaya enggak?" Hasna memberondong anaknya dengan pertanyaan saking khawatir pada Syadea."Laki-laki, InsyaAllah baik kok, Bu, gak usah berpikiran macam-macam," timpal Dian sambil tersenyum."Ibu cuma takut aja, Nak," sahut Hasna kemudian duduk di samping putrinya."Iya, Dian ngerti kok, Bu." Dian tersenyum haru menatap wajah sang ibunda."Tadi ibu ketemu sama Mega di rumah Indira, katanya dia tit
"Oh ...."Syadea hanya membulatkan bibirnya, tetapi sorot mata gadis itu tak mampu berbohong kalau ia merasa sakit dengan perkataan ibu dan neneknya. Hanya saja Dian yang tengah tertawa itu kurang sadar dengan reaksi wajah anak keduanya."Ya sudah, kamu makan dulu ya, Mama tadi masak makanan kesukaan kamu," titah Dian."Aku udah makan Ma, kebetulan tadi di sana ditawari makan juga, kalau gitu aku masuk kamar dulu, ya." Syadea bangkit kemudian berlalu dengan wajah lesu.Melihat raut tak biasa dari wajah putrinya, Dian lantas merasa aneh. Namun, wanita itu berpikir anaknya kelelahan karena belajar seharian."Ya sudah, habis itu istirahat ya," titah Dian pada putrinya.Sesampainya di kamar, Syadea langsung menjatuhkan tubuh ke atas kasur sambil menangis. Ia tak mengerti kenapa hanya dengan kalimat sederhana itu hatinya seperti tertusuk."Ya Tuhan, apa ini yang namanya patah hati?" bisik Syadea sembari membenamkan wajahnya ke bantal dalam-dalam.Kata-kata Hasna tentang perjodohan Citra de
"Selamat pagi, Pak."Farel yang masih tergugu itu kembali disapa oleh seorang wanita yang juga merupakan guru di sekolah tempatnya mengajar."Pagi, Bu." Farel hanya menjawab sapaan itu datar.Sementara Syadea tetap berjalan menuju kelas, hatinya terasa ngilu saat melewati Farel begitu saja. Namun, entah kenapa perkataan ibu dan neneknya terus berkelindan di kepalanya.Setelah jam pelajaran dimulai, Syadea pun tak bisa fokus dengan mata pelajaran yang diterimanya. Ia merasa kesal dengan dirinya karena sulit diajak bekerja sama, sehingga ia sama sekali tak mengerti dengan apa yang sedang dijelaskan oleh gurunya di depan.'Dea! Please, fokus!'Gadis yang memiliki mata besar dengan kulit kuning langsat itu menarik napas dalam kemudian mengembuskannya. Ia menatap wajah sang guru dan menajamkan pendengaran untuk bisa menerima pelajaran dengan baik. Namun, Lagi-lagi yang muncul di kepalanya adalah wajah Farel dan perkataan Hasna semalam.Setelah mengerahkan seluruh tenaga untuk fokus, akhirn
Dian tengah memasak bersama asisten rumah tangganya yang bukan lagi Mbok Siti. Wanita yang sudah puluhan tahun mengabdi pada keluarga Adrian itu semakin sepuh dan memilih tinggal di kampung bersama keluarganya.Pun Hasna dan anak-anaknya, mereka tak ingin Mbok Siti terus menerus bekerja karena usianya telah senja. Namun, meski begitu mereka masih tetap berhubungan baik dengan wanita yang sudah sangat berjasa dalam membantu urusan domestik rumah tangga keluarganya."Sayang, lagi masak apa?" tanya Rian yang menghampiri istrinya ke dapur. Lelaki itu ada jadwal praktik sore dan paginya pun tak begitu padat, sehingga ia bisa menemani istrinya di rumah."Masak sop Mas, Ibu gak enak makan katanya," jawab Dian sambil mengaduk kuah sop yang masih di dalam panci itu."Lho, sejak kapan? Bunda sakit?" tanya Rian khawatir."Sakit sih enggak Mas, katanya gak enak badan aja," timpal Dian."Bukannya tadi pagi Bunda baik-baik aja?" tanya Rian lagi."Iya, barusan aja, waktu aku ajak makan siang mukanya
Sesampainya di rumah sakit, Hasna gegas dibawa ke ruang resusitasi karena sempat mengalami gagal napas.Dengan perasaan gelisah Dian dan suaminya menunggu kabar."Sayang, aku ke toilet sebentar, ya," kata Rian, ia merasa ada yang mendesak di perutnya."Iya, Mas, jangan lama-lama, ya," pinta Dian lalu wanita itu kembali duduk, hatinya gusar menunggu kabar tentang ibunya.Tak lama kemudian, dokter yang merupakan teman kerja Rian itu kembali."Dokter Rian ke mana, Bu?" tanyanya yang sudah akrab dengan Dian itu."Lagi ke belakang sebentar, dok. Oh ya, bagaimana keadaan ibu?" tanya Dian harap-harap cemas.Saat ditanya mengenai Hasna, dokter itu menunduk. Dengan penuh kelembutan dan kehati-hatian kolega Rian itu menyatakan bahwa Hasna telah meninggal dunia.Mendengar kabar tentang Ibunya, Dian langsung histeris. Wanita itu merangsek masuk dan memeluk tubuh Hasna yang perlahan-lahan mulai dingin."Ibuu ...." Dian menangis di hadapan Hasna yang sudah tak bernyawa. Seperti mimpi, tadi pagi ia