Dian tengah memasak bersama asisten rumah tangganya yang bukan lagi Mbok Siti. Wanita yang sudah puluhan tahun mengabdi pada keluarga Adrian itu semakin sepuh dan memilih tinggal di kampung bersama keluarganya.Pun Hasna dan anak-anaknya, mereka tak ingin Mbok Siti terus menerus bekerja karena usianya telah senja. Namun, meski begitu mereka masih tetap berhubungan baik dengan wanita yang sudah sangat berjasa dalam membantu urusan domestik rumah tangga keluarganya."Sayang, lagi masak apa?" tanya Rian yang menghampiri istrinya ke dapur. Lelaki itu ada jadwal praktik sore dan paginya pun tak begitu padat, sehingga ia bisa menemani istrinya di rumah."Masak sop Mas, Ibu gak enak makan katanya," jawab Dian sambil mengaduk kuah sop yang masih di dalam panci itu."Lho, sejak kapan? Bunda sakit?" tanya Rian khawatir."Sakit sih enggak Mas, katanya gak enak badan aja," timpal Dian."Bukannya tadi pagi Bunda baik-baik aja?" tanya Rian lagi."Iya, barusan aja, waktu aku ajak makan siang mukanya
Sesampainya di rumah sakit, Hasna gegas dibawa ke ruang resusitasi karena sempat mengalami gagal napas.Dengan perasaan gelisah Dian dan suaminya menunggu kabar."Sayang, aku ke toilet sebentar, ya," kata Rian, ia merasa ada yang mendesak di perutnya."Iya, Mas, jangan lama-lama, ya," pinta Dian lalu wanita itu kembali duduk, hatinya gusar menunggu kabar tentang ibunya.Tak lama kemudian, dokter yang merupakan teman kerja Rian itu kembali."Dokter Rian ke mana, Bu?" tanyanya yang sudah akrab dengan Dian itu."Lagi ke belakang sebentar, dok. Oh ya, bagaimana keadaan ibu?" tanya Dian harap-harap cemas.Saat ditanya mengenai Hasna, dokter itu menunduk. Dengan penuh kelembutan dan kehati-hatian kolega Rian itu menyatakan bahwa Hasna telah meninggal dunia.Mendengar kabar tentang Ibunya, Dian langsung histeris. Wanita itu merangsek masuk dan memeluk tubuh Hasna yang perlahan-lahan mulai dingin."Ibuu ...." Dian menangis di hadapan Hasna yang sudah tak bernyawa. Seperti mimpi, tadi pagi ia
"M_maksudnya Papa Erlangga?"Pupil mata Maira melebar mendengar jawaban Sarah, ia mempunyai dua orang lelaki yang dikenalkan dengan Papanya. Namun, ia tahu kalau ayah kandungnya adalah Erlangga, putra dari Oma kaya raya yang selalu memanjakannya dengan materi."Iya, katanya Indira sudah banyak cerita sama kamu," balas Sarah heran. Wanita yang sebelumnya yakin itu seketika saja dihinggapi keraguan, ia takut salah bicara dan khawatir ada hal yang belum diceritakan oleh Indira pada cucunya."M_maksudnya?" tanya Boy dengan mata memicing, berjuta tanya menari-nari di kepalanya. Selama ini ia hanya tahu kalau ibunya sudah meninggal dan merupakan anak satu-satunya Sarah.Jika Boy bertanya tentang kakek, selama ini Sarah lebih banyak diam, sehingga Boy pun merasa takut untuk bertanya, lelaki itu khawatir akan membuka luka lama sang nenek. Boy takut Sarah yang merupakan keluarga dekat satu-satunya akan sakit hati."Panjang ceritanya Boy, semuanya menjadi sangat rumit," jawab Sarah dengan tatap
"Citra?" gumam Maira lirih, gadis itu dan Boy menghentikan sejenak membacakan ayat Al-Quran untuk Hasna.Citra yang tengah terpukul tak begitu peduli pada kedekatan Maira dengan lelaki yang dicintainya. Meskipun hal itupun membuatnya terluka, tetapi hatinya jauh lebih terpukul atas kepergian neneknya."Oma ...."Citra berbisik lirih, air matanya kembali bercucuran melihat raga yang terbujur kaku di sana. Rian dan Radit sudah berdiri di belakangnya, mereka sudah bersiap-siap andai Citra akan pingsan karena kondisinya yang lemah.Melihat kesiapsiagaan dua lelaki itu, hati Maira terasa iri, ia sangat merindukan sosok ayah sehingga bagi Maira, Citra sangatlah beruntung memiliki dua raja yang melindunginya.Sementara Dian, Syadea dan Indira yang baru saja terlelap kebangun lantaran mendengar suara Citra. Mereka lantas kembali menghampiri tempat di mana Hasna dibaringkan.Citra berjalan perlahan, lututnya terasa sangat lemas. Ia kemudian membuka kain penutup wajah Hasna, didapatinya wajah y
"Maaf, Kak, aku salah ngomong," kata Syadea sembari menutup mulutnya dengan kedua tangan. Semua mata ibu-ibu mengarah padanya dengan tatapan yang seakan-akan menghakimi."Oma, apa benar yang dibicarakan Mamanya Citra?" tanya Boy pada Sarah dengan tatapan yang entah, merekapun sulit mengartikan.Sarah mengangguk, "Iya, Boy," jawabnya."Aku memang sudah tahu kalau Maira saudara dari jalur ibu dan bapaknya lantaran mereka berdua sama-sama adik Mama. Tapi, yang aku gak ngerti kok kita bisa saudara sama Boy?"Citra mengeluarkan semua isi hatinya. Selama ini ia memang sudah diberitahu tentang silsilah Maira. Terlebih karena ada Mega di sana yang juga sangat akrab dengan keluarganya. Hanya saja gadis itu tak mengerti bagaimana bisa dirinya, Maira dan Boy masih sedarah."Biar Oma yang ceritakan semuanya, tapi Oma harap setelah ini kalian gak akan menghakimi dan marah pada siapapun, ya." Mega bersuara.Sebagai istri sah dari Haris, ia menjelaskan semuanya dengan detail dan sejujur-jujurnya pad
"Oma, aku mau ke rumah Oma Mega dulu, ya. Ada beberapa laporan yang harus aku kasih."Maira yang mengenakan gamis berwarna hitam dipadukan dengan hijab merah muda itu tersenyum pada Indira dan Adi yang sudah semakin sepuh."Iya sayang, kamu hati-hati di jalan, ya."Indira yang tengah duduk bersama suaminya itu lantas bangkit kemudian mencium kening cucunya yang sudah semakin dewasa.Perpaduan gen Raya dan Erlangga membuat paras gadis berhijab itu indah nan adiwarna. Semakin tumbuh dewasa, ia layaknya bunga mawar yang mekar. Banyak yang mengincar keindahannya, tetapi ia yang berduri tak mudah dipetik oleh sembarang orang.Hingga hari ini, Indira, Adi dan Mega hampir kewalahan menolak lelaki yang meminang cucunya. Meskipun Maira mengatakan ingin menikah muda dan nenek kakeknya pun merestui, tetapi mereka tak bisa melakukan apapun jika Maira sendiri yang menolak lamaran dari para lelaki yang rata-rata sudah sukses dan mapan itu.Banyak orang bilang, anak hasil perzinahan itu hina dan seo
Farel baru saja keluar dari bandara Soekarno-hatta dijemput oleh Beni, Nengsih dan adiknya."Welcome back, Bro!"Abizar antusias menyambut kedatangan kakaknya. Selama empat tahun terakhir ia berpisah dengan Farel, hanya sesekali saja kakaknya pulang ke Indonesia jika ada keperluan atau hari besar.Setelah menyelesaikan studi magister, Farel bekerja di sana selama dua tahun. Namun, setelah mendengar kabar bahwa Nengsih sakit ia memutuskan pulang ke Indonesia dan bekerja di negaranya saja. Kebetulan ia diterima kerja di sebuah universitas swasta terkenal sebagai dosen."Makin gede makin ganteng nih ade gue," puji Farel sembari menepuk pundak adiknya."Iya dong, Abizar gitu loh," jawabnya penuh percaya diri."Terima kasih sudah kembali, Nak." Beni yang sudah semakin berumur itu tersenyum melihat putra pertamanya pulang dan kembali menetap di tanah air."Demi Mama, aku gak bisa kerja dengan baik kalau Mama sakit," jawab Farel, lelaki itu memeluk Nengsih yang duduk di kursi roda.Sudah tig
Pukul setengah lima sore, Maira baru saja pulang dari kampus. Bayang-bayang wajah Boy masih terus menghiasi ingatannya. Sihir saat mengembalikan buku itu seolah-olah telah menghipnotisnya.'Ya Allah, tolong hapus dia dari ingatanku, aku gak mau menyakiti perasaan Citra, aku tahu dia berharap sama Boy.'Sambil menyetir gadis itu membatin, ia merasa kesal dengan dirinya sendiri yang sulit melupakan Boy. Padahal, banyak lelaki yang menyatakan cinta dan melamarnya, tetapi entah mengapa ia masih selalu memikirkan Boy.Sesampainya di rumah, Maira memarkirkan mobil di garasi. Setelah dipastikan tak ada barang yang tertinggal di mobil, gadis itu pun membuka pintu dan mengucapkan salam pada nenek dan kakeknya yang tengah bercengkrama di ruang tamu.Dulu, semasa kecil Maira dan Indira tinggal di rumah pemberian Radit. Hanya saja setelah Indira menikah lagi dengan Adi mereka sudah tak tinggal di sana. Perlahan-lahan kehidupan Indira semakin membaik, terlebih Maira mendapat sokongan biaya dari Me