"Oma, aku mau ke rumah Oma Mega dulu, ya. Ada beberapa laporan yang harus aku kasih."Maira yang mengenakan gamis berwarna hitam dipadukan dengan hijab merah muda itu tersenyum pada Indira dan Adi yang sudah semakin sepuh."Iya sayang, kamu hati-hati di jalan, ya."Indira yang tengah duduk bersama suaminya itu lantas bangkit kemudian mencium kening cucunya yang sudah semakin dewasa.Perpaduan gen Raya dan Erlangga membuat paras gadis berhijab itu indah nan adiwarna. Semakin tumbuh dewasa, ia layaknya bunga mawar yang mekar. Banyak yang mengincar keindahannya, tetapi ia yang berduri tak mudah dipetik oleh sembarang orang.Hingga hari ini, Indira, Adi dan Mega hampir kewalahan menolak lelaki yang meminang cucunya. Meskipun Maira mengatakan ingin menikah muda dan nenek kakeknya pun merestui, tetapi mereka tak bisa melakukan apapun jika Maira sendiri yang menolak lamaran dari para lelaki yang rata-rata sudah sukses dan mapan itu.Banyak orang bilang, anak hasil perzinahan itu hina dan seo
Farel baru saja keluar dari bandara Soekarno-hatta dijemput oleh Beni, Nengsih dan adiknya."Welcome back, Bro!"Abizar antusias menyambut kedatangan kakaknya. Selama empat tahun terakhir ia berpisah dengan Farel, hanya sesekali saja kakaknya pulang ke Indonesia jika ada keperluan atau hari besar.Setelah menyelesaikan studi magister, Farel bekerja di sana selama dua tahun. Namun, setelah mendengar kabar bahwa Nengsih sakit ia memutuskan pulang ke Indonesia dan bekerja di negaranya saja. Kebetulan ia diterima kerja di sebuah universitas swasta terkenal sebagai dosen."Makin gede makin ganteng nih ade gue," puji Farel sembari menepuk pundak adiknya."Iya dong, Abizar gitu loh," jawabnya penuh percaya diri."Terima kasih sudah kembali, Nak." Beni yang sudah semakin berumur itu tersenyum melihat putra pertamanya pulang dan kembali menetap di tanah air."Demi Mama, aku gak bisa kerja dengan baik kalau Mama sakit," jawab Farel, lelaki itu memeluk Nengsih yang duduk di kursi roda.Sudah tig
Pukul setengah lima sore, Maira baru saja pulang dari kampus. Bayang-bayang wajah Boy masih terus menghiasi ingatannya. Sihir saat mengembalikan buku itu seolah-olah telah menghipnotisnya.'Ya Allah, tolong hapus dia dari ingatanku, aku gak mau menyakiti perasaan Citra, aku tahu dia berharap sama Boy.'Sambil menyetir gadis itu membatin, ia merasa kesal dengan dirinya sendiri yang sulit melupakan Boy. Padahal, banyak lelaki yang menyatakan cinta dan melamarnya, tetapi entah mengapa ia masih selalu memikirkan Boy.Sesampainya di rumah, Maira memarkirkan mobil di garasi. Setelah dipastikan tak ada barang yang tertinggal di mobil, gadis itu pun membuka pintu dan mengucapkan salam pada nenek dan kakeknya yang tengah bercengkrama di ruang tamu.Dulu, semasa kecil Maira dan Indira tinggal di rumah pemberian Radit. Hanya saja setelah Indira menikah lagi dengan Adi mereka sudah tak tinggal di sana. Perlahan-lahan kehidupan Indira semakin membaik, terlebih Maira mendapat sokongan biaya dari Me
Di dalam ruang tamu kediaman Maira, Boy duduk dengan gusar dan sangat grogi. Inilah kali pertama dalam hidupnya menyatakan keinginan untuk menikah pada keluarga perempuan. Ia pun sengaja datang sendiri agar Sarah tak begitu ikut campur dulu dalam proses ini. Boy takut semuanya akan menjadi rumit jika neneknya tahu."Tumben Boy mampir? Ibu senang sekali kamu mau mampir, omong-omong gimana kabar Sarah?" tanya Indira dengan senyum lebar. Wanita itu sangat antusias menerima kedatangan anaknya Stella.Indira menyebut dirinya sebagai ibu pada Boy karena sejak pertemuan pertamanya lelaki itu menyebutnya dan orang lain dengan sebutan serupa."Alhamdulillah sehat, Bu," jawab Boy ramah dan sopan."Alhamdulillah kalau sehat," balas Indira lega."Omong-omong di sini kamu tinggal di mana? Maira bilang kamu kuliah di kampus yang sama?" tanya Indira lagi.Boy mendongak, tak dipungkiri ia merasa senang mendengar Maira membicarakannya dengan Indira, sehingga diam-diam lelaki itu tersipu."Iya, kebetul
"Boy, Innalillahi wainnailaihi rraji'un."Citra berujar lirih, ia terbiasa mengucapkan kalimat istirja jika mendapati sebuah musibah. Baik itu, kematian, kehilangan, kemalangan dan kecelakaan."Pak ... pak, ini saudara saya, apa yang terjadi?" tanya Citra dengan wajah panik, ia merangsek membelah kerumunan dan sedikit berlari untuk mengejar orang yang mengangkat Boy."Kebetulan, ayo Neng bawa ke rumah sakit," kata salah seorang yang membopong Boy, mereka sudah memberhentikan mobil pick up yang melintas. Tetapi Citra merasa tak rela jika Boy dibawa menggunakan mobil itu. Sementara mobil ambulance membawa korban satunya lagi yang lukanya jauh lebih parah dari Boy."Pak, bawa ke mobil saya saja, tolong Pak," pinta Citra dengan tubuh bergetar melihat Boy yang sudah berdarah-darah. Air mata luruh membanjiri kedua pipinya."Mana mobilnya Neng?" tanya salah seorang dari mereka lagi.Citra menunjukkan mobilnya yang tak begitu jauh dari lokasi. Ia juga memberikan kunci mobil pada salah seorang
"Sebentar, Lo duluan aja."Farel menarik lengannya dari wanita cantik itu dan mengayunkan langkah ke arah Syadea. Ditatapnya gadis yang dulu sering sekali mencuri perhatiannya itu dalam. Kini, Syadea sudah semakin dewasa. Kecantikannya kian memancar sehingga membuat Farel terkesima."Syadea, apa kabar?" tanya Farel."Baik, Pak, Bapak apa kabar?" Syadea bertanya balik, empat tahun bukan waktu yang sebentar untuk sebuah penantian, banyak hal yang Syadea korbankan demi rasa yang tak pasti itu.Harapan demi harapan selalu ia langitkan setiap malam. Mungkin beberapa orang akan menyebutnya bodoh karena menantikan orang yang bahkan tidak menjanjikan kata-kata apapun untuk kembali."Oh syukurlah, kamu lagi apa di sini?" tanya Farel, kali ini sudah tak sedingin dulu, usia yang sudah matang memaksanya harus ramah pada perempuan, terlebih ayahnya sudah mendesaknya untuk menikah. Bisa-bisa tak ada yang mau dekat jika ia terus menerus bersikap acuh."Keponakan Mama kecelakaan, dia dirawat di sini,
Melihat kedatangan dua orang yang sangat dihormatinya, Maira terkesiap, wanita itu gegas berdiri dan menjauh dari Farel. Begitupun lelaki itu, ia sangat ketakutan karena hal semacam ini bukanlah kebiasaannya. Sehingga, jantungnya berdegup kencang saat melihat sorot mata Adi yang tajam."Opa ... ini ...."Maira ingin menjelaskan, hanya saja ia bingung mengatakannya dari mana, terlebih ia sudah melihat wajah Adi memerah dipenuhi kemarahan."Astaghfirullah Maira! Siapa laki-laki itu?"Adi refleks meninggikan nadanya. Suara lelaki itu bergetar sebab murka yang menjalari rongga dadanya. Sebagai ayah yang pernah gagal, ia berusaha untuk menjadi kakek yang berhasil.Namun, ternyata kini ia melihat Sang cucu berduaan dengan seorang lelaki di kamar saat tengah malam. Sungguh, sebuah kejadian yang tak bisa dicerna oleh akalnyaa.Pikiran lelaki berusia senja itu kacau. Baginya Maira adalah princess di hati setelah kepergian Raya, maka ia amat sangat naik pitam kala melihat ada seorang lelaki nak
"Citra, kamu sama Dea bisa jaga Boy dulu? Mama sama Papa harus pulang, kebetulan Bu Sarah masih di perjalanan, ternyata di tol ada yang kecelakaan sehingga menyebabkan kemacetan panjang dan kendaraannya hampir tak bergerak sama sekali. Sedangkan Mama sudah ada janji sama teman, rasanya gak enak kalau harus dibatalkan karena dia datang dari luar kota. Setelah teman Mama pulang, InsyaAllah nanti Mama ke sini lagi."Dian berkata sembari menatap mata putri pertama dan keduanya bergantian.Boy sudah sadar, tetapi lelaki itu tengah tertidur karena efek obat yang terus menerus membuatnya mengantuk. Tangan dan kakinya pun penuh dengan bidaian sebab ia juga mengalami patah tulang di bagian itu, sehingga akan terasa sangat menyakitkan saat ia terjaga.Hingga detik ini Dian tak tahu kalau anaknya memiliki perasaan pada Boy, sebab selama ini Citra memang tidak begitu terbuka perihal perasaan pada ibunya dan siapapun. Ia hanya akan mengatakan sesuatu jika sudah merasa terdesak.Citra tak ubahnya se