Mendengar suara bel berbunyi, Indira yang tengah menemani cucunya yang gelisah sebab paksaan Adi pun memutuskan keluar dari kamar.Wanita yang berjalan bersama Maira itu tersentak kala melihat orang yang datang adalah Beni. Indira berusaha menajamkan pandangan, ia khawatir indera penglihatannya bermasalah sebab ia memang sedang tidak menggunakan kacamata dan hari masih sangat malam untuk menerima seorang tamu. Sehingga, Indira takut ia pun masih mengantuk dan membuat pandangannya kabur.Namun, berkali-kali Indira mengucek mata, tetap saja lelaki yang dilihatnya tengah berpelukan dengan sang suami itu adalah Beni."Nak Beni?"Indira menyapa sembari mengayunkan langkah ke arah suami dan lelaki yang pernah diharapakan menjadi menantunya di masa lalu itu. Sedangkan Maira hanya diam dalam kebingungan.Beni yang tengah berpelukan dengan Adi itupun menoleh, ia lantas berjalan dan mencium tangan Indira sopan. Dilihatnya Maira yang tumbuh sebagai gadis sholehah yang sangat cantik.Setelah bers
"Maira, tolong pikirkan martabat kamu setelah ini, sebelumnya banyak lelaki yang kamu tolak, lalu kini ada seorang lelaki masuk ke kamar kamu di tengah malam. Meskipun saat ini tak ada orang asing yang mengetahui hal itu, tetapi Oma khawatir suatu saat nanti hal semacam ini akan terbongkar. Kamu ingat ada beberapa tetangga yang terang-terangan tidak menyukai kita? Bahkan Oma juga ingat kalau salah satu CCTV di rumahnya mengarah ke rumah kita. Oma khawatir hal ini akan menjadi boomerang bagi kamu nantinya."Kali ini Indira yang berkata pada cucunya dengan lembut. Mau tak mau ia pun setuju dengan pernikahan ini.Keluarganya kerap diam-diam dijadikan bahan ghibah bukan karena mereka tak baik. Hanya saja, sebaik apapun manusia tetap tidak bisa menyenangkan semua orang. Terlebih kabar Maira yang selalu menolak lamaran laki-laki seolah-olah menjadi trending topik di komplek tempat tinggalnya. Sehingga, tak sedikit yang membicarakan gadis itu dan mengatakannya sok cantik serta terlalu pemili
Di sekolah, Syadea sulit sekali berkonsentrasi dalam menerima mata pelajaran. Sejak mendengar kabar mengenai Maira dan Farel pagi tadi, moodnya hancur seketika.'Ya Allah, apakah ini balasan atas penantianku selama ini? Apakah chat semalam itu hanya sekadar bualan saja? Apa selama ini aku terlalu bodoh menutup hati untuk yang lain demi menunggu dia yang bahkan sebelumnya pun tak pernah berkata cinta?'"Dea, ikut ke lapangan yuk," ajak Rere, teman sekelasnya yang melihat gadis itu tengah termenung seorang diri."Gak ah, gue malas, gue mau di kelas aja," jawab Syadea kemudian merebahkan lagi kepalanya di atas meja."Lo sakit?" tanya temannya lagi, kali ini ia menyentuh kening Syadea yang bersuhu normal."Enggak, gue gak sakit kok, gue cuma bad mood aja," jawabnya."Udah ah gak usah badmood segala, mendingan sekarang kita ke lapangan, kan lagi ada tournamen basket, katanya ada kapten keren dari sekolah lain loh, gue penasaran mau lihat," ajaknya dengan menarik paksa lengan Syadea.Dengan
Selepas pertandingan, Abizar duduk di sebuah kursi yang sebelumnya ditempati oleh Syadea. Namun, hampir tiga puluh menit berlalu, tetapi gadis pujaan hatinya tak kunjung datang."Abizar ayo balik," ajak rekannya."Duluan aja Bro!" tolaknya sembari melambaikan tangan."Oke, duluan ya," kata temannya yang tak kalah keren dari putranya Nengsih itu.Abizar menunggu dengan gelisah, beberapa wanita sempat duduk di sampingnya dan mengajak kenalan, tetapi lelaki itu menolaknya dengan cara halus, sehingga membuat kaum hawa semakin penasaran dibuatnya.'Mungkin dia gak akan datang, selama ini kan gue bukan siapa-siapa. Empat tahun sudah berlalu, mungkin saja dia sudah berubah.'Abizar berbisik dalam hati, ia merasa putus asa sebab Syadea tidak menemuinya. Meskipun ia tahu tentang kehidupan gadis itu melalui sosial media, tetapi kini ia merasa ragu dan takut andai gadis yang merupakan cinta pertamanya itu ternyata sudah memiliki kekasih.Abizar bangkit dari tempat duduknya dengan perasaan hampa
"Eh ada Ustazah Maryam? MaaSyaAllah, bagaimana kabarnya?"Sarah yang baru saja kembali setelah mengantar sepupunya itu langsung menyapa ustazah Maryam. Mereka sudah lumayan akrab sebab Boy selalu menceritakan pasangan suami istri itu pada Sarah."Alhamdulillah sehat Bu Sarah, ibu sehat?" Ustazah Maryam balik bertanya, raut wanita yang tiga tahun lebih tua dari Stella itu nampak ramah dan hangat."Alhamdulillah sehat ustazah," jawab Sarah, kemudian wanita itu menangkupkan tangan di dada sembari tersenyum kala menyapa suami ustazah Maryam yang merupakan guru sang cucu."Alhamdulillah," balas Ustazah Maryam dengan suaminya berbarengan."Oh ya, sudah dari tadi? Maaf tadi saya habis ngantar Uwaknya Boy, kebetulan beliau harus pulang," jelas Sarah tak enak hati lantaran dirinya tak ada saat mereka datang."Gak apa-apa Bu, lagi pula kami cuma mau lihat perkembangan Boy saja, alhamdulillah Boy sekarang sudah baikan." Ustazah Maryam menjawab dengan mengulum senyum."Alhamdulillah." Sarah memba
"Maira, tunggu!"Farel tanpa ragu menyebut nama wanita itu di tengah-tengah kerumunan mahasiswi nan cantik, seksi serta modis yang mengelilinginya.Sementara Maira yang tangannya masih menggenggam Citra itu terasa sangat dingin. Keringat tiba-tiba saja membasahi telapak tangannya karena gugup dan juga malu. Baginya, peristiwa semalam adalah sebuah aib. Pertemuannya dengan Farel pun bagian dari kelanjutan aib itu."Citra, ayo pergi, kita pakai jurus langkah seribu saat naik pohon waktu kecil, yuk," ajak Maira dengan memejamkan mata, ia benar-benar tak ingin bertemu Farel untuk saat ini."Haa ... ha ... ayo deh!" Citra yang mengerti tentang apa yang dirasakan Maira itupun menurut."Satu ... dua ... tigaaa ...."Dua wanita itu lari terbirit-birit setelah hitungan ketiga, mereka meninggalkan gedung itu dan tak peduli kendatipun Farel adalah seorang dosen baru. Yang Maira inginkan adalah pergi dan tak bertemu lelaki yang dianggapnya sebagai titisan siluman.Farel mengerutkan kening, padaha
Hari terus berlalu, setelah persiapan yang sangat singkat esok pernikahan Maira dan Farel hendak dilangsungkan.Malam ini, Syadea masih terus menangis di dalam kamar. Sesekali ponselnya berdering, kontak bernama Farel terus bergerak-gerak di sana. Hanya saja wanita itu enggan menerimanya sejak mengetahui kabar kalau lelaki pujaannya itu hendak menikah.'Maaf Pak, aku gak bisa,' gumam Syadea, jauh dalam hati ia ingin menerima panggilan itu dan membicarakan banyak hal dengan Farel. Hanya saja kekecewaannya sudah berada di puncak. Penantiannya selama ini terbalas oleh rasa sakit yang kian menusuk jiwa.Andai Farel tak pernah memberi harapan padanya di malam itu, mungkin saja hal ini tak begitu menyakitkan bagi Syadea sebab dalam masa penantian ia pun sudah sering merasa gundah.Namun, harapannya tiba-tiba saja kembali kala bertemu Farel malam itu. Syadea merasa dipermainkan oleh takdir. Padahal ia sudah hampir menyerah, tetapi Farel justru hadir seolah-olah menjadi hadiah. Kini, ia harus
Maira masuk ke dalam kamar, di sana ada Mega yang duduk di kursi roda tengah berbincang dengan Indira."Itu Maira," kata Mega kala menyadari cucunya berdiri di ambang pintu."Sini, Mai," titah Indira, ia menepuk lantai yang dijadikan tempat duduk mereka, tak jauh darinya ada Cindy yang sudah siap dengan peralatan henna nya.Maira mengangguk lalu bergabung dengan mereka. Dengan perasaan terpaksa wanita itu memberikan tangannya pada Cindy untuk dihias."Wedding Organizer pilihan kamu memang keren, Mbak," puji Indira pada Mega."Syukurlah kalau suka," jawab Mega."Iya, tadi sore aku lihat, semuanya di desain dengan sangat epik," terang Indira, wanita itu bahagia karena pernikahan Maira akan dilangsungkan di sebuah hotel dengan konsep outdoor."Saya akan memberikan yang terbaik untuk Maira," kata Mega, ia pun tersenyum sebab cucunya sudah akan menikah.Di antara riuh obrolan mereka, Maira lah yang tetap diam. Andai bisa menghentikan waktu, ingin ia tetap di sana dan tak ingin ada pagi. Ka