Selepas pertandingan, Abizar duduk di sebuah kursi yang sebelumnya ditempati oleh Syadea. Namun, hampir tiga puluh menit berlalu, tetapi gadis pujaan hatinya tak kunjung datang."Abizar ayo balik," ajak rekannya."Duluan aja Bro!" tolaknya sembari melambaikan tangan."Oke, duluan ya," kata temannya yang tak kalah keren dari putranya Nengsih itu.Abizar menunggu dengan gelisah, beberapa wanita sempat duduk di sampingnya dan mengajak kenalan, tetapi lelaki itu menolaknya dengan cara halus, sehingga membuat kaum hawa semakin penasaran dibuatnya.'Mungkin dia gak akan datang, selama ini kan gue bukan siapa-siapa. Empat tahun sudah berlalu, mungkin saja dia sudah berubah.'Abizar berbisik dalam hati, ia merasa putus asa sebab Syadea tidak menemuinya. Meskipun ia tahu tentang kehidupan gadis itu melalui sosial media, tetapi kini ia merasa ragu dan takut andai gadis yang merupakan cinta pertamanya itu ternyata sudah memiliki kekasih.Abizar bangkit dari tempat duduknya dengan perasaan hampa
"Eh ada Ustazah Maryam? MaaSyaAllah, bagaimana kabarnya?"Sarah yang baru saja kembali setelah mengantar sepupunya itu langsung menyapa ustazah Maryam. Mereka sudah lumayan akrab sebab Boy selalu menceritakan pasangan suami istri itu pada Sarah."Alhamdulillah sehat Bu Sarah, ibu sehat?" Ustazah Maryam balik bertanya, raut wanita yang tiga tahun lebih tua dari Stella itu nampak ramah dan hangat."Alhamdulillah sehat ustazah," jawab Sarah, kemudian wanita itu menangkupkan tangan di dada sembari tersenyum kala menyapa suami ustazah Maryam yang merupakan guru sang cucu."Alhamdulillah," balas Ustazah Maryam dengan suaminya berbarengan."Oh ya, sudah dari tadi? Maaf tadi saya habis ngantar Uwaknya Boy, kebetulan beliau harus pulang," jelas Sarah tak enak hati lantaran dirinya tak ada saat mereka datang."Gak apa-apa Bu, lagi pula kami cuma mau lihat perkembangan Boy saja, alhamdulillah Boy sekarang sudah baikan." Ustazah Maryam menjawab dengan mengulum senyum."Alhamdulillah." Sarah memba
"Maira, tunggu!"Farel tanpa ragu menyebut nama wanita itu di tengah-tengah kerumunan mahasiswi nan cantik, seksi serta modis yang mengelilinginya.Sementara Maira yang tangannya masih menggenggam Citra itu terasa sangat dingin. Keringat tiba-tiba saja membasahi telapak tangannya karena gugup dan juga malu. Baginya, peristiwa semalam adalah sebuah aib. Pertemuannya dengan Farel pun bagian dari kelanjutan aib itu."Citra, ayo pergi, kita pakai jurus langkah seribu saat naik pohon waktu kecil, yuk," ajak Maira dengan memejamkan mata, ia benar-benar tak ingin bertemu Farel untuk saat ini."Haa ... ha ... ayo deh!" Citra yang mengerti tentang apa yang dirasakan Maira itupun menurut."Satu ... dua ... tigaaa ...."Dua wanita itu lari terbirit-birit setelah hitungan ketiga, mereka meninggalkan gedung itu dan tak peduli kendatipun Farel adalah seorang dosen baru. Yang Maira inginkan adalah pergi dan tak bertemu lelaki yang dianggapnya sebagai titisan siluman.Farel mengerutkan kening, padaha
Hari terus berlalu, setelah persiapan yang sangat singkat esok pernikahan Maira dan Farel hendak dilangsungkan.Malam ini, Syadea masih terus menangis di dalam kamar. Sesekali ponselnya berdering, kontak bernama Farel terus bergerak-gerak di sana. Hanya saja wanita itu enggan menerimanya sejak mengetahui kabar kalau lelaki pujaannya itu hendak menikah.'Maaf Pak, aku gak bisa,' gumam Syadea, jauh dalam hati ia ingin menerima panggilan itu dan membicarakan banyak hal dengan Farel. Hanya saja kekecewaannya sudah berada di puncak. Penantiannya selama ini terbalas oleh rasa sakit yang kian menusuk jiwa.Andai Farel tak pernah memberi harapan padanya di malam itu, mungkin saja hal ini tak begitu menyakitkan bagi Syadea sebab dalam masa penantian ia pun sudah sering merasa gundah.Namun, harapannya tiba-tiba saja kembali kala bertemu Farel malam itu. Syadea merasa dipermainkan oleh takdir. Padahal ia sudah hampir menyerah, tetapi Farel justru hadir seolah-olah menjadi hadiah. Kini, ia harus
Maira masuk ke dalam kamar, di sana ada Mega yang duduk di kursi roda tengah berbincang dengan Indira."Itu Maira," kata Mega kala menyadari cucunya berdiri di ambang pintu."Sini, Mai," titah Indira, ia menepuk lantai yang dijadikan tempat duduk mereka, tak jauh darinya ada Cindy yang sudah siap dengan peralatan henna nya.Maira mengangguk lalu bergabung dengan mereka. Dengan perasaan terpaksa wanita itu memberikan tangannya pada Cindy untuk dihias."Wedding Organizer pilihan kamu memang keren, Mbak," puji Indira pada Mega."Syukurlah kalau suka," jawab Mega."Iya, tadi sore aku lihat, semuanya di desain dengan sangat epik," terang Indira, wanita itu bahagia karena pernikahan Maira akan dilangsungkan di sebuah hotel dengan konsep outdoor."Saya akan memberikan yang terbaik untuk Maira," kata Mega, ia pun tersenyum sebab cucunya sudah akan menikah.Di antara riuh obrolan mereka, Maira lah yang tetap diam. Andai bisa menghentikan waktu, ingin ia tetap di sana dan tak ingin ada pagi. Ka
Melihat Maira melirik ke arahnya, Boy lantas menundukkan pandangan. Jauh di dalam sana ada rasa yang koyak. Hanya saja lelaki itu enggan memperlihatkannya di hadapan semua orang. Sudah cukup ia merasa batinnya tersiksa. Meski sangat cinta, tetapi jika tak ada garis jodoh, manusia bisa apa? Bukankah Tuhan lebih tahu dengan jalan hidup setiap hamba-Nya?Di dekat Sarah, Mega tersenyum dengan air mata berderai sebab rasa haru. Ia tak menyangka bisa melihat cucunya menikah. Meskipun tak bisa mendampingi layaknya Adi dan Indira lantaran sakit, tetapi tak mengurangi rasa bahagianya.MC dengan cekatan menyambut mempelai wanita yang diiring oleh para bridesmaid berhijab itu. Ada Citra dan juga beberapa teman semasa di pondok pesantren serta dari kampusnya berjalan di belakang Maira yang didampingi Adi serta Indira.Kakek dan Nenek Maira yang berdiri di samping mempelai wanita itu menyadari ada Boy tengah duduk di dekat Sarah. Mereka lantas tersenyum getir.Rerbesit rasa bersalah pada anaknya S
Boy duduk di sebuah kursi tak jauh dari taman. Lelaki itu ingin menumpahkan semua rasa di sana, hanya saja sebagai seorang laki-laki sulit baginya mengeluarkan air mata laksana perempuan. Sehingga ia hanya diam sambil terus menenangkan gemuruh hebat di dada.Jika orang lain mungkin akan menyesap sebatang rokok, maka ia yang tak pernah merokok hanya mampu menatap nanar lalu lalang orang lain. Meski berada di keramaian tetapi ia merasa sangat sepi.Ustaz Ibrahim yang melihat Boy dari kejauhan lantas melanjutkan langkah dan duduk di samping lelaki yang sudah ia anggap sebagai adiknya sendiri."Minum air putih konon mampu membuat emosi lebih stabil."Ustaz Ibrahim menyodorkan air mineral sambil duduk di samping Boy."Eh Ustaz," sapa Boy kala menyadari murabbi menghampiri dan duduk di sebelahnya. Lelaki itu juga meraih air mineral yang diberikan. "Jazakallah," lanjutnya kemudian menenggak air dalam kemasan botol tersebut hingga habis."Haus atau panas?" goda Ustaz Ibrahim sambil tertawa ke
"Ya sudah, mendingan sekarang kita balik lagi ke sana, gak enak kelamaan di sini."Abizar mengajak Syadea yang sudah lebih tenang. Lelaki itu pun tersenyum pada wanita pujaan hatinya, meskipun hanya dianggap sebagai teman, tetapi Abizar berusaha memberi semangat agar Syadea kembali bangkit."Kayaknya gue di sini aja deh, lo aja yang pergi," sahut Syadea, meski sudah tenang, tetapi gadis itu masih belum mampu melihat Farel dan Maira bersanding di pelaminan."Jangan gitu lah, gue yakin lo bisa dan mampu melewati ini, jangan biarkan diri lo lemah, jangan sampai lo kalah sama keadaan," timpal Abizar.Mendengar afirmasi positif dari temannya, Syadea lantas menarik napas dalam kemudian menghembuskannya. Setelah dirasa dadanya tak begitu sesak, Syadea lantas bangkit kemudian mengepapalkan tangan kanannya dan didorong ke udara, seakan-akan ia tengah menyemangati diri dalam sebuah perjuangan."Yok, semangat, hidup terus berlanjut!" Syadea tersenyum di tengah-tengah matanya yang basah.Melihat