"Ya sudah, mendingan sekarang kita balik lagi ke sana, gak enak kelamaan di sini."Abizar mengajak Syadea yang sudah lebih tenang. Lelaki itu pun tersenyum pada wanita pujaan hatinya, meskipun hanya dianggap sebagai teman, tetapi Abizar berusaha memberi semangat agar Syadea kembali bangkit."Kayaknya gue di sini aja deh, lo aja yang pergi," sahut Syadea, meski sudah tenang, tetapi gadis itu masih belum mampu melihat Farel dan Maira bersanding di pelaminan."Jangan gitu lah, gue yakin lo bisa dan mampu melewati ini, jangan biarkan diri lo lemah, jangan sampai lo kalah sama keadaan," timpal Abizar.Mendengar afirmasi positif dari temannya, Syadea lantas menarik napas dalam kemudian menghembuskannya. Setelah dirasa dadanya tak begitu sesak, Syadea lantas bangkit kemudian mengepapalkan tangan kanannya dan didorong ke udara, seakan-akan ia tengah menyemangati diri dalam sebuah perjuangan."Yok, semangat, hidup terus berlanjut!" Syadea tersenyum di tengah-tengah matanya yang basah.Melihat
Waktu terus melaju, Citra yang sudah tak begitu sibuk duduk di samping Ustazah Maryam. Istri dari dosennya itu tengah duduk seorang diri sebab orang yang berbicara dengan sang ustazah baru saja pergi. Ustaz Ibrahim pun tengah bercengkrama dengan teman-teman lainnya sesama dosen yang baru saja datang."Assalamu'alaikum, Ustazah," sapa Citra, kemudian mencium tangan wanita berhijab lebar itu takzim."Waalaikumsalam, Citra," balasnya sembari membirai senyum."Makan dulu, Ustazah.""Sudah, alhamdulillah.""Oh ya Ustazah, maaf hari ini gak bisa halaqah ya.""Iya gak apa-apa, lagi pula kamu lagi sibuk."Ustazah Maryam mengelus jemari Citra dan tersenyum ke arahnya. Wajah yang dibalut hijab itu nampak cantik meski sudah tak lagi muda."MaaSyaAllah ya, jodoh bisa datang kapan saja dan melalui cara apa saja, saya takjub mendengar cerita kamu tentang Maira," lanjut ustazah Maryam, wanita itu melirik sekilas ke arah kedua mempelai yang tengah sibuk melakukan foto."Iya Ustazah," balas Citra deng
Matahari mulai tenggelam, pesta pernikahan Farel dan Maira sudah selesai. Mega memintanya menginap di hotel untuk berbulan madu dan saling mengenal. Meski acara sudah berakhir, Maira merasa sedih sebab Radit ternyata tak bisa datang. Firda terus menerus pingsan dan jatuh sakit lantaran kepergian ibunya yang bersamaan dengan hari pernikahan Maira.Kini, Maira dan Farel telah berada di kamar yang sama. Keduanya nampak kaku meski sudah resmi menikah.Maira duduk dan mematut diri pada cermin, ia tengah membersihkan sisa makeup di wajahnya. Wanita itu masih menggunakan pakaian pengantinnya dengan lengkap."Saya harus panggil siapa? Bapak, Mas atau Kakak?"Maira yang dengan lihai mengusap wajahnya menggunakan kapas itu bertanya tanpa melihat Farel."Terserah."Farel yang sedang merebahkan tubuh di atas kasur pun menjawab tanpa memedulikan lawan bicaranya. Lelaki itu seakan-akan masih tak menyangka kalau kini sudah menjadi seorang suami.Maira menoleh ke arah dosen baru di kampusnya itu. Ia
Perasaan Citra tak karuan kala melihat wajah tampan nam teduh dengan janggut tipis di dagu itu. Ia kembali bangkit hendak ke dapur. Hanya saja, karena salah tingkah ia hampir menabrak Syadea yang membawa makanan lainnya dan hendak ditaruh ke atas karpet."Kak Citra hati-hati dong."Suara Syadea yang cempreng berhasil membuat semua mata tertuju pada mereka, tak terkecuali Boy. Lelaki itupun melihat wanita yang diyakini menyukainya itu tengah menatap sang adik geram."Berisik, bisa gak sih ngomong gak usah pake urat? Kan Kakak malu." Citra bicara dengan merapatkan gigi, pertanda bahwa ia sedang kesal dengan adiknya."Heee ... maaf." Syadea hanya tersenyum dengan menunjukkan deretan gigi, ia tak merasa bersalah meskipun kakaknya menjadi pusat perhatian."Dea ... Citra, hati-hati, Nak." Dian menyeru, sementara Rian tengah berbincang-bincang dengan kaum lelaki di teras rumah."Iya, Ma," jawab Citra, tetapi matanya bukan melihat Dian, melainkan mencuri-curi pandang ke arah Boy yang mengayun
Sepulang jogging, Citra mendirikan shalat dhuha dan membuka mushaf, gadis itu kembali menghafal beberapa ayat yang belum dihafalnya. Sejak masih duduk di pesantren, ia belum hafal sampai tiga puluh juz, sehingga ia ingin kembali melanjutkan hafalan di tengah-tengah kesibukan. Hanya saja, proses itu tak semudah saat dirinya di pondok pesantren sebab kini hidup di lingkungan yang sangat berbeda."Ya Allah, kenapa sekarang susah banget sih ngehafalnya? Atau mungkin aku kebanyakan maksiat ya gara-gara sering mikirin Boy?" bisiknya dengan rasa sesal.Sepengetahuan Citra, hafalan Al-Qur'an di kepala memang bisa saja perlahan-lahan hilang, atau bahkan merasa kesulitan untuk menghafalnya saat kebanyakan bermaksiat. Wanita itupun sadar dengan sesadar-sadarnya bahwa memikirkan lelaki yang bukan mahram adalah bagian dari maksiat.Sekuat tenaga Citra kembali menghafal, tetapi ingatannya tak sekuat dulu. Tak terasa air mata wanita itu tumpah dan mengalir di kedua pipi."Astagfirullahalazim."Citra
Ustaz Yusuf memegang kepala Nengsih dengan telunjuknya yang sudah mengenakan sarung tangan. Ia membaca doa pembuka ruqyah dengan kalimat taammah untuk berlindung pada Allah dari segala macam keburukan mahluk-Nya.Sementara Beni hanya menatap istrinya dengan penuh keprihatinan. Lelaki itu berharap semoga saja dengan pengobatan ini Nengsih dapat disembuhkan kembali. Sudah hampir lelah ia berusaha, semoga saja ini adalah ikhtiar terakhirnya untuk menggapai kesehatan sang istri."Wahai kau Jin yang ada di tubuh Nengsih binti Ahmad, keluarlah kalian dengan cara baik-baik. Sesungguhnya Allah menciptakan Jin dan manusia untuk beribadah pada-Nya. Janganlah kalian berlaku zolim pada manusia. Wahai Jin yang bersemayam di seluruh organ Mbak Nengsih, takutlah kalian pada azab Allah yang sangat keras. Keluarlah sebelum ayat suci Al-Qur'an membakar tubuhmu."Ustaz Yusuf menasihati terlebih dahulu Jin di dalam tubuh Nengsih agar keluar tanpa harus menyakitinya. Sebab, ayat Al-Quran yang dibacakan ol
Nengsih terus meracau dan nampaknya ia sangat kesakitan saat ayat demi ayat dilantunkan oleh ustaz Yusuf.Sesekali Nengsih pingsan, tetapi rupanya ia hanya berpura-pura pingsan. Sesekali ia tertawa dan menangis.Sudah lebih dari tiga jam prosesi ruqyah dilakukan, tetapi wanita itu masih sering mengerang, melotot dengan wajah yang sangat menyeramkan. Tak lama kemudian Nengsih muntah darah disertai rambut dan pecahan kaca di dalamnya. Wanita itu nampak kesulitan juga kesakitan sehingga membuat semua yang berada di sana meringis kecuali Ustaz Yusuf yang memang sudah terbiasa dengan hal-hal semacam ini."Lihat, ada rambut dan darah di muntahannya," kata Sarah pada Dian dan Indira. Mereka menelan ludah saat melihatnya."Astaghfirullahalazim," bisik Dian sembari menutup mulutnya. Begitupun Indira, wanita itu tercengang melihat pemandangan di depannya. Tadinya mereka datang untuk membantu Nengsih, tetapi Beni yang sangat perhatian sudah cukup untuk membantu istrinya.Lelaki itu menyeka sisa
Semalaman Maira tak bisa terpejam karena selama hidupnya, inilah kali pertama dia satu kasur dengan seorang pria. Sementara Farel tak peduli. Lelaki itu masih mendengkur bahkan hingga pagi. Sehingga, kini tubuhnya merasa sangat bugar saat berolahraga.Maira dan Farel baru saja masuk kembali ke kamar setelah berolahraga di gym yang ada di hotel.Meskipun seorang wanita, tetapi Miara rajin berlatih sehingga tubuhnya sangat bugar dan seksi. Andai ia tak berhijab, pastilau lekukan tubuhnya nampak menggoda kaum adam yang melihatnya. Terlebih wajahnya memang memesona, mungkin saja akan mengundang berbagai macam kejahatan jika ia tak bisa menjaga dirinya.Setelah bersih-bersih. Mereka berjalan ke arah restoran untuk breakfast. Meskipun tak suka dengan pernikahannya, tetapi dua insan itu tetap berjalan berdampingan. Setelah sarapan. Mereka sepakat checkout karena tak ingin berlama-lama di hotel."Ke rumah nyokap gue dulu, katanya lagi diobati," pinta Farel saat mobil yang dikendarainya keluar