Boy duduk di sebuah kursi tak jauh dari taman. Lelaki itu ingin menumpahkan semua rasa di sana, hanya saja sebagai seorang laki-laki sulit baginya mengeluarkan air mata laksana perempuan. Sehingga ia hanya diam sambil terus menenangkan gemuruh hebat di dada.Jika orang lain mungkin akan menyesap sebatang rokok, maka ia yang tak pernah merokok hanya mampu menatap nanar lalu lalang orang lain. Meski berada di keramaian tetapi ia merasa sangat sepi.Ustaz Ibrahim yang melihat Boy dari kejauhan lantas melanjutkan langkah dan duduk di samping lelaki yang sudah ia anggap sebagai adiknya sendiri."Minum air putih konon mampu membuat emosi lebih stabil."Ustaz Ibrahim menyodorkan air mineral sambil duduk di samping Boy."Eh Ustaz," sapa Boy kala menyadari murabbi menghampiri dan duduk di sebelahnya. Lelaki itu juga meraih air mineral yang diberikan. "Jazakallah," lanjutnya kemudian menenggak air dalam kemasan botol tersebut hingga habis."Haus atau panas?" goda Ustaz Ibrahim sambil tertawa ke
"Ya sudah, mendingan sekarang kita balik lagi ke sana, gak enak kelamaan di sini."Abizar mengajak Syadea yang sudah lebih tenang. Lelaki itu pun tersenyum pada wanita pujaan hatinya, meskipun hanya dianggap sebagai teman, tetapi Abizar berusaha memberi semangat agar Syadea kembali bangkit."Kayaknya gue di sini aja deh, lo aja yang pergi," sahut Syadea, meski sudah tenang, tetapi gadis itu masih belum mampu melihat Farel dan Maira bersanding di pelaminan."Jangan gitu lah, gue yakin lo bisa dan mampu melewati ini, jangan biarkan diri lo lemah, jangan sampai lo kalah sama keadaan," timpal Abizar.Mendengar afirmasi positif dari temannya, Syadea lantas menarik napas dalam kemudian menghembuskannya. Setelah dirasa dadanya tak begitu sesak, Syadea lantas bangkit kemudian mengepapalkan tangan kanannya dan didorong ke udara, seakan-akan ia tengah menyemangati diri dalam sebuah perjuangan."Yok, semangat, hidup terus berlanjut!" Syadea tersenyum di tengah-tengah matanya yang basah.Melihat
Waktu terus melaju, Citra yang sudah tak begitu sibuk duduk di samping Ustazah Maryam. Istri dari dosennya itu tengah duduk seorang diri sebab orang yang berbicara dengan sang ustazah baru saja pergi. Ustaz Ibrahim pun tengah bercengkrama dengan teman-teman lainnya sesama dosen yang baru saja datang."Assalamu'alaikum, Ustazah," sapa Citra, kemudian mencium tangan wanita berhijab lebar itu takzim."Waalaikumsalam, Citra," balasnya sembari membirai senyum."Makan dulu, Ustazah.""Sudah, alhamdulillah.""Oh ya Ustazah, maaf hari ini gak bisa halaqah ya.""Iya gak apa-apa, lagi pula kamu lagi sibuk."Ustazah Maryam mengelus jemari Citra dan tersenyum ke arahnya. Wajah yang dibalut hijab itu nampak cantik meski sudah tak lagi muda."MaaSyaAllah ya, jodoh bisa datang kapan saja dan melalui cara apa saja, saya takjub mendengar cerita kamu tentang Maira," lanjut ustazah Maryam, wanita itu melirik sekilas ke arah kedua mempelai yang tengah sibuk melakukan foto."Iya Ustazah," balas Citra deng
Matahari mulai tenggelam, pesta pernikahan Farel dan Maira sudah selesai. Mega memintanya menginap di hotel untuk berbulan madu dan saling mengenal. Meski acara sudah berakhir, Maira merasa sedih sebab Radit ternyata tak bisa datang. Firda terus menerus pingsan dan jatuh sakit lantaran kepergian ibunya yang bersamaan dengan hari pernikahan Maira.Kini, Maira dan Farel telah berada di kamar yang sama. Keduanya nampak kaku meski sudah resmi menikah.Maira duduk dan mematut diri pada cermin, ia tengah membersihkan sisa makeup di wajahnya. Wanita itu masih menggunakan pakaian pengantinnya dengan lengkap."Saya harus panggil siapa? Bapak, Mas atau Kakak?"Maira yang dengan lihai mengusap wajahnya menggunakan kapas itu bertanya tanpa melihat Farel."Terserah."Farel yang sedang merebahkan tubuh di atas kasur pun menjawab tanpa memedulikan lawan bicaranya. Lelaki itu seakan-akan masih tak menyangka kalau kini sudah menjadi seorang suami.Maira menoleh ke arah dosen baru di kampusnya itu. Ia
Perasaan Citra tak karuan kala melihat wajah tampan nam teduh dengan janggut tipis di dagu itu. Ia kembali bangkit hendak ke dapur. Hanya saja, karena salah tingkah ia hampir menabrak Syadea yang membawa makanan lainnya dan hendak ditaruh ke atas karpet."Kak Citra hati-hati dong."Suara Syadea yang cempreng berhasil membuat semua mata tertuju pada mereka, tak terkecuali Boy. Lelaki itupun melihat wanita yang diyakini menyukainya itu tengah menatap sang adik geram."Berisik, bisa gak sih ngomong gak usah pake urat? Kan Kakak malu." Citra bicara dengan merapatkan gigi, pertanda bahwa ia sedang kesal dengan adiknya."Heee ... maaf." Syadea hanya tersenyum dengan menunjukkan deretan gigi, ia tak merasa bersalah meskipun kakaknya menjadi pusat perhatian."Dea ... Citra, hati-hati, Nak." Dian menyeru, sementara Rian tengah berbincang-bincang dengan kaum lelaki di teras rumah."Iya, Ma," jawab Citra, tetapi matanya bukan melihat Dian, melainkan mencuri-curi pandang ke arah Boy yang mengayun
Sepulang jogging, Citra mendirikan shalat dhuha dan membuka mushaf, gadis itu kembali menghafal beberapa ayat yang belum dihafalnya. Sejak masih duduk di pesantren, ia belum hafal sampai tiga puluh juz, sehingga ia ingin kembali melanjutkan hafalan di tengah-tengah kesibukan. Hanya saja, proses itu tak semudah saat dirinya di pondok pesantren sebab kini hidup di lingkungan yang sangat berbeda."Ya Allah, kenapa sekarang susah banget sih ngehafalnya? Atau mungkin aku kebanyakan maksiat ya gara-gara sering mikirin Boy?" bisiknya dengan rasa sesal.Sepengetahuan Citra, hafalan Al-Qur'an di kepala memang bisa saja perlahan-lahan hilang, atau bahkan merasa kesulitan untuk menghafalnya saat kebanyakan bermaksiat. Wanita itupun sadar dengan sesadar-sadarnya bahwa memikirkan lelaki yang bukan mahram adalah bagian dari maksiat.Sekuat tenaga Citra kembali menghafal, tetapi ingatannya tak sekuat dulu. Tak terasa air mata wanita itu tumpah dan mengalir di kedua pipi."Astagfirullahalazim."Citra
Ustaz Yusuf memegang kepala Nengsih dengan telunjuknya yang sudah mengenakan sarung tangan. Ia membaca doa pembuka ruqyah dengan kalimat taammah untuk berlindung pada Allah dari segala macam keburukan mahluk-Nya.Sementara Beni hanya menatap istrinya dengan penuh keprihatinan. Lelaki itu berharap semoga saja dengan pengobatan ini Nengsih dapat disembuhkan kembali. Sudah hampir lelah ia berusaha, semoga saja ini adalah ikhtiar terakhirnya untuk menggapai kesehatan sang istri."Wahai kau Jin yang ada di tubuh Nengsih binti Ahmad, keluarlah kalian dengan cara baik-baik. Sesungguhnya Allah menciptakan Jin dan manusia untuk beribadah pada-Nya. Janganlah kalian berlaku zolim pada manusia. Wahai Jin yang bersemayam di seluruh organ Mbak Nengsih, takutlah kalian pada azab Allah yang sangat keras. Keluarlah sebelum ayat suci Al-Qur'an membakar tubuhmu."Ustaz Yusuf menasihati terlebih dahulu Jin di dalam tubuh Nengsih agar keluar tanpa harus menyakitinya. Sebab, ayat Al-Quran yang dibacakan ol
Nengsih terus meracau dan nampaknya ia sangat kesakitan saat ayat demi ayat dilantunkan oleh ustaz Yusuf.Sesekali Nengsih pingsan, tetapi rupanya ia hanya berpura-pura pingsan. Sesekali ia tertawa dan menangis.Sudah lebih dari tiga jam prosesi ruqyah dilakukan, tetapi wanita itu masih sering mengerang, melotot dengan wajah yang sangat menyeramkan. Tak lama kemudian Nengsih muntah darah disertai rambut dan pecahan kaca di dalamnya. Wanita itu nampak kesulitan juga kesakitan sehingga membuat semua yang berada di sana meringis kecuali Ustaz Yusuf yang memang sudah terbiasa dengan hal-hal semacam ini."Lihat, ada rambut dan darah di muntahannya," kata Sarah pada Dian dan Indira. Mereka menelan ludah saat melihatnya."Astaghfirullahalazim," bisik Dian sembari menutup mulutnya. Begitupun Indira, wanita itu tercengang melihat pemandangan di depannya. Tadinya mereka datang untuk membantu Nengsih, tetapi Beni yang sangat perhatian sudah cukup untuk membantu istrinya.Lelaki itu menyeka sisa
"Sayang."Beni menghampiri Nengsih yang masih tersedu-sedu. Air mata wanita itu sulit terhenti. Hatinya masih saja nyeri membayangkan masalah yang menimpa keluarganya."Hmmm."Nengsih hanya berdehem, setelah jarak suaminya dekat, ia pun justru mengalihkan pandangan. Kondisi mood sedang buruk lantaran tengah premenstrual syndrom. Sehingga, hormonnya sangat berpengaruh terhadap masalah yang tengah dihadapi.Biasanya, Nengsih akan berpikir rasional. Namun, entah mengapa kali ini seakan-akan ia membenarkan ucapan Abizar bahwa semua yang terjadi antara keluarganya dengan keluarga Tiara disebabkan oleh pengkhianatan suaminya.Beni yang lelah, lantas mencoba diam, lelaki itu mencerna sikap istrinya kemudian instrospeksi diri. Namun, setelah diperhatikan sekian lama ia baru peka bahwa istrinya tengah mengalami mood swing. Sehingga, ia memeluk istrinya dari belakang, tak peduli Nengsih mengamuk, ia hanya ingin menunjukkan bahwa dirinya sangat mencintai sang istri dibandingkan orang lain."Apaa
"Ya udah, sambil nunggu Kak Citra masuk aja dulu, yuk."Kedua insan itu lantas masuk ke rumah Dian. Di dalam, Abizar langsung disambut hangat oleh Dian."Abizar, apa kabar?" tanya Dian begitu pandangannya bersitatap dengan putra kedua Beni."Alhamdulillah, aku sehat Tante, Tante Dian apa kabar?"Abizar meraih tangan Dian lalu menciumnya takzim. Lelaki itu kemudian duduk di sofa, sementara Syadea pergi ke dapur untuk mengambilkan jamuan untuk sahabatnya."Katanya mau berangkat siang, ini masih pagi, lho," ujar Dian, ia menoleh ke arah jam dinding yang baru menunjukkan pukul sembilan.Belum sempat Abizar menjawab, Syadea yang baru kembali dari dapur sembari membawa air dan kudapan itu menyahut."Biasa Ma, dia gak sabar," ujar Syadea dengan menaikkan sebelah alisnya.Dian tersenyum, wanita itu kemudian menganggukkan kepala dan pergi ke halaman rumah untuk mengurus semua tanaman hias kesayangannya.Setelah Dian berlalu, wajah Abizar kembali pias kala mengingat sang ayah. Rasa kecewa kemba
Beni mengejar istrinya yang tengah dikuasai emosi. Lelaki itu tahu betul bukan seperti ini karakter Nengsih. Namun, ia pun memaklumi apa yang dirasakan sang istri."Sayang, tunggu!"Beni menyeru istrinya yang baru saja membuka pintu kamar. Sedangkan Nengsih yang baru saja memutar kenop pintu itu menghentikan langkahnya sejenak. Wanita itu terisak, kemudian menyeka air mata yang berkejaran di pipinya.Melihat butiran kristal yang terus meluruh dari manik belahan jiwanya, Beni lantas memeluk sang istri erat. Ia tak mengatakan apapun meski ada yang ingin dikatakan.Beni memilih untuk membiarkan Nengsih mengekspresikan perasaannya. Sedih, marah, kecewa adalah rasa yang sangat manusiawi. Sebaik apapun sang istri, lelaki itu sadar wanitanya bukanlah malaikat. Sama seperti dirinya, kendatipun sudah berusaha menjadi orang baik, tetap saja ia selalu melakukan kesalahan."Mungkin benar kata Abizar, aku yang membuat semua jadi begini, andai aku gak menikahi Tiara untuk membantunya, andai aku jug
Mendengar kalimat yang dilontarkan oleh Asih, Beni dan istrinya lantas saling pandang. kedua insan itu mengerutkan dahi sebab rasa penasaran."Maksud Bu Asih?" tanya Nengsih tak mengerti.Begitupun dengan Beni, ia menatap mata mantan mertuanya penuh selidik. Entah, lelaki itu merasa ada makna tersirat dari kalimat yang diucapkan oleh Asih.Tak langsung menjawab, Asih justru menangis semakin kencang hingga membuat Abizar yang sebelumnya tak peduli dengan tamu kedua orang tuanya pun ikut menghampiri."Ma, Pa, ada apa?" tanya Abizar setengah berlari, ia takut ada orang kesurupan di rumahnya mengingat sang ibu pernah diganggu makhluk halus."Ssst, gak ada apa-apa," jawab Beni dengan meletakkan jari telunjuk di bibirnya.Namun, bukannya pergi, Abizar justru tertarik ingin mendengar obrolan mereka. Sehingga, lelaki kelas tiga sekolah menengah atas itu duduk di kursi lainnya yang kosong.Asih yang tengah menangis tak memedulikan kehadiran putra Beni, ia tak lagi malu untuk mengemis maaf."Be
Alarm berbunyi di pukul empat pagi. Sehingga, membuat Citra dan suaminya terperanjat. Boy yang masih merasa lelah itupun meraih ponsel di atas meja, kemudian ia mematikan alarmnya. Namun, bukannya bangkit, lelaki itu justru merebahkan lagi kepalanya ke atas bantal."Kok tidur lagi?"Citra yang juga terbangun karena mendengar alarm lantas menoleh ke arah suaminya. Tubuh keduanya masih polos dan hanya ditutupi oleh selimut saja."Masih ngantuk," jawab Boy dengan suara parau. Matanya seakan-akan sulit terbuka karena rasa lelahnya."Ish, bangun yuk, sebentar lagi kan subuh," ajak Citra.Wanita yang baru saja melepas kegadisannya itu bangkit kemudian duduk di samping Boy, ia menutup dadanya dengan selimut yang dikenakan."Hufft, ayo."Meskipun masih terasa lelah karena pertarungan semalam, tetapi Boy masih selalu ingat dengan kewajibannya. Kendatipun mengantuk dan kerap dihantui rasa malas, tetapi ia selalu bangun untuk bersih-bersih sebelum subuh.Lelaki itu lantas ikut bangkit lalu menci
"Kamu siap, gak?" tanya Boy.Lelaki itu berbisik di daun telinga sang istri dengan suara lembut dan berat. Sementara Citra hanya mengangguk dengan wajah tersipu."Tapi kita harus berdoa dulu," ujar Citra.Ia hampir tak berani melihat mata suaminya sebab malu, takut dan gelisah terus menghantuinya. Namun, tak dipungkiri ia pun sangat menginginkan malam ini."Iya, aku tahu, yuk kita berdoa dulu," jawab Boy.Keduanya saling melempar senyum, kemudian melafalkan doa sebelum berhubungan. Keduanya berharap semoga setelah malam ini akan lahir keturunan yang sholeh dan sholehah.Namun, setelah berdoa keduanya justru merasa kaku dan malu. Citra bingung begitupun Boy, sehingga lelaki dengan janggut tipis itu menggaruk-garuk kepala sebab salah tingkah yang membuat keduanya tertawa.Tak ingin gagal, Boy yang sangat senang dengan bibir istrinya lantas kembali melabuhkannya di sana. Pun Citra, ia sudah merasa terbiasa sehingga tak lagi malu seperti saat pertama menikah.Lama Boy memainkan bibirnya d
"Aku sakit karena membaca surat kamu sama Maira," jawab Citra, bukannya sedih, gadis itu justru tertawa mengingat kekonyolannya. Namun, tidak bagi Boy, ia justru semakin merasa bersalah dan menyadari betapa besar cinta sang istri padanya."Iya kah?" tanya Boy."Iya, kamu tahu gak, kamu adalah orang pertama yang aku cintai."Citra melanjutkan perjalanan, sementara Boy terus menatapnya dengan perasaan kagum juga bahagia."Aku berasa terbang karena dicintai begitu dalam," jawab Boy sembari tertawa. Lelaki itupun meraih kembali jemari Citra dan menuntunnya keluar dari area makam.Setelah sampai di parkiran, Boy meraih helm dan membantu Citra mengenakannya."Aku juga bisa pakai sendiri," tolak Citra, tetapi tak dipungkiri hatinya meleleh dengan perlakuan Boy yang begitu manis."Gak apa-apa, kamu cantik kalau pakai helm," puji Boy sembari menepuk-nepuk benda penutup kepala itu lembut."Ya sudah, sekarang kita cari masjid dulu yuk, habis itu kita makan, aku laper," ajak Citra."Ayok," balas
"Kak Farel, ada Oma sama Opa."Maira berbisik di telinga suaminya. Ia malu sebab ketahuan bermesraan di dapur. Sehingga, keduanya yang tengah berhadapan dengan jarak yang sangat dekat itu lantas menjauh."Gak usah malu, justru kita senang ya, Mas," ujar Indira pada suaminya.kedua pasangan berusia lanjut itu saling melempar senyum. Indira tanpa ragu menggandeng lengan suaminya di hadapan pengantin baru itu."Iya, gak apa-apa, jangan kalah sama kita yang udah tua," sahut Adi sembari tertawa kemudian berlalu meninggalkan Maira dan suaminya di sana.Saat langkah Adi menjauh, Farel masih tersenyum lebar. Ia sangat bahagia karena melihat keromantisan nenek dan kakek Maira meski sudah berusia lanjut."Oma sama Opa romantis banget, ya. Pasti dulu mereka saling mencintai," puji Farel saat kedua orang yang merawat istrinya pergi."Enggak, justru di masa lalu mereka pernah bercerai. Bahkan, kehadiran Mama pun belum bisa membuat Oma mencintai suaminya," balas Maira."Yang benar?"Farel terkejut,
Di rumah Indira, Maira tengah memasak untuk sarapan. Sementara nenek dan kakeknya tengah berjalan-jalan pagi. Mereka sadar sudah tak muda lagi dan harus memerhatikan kesehatan agar tak menjadi pesakitan."Masak apa?"Farel yang baru saja keluar kamar itu menghampiri sang istri, ia memeluk Maira dari belakang sehingga membuat istrinya sedikit terkejut."Eh, aku masak nasi goreng buat sarapan," jawab Maira.Wanita itu membiarkan tangan suaminya melingkar di pinggang. Sehingga, Maira bisa merasakan kehangatan di punggungnya yang menempel dengan dada Farel."Baunya enak," puji Farel.Melihat rambut Maira yang diikat ke belakang dan menampilkan leher jenjang membuat kecantikan wanita itu kian paripurna. Sehingga, membuat Farel semakin senang bermanja-manja dengannya."Oh ya, hari ini mau temani aku ke kantor, enggak?" tanya Maira.Saat libur kuliah, ia memang sering menghabiskan waktu untuk mengurus perusahaan Mega. Maira yang memang mengambil jurusan manajemen dan administrasi bisnis itu