Hari terus berlalu, setelah persiapan yang sangat singkat esok pernikahan Maira dan Farel hendak dilangsungkan.Malam ini, Syadea masih terus menangis di dalam kamar. Sesekali ponselnya berdering, kontak bernama Farel terus bergerak-gerak di sana. Hanya saja wanita itu enggan menerimanya sejak mengetahui kabar kalau lelaki pujaannya itu hendak menikah.'Maaf Pak, aku gak bisa,' gumam Syadea, jauh dalam hati ia ingin menerima panggilan itu dan membicarakan banyak hal dengan Farel. Hanya saja kekecewaannya sudah berada di puncak. Penantiannya selama ini terbalas oleh rasa sakit yang kian menusuk jiwa.Andai Farel tak pernah memberi harapan padanya di malam itu, mungkin saja hal ini tak begitu menyakitkan bagi Syadea sebab dalam masa penantian ia pun sudah sering merasa gundah.Namun, harapannya tiba-tiba saja kembali kala bertemu Farel malam itu. Syadea merasa dipermainkan oleh takdir. Padahal ia sudah hampir menyerah, tetapi Farel justru hadir seolah-olah menjadi hadiah. Kini, ia harus
Maira masuk ke dalam kamar, di sana ada Mega yang duduk di kursi roda tengah berbincang dengan Indira."Itu Maira," kata Mega kala menyadari cucunya berdiri di ambang pintu."Sini, Mai," titah Indira, ia menepuk lantai yang dijadikan tempat duduk mereka, tak jauh darinya ada Cindy yang sudah siap dengan peralatan henna nya.Maira mengangguk lalu bergabung dengan mereka. Dengan perasaan terpaksa wanita itu memberikan tangannya pada Cindy untuk dihias."Wedding Organizer pilihan kamu memang keren, Mbak," puji Indira pada Mega."Syukurlah kalau suka," jawab Mega."Iya, tadi sore aku lihat, semuanya di desain dengan sangat epik," terang Indira, wanita itu bahagia karena pernikahan Maira akan dilangsungkan di sebuah hotel dengan konsep outdoor."Saya akan memberikan yang terbaik untuk Maira," kata Mega, ia pun tersenyum sebab cucunya sudah akan menikah.Di antara riuh obrolan mereka, Maira lah yang tetap diam. Andai bisa menghentikan waktu, ingin ia tetap di sana dan tak ingin ada pagi. Ka
Melihat Maira melirik ke arahnya, Boy lantas menundukkan pandangan. Jauh di dalam sana ada rasa yang koyak. Hanya saja lelaki itu enggan memperlihatkannya di hadapan semua orang. Sudah cukup ia merasa batinnya tersiksa. Meski sangat cinta, tetapi jika tak ada garis jodoh, manusia bisa apa? Bukankah Tuhan lebih tahu dengan jalan hidup setiap hamba-Nya?Di dekat Sarah, Mega tersenyum dengan air mata berderai sebab rasa haru. Ia tak menyangka bisa melihat cucunya menikah. Meskipun tak bisa mendampingi layaknya Adi dan Indira lantaran sakit, tetapi tak mengurangi rasa bahagianya.MC dengan cekatan menyambut mempelai wanita yang diiring oleh para bridesmaid berhijab itu. Ada Citra dan juga beberapa teman semasa di pondok pesantren serta dari kampusnya berjalan di belakang Maira yang didampingi Adi serta Indira.Kakek dan Nenek Maira yang berdiri di samping mempelai wanita itu menyadari ada Boy tengah duduk di dekat Sarah. Mereka lantas tersenyum getir.Rerbesit rasa bersalah pada anaknya S
Boy duduk di sebuah kursi tak jauh dari taman. Lelaki itu ingin menumpahkan semua rasa di sana, hanya saja sebagai seorang laki-laki sulit baginya mengeluarkan air mata laksana perempuan. Sehingga ia hanya diam sambil terus menenangkan gemuruh hebat di dada.Jika orang lain mungkin akan menyesap sebatang rokok, maka ia yang tak pernah merokok hanya mampu menatap nanar lalu lalang orang lain. Meski berada di keramaian tetapi ia merasa sangat sepi.Ustaz Ibrahim yang melihat Boy dari kejauhan lantas melanjutkan langkah dan duduk di samping lelaki yang sudah ia anggap sebagai adiknya sendiri."Minum air putih konon mampu membuat emosi lebih stabil."Ustaz Ibrahim menyodorkan air mineral sambil duduk di samping Boy."Eh Ustaz," sapa Boy kala menyadari murabbi menghampiri dan duduk di sebelahnya. Lelaki itu juga meraih air mineral yang diberikan. "Jazakallah," lanjutnya kemudian menenggak air dalam kemasan botol tersebut hingga habis."Haus atau panas?" goda Ustaz Ibrahim sambil tertawa ke
"Ya sudah, mendingan sekarang kita balik lagi ke sana, gak enak kelamaan di sini."Abizar mengajak Syadea yang sudah lebih tenang. Lelaki itu pun tersenyum pada wanita pujaan hatinya, meskipun hanya dianggap sebagai teman, tetapi Abizar berusaha memberi semangat agar Syadea kembali bangkit."Kayaknya gue di sini aja deh, lo aja yang pergi," sahut Syadea, meski sudah tenang, tetapi gadis itu masih belum mampu melihat Farel dan Maira bersanding di pelaminan."Jangan gitu lah, gue yakin lo bisa dan mampu melewati ini, jangan biarkan diri lo lemah, jangan sampai lo kalah sama keadaan," timpal Abizar.Mendengar afirmasi positif dari temannya, Syadea lantas menarik napas dalam kemudian menghembuskannya. Setelah dirasa dadanya tak begitu sesak, Syadea lantas bangkit kemudian mengepapalkan tangan kanannya dan didorong ke udara, seakan-akan ia tengah menyemangati diri dalam sebuah perjuangan."Yok, semangat, hidup terus berlanjut!" Syadea tersenyum di tengah-tengah matanya yang basah.Melihat
Waktu terus melaju, Citra yang sudah tak begitu sibuk duduk di samping Ustazah Maryam. Istri dari dosennya itu tengah duduk seorang diri sebab orang yang berbicara dengan sang ustazah baru saja pergi. Ustaz Ibrahim pun tengah bercengkrama dengan teman-teman lainnya sesama dosen yang baru saja datang."Assalamu'alaikum, Ustazah," sapa Citra, kemudian mencium tangan wanita berhijab lebar itu takzim."Waalaikumsalam, Citra," balasnya sembari membirai senyum."Makan dulu, Ustazah.""Sudah, alhamdulillah.""Oh ya Ustazah, maaf hari ini gak bisa halaqah ya.""Iya gak apa-apa, lagi pula kamu lagi sibuk."Ustazah Maryam mengelus jemari Citra dan tersenyum ke arahnya. Wajah yang dibalut hijab itu nampak cantik meski sudah tak lagi muda."MaaSyaAllah ya, jodoh bisa datang kapan saja dan melalui cara apa saja, saya takjub mendengar cerita kamu tentang Maira," lanjut ustazah Maryam, wanita itu melirik sekilas ke arah kedua mempelai yang tengah sibuk melakukan foto."Iya Ustazah," balas Citra deng
Matahari mulai tenggelam, pesta pernikahan Farel dan Maira sudah selesai. Mega memintanya menginap di hotel untuk berbulan madu dan saling mengenal. Meski acara sudah berakhir, Maira merasa sedih sebab Radit ternyata tak bisa datang. Firda terus menerus pingsan dan jatuh sakit lantaran kepergian ibunya yang bersamaan dengan hari pernikahan Maira.Kini, Maira dan Farel telah berada di kamar yang sama. Keduanya nampak kaku meski sudah resmi menikah.Maira duduk dan mematut diri pada cermin, ia tengah membersihkan sisa makeup di wajahnya. Wanita itu masih menggunakan pakaian pengantinnya dengan lengkap."Saya harus panggil siapa? Bapak, Mas atau Kakak?"Maira yang dengan lihai mengusap wajahnya menggunakan kapas itu bertanya tanpa melihat Farel."Terserah."Farel yang sedang merebahkan tubuh di atas kasur pun menjawab tanpa memedulikan lawan bicaranya. Lelaki itu seakan-akan masih tak menyangka kalau kini sudah menjadi seorang suami.Maira menoleh ke arah dosen baru di kampusnya itu. Ia
Perasaan Citra tak karuan kala melihat wajah tampan nam teduh dengan janggut tipis di dagu itu. Ia kembali bangkit hendak ke dapur. Hanya saja, karena salah tingkah ia hampir menabrak Syadea yang membawa makanan lainnya dan hendak ditaruh ke atas karpet."Kak Citra hati-hati dong."Suara Syadea yang cempreng berhasil membuat semua mata tertuju pada mereka, tak terkecuali Boy. Lelaki itupun melihat wanita yang diyakini menyukainya itu tengah menatap sang adik geram."Berisik, bisa gak sih ngomong gak usah pake urat? Kan Kakak malu." Citra bicara dengan merapatkan gigi, pertanda bahwa ia sedang kesal dengan adiknya."Heee ... maaf." Syadea hanya tersenyum dengan menunjukkan deretan gigi, ia tak merasa bersalah meskipun kakaknya menjadi pusat perhatian."Dea ... Citra, hati-hati, Nak." Dian menyeru, sementara Rian tengah berbincang-bincang dengan kaum lelaki di teras rumah."Iya, Ma," jawab Citra, tetapi matanya bukan melihat Dian, melainkan mencuri-curi pandang ke arah Boy yang mengayun