"Citra?" gumam Maira lirih, gadis itu dan Boy menghentikan sejenak membacakan ayat Al-Quran untuk Hasna.Citra yang tengah terpukul tak begitu peduli pada kedekatan Maira dengan lelaki yang dicintainya. Meskipun hal itupun membuatnya terluka, tetapi hatinya jauh lebih terpukul atas kepergian neneknya."Oma ...."Citra berbisik lirih, air matanya kembali bercucuran melihat raga yang terbujur kaku di sana. Rian dan Radit sudah berdiri di belakangnya, mereka sudah bersiap-siap andai Citra akan pingsan karena kondisinya yang lemah.Melihat kesiapsiagaan dua lelaki itu, hati Maira terasa iri, ia sangat merindukan sosok ayah sehingga bagi Maira, Citra sangatlah beruntung memiliki dua raja yang melindunginya.Sementara Dian, Syadea dan Indira yang baru saja terlelap kebangun lantaran mendengar suara Citra. Mereka lantas kembali menghampiri tempat di mana Hasna dibaringkan.Citra berjalan perlahan, lututnya terasa sangat lemas. Ia kemudian membuka kain penutup wajah Hasna, didapatinya wajah y
"Maaf, Kak, aku salah ngomong," kata Syadea sembari menutup mulutnya dengan kedua tangan. Semua mata ibu-ibu mengarah padanya dengan tatapan yang seakan-akan menghakimi."Oma, apa benar yang dibicarakan Mamanya Citra?" tanya Boy pada Sarah dengan tatapan yang entah, merekapun sulit mengartikan.Sarah mengangguk, "Iya, Boy," jawabnya."Aku memang sudah tahu kalau Maira saudara dari jalur ibu dan bapaknya lantaran mereka berdua sama-sama adik Mama. Tapi, yang aku gak ngerti kok kita bisa saudara sama Boy?"Citra mengeluarkan semua isi hatinya. Selama ini ia memang sudah diberitahu tentang silsilah Maira. Terlebih karena ada Mega di sana yang juga sangat akrab dengan keluarganya. Hanya saja gadis itu tak mengerti bagaimana bisa dirinya, Maira dan Boy masih sedarah."Biar Oma yang ceritakan semuanya, tapi Oma harap setelah ini kalian gak akan menghakimi dan marah pada siapapun, ya." Mega bersuara.Sebagai istri sah dari Haris, ia menjelaskan semuanya dengan detail dan sejujur-jujurnya pad
"Oma, aku mau ke rumah Oma Mega dulu, ya. Ada beberapa laporan yang harus aku kasih."Maira yang mengenakan gamis berwarna hitam dipadukan dengan hijab merah muda itu tersenyum pada Indira dan Adi yang sudah semakin sepuh."Iya sayang, kamu hati-hati di jalan, ya."Indira yang tengah duduk bersama suaminya itu lantas bangkit kemudian mencium kening cucunya yang sudah semakin dewasa.Perpaduan gen Raya dan Erlangga membuat paras gadis berhijab itu indah nan adiwarna. Semakin tumbuh dewasa, ia layaknya bunga mawar yang mekar. Banyak yang mengincar keindahannya, tetapi ia yang berduri tak mudah dipetik oleh sembarang orang.Hingga hari ini, Indira, Adi dan Mega hampir kewalahan menolak lelaki yang meminang cucunya. Meskipun Maira mengatakan ingin menikah muda dan nenek kakeknya pun merestui, tetapi mereka tak bisa melakukan apapun jika Maira sendiri yang menolak lamaran dari para lelaki yang rata-rata sudah sukses dan mapan itu.Banyak orang bilang, anak hasil perzinahan itu hina dan seo
Farel baru saja keluar dari bandara Soekarno-hatta dijemput oleh Beni, Nengsih dan adiknya."Welcome back, Bro!"Abizar antusias menyambut kedatangan kakaknya. Selama empat tahun terakhir ia berpisah dengan Farel, hanya sesekali saja kakaknya pulang ke Indonesia jika ada keperluan atau hari besar.Setelah menyelesaikan studi magister, Farel bekerja di sana selama dua tahun. Namun, setelah mendengar kabar bahwa Nengsih sakit ia memutuskan pulang ke Indonesia dan bekerja di negaranya saja. Kebetulan ia diterima kerja di sebuah universitas swasta terkenal sebagai dosen."Makin gede makin ganteng nih ade gue," puji Farel sembari menepuk pundak adiknya."Iya dong, Abizar gitu loh," jawabnya penuh percaya diri."Terima kasih sudah kembali, Nak." Beni yang sudah semakin berumur itu tersenyum melihat putra pertamanya pulang dan kembali menetap di tanah air."Demi Mama, aku gak bisa kerja dengan baik kalau Mama sakit," jawab Farel, lelaki itu memeluk Nengsih yang duduk di kursi roda.Sudah tig
Pukul setengah lima sore, Maira baru saja pulang dari kampus. Bayang-bayang wajah Boy masih terus menghiasi ingatannya. Sihir saat mengembalikan buku itu seolah-olah telah menghipnotisnya.'Ya Allah, tolong hapus dia dari ingatanku, aku gak mau menyakiti perasaan Citra, aku tahu dia berharap sama Boy.'Sambil menyetir gadis itu membatin, ia merasa kesal dengan dirinya sendiri yang sulit melupakan Boy. Padahal, banyak lelaki yang menyatakan cinta dan melamarnya, tetapi entah mengapa ia masih selalu memikirkan Boy.Sesampainya di rumah, Maira memarkirkan mobil di garasi. Setelah dipastikan tak ada barang yang tertinggal di mobil, gadis itu pun membuka pintu dan mengucapkan salam pada nenek dan kakeknya yang tengah bercengkrama di ruang tamu.Dulu, semasa kecil Maira dan Indira tinggal di rumah pemberian Radit. Hanya saja setelah Indira menikah lagi dengan Adi mereka sudah tak tinggal di sana. Perlahan-lahan kehidupan Indira semakin membaik, terlebih Maira mendapat sokongan biaya dari Me
Di dalam ruang tamu kediaman Maira, Boy duduk dengan gusar dan sangat grogi. Inilah kali pertama dalam hidupnya menyatakan keinginan untuk menikah pada keluarga perempuan. Ia pun sengaja datang sendiri agar Sarah tak begitu ikut campur dulu dalam proses ini. Boy takut semuanya akan menjadi rumit jika neneknya tahu."Tumben Boy mampir? Ibu senang sekali kamu mau mampir, omong-omong gimana kabar Sarah?" tanya Indira dengan senyum lebar. Wanita itu sangat antusias menerima kedatangan anaknya Stella.Indira menyebut dirinya sebagai ibu pada Boy karena sejak pertemuan pertamanya lelaki itu menyebutnya dan orang lain dengan sebutan serupa."Alhamdulillah sehat, Bu," jawab Boy ramah dan sopan."Alhamdulillah kalau sehat," balas Indira lega."Omong-omong di sini kamu tinggal di mana? Maira bilang kamu kuliah di kampus yang sama?" tanya Indira lagi.Boy mendongak, tak dipungkiri ia merasa senang mendengar Maira membicarakannya dengan Indira, sehingga diam-diam lelaki itu tersipu."Iya, kebetul
"Boy, Innalillahi wainnailaihi rraji'un."Citra berujar lirih, ia terbiasa mengucapkan kalimat istirja jika mendapati sebuah musibah. Baik itu, kematian, kehilangan, kemalangan dan kecelakaan."Pak ... pak, ini saudara saya, apa yang terjadi?" tanya Citra dengan wajah panik, ia merangsek membelah kerumunan dan sedikit berlari untuk mengejar orang yang mengangkat Boy."Kebetulan, ayo Neng bawa ke rumah sakit," kata salah seorang yang membopong Boy, mereka sudah memberhentikan mobil pick up yang melintas. Tetapi Citra merasa tak rela jika Boy dibawa menggunakan mobil itu. Sementara mobil ambulance membawa korban satunya lagi yang lukanya jauh lebih parah dari Boy."Pak, bawa ke mobil saya saja, tolong Pak," pinta Citra dengan tubuh bergetar melihat Boy yang sudah berdarah-darah. Air mata luruh membanjiri kedua pipinya."Mana mobilnya Neng?" tanya salah seorang dari mereka lagi.Citra menunjukkan mobilnya yang tak begitu jauh dari lokasi. Ia juga memberikan kunci mobil pada salah seorang
"Sebentar, Lo duluan aja."Farel menarik lengannya dari wanita cantik itu dan mengayunkan langkah ke arah Syadea. Ditatapnya gadis yang dulu sering sekali mencuri perhatiannya itu dalam. Kini, Syadea sudah semakin dewasa. Kecantikannya kian memancar sehingga membuat Farel terkesima."Syadea, apa kabar?" tanya Farel."Baik, Pak, Bapak apa kabar?" Syadea bertanya balik, empat tahun bukan waktu yang sebentar untuk sebuah penantian, banyak hal yang Syadea korbankan demi rasa yang tak pasti itu.Harapan demi harapan selalu ia langitkan setiap malam. Mungkin beberapa orang akan menyebutnya bodoh karena menantikan orang yang bahkan tidak menjanjikan kata-kata apapun untuk kembali."Oh syukurlah, kamu lagi apa di sini?" tanya Farel, kali ini sudah tak sedingin dulu, usia yang sudah matang memaksanya harus ramah pada perempuan, terlebih ayahnya sudah mendesaknya untuk menikah. Bisa-bisa tak ada yang mau dekat jika ia terus menerus bersikap acuh."Keponakan Mama kecelakaan, dia dirawat di sini,
"Sayang."Beni menghampiri Nengsih yang masih tersedu-sedu. Air mata wanita itu sulit terhenti. Hatinya masih saja nyeri membayangkan masalah yang menimpa keluarganya."Hmmm."Nengsih hanya berdehem, setelah jarak suaminya dekat, ia pun justru mengalihkan pandangan. Kondisi mood sedang buruk lantaran tengah premenstrual syndrom. Sehingga, hormonnya sangat berpengaruh terhadap masalah yang tengah dihadapi.Biasanya, Nengsih akan berpikir rasional. Namun, entah mengapa kali ini seakan-akan ia membenarkan ucapan Abizar bahwa semua yang terjadi antara keluarganya dengan keluarga Tiara disebabkan oleh pengkhianatan suaminya.Beni yang lelah, lantas mencoba diam, lelaki itu mencerna sikap istrinya kemudian instrospeksi diri. Namun, setelah diperhatikan sekian lama ia baru peka bahwa istrinya tengah mengalami mood swing. Sehingga, ia memeluk istrinya dari belakang, tak peduli Nengsih mengamuk, ia hanya ingin menunjukkan bahwa dirinya sangat mencintai sang istri dibandingkan orang lain."Apaa
"Ya udah, sambil nunggu Kak Citra masuk aja dulu, yuk."Kedua insan itu lantas masuk ke rumah Dian. Di dalam, Abizar langsung disambut hangat oleh Dian."Abizar, apa kabar?" tanya Dian begitu pandangannya bersitatap dengan putra kedua Beni."Alhamdulillah, aku sehat Tante, Tante Dian apa kabar?"Abizar meraih tangan Dian lalu menciumnya takzim. Lelaki itu kemudian duduk di sofa, sementara Syadea pergi ke dapur untuk mengambilkan jamuan untuk sahabatnya."Katanya mau berangkat siang, ini masih pagi, lho," ujar Dian, ia menoleh ke arah jam dinding yang baru menunjukkan pukul sembilan.Belum sempat Abizar menjawab, Syadea yang baru kembali dari dapur sembari membawa air dan kudapan itu menyahut."Biasa Ma, dia gak sabar," ujar Syadea dengan menaikkan sebelah alisnya.Dian tersenyum, wanita itu kemudian menganggukkan kepala dan pergi ke halaman rumah untuk mengurus semua tanaman hias kesayangannya.Setelah Dian berlalu, wajah Abizar kembali pias kala mengingat sang ayah. Rasa kecewa kemba
Beni mengejar istrinya yang tengah dikuasai emosi. Lelaki itu tahu betul bukan seperti ini karakter Nengsih. Namun, ia pun memaklumi apa yang dirasakan sang istri."Sayang, tunggu!"Beni menyeru istrinya yang baru saja membuka pintu kamar. Sedangkan Nengsih yang baru saja memutar kenop pintu itu menghentikan langkahnya sejenak. Wanita itu terisak, kemudian menyeka air mata yang berkejaran di pipinya.Melihat butiran kristal yang terus meluruh dari manik belahan jiwanya, Beni lantas memeluk sang istri erat. Ia tak mengatakan apapun meski ada yang ingin dikatakan.Beni memilih untuk membiarkan Nengsih mengekspresikan perasaannya. Sedih, marah, kecewa adalah rasa yang sangat manusiawi. Sebaik apapun sang istri, lelaki itu sadar wanitanya bukanlah malaikat. Sama seperti dirinya, kendatipun sudah berusaha menjadi orang baik, tetap saja ia selalu melakukan kesalahan."Mungkin benar kata Abizar, aku yang membuat semua jadi begini, andai aku gak menikahi Tiara untuk membantunya, andai aku jug
Mendengar kalimat yang dilontarkan oleh Asih, Beni dan istrinya lantas saling pandang. kedua insan itu mengerutkan dahi sebab rasa penasaran."Maksud Bu Asih?" tanya Nengsih tak mengerti.Begitupun dengan Beni, ia menatap mata mantan mertuanya penuh selidik. Entah, lelaki itu merasa ada makna tersirat dari kalimat yang diucapkan oleh Asih.Tak langsung menjawab, Asih justru menangis semakin kencang hingga membuat Abizar yang sebelumnya tak peduli dengan tamu kedua orang tuanya pun ikut menghampiri."Ma, Pa, ada apa?" tanya Abizar setengah berlari, ia takut ada orang kesurupan di rumahnya mengingat sang ibu pernah diganggu makhluk halus."Ssst, gak ada apa-apa," jawab Beni dengan meletakkan jari telunjuk di bibirnya.Namun, bukannya pergi, Abizar justru tertarik ingin mendengar obrolan mereka. Sehingga, lelaki kelas tiga sekolah menengah atas itu duduk di kursi lainnya yang kosong.Asih yang tengah menangis tak memedulikan kehadiran putra Beni, ia tak lagi malu untuk mengemis maaf."Be
Alarm berbunyi di pukul empat pagi. Sehingga, membuat Citra dan suaminya terperanjat. Boy yang masih merasa lelah itupun meraih ponsel di atas meja, kemudian ia mematikan alarmnya. Namun, bukannya bangkit, lelaki itu justru merebahkan lagi kepalanya ke atas bantal."Kok tidur lagi?"Citra yang juga terbangun karena mendengar alarm lantas menoleh ke arah suaminya. Tubuh keduanya masih polos dan hanya ditutupi oleh selimut saja."Masih ngantuk," jawab Boy dengan suara parau. Matanya seakan-akan sulit terbuka karena rasa lelahnya."Ish, bangun yuk, sebentar lagi kan subuh," ajak Citra.Wanita yang baru saja melepas kegadisannya itu bangkit kemudian duduk di samping Boy, ia menutup dadanya dengan selimut yang dikenakan."Hufft, ayo."Meskipun masih terasa lelah karena pertarungan semalam, tetapi Boy masih selalu ingat dengan kewajibannya. Kendatipun mengantuk dan kerap dihantui rasa malas, tetapi ia selalu bangun untuk bersih-bersih sebelum subuh.Lelaki itu lantas ikut bangkit lalu menci
"Kamu siap, gak?" tanya Boy.Lelaki itu berbisik di daun telinga sang istri dengan suara lembut dan berat. Sementara Citra hanya mengangguk dengan wajah tersipu."Tapi kita harus berdoa dulu," ujar Citra.Ia hampir tak berani melihat mata suaminya sebab malu, takut dan gelisah terus menghantuinya. Namun, tak dipungkiri ia pun sangat menginginkan malam ini."Iya, aku tahu, yuk kita berdoa dulu," jawab Boy.Keduanya saling melempar senyum, kemudian melafalkan doa sebelum berhubungan. Keduanya berharap semoga setelah malam ini akan lahir keturunan yang sholeh dan sholehah.Namun, setelah berdoa keduanya justru merasa kaku dan malu. Citra bingung begitupun Boy, sehingga lelaki dengan janggut tipis itu menggaruk-garuk kepala sebab salah tingkah yang membuat keduanya tertawa.Tak ingin gagal, Boy yang sangat senang dengan bibir istrinya lantas kembali melabuhkannya di sana. Pun Citra, ia sudah merasa terbiasa sehingga tak lagi malu seperti saat pertama menikah.Lama Boy memainkan bibirnya d
"Aku sakit karena membaca surat kamu sama Maira," jawab Citra, bukannya sedih, gadis itu justru tertawa mengingat kekonyolannya. Namun, tidak bagi Boy, ia justru semakin merasa bersalah dan menyadari betapa besar cinta sang istri padanya."Iya kah?" tanya Boy."Iya, kamu tahu gak, kamu adalah orang pertama yang aku cintai."Citra melanjutkan perjalanan, sementara Boy terus menatapnya dengan perasaan kagum juga bahagia."Aku berasa terbang karena dicintai begitu dalam," jawab Boy sembari tertawa. Lelaki itupun meraih kembali jemari Citra dan menuntunnya keluar dari area makam.Setelah sampai di parkiran, Boy meraih helm dan membantu Citra mengenakannya."Aku juga bisa pakai sendiri," tolak Citra, tetapi tak dipungkiri hatinya meleleh dengan perlakuan Boy yang begitu manis."Gak apa-apa, kamu cantik kalau pakai helm," puji Boy sembari menepuk-nepuk benda penutup kepala itu lembut."Ya sudah, sekarang kita cari masjid dulu yuk, habis itu kita makan, aku laper," ajak Citra."Ayok," balas
"Kak Farel, ada Oma sama Opa."Maira berbisik di telinga suaminya. Ia malu sebab ketahuan bermesraan di dapur. Sehingga, keduanya yang tengah berhadapan dengan jarak yang sangat dekat itu lantas menjauh."Gak usah malu, justru kita senang ya, Mas," ujar Indira pada suaminya.kedua pasangan berusia lanjut itu saling melempar senyum. Indira tanpa ragu menggandeng lengan suaminya di hadapan pengantin baru itu."Iya, gak apa-apa, jangan kalah sama kita yang udah tua," sahut Adi sembari tertawa kemudian berlalu meninggalkan Maira dan suaminya di sana.Saat langkah Adi menjauh, Farel masih tersenyum lebar. Ia sangat bahagia karena melihat keromantisan nenek dan kakek Maira meski sudah berusia lanjut."Oma sama Opa romantis banget, ya. Pasti dulu mereka saling mencintai," puji Farel saat kedua orang yang merawat istrinya pergi."Enggak, justru di masa lalu mereka pernah bercerai. Bahkan, kehadiran Mama pun belum bisa membuat Oma mencintai suaminya," balas Maira."Yang benar?"Farel terkejut,
Di rumah Indira, Maira tengah memasak untuk sarapan. Sementara nenek dan kakeknya tengah berjalan-jalan pagi. Mereka sadar sudah tak muda lagi dan harus memerhatikan kesehatan agar tak menjadi pesakitan."Masak apa?"Farel yang baru saja keluar kamar itu menghampiri sang istri, ia memeluk Maira dari belakang sehingga membuat istrinya sedikit terkejut."Eh, aku masak nasi goreng buat sarapan," jawab Maira.Wanita itu membiarkan tangan suaminya melingkar di pinggang. Sehingga, Maira bisa merasakan kehangatan di punggungnya yang menempel dengan dada Farel."Baunya enak," puji Farel.Melihat rambut Maira yang diikat ke belakang dan menampilkan leher jenjang membuat kecantikan wanita itu kian paripurna. Sehingga, membuat Farel semakin senang bermanja-manja dengannya."Oh ya, hari ini mau temani aku ke kantor, enggak?" tanya Maira.Saat libur kuliah, ia memang sering menghabiskan waktu untuk mengurus perusahaan Mega. Maira yang memang mengambil jurusan manajemen dan administrasi bisnis itu