"Dian, Syadea mana kok belum pulang?" tanya Hasna pada anaknya. Wanita yang baru saja pulang dari rumah Indira itu langsung mencari sang cucu, tetapi ia tak menemukan adiknya Citra di manapun."Katanya tadi ada kelas tambahan, tadi gurunya nelpon aku, Bu," jawab Dian yang tengah memainkan ponselnya kemudian menaruh sejenak gadget dalam genggamannya ke atas meja."Oh, terus dia pulang sama siapa?" tanya Hasna lagi."Sama gurunya, tadi bilang mau diantar," balas Dian sambil menatap Hasna yang semakin tua dan rambutnya telah memutih itu."Gurunya laki-laki atau perempuan? Terus orangnya bisa dipercaya enggak?" Hasna memberondong anaknya dengan pertanyaan saking khawatir pada Syadea."Laki-laki, InsyaAllah baik kok, Bu, gak usah berpikiran macam-macam," timpal Dian sambil tersenyum."Ibu cuma takut aja, Nak," sahut Hasna kemudian duduk di samping putrinya."Iya, Dian ngerti kok, Bu." Dian tersenyum haru menatap wajah sang ibunda."Tadi ibu ketemu sama Mega di rumah Indira, katanya dia tit
"Oh ...."Syadea hanya membulatkan bibirnya, tetapi sorot mata gadis itu tak mampu berbohong kalau ia merasa sakit dengan perkataan ibu dan neneknya. Hanya saja Dian yang tengah tertawa itu kurang sadar dengan reaksi wajah anak keduanya."Ya sudah, kamu makan dulu ya, Mama tadi masak makanan kesukaan kamu," titah Dian."Aku udah makan Ma, kebetulan tadi di sana ditawari makan juga, kalau gitu aku masuk kamar dulu, ya." Syadea bangkit kemudian berlalu dengan wajah lesu.Melihat raut tak biasa dari wajah putrinya, Dian lantas merasa aneh. Namun, wanita itu berpikir anaknya kelelahan karena belajar seharian."Ya sudah, habis itu istirahat ya," titah Dian pada putrinya.Sesampainya di kamar, Syadea langsung menjatuhkan tubuh ke atas kasur sambil menangis. Ia tak mengerti kenapa hanya dengan kalimat sederhana itu hatinya seperti tertusuk."Ya Tuhan, apa ini yang namanya patah hati?" bisik Syadea sembari membenamkan wajahnya ke bantal dalam-dalam.Kata-kata Hasna tentang perjodohan Citra de
"Selamat pagi, Pak."Farel yang masih tergugu itu kembali disapa oleh seorang wanita yang juga merupakan guru di sekolah tempatnya mengajar."Pagi, Bu." Farel hanya menjawab sapaan itu datar.Sementara Syadea tetap berjalan menuju kelas, hatinya terasa ngilu saat melewati Farel begitu saja. Namun, entah kenapa perkataan ibu dan neneknya terus berkelindan di kepalanya.Setelah jam pelajaran dimulai, Syadea pun tak bisa fokus dengan mata pelajaran yang diterimanya. Ia merasa kesal dengan dirinya karena sulit diajak bekerja sama, sehingga ia sama sekali tak mengerti dengan apa yang sedang dijelaskan oleh gurunya di depan.'Dea! Please, fokus!'Gadis yang memiliki mata besar dengan kulit kuning langsat itu menarik napas dalam kemudian mengembuskannya. Ia menatap wajah sang guru dan menajamkan pendengaran untuk bisa menerima pelajaran dengan baik. Namun, Lagi-lagi yang muncul di kepalanya adalah wajah Farel dan perkataan Hasna semalam.Setelah mengerahkan seluruh tenaga untuk fokus, akhirn
Dian tengah memasak bersama asisten rumah tangganya yang bukan lagi Mbok Siti. Wanita yang sudah puluhan tahun mengabdi pada keluarga Adrian itu semakin sepuh dan memilih tinggal di kampung bersama keluarganya.Pun Hasna dan anak-anaknya, mereka tak ingin Mbok Siti terus menerus bekerja karena usianya telah senja. Namun, meski begitu mereka masih tetap berhubungan baik dengan wanita yang sudah sangat berjasa dalam membantu urusan domestik rumah tangga keluarganya."Sayang, lagi masak apa?" tanya Rian yang menghampiri istrinya ke dapur. Lelaki itu ada jadwal praktik sore dan paginya pun tak begitu padat, sehingga ia bisa menemani istrinya di rumah."Masak sop Mas, Ibu gak enak makan katanya," jawab Dian sambil mengaduk kuah sop yang masih di dalam panci itu."Lho, sejak kapan? Bunda sakit?" tanya Rian khawatir."Sakit sih enggak Mas, katanya gak enak badan aja," timpal Dian."Bukannya tadi pagi Bunda baik-baik aja?" tanya Rian lagi."Iya, barusan aja, waktu aku ajak makan siang mukanya
Sesampainya di rumah sakit, Hasna gegas dibawa ke ruang resusitasi karena sempat mengalami gagal napas.Dengan perasaan gelisah Dian dan suaminya menunggu kabar."Sayang, aku ke toilet sebentar, ya," kata Rian, ia merasa ada yang mendesak di perutnya."Iya, Mas, jangan lama-lama, ya," pinta Dian lalu wanita itu kembali duduk, hatinya gusar menunggu kabar tentang ibunya.Tak lama kemudian, dokter yang merupakan teman kerja Rian itu kembali."Dokter Rian ke mana, Bu?" tanyanya yang sudah akrab dengan Dian itu."Lagi ke belakang sebentar, dok. Oh ya, bagaimana keadaan ibu?" tanya Dian harap-harap cemas.Saat ditanya mengenai Hasna, dokter itu menunduk. Dengan penuh kelembutan dan kehati-hatian kolega Rian itu menyatakan bahwa Hasna telah meninggal dunia.Mendengar kabar tentang Ibunya, Dian langsung histeris. Wanita itu merangsek masuk dan memeluk tubuh Hasna yang perlahan-lahan mulai dingin."Ibuu ...." Dian menangis di hadapan Hasna yang sudah tak bernyawa. Seperti mimpi, tadi pagi ia
"M_maksudnya Papa Erlangga?"Pupil mata Maira melebar mendengar jawaban Sarah, ia mempunyai dua orang lelaki yang dikenalkan dengan Papanya. Namun, ia tahu kalau ayah kandungnya adalah Erlangga, putra dari Oma kaya raya yang selalu memanjakannya dengan materi."Iya, katanya Indira sudah banyak cerita sama kamu," balas Sarah heran. Wanita yang sebelumnya yakin itu seketika saja dihinggapi keraguan, ia takut salah bicara dan khawatir ada hal yang belum diceritakan oleh Indira pada cucunya."M_maksudnya?" tanya Boy dengan mata memicing, berjuta tanya menari-nari di kepalanya. Selama ini ia hanya tahu kalau ibunya sudah meninggal dan merupakan anak satu-satunya Sarah.Jika Boy bertanya tentang kakek, selama ini Sarah lebih banyak diam, sehingga Boy pun merasa takut untuk bertanya, lelaki itu khawatir akan membuka luka lama sang nenek. Boy takut Sarah yang merupakan keluarga dekat satu-satunya akan sakit hati."Panjang ceritanya Boy, semuanya menjadi sangat rumit," jawab Sarah dengan tatap
"Citra?" gumam Maira lirih, gadis itu dan Boy menghentikan sejenak membacakan ayat Al-Quran untuk Hasna.Citra yang tengah terpukul tak begitu peduli pada kedekatan Maira dengan lelaki yang dicintainya. Meskipun hal itupun membuatnya terluka, tetapi hatinya jauh lebih terpukul atas kepergian neneknya."Oma ...."Citra berbisik lirih, air matanya kembali bercucuran melihat raga yang terbujur kaku di sana. Rian dan Radit sudah berdiri di belakangnya, mereka sudah bersiap-siap andai Citra akan pingsan karena kondisinya yang lemah.Melihat kesiapsiagaan dua lelaki itu, hati Maira terasa iri, ia sangat merindukan sosok ayah sehingga bagi Maira, Citra sangatlah beruntung memiliki dua raja yang melindunginya.Sementara Dian, Syadea dan Indira yang baru saja terlelap kebangun lantaran mendengar suara Citra. Mereka lantas kembali menghampiri tempat di mana Hasna dibaringkan.Citra berjalan perlahan, lututnya terasa sangat lemas. Ia kemudian membuka kain penutup wajah Hasna, didapatinya wajah y
"Maaf, Kak, aku salah ngomong," kata Syadea sembari menutup mulutnya dengan kedua tangan. Semua mata ibu-ibu mengarah padanya dengan tatapan yang seakan-akan menghakimi."Oma, apa benar yang dibicarakan Mamanya Citra?" tanya Boy pada Sarah dengan tatapan yang entah, merekapun sulit mengartikan.Sarah mengangguk, "Iya, Boy," jawabnya."Aku memang sudah tahu kalau Maira saudara dari jalur ibu dan bapaknya lantaran mereka berdua sama-sama adik Mama. Tapi, yang aku gak ngerti kok kita bisa saudara sama Boy?"Citra mengeluarkan semua isi hatinya. Selama ini ia memang sudah diberitahu tentang silsilah Maira. Terlebih karena ada Mega di sana yang juga sangat akrab dengan keluarganya. Hanya saja gadis itu tak mengerti bagaimana bisa dirinya, Maira dan Boy masih sedarah."Biar Oma yang ceritakan semuanya, tapi Oma harap setelah ini kalian gak akan menghakimi dan marah pada siapapun, ya." Mega bersuara.Sebagai istri sah dari Haris, ia menjelaskan semuanya dengan detail dan sejujur-jujurnya pad
"Sayang."Beni menghampiri Nengsih yang masih tersedu-sedu. Air mata wanita itu sulit terhenti. Hatinya masih saja nyeri membayangkan masalah yang menimpa keluarganya."Hmmm."Nengsih hanya berdehem, setelah jarak suaminya dekat, ia pun justru mengalihkan pandangan. Kondisi mood sedang buruk lantaran tengah premenstrual syndrom. Sehingga, hormonnya sangat berpengaruh terhadap masalah yang tengah dihadapi.Biasanya, Nengsih akan berpikir rasional. Namun, entah mengapa kali ini seakan-akan ia membenarkan ucapan Abizar bahwa semua yang terjadi antara keluarganya dengan keluarga Tiara disebabkan oleh pengkhianatan suaminya.Beni yang lelah, lantas mencoba diam, lelaki itu mencerna sikap istrinya kemudian instrospeksi diri. Namun, setelah diperhatikan sekian lama ia baru peka bahwa istrinya tengah mengalami mood swing. Sehingga, ia memeluk istrinya dari belakang, tak peduli Nengsih mengamuk, ia hanya ingin menunjukkan bahwa dirinya sangat mencintai sang istri dibandingkan orang lain."Apaa
"Ya udah, sambil nunggu Kak Citra masuk aja dulu, yuk."Kedua insan itu lantas masuk ke rumah Dian. Di dalam, Abizar langsung disambut hangat oleh Dian."Abizar, apa kabar?" tanya Dian begitu pandangannya bersitatap dengan putra kedua Beni."Alhamdulillah, aku sehat Tante, Tante Dian apa kabar?"Abizar meraih tangan Dian lalu menciumnya takzim. Lelaki itu kemudian duduk di sofa, sementara Syadea pergi ke dapur untuk mengambilkan jamuan untuk sahabatnya."Katanya mau berangkat siang, ini masih pagi, lho," ujar Dian, ia menoleh ke arah jam dinding yang baru menunjukkan pukul sembilan.Belum sempat Abizar menjawab, Syadea yang baru kembali dari dapur sembari membawa air dan kudapan itu menyahut."Biasa Ma, dia gak sabar," ujar Syadea dengan menaikkan sebelah alisnya.Dian tersenyum, wanita itu kemudian menganggukkan kepala dan pergi ke halaman rumah untuk mengurus semua tanaman hias kesayangannya.Setelah Dian berlalu, wajah Abizar kembali pias kala mengingat sang ayah. Rasa kecewa kemba
Beni mengejar istrinya yang tengah dikuasai emosi. Lelaki itu tahu betul bukan seperti ini karakter Nengsih. Namun, ia pun memaklumi apa yang dirasakan sang istri."Sayang, tunggu!"Beni menyeru istrinya yang baru saja membuka pintu kamar. Sedangkan Nengsih yang baru saja memutar kenop pintu itu menghentikan langkahnya sejenak. Wanita itu terisak, kemudian menyeka air mata yang berkejaran di pipinya.Melihat butiran kristal yang terus meluruh dari manik belahan jiwanya, Beni lantas memeluk sang istri erat. Ia tak mengatakan apapun meski ada yang ingin dikatakan.Beni memilih untuk membiarkan Nengsih mengekspresikan perasaannya. Sedih, marah, kecewa adalah rasa yang sangat manusiawi. Sebaik apapun sang istri, lelaki itu sadar wanitanya bukanlah malaikat. Sama seperti dirinya, kendatipun sudah berusaha menjadi orang baik, tetap saja ia selalu melakukan kesalahan."Mungkin benar kata Abizar, aku yang membuat semua jadi begini, andai aku gak menikahi Tiara untuk membantunya, andai aku jug
Mendengar kalimat yang dilontarkan oleh Asih, Beni dan istrinya lantas saling pandang. kedua insan itu mengerutkan dahi sebab rasa penasaran."Maksud Bu Asih?" tanya Nengsih tak mengerti.Begitupun dengan Beni, ia menatap mata mantan mertuanya penuh selidik. Entah, lelaki itu merasa ada makna tersirat dari kalimat yang diucapkan oleh Asih.Tak langsung menjawab, Asih justru menangis semakin kencang hingga membuat Abizar yang sebelumnya tak peduli dengan tamu kedua orang tuanya pun ikut menghampiri."Ma, Pa, ada apa?" tanya Abizar setengah berlari, ia takut ada orang kesurupan di rumahnya mengingat sang ibu pernah diganggu makhluk halus."Ssst, gak ada apa-apa," jawab Beni dengan meletakkan jari telunjuk di bibirnya.Namun, bukannya pergi, Abizar justru tertarik ingin mendengar obrolan mereka. Sehingga, lelaki kelas tiga sekolah menengah atas itu duduk di kursi lainnya yang kosong.Asih yang tengah menangis tak memedulikan kehadiran putra Beni, ia tak lagi malu untuk mengemis maaf."Be
Alarm berbunyi di pukul empat pagi. Sehingga, membuat Citra dan suaminya terperanjat. Boy yang masih merasa lelah itupun meraih ponsel di atas meja, kemudian ia mematikan alarmnya. Namun, bukannya bangkit, lelaki itu justru merebahkan lagi kepalanya ke atas bantal."Kok tidur lagi?"Citra yang juga terbangun karena mendengar alarm lantas menoleh ke arah suaminya. Tubuh keduanya masih polos dan hanya ditutupi oleh selimut saja."Masih ngantuk," jawab Boy dengan suara parau. Matanya seakan-akan sulit terbuka karena rasa lelahnya."Ish, bangun yuk, sebentar lagi kan subuh," ajak Citra.Wanita yang baru saja melepas kegadisannya itu bangkit kemudian duduk di samping Boy, ia menutup dadanya dengan selimut yang dikenakan."Hufft, ayo."Meskipun masih terasa lelah karena pertarungan semalam, tetapi Boy masih selalu ingat dengan kewajibannya. Kendatipun mengantuk dan kerap dihantui rasa malas, tetapi ia selalu bangun untuk bersih-bersih sebelum subuh.Lelaki itu lantas ikut bangkit lalu menci
"Kamu siap, gak?" tanya Boy.Lelaki itu berbisik di daun telinga sang istri dengan suara lembut dan berat. Sementara Citra hanya mengangguk dengan wajah tersipu."Tapi kita harus berdoa dulu," ujar Citra.Ia hampir tak berani melihat mata suaminya sebab malu, takut dan gelisah terus menghantuinya. Namun, tak dipungkiri ia pun sangat menginginkan malam ini."Iya, aku tahu, yuk kita berdoa dulu," jawab Boy.Keduanya saling melempar senyum, kemudian melafalkan doa sebelum berhubungan. Keduanya berharap semoga setelah malam ini akan lahir keturunan yang sholeh dan sholehah.Namun, setelah berdoa keduanya justru merasa kaku dan malu. Citra bingung begitupun Boy, sehingga lelaki dengan janggut tipis itu menggaruk-garuk kepala sebab salah tingkah yang membuat keduanya tertawa.Tak ingin gagal, Boy yang sangat senang dengan bibir istrinya lantas kembali melabuhkannya di sana. Pun Citra, ia sudah merasa terbiasa sehingga tak lagi malu seperti saat pertama menikah.Lama Boy memainkan bibirnya d
"Aku sakit karena membaca surat kamu sama Maira," jawab Citra, bukannya sedih, gadis itu justru tertawa mengingat kekonyolannya. Namun, tidak bagi Boy, ia justru semakin merasa bersalah dan menyadari betapa besar cinta sang istri padanya."Iya kah?" tanya Boy."Iya, kamu tahu gak, kamu adalah orang pertama yang aku cintai."Citra melanjutkan perjalanan, sementara Boy terus menatapnya dengan perasaan kagum juga bahagia."Aku berasa terbang karena dicintai begitu dalam," jawab Boy sembari tertawa. Lelaki itupun meraih kembali jemari Citra dan menuntunnya keluar dari area makam.Setelah sampai di parkiran, Boy meraih helm dan membantu Citra mengenakannya."Aku juga bisa pakai sendiri," tolak Citra, tetapi tak dipungkiri hatinya meleleh dengan perlakuan Boy yang begitu manis."Gak apa-apa, kamu cantik kalau pakai helm," puji Boy sembari menepuk-nepuk benda penutup kepala itu lembut."Ya sudah, sekarang kita cari masjid dulu yuk, habis itu kita makan, aku laper," ajak Citra."Ayok," balas
"Kak Farel, ada Oma sama Opa."Maira berbisik di telinga suaminya. Ia malu sebab ketahuan bermesraan di dapur. Sehingga, keduanya yang tengah berhadapan dengan jarak yang sangat dekat itu lantas menjauh."Gak usah malu, justru kita senang ya, Mas," ujar Indira pada suaminya.kedua pasangan berusia lanjut itu saling melempar senyum. Indira tanpa ragu menggandeng lengan suaminya di hadapan pengantin baru itu."Iya, gak apa-apa, jangan kalah sama kita yang udah tua," sahut Adi sembari tertawa kemudian berlalu meninggalkan Maira dan suaminya di sana.Saat langkah Adi menjauh, Farel masih tersenyum lebar. Ia sangat bahagia karena melihat keromantisan nenek dan kakek Maira meski sudah berusia lanjut."Oma sama Opa romantis banget, ya. Pasti dulu mereka saling mencintai," puji Farel saat kedua orang yang merawat istrinya pergi."Enggak, justru di masa lalu mereka pernah bercerai. Bahkan, kehadiran Mama pun belum bisa membuat Oma mencintai suaminya," balas Maira."Yang benar?"Farel terkejut,
Di rumah Indira, Maira tengah memasak untuk sarapan. Sementara nenek dan kakeknya tengah berjalan-jalan pagi. Mereka sadar sudah tak muda lagi dan harus memerhatikan kesehatan agar tak menjadi pesakitan."Masak apa?"Farel yang baru saja keluar kamar itu menghampiri sang istri, ia memeluk Maira dari belakang sehingga membuat istrinya sedikit terkejut."Eh, aku masak nasi goreng buat sarapan," jawab Maira.Wanita itu membiarkan tangan suaminya melingkar di pinggang. Sehingga, Maira bisa merasakan kehangatan di punggungnya yang menempel dengan dada Farel."Baunya enak," puji Farel.Melihat rambut Maira yang diikat ke belakang dan menampilkan leher jenjang membuat kecantikan wanita itu kian paripurna. Sehingga, membuat Farel semakin senang bermanja-manja dengannya."Oh ya, hari ini mau temani aku ke kantor, enggak?" tanya Maira.Saat libur kuliah, ia memang sering menghabiskan waktu untuk mengurus perusahaan Mega. Maira yang memang mengambil jurusan manajemen dan administrasi bisnis itu