"Ibu punya rencana apa untuk Haris?" tanya Dian sambil menatap Hasna penuh selidik. Kendatipun sudah tahu kalau Haris adalah ayahnya, tetapi Dian enggan menyebut lelaki itu ayah. Luka hatinya telah menjadi borok setelah tahu orang seperti apa lelaki yang menitipkan benih pada ibunya itu.Mata Hasna yang memerah beralih pandang dari jendela. Kini ia menatap lekat manik hitam Dian. Wanita itu terharu dengan pengertian anaknya. Namun, sebagai seorang ibu tetap saja ia merasa bersalah dan kasihan pada sang buah hati.Hasna sedih karena tak seharusnya Dian membenci ayah kandungnya sendiri. Namun, melihat sikap Haris yang tidak berprikemanusiaan itu membuat hatinya jengah. Puluhan tahun telah berlalu, tetapi Haris masih belum berubah."Sebenernya Indira tidak kabur, ini adalah bagian dari rencana kami," jelas Hasna dengan suara pelan.Dian mengerutkan kening. Wanita itu hampir tak percaya bahwa semua sudah disetting, akting Hasna yang terkejut saat melihat Indira hilang itu nampak natural,
Nengsih yang tengah termenung di sisi ranjang itu melirik sekilas karena merasa ada bola mata yang tengah memperhatikannya. Tanpa sengaja manik hitam dua insan yang tengah dilema asmara itu bersirobok.Untuk sepersekian detik Beni masih terpaku di tempatnya berdiri. Lelaki itu mencari setitik jawaban dari pancaran wajah Nengsih. Merasa hatinya semakin tak terkendali, kemudian Beni melangkah ke kamar untuk menenangkan diri.Melihat kepergian Beni, air mata Nengsih kembali mengalir dari sudut mata. Wanita itu tak mengerti dengan kebimbangan hatinya. Padahal, jauh di dalam sana ia begitu mencintai lelaki yang membantunya bebas dari hukuman itu. Namun, jika mengingat Dedi yang juga serius padanya, hati Nengsih kembali gundah.Tak lama kemudian pintu kamarnya berderit. Ibu kandung Beni itu masuk sambil menggerakkan sendiri kursi rodanya.Menyadari majikannya masuk ke kamar, Nengsih lantas segera menyeka air matanya. Wanita itu kemudian beranjak dan mendorong kursi roda sang majikan yang he
"Alhamdulillah Bu, ini berkas-berkas yang kita cari. Saya dibantu oleh rekan firma terkait informasi bahwa pengacara yang merupakan kliennya Pak Haris telah beberapa kali melakukan kecurangan. Maka dari itu saya menggali data itu hingga berhasil ditemukan. Saya juga sudah perlajari semua. Saya yakin, setelah ini Pak Haris tidak bisa mengelak dengan bukti-bukti yang ada."Beni menggeser beberapa berkas yang sudah ia persiapkan untuk kepentingan kliennya di atas meja. Setelah berhasil mengungkap pelaku pembunuh Adrian, perlahan-lahan nama Beni kini mencuat dan mulai dikenal orang, sehingga kapasitas dan kapabilitasnya tidak lagi diragukan."Baiklah, lakukan apa yang menurut Pak Beni harus dilakukan. Saya hanya ingin Maira tetap bersama adik saya. Saya gak rela anak keponakan saya dibawa oleh pihak keluarga yang keji," kata Hasna dengan sorot wajah tak biasa."Omong-omong, bagaimana keadaan Maira, apa Tante sudah menghubunginya?" tanya Radit setelah urusan Hasna dengan Beni selesai."Mer
Sarah berusaha menajamkan pandangannya untuk membuktikan bahwa matanya tak salah lihat.Benar, lelaki yang tengah mengendarai mobil di sebelahnya itu adalah Haris. Seketika saja Sarah menelan ludah. Otaknya kembali mengingat kepingan-kepingan masa lalu yang terus berputar di kepalanya.Lampu lalu lintas berubah kuning, Haris pun tak sengaja melihat seseorang yang tengah duduk di dalam mobil sebelahnya. Mata Haris membulat saat manik hitam itu bersirobok dengan Sarah. Seketika saja hatinya menjadi gusar karena teringat masa lalunya.Lampu lalu lintas sudah hijau, tetapi Haris masih terpaku dengan orang yang tak sengaja dilihatnya. Sehingga, kendaraan di belakang mobil Haris sahut menyahut membunyikan klakson."Woy.... jalan!"Pengguna jalan lainnya mengumpat. Lelaki itu terperanjat kemudian memacu laju kendaraannya.Di dalam mobilnya yang melaju di depan Haris, Sarah kini termenung. Wanita yang sebelumnya sangat ceria karena hendak memulai hidup baru itu melamun setelah melihat wajah l
Bola mata Haris yang tengah frustasi itu tak sengaja bertemu dengan tatapan Sarah. Lelaki itu lantas tertegun melihat wanita yang pernah dimainkannya di masa lalu kini hadir lagi di depannya."Pak, ayo jalan lagi," pinta Sarah kemudian, wanita itu berusaha menetralkan perasaannya yang kacau."Kenapa ke mana-mana aku selalu bertemu lelaki gila itu?" gumam Stella yang merasa kesal pada Haris.Sarah memicingkan mata, lalu menatap putrinya penuh selidik, "Lelaki gila?" tanya Sarah."Iya, Bapak-bapak tadi lelaki gila. Aku tahu dia mantan selebritis terkenal, entah kenapa aku gak suka lihatnya." Stella tersenyum miring, wanita itu sudah beberapa kali bertemu Haris, ia juga tahu dari Hendrik kalau lelaki itu adalah ayah kandung dari lelaki yang menghamili Raya."Kamu kenal?" tanya Sarah sambil mengerutkan dahi. Kali ini jantungnya berpacu lebih kencang. Meksipun rahasia itu hanya dirinya saja yang tahu, tetapi Sarah merasa takut dan bersalah pada orang-orang yang telah dibohongi."Enggak, ak
"Pak putar balik aja." Stella tiba-tiba berubah pikiran."Loh, kenapa?" Sarah terkejut dengan perintah anaknya pada sopir."Maaf Ma, aku gak bisa ikut Mama ke Pandeglang. Kalau Mama mau pergi silakan pergi, aku mau tetap di sini. Aku gak bisa membiarkan Dian bahagia di atas penderitaan aku." Stella kembali menunjukkan wajah aslinya."Stella, dengar Mama!" Sarah memaksa sang putri menghadap ke arahnya, "Apalagi yang kamu inginkan dari Rian? Sudah nak, kita perbaiki saja kehidupan kita, gak usah ganggu orang lagi."Mata Sarah berkaca-kaca melihat anaknya yang masih sulit menerima kenyataan."Tapi, Ma...." Stella mengelak."Pak, lanjut aja." Sarah memberi instruksi pada sopirnya. Sang sopir yang lebih takut pada Sarah lantas menurut."Mama aku gak bisa lupain Rian. Aku gak bisa...." Stella bersikukuh. Wanita itu nampak kesal dan stress."Stella, di sana masih banyak laki-laki lajang yang mungkin akan menerima kamu apa adanya. Mama gak mau kamu merusak rumah tangga orang lain lagi." Suara
"Pak, boleh aku bertanya sesuatu?"Nengsih dan Beni tengah duduk di halaman rumahnya sambil menatap gemerlap bintang di langit. Ada sekelumit penasaran dalam hatinya."Boleh, tapi sebelumnya boleh aku meminta sesuatu?" Beni justru balik bertanya. Lelaki itu melirik ke arah Nengsih kemudian menatapnya penuh perasaan.Nengsih mengalihkan pandangannya dari bintang, kemudian ia membalas tatapan Beni dan tersenyum. Sungguh, sebagai seorang laki-laki biasa Beni tak mampu menolak pesona yang dipancarkan pujaan hatinya."Jangan panggil Bapak, panggil aja aku Mas, Beni atau sayang juga boleh," balas lelaki itu berusaha menggoda calon istrinya.Ditatap seperti itu, Nengsih merasa malu. Gadis yang mengenakan kaus putih dan celana kulot itu lantas menunduk untuk menyembunyikan kupu-kupu yang berterbangan di hatinya."Iya deh Mas," balas Nengsih sambil tertawa malu, hati gadis itu sangat berbunga-bunga. Hampir tak pernah ia mengalami rasa indah itu seumur hidupnya.Biasanya, jika jatuh cinta maka
"Bu, lagi apa?" tanya Radit yang masuk ke dalam kamar Ajeng.Wanita yang baru saja menaruh ponselnya itu kemudian tersenyum pada putra semata wayangnya."Ini, baru aja video call sama Citra," balas Ajeng sambil memberi isyarat dengan tangan agar sang putra duduk di sampingnya.Radit lantas duduk di tepi ranjang ibunya, lelaki itu tersenyum dan menggenggam tangan Ajeng."Pantes ibu mukanya semringah," goda Radit."Iya, tapi Citra langsung tidur, mungkin dia kecapekan habis jalan-jalan," balas Ajeng."Syukurlah Bu, aku bahagia lihat Dian dan Citra bahagia." Radit tersenyum, tetapi pancaran matanya tak mampu membohongi rasa cemburu."Ibu selalu doakan, semoga anak ibu yang tampan ini bisa mendapatkan pengganti Dian dengan yang jauh lebih baik."Melihat wajah sendu sang putra, Ajeng lantas mengelus pundak anaknya dan memberi dukungan."Aamiin, terima kasih doa nya Bu," balas Radit. Lelaki itupun merebahkan tubuh di pangkuan Ajeng. Kendatipun sudah dewasa, terkadang lelaki itu masih sering