Bola mata Haris yang tengah frustasi itu tak sengaja bertemu dengan tatapan Sarah. Lelaki itu lantas tertegun melihat wanita yang pernah dimainkannya di masa lalu kini hadir lagi di depannya."Pak, ayo jalan lagi," pinta Sarah kemudian, wanita itu berusaha menetralkan perasaannya yang kacau."Kenapa ke mana-mana aku selalu bertemu lelaki gila itu?" gumam Stella yang merasa kesal pada Haris.Sarah memicingkan mata, lalu menatap putrinya penuh selidik, "Lelaki gila?" tanya Sarah."Iya, Bapak-bapak tadi lelaki gila. Aku tahu dia mantan selebritis terkenal, entah kenapa aku gak suka lihatnya." Stella tersenyum miring, wanita itu sudah beberapa kali bertemu Haris, ia juga tahu dari Hendrik kalau lelaki itu adalah ayah kandung dari lelaki yang menghamili Raya."Kamu kenal?" tanya Sarah sambil mengerutkan dahi. Kali ini jantungnya berpacu lebih kencang. Meksipun rahasia itu hanya dirinya saja yang tahu, tetapi Sarah merasa takut dan bersalah pada orang-orang yang telah dibohongi."Enggak, ak
"Pak putar balik aja." Stella tiba-tiba berubah pikiran."Loh, kenapa?" Sarah terkejut dengan perintah anaknya pada sopir."Maaf Ma, aku gak bisa ikut Mama ke Pandeglang. Kalau Mama mau pergi silakan pergi, aku mau tetap di sini. Aku gak bisa membiarkan Dian bahagia di atas penderitaan aku." Stella kembali menunjukkan wajah aslinya."Stella, dengar Mama!" Sarah memaksa sang putri menghadap ke arahnya, "Apalagi yang kamu inginkan dari Rian? Sudah nak, kita perbaiki saja kehidupan kita, gak usah ganggu orang lagi."Mata Sarah berkaca-kaca melihat anaknya yang masih sulit menerima kenyataan."Tapi, Ma...." Stella mengelak."Pak, lanjut aja." Sarah memberi instruksi pada sopirnya. Sang sopir yang lebih takut pada Sarah lantas menurut."Mama aku gak bisa lupain Rian. Aku gak bisa...." Stella bersikukuh. Wanita itu nampak kesal dan stress."Stella, di sana masih banyak laki-laki lajang yang mungkin akan menerima kamu apa adanya. Mama gak mau kamu merusak rumah tangga orang lain lagi." Suara
"Pak, boleh aku bertanya sesuatu?"Nengsih dan Beni tengah duduk di halaman rumahnya sambil menatap gemerlap bintang di langit. Ada sekelumit penasaran dalam hatinya."Boleh, tapi sebelumnya boleh aku meminta sesuatu?" Beni justru balik bertanya. Lelaki itu melirik ke arah Nengsih kemudian menatapnya penuh perasaan.Nengsih mengalihkan pandangannya dari bintang, kemudian ia membalas tatapan Beni dan tersenyum. Sungguh, sebagai seorang laki-laki biasa Beni tak mampu menolak pesona yang dipancarkan pujaan hatinya."Jangan panggil Bapak, panggil aja aku Mas, Beni atau sayang juga boleh," balas lelaki itu berusaha menggoda calon istrinya.Ditatap seperti itu, Nengsih merasa malu. Gadis yang mengenakan kaus putih dan celana kulot itu lantas menunduk untuk menyembunyikan kupu-kupu yang berterbangan di hatinya."Iya deh Mas," balas Nengsih sambil tertawa malu, hati gadis itu sangat berbunga-bunga. Hampir tak pernah ia mengalami rasa indah itu seumur hidupnya.Biasanya, jika jatuh cinta maka
"Bu, lagi apa?" tanya Radit yang masuk ke dalam kamar Ajeng.Wanita yang baru saja menaruh ponselnya itu kemudian tersenyum pada putra semata wayangnya."Ini, baru aja video call sama Citra," balas Ajeng sambil memberi isyarat dengan tangan agar sang putra duduk di sampingnya.Radit lantas duduk di tepi ranjang ibunya, lelaki itu tersenyum dan menggenggam tangan Ajeng."Pantes ibu mukanya semringah," goda Radit."Iya, tapi Citra langsung tidur, mungkin dia kecapekan habis jalan-jalan," balas Ajeng."Syukurlah Bu, aku bahagia lihat Dian dan Citra bahagia." Radit tersenyum, tetapi pancaran matanya tak mampu membohongi rasa cemburu."Ibu selalu doakan, semoga anak ibu yang tampan ini bisa mendapatkan pengganti Dian dengan yang jauh lebih baik."Melihat wajah sendu sang putra, Ajeng lantas mengelus pundak anaknya dan memberi dukungan."Aamiin, terima kasih doa nya Bu," balas Radit. Lelaki itupun merebahkan tubuh di pangkuan Ajeng. Kendatipun sudah dewasa, terkadang lelaki itu masih sering
"Apa? Remnya blong?" tanya Dian dan Hasna bersamaan, dua wanita itu nampak terkejut. Seketika saja mereka gelisah."Bu, gimana ni? Aku takut." Dian memeluk Hasna sambil memejamkan mata."Bu Dian dan Bu Hasna harap tenang ya biar saya bisa berpikir jernih buat cari solusi." Sang sopir memberi instruksi."Kita berdoa saja, Nak." Hasna memeluk putrinya, wanita itu berusaha tetap tenang agar Dian tak panik. Padahal, di dalam hatinya ia pun ketakutan.Dian dan Hasna berusaha tenang, mereka memejamkan mata sambil berdoa dan terus berpelukan.Detak jantung semua yang berada di dalam kendaraan itu berdegup tak beraturan. Tak dipungkiri pikiran buruk pun terus menghantui. Namun, Dian dan Hasna saling menguatkan dan berusaha tidak membuyarkan konsentrasi sopir.Beruntung, sebelum sampai di lampu merah yang padat, sang sopir yang berusaha tenang dan cekatan itu mampu menurunkan gigi secara bertahap. Kendatipun mobil yang ditumpangi Dian keluar dari lajur, tetapi kecelakaan mampu dihindari."Alha
Nengsih sedang menyiapkan makanan di dapur saat Beni tiba-tiba saja datang. Sebenarnya lelaki itu ingin memeluk wanita di hadapannya saat sang gadis pujaan tengah memotong sayuran dengan lihai.Terlebih melihat rambut gadis tercintanya selalu diikat ke belakang, Beni hampir tak tahan melihat leher jenjangnya. Sebagai laki-laki yang sudah lama tidak pernah merasakan kehangatan, lantas ada gelenyar aneh yang menyeruak dalam tubuhnya.Namun, sekuat tenaga Beni menahan semua godaan yang menghampirinya, ia tak mau menodai cinta yang suci hanya karena nafsu sesaat.Sebenernya ia ingin untuk sementara Nengsih tidak tinggal bersama dulu demi menjaga dirinya dari hal-hal yang mungkin saja terjadi. Tetapi, Nengsih tidak memiliki tempat tinggal lagi. Setelah dijadikan pengasuh olehnya, Nengsih sudah meninggalkan kontrakan yang dulu ditinggalinya.Beni sudah bicara dengan Nengsih agar wanita itu tinggal sementara di apartemennya. Namun, Farel yang sudah merasa dekat dengan gadis itu tidak mau ber
Hasna dan anaknya sedang dalam perjalanan pulang saat benda pipih di dalam tasnya berdering.Wanita itu lantas membuka resleting dan meraih ponselnya. Nama kontak Mbok Siti bergerak-gerak di layar. Hasna mengusap layar ke arah gambar gagang telepon warna hijau untuk menerimanya."Bu, ada Bu Mega di rumah, katanya beliau mau bertemu dengan Ibu, padahal saya sudah bilang kalau ibu akan pulang lama, tetapi beliau masih terus menunggu."Suara Mbok Siti diseberang sana membuat dahi Mega mengkerut. Wanita itu penasaran untuk apa Mega menunggunya."Bilang saja saya gak tahu di mana Maira," balas Hasna."Bukan Bu, sepertinya beliau bukan mau mencari Neng Maira. Dilihat dari raut wajahnya mah kayak ada hal serius begitu Bu," tegas Mbok Siti."Oh begitu, ya sudah, sebentar lagi saya sampai. Jamu dia dengan baik, ya.""Baik Bu," balas Mbok Siti kemudian panggilan terputus."Siapa, Bu?" tanya Dian penasaran."Mega, katanya dia nunggu ibu." Hasna menggedikkan bahu saat menjawab pertanyaan putrinya
Nengsih masih tergugu di tempatnya berdiri. Sungguh, ucapan Firda barusan membuat hatinya koyak. Kepercayaan dirinya untuk menikah dengan Beni kembali menciut mengingat dirinya dengan sang calon suami memang tak sebanding dalam hal apapun.'Sudahlah Nengsih, gak usah pedulikan Firda, dia cuma iri sama kamu.'Nengsih berbicara dalam hati, wanita itu berusaha menasihati diri untuk tak goyah menggapai masa depan meskipun aral melintang.Nengsih lantas memesan ojek online untuk pulang. Namun, sebelumnya ia berniat pergi ke pasar dulu untuk belanja beberapa sayuran dan juga daging.Di sepanjang perjalanan menuju pasar, Nengsih sekuat tenaga menghilangkan suara Firda yang masih terus mengusik jiwanya. Diledek sebagai orang yang bermimpi menjadi cinderela tentu Nengsih merasa sangat dihinakan.Selama ini, meskipun dirinya berada dalam kesusahan. Ia tak pernah menjual harga diri demi uang, kecuali saat perjanjian dengan Raya yang mengakibatkan insiden pidana beberapa tahun yang lalu. Itupun k