Hasna dan anaknya sedang dalam perjalanan pulang saat benda pipih di dalam tasnya berdering.Wanita itu lantas membuka resleting dan meraih ponselnya. Nama kontak Mbok Siti bergerak-gerak di layar. Hasna mengusap layar ke arah gambar gagang telepon warna hijau untuk menerimanya."Bu, ada Bu Mega di rumah, katanya beliau mau bertemu dengan Ibu, padahal saya sudah bilang kalau ibu akan pulang lama, tetapi beliau masih terus menunggu."Suara Mbok Siti diseberang sana membuat dahi Mega mengkerut. Wanita itu penasaran untuk apa Mega menunggunya."Bilang saja saya gak tahu di mana Maira," balas Hasna."Bukan Bu, sepertinya beliau bukan mau mencari Neng Maira. Dilihat dari raut wajahnya mah kayak ada hal serius begitu Bu," tegas Mbok Siti."Oh begitu, ya sudah, sebentar lagi saya sampai. Jamu dia dengan baik, ya.""Baik Bu," balas Mbok Siti kemudian panggilan terputus."Siapa, Bu?" tanya Dian penasaran."Mega, katanya dia nunggu ibu." Hasna menggedikkan bahu saat menjawab pertanyaan putrinya
Nengsih masih tergugu di tempatnya berdiri. Sungguh, ucapan Firda barusan membuat hatinya koyak. Kepercayaan dirinya untuk menikah dengan Beni kembali menciut mengingat dirinya dengan sang calon suami memang tak sebanding dalam hal apapun.'Sudahlah Nengsih, gak usah pedulikan Firda, dia cuma iri sama kamu.'Nengsih berbicara dalam hati, wanita itu berusaha menasihati diri untuk tak goyah menggapai masa depan meskipun aral melintang.Nengsih lantas memesan ojek online untuk pulang. Namun, sebelumnya ia berniat pergi ke pasar dulu untuk belanja beberapa sayuran dan juga daging.Di sepanjang perjalanan menuju pasar, Nengsih sekuat tenaga menghilangkan suara Firda yang masih terus mengusik jiwanya. Diledek sebagai orang yang bermimpi menjadi cinderela tentu Nengsih merasa sangat dihinakan.Selama ini, meskipun dirinya berada dalam kesusahan. Ia tak pernah menjual harga diri demi uang, kecuali saat perjanjian dengan Raya yang mengakibatkan insiden pidana beberapa tahun yang lalu. Itupun k
Haris tengah menatap orang-orang yang yang hendak diangkut ke pelabuhan saat salah satu anak buahnya membawa seorang lelaki suruhan Mega ke hadapannya.Haris hanya mengangguk sekali, tetapi anak buahnya mengerti bahwa bos mereka menginstruksikan agar wanita dan anak-anak tak berdaya di depannya segera diangkut untuk diseberangkan.Satu persatu-persatu wanita dan anak-anak yang berjumlah puluhan orang itu menurut saat anak buah Haris menyuruhnya bangkit dan berjalan ke arah kontainer yang akan membawa mereka. Meskipun ketakutan, tetapi tak ada yang berontak, mereka tahu kalau anak buah Haris tak segan-segan untuk mencelakainya.Seorang lelaki suruhan Mega yang tertangkap oleh anak buah Haris itu nampak ketakutan. Sudut bibirnya berdarah, pelipisnya membiru lantaran pukulan keras yang dilayangkan anak buah Haris padanya. Lelaki itu kesal, juga takut saat melihat tindakan tidak manusiawi di depan matanya. Namun, kali ini dirinya tak berdaya.Setelah wanita dan anak-anak yang hendak disel
"Iya, terima kasih karena telah mengkhawatirkan aku."Untuk pertama kalinya Mega menatap Hasna dengan hangat. Seolah-olah mereka adalah dua orang yang bersaudara.Seketika saja tercipta keheningan di antara tiga wanita yang tengah sibuk dengan pikirannya masing-masing itu."Tante Mega, apa orang suruhan Tante yang selamat sempat memvideokan tindakan Haris?" Dian memecah keheningan."Sudah saya pinta, tapi kayaknya belum dikirim." Mega menimpali sambil meraih ponselnya yang teronggok di meja. Di waktu yang bersamaan ponselnya bergetar, sebuah pesan yang ditunggu itupun datang."Ini, dia kirim foto." Mega semringah, tetapi senyum itu kembali pupus saat melihat objeknya tidak begitu jelas. Di gambar itu wajah Haris tertutup karena memang foto diambil bukan dari sudut yang tepat. Mega yakin foto itu tidak akan bisa dijadikan bukti tindakan kejahatan Haris."Cuma Alvin yang memiliki bukti kuat, tapi aku tidak yakin dengan kondisinya sekarang mengingat dia ditangkap oleh Haris."Mega menata
"Bapak jahat Mbak, Bapak jual aku ke Juragan Bakri. Aku benci Bapak."Tiara menangis tersedu-sedu mengingat ayahnya yang tak memiliki hati. Tangisan dan jeritannya tak cukup kuat untuk mengetuk hati ayahnya yang membatu."Sabar ya, Tiara."Nengsih meraih pundak gadis itu kemudian disandarkan ke bahunya. Di sana Tiara menangis, menumpahkan semua kemalangannya."Bapak pasti akan marah sama ibu, ibu pasti dipukul lagi sama Bapak saat tahu aku kabur dari Juragan Bakri," lirih Tiara sambil terisak."Mbak hampir gak percaya Bapak kamu setega itu, padahal Mbak Nengsih pikir Bapak kamu orang yang baik meskipun suka mabuk." Nengsih menimpali."Dulu Bapak memang baik, Mbak. Tapi, setelah Bapak senang judi dan kalah, Bapak semakin berubah."Tiara menatap ruang hampa, seolah-olah perasaannya telah mati dibunuh cinta pertamanya sendiri."Kamu tenang ya, sekarang kamu aman. Mbak janji akan berusaha lindungi kamu," balas Nengsih, mata gadis itu berkaca-kaca, sungguh membayangkannya nasib Tiara saja
Dian tengah mondar-mandir sambil menggenggam ponsel. Wanita itu khawatir dengan keadaan ibunya dan Mega. Berkali-kali ia menelpon Hasna, tetapi sulit tersambung."Bu, Neng Citra malah tidur di kamar," ucap Mbok Siti yang baru saja turun dari kamar Dian. Wanita itu baru saja selesai memandikan anak majikannya."Gak apa-apa, mungkin dia kecapekan, terima kasih ya, Mbok," balas Dian sambil tersenyum, tetapi tak mampu menyembunyikan kekhawatirannya."Bu Dian kenapa, sih? Si Mbok perhatikan dari tadi bolak-balik terus?"Wanita paruh baya itu akhirnya bertanya, ia tak tahu apapun tentang rencana Hasna dan Dian."Ibu sama Tante Mega pergi, Mbok. Aku khawatir sama mereka," jawab Dian gelisah, ia memijat pelipisnya yang terasa penat."Memang Bu Hasna sama Bu Mega sudah baikan ya? Saya kok gak yakin kalau niat Bu Mega baik pada Bu Hasna."Mbok Siti mengungkapkan keraguannya. Dian yang sebelumnya yakin pun kini kembali ragu, pupil mata wanita itu melebar karena pikiran yang melintas di benaknya.
Sarah menangis tersedu-sedu sambil memeluk cucunya yang malang. Semua rasa bercampur aduk dalam dadanya. Marah, kesal, kasihan, benci menjadi satu dalam hati.'Maafin Mama, Stella.'Sarah menjerit dalam hati, napasnya terasa sesak saking beratnya beban yang dirasa jiwa. Melihat Boy yang menangis, hati Sarah semakin hancur."Cup sayang, jangan nangis ya," ujar Sarah, ia bangkit dari kasur lalu menimang cucunya.Baru saja Boy merasakan kasih sayang Stella sebentar, tetapi kini anaknya itu kembali kehilangan jiwa keibuannya. Sarah tak mengerti kenapa anaknya mempunyai hati yang begitu keras. Bahkan dirinya yang juga pernah menanggung sakit karena hamil di luar nikah, tetapi ia masih bisa menyayangi Stella kendatipun ditinggalkan ayah kandungnya.Sarah tak habis pikir dengan isi kepala Stella. Wanita itu menggelengkan kepala mengingat anaknya yang seperti bukan lagi manusia."Teteh, kunaon Si Boy?" tanya kerabat Sarah yang langsung masuk ke kamar Stella begitu mendengar tangisan Boy yang
Ponsel Hasna berdering saat wanita itu tengah duduk di kasur, sementara Mega sedang ke toilet. Ia lantas meraih benda pipih itu kemudian menerima panggilan video dari adiknya."Halo sayang," sapa Hasna saat wajah Maira menyembul lucu dari layar ponselnya."Mbak, lagi apa?" tanya Indira yang duduk sambil memangku cucunya."M_m, lagiii...." Hasna bingung menjawab apa, ia tak mungkin mengatakan kalau dirinya tengah di hotel untuk menemani Mega."Mbak, lagi__"Belum sempat menyelesaikan ucapannya, tiba-tiba saja Mega yang baru saja keluar dari toilet itu mengambil sesuatu di atas nakas yang kebetulan terkena pantulan kamera.Hasna sudah berusaha bergeser agar Indira tak melihat Mega. Namun, ternyata telat, adiknya sudah menangkap sosok wanita yang sangat dibencinya itu."Mbak itu Mega?" tanya Indira kemudian, matanya memerah melihat Sang kakak berada di kamar yang sama dengan musuhnya."Siapa?" tanya Mega dengan gerakan mulut tanpa suara, ia mendengar seseorang di sana menyebut namanya."