Dian tengah mondar-mandir sambil menggenggam ponsel. Wanita itu khawatir dengan keadaan ibunya dan Mega. Berkali-kali ia menelpon Hasna, tetapi sulit tersambung."Bu, Neng Citra malah tidur di kamar," ucap Mbok Siti yang baru saja turun dari kamar Dian. Wanita itu baru saja selesai memandikan anak majikannya."Gak apa-apa, mungkin dia kecapekan, terima kasih ya, Mbok," balas Dian sambil tersenyum, tetapi tak mampu menyembunyikan kekhawatirannya."Bu Dian kenapa, sih? Si Mbok perhatikan dari tadi bolak-balik terus?"Wanita paruh baya itu akhirnya bertanya, ia tak tahu apapun tentang rencana Hasna dan Dian."Ibu sama Tante Mega pergi, Mbok. Aku khawatir sama mereka," jawab Dian gelisah, ia memijat pelipisnya yang terasa penat."Memang Bu Hasna sama Bu Mega sudah baikan ya? Saya kok gak yakin kalau niat Bu Mega baik pada Bu Hasna."Mbok Siti mengungkapkan keraguannya. Dian yang sebelumnya yakin pun kini kembali ragu, pupil mata wanita itu melebar karena pikiran yang melintas di benaknya.
Sarah menangis tersedu-sedu sambil memeluk cucunya yang malang. Semua rasa bercampur aduk dalam dadanya. Marah, kesal, kasihan, benci menjadi satu dalam hati.'Maafin Mama, Stella.'Sarah menjerit dalam hati, napasnya terasa sesak saking beratnya beban yang dirasa jiwa. Melihat Boy yang menangis, hati Sarah semakin hancur."Cup sayang, jangan nangis ya," ujar Sarah, ia bangkit dari kasur lalu menimang cucunya.Baru saja Boy merasakan kasih sayang Stella sebentar, tetapi kini anaknya itu kembali kehilangan jiwa keibuannya. Sarah tak mengerti kenapa anaknya mempunyai hati yang begitu keras. Bahkan dirinya yang juga pernah menanggung sakit karena hamil di luar nikah, tetapi ia masih bisa menyayangi Stella kendatipun ditinggalkan ayah kandungnya.Sarah tak habis pikir dengan isi kepala Stella. Wanita itu menggelengkan kepala mengingat anaknya yang seperti bukan lagi manusia."Teteh, kunaon Si Boy?" tanya kerabat Sarah yang langsung masuk ke kamar Stella begitu mendengar tangisan Boy yang
Ponsel Hasna berdering saat wanita itu tengah duduk di kasur, sementara Mega sedang ke toilet. Ia lantas meraih benda pipih itu kemudian menerima panggilan video dari adiknya."Halo sayang," sapa Hasna saat wajah Maira menyembul lucu dari layar ponselnya."Mbak, lagi apa?" tanya Indira yang duduk sambil memangku cucunya."M_m, lagiii...." Hasna bingung menjawab apa, ia tak mungkin mengatakan kalau dirinya tengah di hotel untuk menemani Mega."Mbak, lagi__"Belum sempat menyelesaikan ucapannya, tiba-tiba saja Mega yang baru saja keluar dari toilet itu mengambil sesuatu di atas nakas yang kebetulan terkena pantulan kamera.Hasna sudah berusaha bergeser agar Indira tak melihat Mega. Namun, ternyata telat, adiknya sudah menangkap sosok wanita yang sangat dibencinya itu."Mbak itu Mega?" tanya Indira kemudian, matanya memerah melihat Sang kakak berada di kamar yang sama dengan musuhnya."Siapa?" tanya Mega dengan gerakan mulut tanpa suara, ia mendengar seseorang di sana menyebut namanya."
Haris yang tengah tertidur itu melenguh kemudian menggeliat. Melihat lelaki di sampingnya tersadar, Stella langsung pura-pura tidur lagi.Haris terperanjat, matanya seolah-olah hendak melompat keluar saat menyadari dirinya ketiduran di sana.'Aaah siaal.'Haris menggerutu dalam hati. Gara-gara wanita muda yang menggodanya itu semua rencananya kacau. Padahal, malam itu dia harus ke gudang untuk memastikan anak buahnya sudah menemukan Tiara.'Kalau juga anak itu belum ditemukan, artinya kalian panjang umur.'Haris berbisik dalam hati sambil membayangkan kinerja anak buahnya yang tidak memuaskan.Haris melirik sekilas ke arah wanita cantik yang kira-kira usianya terpaut dua puluh lima tahun dengannya. Di mata Haris wanita itu sangat mengesankan malam tadi. Dirinya tak mengerti kenapa bisa melakukan hal itu pada orang yang tidak dikenalnya. Namun, melihat garis wajah wanita di sampingnya membuat Haris mengingat seseorang, tetapi ia sama sekali tak ingat mirip siapa. Lelaki itu hanya meras
"Mega sayang, kamu pikir kamu bisa lari dariku."Haris baru saja keluar dari toilet dan menatap istrinya yang tengah berbaring tak berdaya di atas ranjang.Lelaki itu melangkah dan mengelus wajah Mega lembut. Tatapannya kian bengis, seolah-olah ia adalah predator.Mega yang tengah tertidur itu merasakan sentuhan lembut di pipinya. Namun, kepala yang terasa berat itu membuatnya tak berdaya. Dadanya masih terasa sesak sehingga ia sulit untuk bernapas."Kamu tidak boleh mati, kamu harus menandatangani ini dulu untukku sayang."Haris membawa sejumlah berkas yang sudah dipersiapkan. Hanya tinggal menunggu tanda tangan Mega maka ia akan mendapatkan seluruh aset milik istrinya.Haris mengambil pulpen, ia sudah hafal dan mampu menduplikasi tanda tangan sang istri. Namun, ia tidak bodoh untuk memalsukan. Maka dari itu Haris menuntun tangan istrinya yang tidak berdaya untuk menandatangani beberapa berkas penting itu.Mega menyadari Haris tengah menggunakan tangannya untuk tanda tangan. Wanita i
Indira bersama keluarganya baru saja selesai makan bersama sebagai ungkapan rasa syukur atas rumah Maira."Indira, mohon maaf sebelumnya, aku sama Radit sudah harus pulang." Ajeng menghampiri Indira untuk berpamitan."Lha, Buru-buru amat," sanggah Indira dengan wajah seolah-olah tak rela besan plus teman gengnya dulu hendak pergi."Radit masih ada pekerjaan, aku juga ada janji hari ini." Ajeng menggenggam tangan Indira sambil tersenyum."Ya sudah, kalau begitu hati-hati ya. Sekali lagi terima kasih atas kebaikan besar ini, Ajeng."Indira memeluk tubuh Ajeng. Lagi, air mata membanjiri pipinya. Wanita itu masih tak menyangka dengan kebaikan Ajeng dan rezeki besar hari ini.Setelah puas berpelukan, keduanya akhirnya berpisah. Ajeng memeluk dan mencium Citra penuh keharuan. Mata wanita yang sudah tak lagi muda itu nampak basah saat menciumi Citra. Hatinya selalu sedih kala melihat mata bening cucunya karena selalu ingat kesalahannya di masa lalu pada Citra.Melihat mantan mertuanya memelu
Haris sudah sampai di gudang miliknya, lelaki yang biasanya garang itu nampak melemah di hadapan Anurak."Sorry sir, why come so suddenly?" (Maaf Tuan, kenapa datang mendadak?) tanya Haris dengan wajah menunduk. Lelaki itu menampakkan raut wajah yang sama ketika anak buah berbicara padanya."There is a little problem, I want ten Indonesian girls tonight." (Ada sedikit masalah, saya ingin sepuluh gadis Indonesia malam ini)Anurak berbicara dengan nada tegas. Lelaki yang berasal dari chiang mai berwajah oval itu nampak berwibawa."But it's not easy, sir?" (Tapi itu tidak mudah, Tuan?)Haris mendongak, lelaki itu terkejut dengan permintaan bos nya. Meskipun ia tahu betul kalau bos nya sudah turun tangan, artinya memang sudah sangat mendesak."I don't care. the girls should be with me tonight!"Jika Anurak sudah menginginkan sesuatu, maka sulit bagi Haris untuk tidak memberikannya. Andai menolak, pastilah karir dan nyawanya akan terancam. Hidup dalam pekerjaan gelap seperti yang digelutin
Wajah Hasna dan kedua wanita yang bersamanya nampak gusar saat mendengar kabar dari tim medis mengenai kondisi Mega.Tubuh Indira terasa limbung, ia menyandarkan punggungnya ke tembok, matanya nampak basah, ia merasa sedih dengan kondisi Mega."Kamu harus bertahan Mega, kita akan membesarkan Maira bersama-sama. Kamu belum sempat menggendongnya, bukannya kamu merindukan cucu kita?" gumam Indira, setitik bulir bening jatuh di pelupuk matanya.Hasna yang tengah duduk di samping Mayang melirik sekilas ke arah adiknya, wanita itu cukup mengerti dengan perasaan Indira. Sementara Mayang semakin frustasi. Ia memukul-mukul pahanya yang mengenakan rok pendek itu. Rasa bersalah semakin dahsyat menghantui pikirannya. Jika Mega mati, ia akan hidup dalam penuh penyesalan atau bahkan ikut mati juga di tangan kekasihnya."Kita do'akan yang terbaik untuk Mega, ya." Hasna menatap sendu wajah Indira yang masih bersandar pada tembok itu.Indira menarik napas dalam lalu mengembuskan perlahan untuk menetra