Haris sudah sampai di gudang miliknya, lelaki yang biasanya garang itu nampak melemah di hadapan Anurak."Sorry sir, why come so suddenly?" (Maaf Tuan, kenapa datang mendadak?) tanya Haris dengan wajah menunduk. Lelaki itu menampakkan raut wajah yang sama ketika anak buah berbicara padanya."There is a little problem, I want ten Indonesian girls tonight." (Ada sedikit masalah, saya ingin sepuluh gadis Indonesia malam ini)Anurak berbicara dengan nada tegas. Lelaki yang berasal dari chiang mai berwajah oval itu nampak berwibawa."But it's not easy, sir?" (Tapi itu tidak mudah, Tuan?)Haris mendongak, lelaki itu terkejut dengan permintaan bos nya. Meskipun ia tahu betul kalau bos nya sudah turun tangan, artinya memang sudah sangat mendesak."I don't care. the girls should be with me tonight!"Jika Anurak sudah menginginkan sesuatu, maka sulit bagi Haris untuk tidak memberikannya. Andai menolak, pastilah karir dan nyawanya akan terancam. Hidup dalam pekerjaan gelap seperti yang digelutin
Wajah Hasna dan kedua wanita yang bersamanya nampak gusar saat mendengar kabar dari tim medis mengenai kondisi Mega.Tubuh Indira terasa limbung, ia menyandarkan punggungnya ke tembok, matanya nampak basah, ia merasa sedih dengan kondisi Mega."Kamu harus bertahan Mega, kita akan membesarkan Maira bersama-sama. Kamu belum sempat menggendongnya, bukannya kamu merindukan cucu kita?" gumam Indira, setitik bulir bening jatuh di pelupuk matanya.Hasna yang tengah duduk di samping Mayang melirik sekilas ke arah adiknya, wanita itu cukup mengerti dengan perasaan Indira. Sementara Mayang semakin frustasi. Ia memukul-mukul pahanya yang mengenakan rok pendek itu. Rasa bersalah semakin dahsyat menghantui pikirannya. Jika Mega mati, ia akan hidup dalam penuh penyesalan atau bahkan ikut mati juga di tangan kekasihnya."Kita do'akan yang terbaik untuk Mega, ya." Hasna menatap sendu wajah Indira yang masih bersandar pada tembok itu.Indira menarik napas dalam lalu mengembuskan perlahan untuk menetra
Setelah berkonsultasi dengan psikolog, Tiara kini semakin tenang. Gadis itu tetap menurut pada perintah Beni dan Nengsih agar tetap tinggal di apartemen. Di sana ia bersyukur bisa makan enak dan tidur dengan nyaman."Mbak Nengsih, Mbak hebat ya bisa nikah sama orang kaya, gimana sih ceritanya kok Mbak Nengsih bisa dekat sama Pak Beni?" tanya Tiara saat dirinya dan Nengsih sedang mengobrol."Aku juga gak tahu gimana kami bisa dekat, yang aku tahu takdir telah menuntun kami untuk bertemu lalu akhirnya dekat," balas Nengsih. Wanita itu membayangkan masa-masa singkat perkenalannya dengan Beni."Mbak Nengsih beruntung karena mempunyai orang yang sangat sayang sama Mbak Nengsih, gak seperti aku."Tiara menunduk, ia membayangkan saat dirinya dibawa oleh Juragan Bakri, tetapi ayah dan ibunya hanya diam dalam ketidakberdayaan."Tiara, yang berlalu sudah biarkan berlalu, yang penting sekarang kamu sudah berada di sini dan aman. Aku yakin Juragan Bakri dan kroninya gak akan bisa menculik kamu la
"Selamat siang, selamat datang Pak Beni, Bu Nengsih.""Selamat siang," balas Nengsih dan calon suaminya berbarengan. Dua insan yang sebentar lagi melabuhkan cinta mereka di dermaga suci itu tersenyum."Gaun yang dipesan Bu Zahra sudah kami siapkan, Pak," kata karyawan toko itu ramah.Mendengar itu, Nengsih dan Beni tersenyum. Mereka sudah tak sabar ingin mengenakan pakaian pengantin yang sangat indah dan mewah itu."Sebentar ya Mas, aku coba dulu." Nengsih masuk ke ruang ganti dan mencoba gaun yang sudah dipesan oleh ibunya Beni itu.Setelah gaun berwarna putih dengan sedikit renda terpasang di tubuhnya, Nengsih mematut diri di cermin. Pantulan dirinya berbalut kain mahal itu nampak memukau. Rambutnya yang rapi semakin menambah aura elegant.Namun, tiba-tiba saja hatinya terasa mendung. Nengsih ingat kedua orang tua dan adik-adiknya yang sudah tiada. Pernikahan tanpa keluarga membuat hatinya sedih."Bapak, Ibu ... aku mau nikah, tapi kalian gak di sini. Padahal, dulu Ibu sama Bapak se
Sesampainya di apartemen, Beni dan Nengsih terburu-buru masuk ke kamarnya. Saat pintu terbuka, mereka melihat sisa permen karet menempel di sana. Melihat itu, lantas mata Beni langsung melebar dan ia gegas mencari Tiara di kamar. Namun nihil, tak ada siapapun di sana.Seketika Nengsih dan calon suaminya berpandangan. Wajah mereka nampak gusar karena orang yang selama ini mereka lindungi hilang begitu saja."Mas, Nengsih ke mana? Atau jangan-jangan ada yang culik dia?" Nengsih bertanya-tanya."Kemungkinan iya, aku curiga seseorang telah masuk waktu lihat ada sisa permen karet di sana."Beni berjalan sambil menunjukkan sisa permen karet yang digunakan sebagai pengganjal pintu pada calon istrinya. Baru sadar dengan aksi kejahatan itu, Nengsih kini semakin panik. Sementara Beni merogoh saku, ia langsung mencari kontak Radit lalu menelponnya."Hallo, iya Pak Beni," kata Radit di seberang sana setelah panggilannya tersambung."Pak, Tiara hilang." Beni langsung bicara ke intinya, ia lupa kal
Stella tengah menunggu Haris di hotel, hari ini mereka berjanji untuk bertemu. Wanita itu tak sabar dengan rencana yang sudah disusun bersama Haris. Seperti dugaannya selama ini, Haris memang tidak mempunyai hati bahkan pada anaknya sendiri. Demi tetap bersama Stella, Haris mengatakan kalau ia tak keberatan menghancurkan hidup Dian.Stella bahagia karena lelaki yang baru saja dikencaninya itu sangat mampu diandalkan. Ia merasa bisa mengendalikan Haris karena yakin kalau lelaki itu tengah tertarik dan menjadi budak cintanya. Stella tahu kalau Haris sangat tergila-gila dengan tubuh sintalnya.Stella mengirim foto dirinya yang hanya mengenakan lingerie dengan pose eksotis pada Haris. Tentu saja tujuannya untuk membuat lelaki hidung belang itu semakin tergila-gila padanya. Jika sudah tergila-gila, Stella semakin leluasa memperalat lelaki itu untuk membantu memuluskan rencananya.Stella tersenyum, ia membayangkan Haris pasti akan menanggapi foto itu dengan kata-kata kotor nan nakal, lalu s
"Ayo pergi, Mayang," ajak Indira pada gadis yang masih terpaku itu."I_iya, Bu," balasnya sambil menganggukkan kepala. hatinya masih terus gelisah melihat kepergian Haris bersama polisi.Mayang tahu betul Haris orang yang seperti apa. Lelaki itu pasti akan balas dendam dengan yang jauh lebih keji padanya andai tidak dipenjara. Namun, kalaupun dipenjara dengan dakwaan yang masih ringan, lelaki itu pasti bisa lolos karena ia memang licin."Ayo kita ke kantor polisi untuk memberi keterangan," ajak Hasna sambil meraih lengan Mayang kemudian menuntunnya."Tapi aku takut, Bu," kata Mayang, wajahnya nampak gusar. Hasna berpikiran kalau kegelisahan Mayang karena takut Haris mengancam keluarganya, sehingga wanita itu berusaha untuk terus menenangkannya. Padahal, jauh di dalam hati Mayang, ia gelisah karena hal lain."Gak perlu takut, Mayang. Setelah ini, kita fokus pada sandera Haris yang hilang, kita harus menemukan dia dan meminta anak itu bersaksi bahwa Haris memang telah melakukan perbuata
Setelah kepergian Stella, Haris ditahan di balik jeruji besi, kondisinya kini semakin menurun. Wajah lelaki itu pucat dan ia muntah berkali-kali."Tubuhnya demam," kata polisi yang menjaganya.Haris yang arogan dan sombong itu kini merasa tak berdaya. Kondisi tubuhnya yang semakin lemah membuatnya kesulitan. Jika dulu Haris sangat kuat karena menjadi suami Mega yang disegani, maka Mega yang sudah membaik dan kini sangat membenci suaminya berhasil mengatakan pada orang-orang siapa Haris sebenarnya, sehingga kini lelaki itu berada di titik terendah dalam hidupnya.Lelaki itu hanya berharap pada Stella. Saat ini hanya wanita itu yang dirasa bisa membantunya. Tanpa ia tahu, Stella pun jsutru membuat bisnisnya bersama Anurak semakin kacau.Tubuh Haris semakin menggigil, usianya yang sudah tak lagi muda seketika saja mengingatkannya pada kematian."Aku gak boleh mati, aku belum mendapatkan semuanya," gumam Haris dengan wajah yang semakin pucat. Tak kuat menahan sakit di tubuhnya, lelaki itu
"Sayang."Beni menghampiri Nengsih yang masih tersedu-sedu. Air mata wanita itu sulit terhenti. Hatinya masih saja nyeri membayangkan masalah yang menimpa keluarganya."Hmmm."Nengsih hanya berdehem, setelah jarak suaminya dekat, ia pun justru mengalihkan pandangan. Kondisi mood sedang buruk lantaran tengah premenstrual syndrom. Sehingga, hormonnya sangat berpengaruh terhadap masalah yang tengah dihadapi.Biasanya, Nengsih akan berpikir rasional. Namun, entah mengapa kali ini seakan-akan ia membenarkan ucapan Abizar bahwa semua yang terjadi antara keluarganya dengan keluarga Tiara disebabkan oleh pengkhianatan suaminya.Beni yang lelah, lantas mencoba diam, lelaki itu mencerna sikap istrinya kemudian instrospeksi diri. Namun, setelah diperhatikan sekian lama ia baru peka bahwa istrinya tengah mengalami mood swing. Sehingga, ia memeluk istrinya dari belakang, tak peduli Nengsih mengamuk, ia hanya ingin menunjukkan bahwa dirinya sangat mencintai sang istri dibandingkan orang lain."Apaa
"Ya udah, sambil nunggu Kak Citra masuk aja dulu, yuk."Kedua insan itu lantas masuk ke rumah Dian. Di dalam, Abizar langsung disambut hangat oleh Dian."Abizar, apa kabar?" tanya Dian begitu pandangannya bersitatap dengan putra kedua Beni."Alhamdulillah, aku sehat Tante, Tante Dian apa kabar?"Abizar meraih tangan Dian lalu menciumnya takzim. Lelaki itu kemudian duduk di sofa, sementara Syadea pergi ke dapur untuk mengambilkan jamuan untuk sahabatnya."Katanya mau berangkat siang, ini masih pagi, lho," ujar Dian, ia menoleh ke arah jam dinding yang baru menunjukkan pukul sembilan.Belum sempat Abizar menjawab, Syadea yang baru kembali dari dapur sembari membawa air dan kudapan itu menyahut."Biasa Ma, dia gak sabar," ujar Syadea dengan menaikkan sebelah alisnya.Dian tersenyum, wanita itu kemudian menganggukkan kepala dan pergi ke halaman rumah untuk mengurus semua tanaman hias kesayangannya.Setelah Dian berlalu, wajah Abizar kembali pias kala mengingat sang ayah. Rasa kecewa kemba
Beni mengejar istrinya yang tengah dikuasai emosi. Lelaki itu tahu betul bukan seperti ini karakter Nengsih. Namun, ia pun memaklumi apa yang dirasakan sang istri."Sayang, tunggu!"Beni menyeru istrinya yang baru saja membuka pintu kamar. Sedangkan Nengsih yang baru saja memutar kenop pintu itu menghentikan langkahnya sejenak. Wanita itu terisak, kemudian menyeka air mata yang berkejaran di pipinya.Melihat butiran kristal yang terus meluruh dari manik belahan jiwanya, Beni lantas memeluk sang istri erat. Ia tak mengatakan apapun meski ada yang ingin dikatakan.Beni memilih untuk membiarkan Nengsih mengekspresikan perasaannya. Sedih, marah, kecewa adalah rasa yang sangat manusiawi. Sebaik apapun sang istri, lelaki itu sadar wanitanya bukanlah malaikat. Sama seperti dirinya, kendatipun sudah berusaha menjadi orang baik, tetap saja ia selalu melakukan kesalahan."Mungkin benar kata Abizar, aku yang membuat semua jadi begini, andai aku gak menikahi Tiara untuk membantunya, andai aku jug
Mendengar kalimat yang dilontarkan oleh Asih, Beni dan istrinya lantas saling pandang. kedua insan itu mengerutkan dahi sebab rasa penasaran."Maksud Bu Asih?" tanya Nengsih tak mengerti.Begitupun dengan Beni, ia menatap mata mantan mertuanya penuh selidik. Entah, lelaki itu merasa ada makna tersirat dari kalimat yang diucapkan oleh Asih.Tak langsung menjawab, Asih justru menangis semakin kencang hingga membuat Abizar yang sebelumnya tak peduli dengan tamu kedua orang tuanya pun ikut menghampiri."Ma, Pa, ada apa?" tanya Abizar setengah berlari, ia takut ada orang kesurupan di rumahnya mengingat sang ibu pernah diganggu makhluk halus."Ssst, gak ada apa-apa," jawab Beni dengan meletakkan jari telunjuk di bibirnya.Namun, bukannya pergi, Abizar justru tertarik ingin mendengar obrolan mereka. Sehingga, lelaki kelas tiga sekolah menengah atas itu duduk di kursi lainnya yang kosong.Asih yang tengah menangis tak memedulikan kehadiran putra Beni, ia tak lagi malu untuk mengemis maaf."Be
Alarm berbunyi di pukul empat pagi. Sehingga, membuat Citra dan suaminya terperanjat. Boy yang masih merasa lelah itupun meraih ponsel di atas meja, kemudian ia mematikan alarmnya. Namun, bukannya bangkit, lelaki itu justru merebahkan lagi kepalanya ke atas bantal."Kok tidur lagi?"Citra yang juga terbangun karena mendengar alarm lantas menoleh ke arah suaminya. Tubuh keduanya masih polos dan hanya ditutupi oleh selimut saja."Masih ngantuk," jawab Boy dengan suara parau. Matanya seakan-akan sulit terbuka karena rasa lelahnya."Ish, bangun yuk, sebentar lagi kan subuh," ajak Citra.Wanita yang baru saja melepas kegadisannya itu bangkit kemudian duduk di samping Boy, ia menutup dadanya dengan selimut yang dikenakan."Hufft, ayo."Meskipun masih terasa lelah karena pertarungan semalam, tetapi Boy masih selalu ingat dengan kewajibannya. Kendatipun mengantuk dan kerap dihantui rasa malas, tetapi ia selalu bangun untuk bersih-bersih sebelum subuh.Lelaki itu lantas ikut bangkit lalu menci
"Kamu siap, gak?" tanya Boy.Lelaki itu berbisik di daun telinga sang istri dengan suara lembut dan berat. Sementara Citra hanya mengangguk dengan wajah tersipu."Tapi kita harus berdoa dulu," ujar Citra.Ia hampir tak berani melihat mata suaminya sebab malu, takut dan gelisah terus menghantuinya. Namun, tak dipungkiri ia pun sangat menginginkan malam ini."Iya, aku tahu, yuk kita berdoa dulu," jawab Boy.Keduanya saling melempar senyum, kemudian melafalkan doa sebelum berhubungan. Keduanya berharap semoga setelah malam ini akan lahir keturunan yang sholeh dan sholehah.Namun, setelah berdoa keduanya justru merasa kaku dan malu. Citra bingung begitupun Boy, sehingga lelaki dengan janggut tipis itu menggaruk-garuk kepala sebab salah tingkah yang membuat keduanya tertawa.Tak ingin gagal, Boy yang sangat senang dengan bibir istrinya lantas kembali melabuhkannya di sana. Pun Citra, ia sudah merasa terbiasa sehingga tak lagi malu seperti saat pertama menikah.Lama Boy memainkan bibirnya d
"Aku sakit karena membaca surat kamu sama Maira," jawab Citra, bukannya sedih, gadis itu justru tertawa mengingat kekonyolannya. Namun, tidak bagi Boy, ia justru semakin merasa bersalah dan menyadari betapa besar cinta sang istri padanya."Iya kah?" tanya Boy."Iya, kamu tahu gak, kamu adalah orang pertama yang aku cintai."Citra melanjutkan perjalanan, sementara Boy terus menatapnya dengan perasaan kagum juga bahagia."Aku berasa terbang karena dicintai begitu dalam," jawab Boy sembari tertawa. Lelaki itupun meraih kembali jemari Citra dan menuntunnya keluar dari area makam.Setelah sampai di parkiran, Boy meraih helm dan membantu Citra mengenakannya."Aku juga bisa pakai sendiri," tolak Citra, tetapi tak dipungkiri hatinya meleleh dengan perlakuan Boy yang begitu manis."Gak apa-apa, kamu cantik kalau pakai helm," puji Boy sembari menepuk-nepuk benda penutup kepala itu lembut."Ya sudah, sekarang kita cari masjid dulu yuk, habis itu kita makan, aku laper," ajak Citra."Ayok," balas
"Kak Farel, ada Oma sama Opa."Maira berbisik di telinga suaminya. Ia malu sebab ketahuan bermesraan di dapur. Sehingga, keduanya yang tengah berhadapan dengan jarak yang sangat dekat itu lantas menjauh."Gak usah malu, justru kita senang ya, Mas," ujar Indira pada suaminya.kedua pasangan berusia lanjut itu saling melempar senyum. Indira tanpa ragu menggandeng lengan suaminya di hadapan pengantin baru itu."Iya, gak apa-apa, jangan kalah sama kita yang udah tua," sahut Adi sembari tertawa kemudian berlalu meninggalkan Maira dan suaminya di sana.Saat langkah Adi menjauh, Farel masih tersenyum lebar. Ia sangat bahagia karena melihat keromantisan nenek dan kakek Maira meski sudah berusia lanjut."Oma sama Opa romantis banget, ya. Pasti dulu mereka saling mencintai," puji Farel saat kedua orang yang merawat istrinya pergi."Enggak, justru di masa lalu mereka pernah bercerai. Bahkan, kehadiran Mama pun belum bisa membuat Oma mencintai suaminya," balas Maira."Yang benar?"Farel terkejut,
Di rumah Indira, Maira tengah memasak untuk sarapan. Sementara nenek dan kakeknya tengah berjalan-jalan pagi. Mereka sadar sudah tak muda lagi dan harus memerhatikan kesehatan agar tak menjadi pesakitan."Masak apa?"Farel yang baru saja keluar kamar itu menghampiri sang istri, ia memeluk Maira dari belakang sehingga membuat istrinya sedikit terkejut."Eh, aku masak nasi goreng buat sarapan," jawab Maira.Wanita itu membiarkan tangan suaminya melingkar di pinggang. Sehingga, Maira bisa merasakan kehangatan di punggungnya yang menempel dengan dada Farel."Baunya enak," puji Farel.Melihat rambut Maira yang diikat ke belakang dan menampilkan leher jenjang membuat kecantikan wanita itu kian paripurna. Sehingga, membuat Farel semakin senang bermanja-manja dengannya."Oh ya, hari ini mau temani aku ke kantor, enggak?" tanya Maira.Saat libur kuliah, ia memang sering menghabiskan waktu untuk mengurus perusahaan Mega. Maira yang memang mengambil jurusan manajemen dan administrasi bisnis itu