Indira bersama keluarganya baru saja selesai makan bersama sebagai ungkapan rasa syukur atas rumah Maira."Indira, mohon maaf sebelumnya, aku sama Radit sudah harus pulang." Ajeng menghampiri Indira untuk berpamitan."Lha, Buru-buru amat," sanggah Indira dengan wajah seolah-olah tak rela besan plus teman gengnya dulu hendak pergi."Radit masih ada pekerjaan, aku juga ada janji hari ini." Ajeng menggenggam tangan Indira sambil tersenyum."Ya sudah, kalau begitu hati-hati ya. Sekali lagi terima kasih atas kebaikan besar ini, Ajeng."Indira memeluk tubuh Ajeng. Lagi, air mata membanjiri pipinya. Wanita itu masih tak menyangka dengan kebaikan Ajeng dan rezeki besar hari ini.Setelah puas berpelukan, keduanya akhirnya berpisah. Ajeng memeluk dan mencium Citra penuh keharuan. Mata wanita yang sudah tak lagi muda itu nampak basah saat menciumi Citra. Hatinya selalu sedih kala melihat mata bening cucunya karena selalu ingat kesalahannya di masa lalu pada Citra.Melihat mantan mertuanya memelu
Haris sudah sampai di gudang miliknya, lelaki yang biasanya garang itu nampak melemah di hadapan Anurak."Sorry sir, why come so suddenly?" (Maaf Tuan, kenapa datang mendadak?) tanya Haris dengan wajah menunduk. Lelaki itu menampakkan raut wajah yang sama ketika anak buah berbicara padanya."There is a little problem, I want ten Indonesian girls tonight." (Ada sedikit masalah, saya ingin sepuluh gadis Indonesia malam ini)Anurak berbicara dengan nada tegas. Lelaki yang berasal dari chiang mai berwajah oval itu nampak berwibawa."But it's not easy, sir?" (Tapi itu tidak mudah, Tuan?)Haris mendongak, lelaki itu terkejut dengan permintaan bos nya. Meskipun ia tahu betul kalau bos nya sudah turun tangan, artinya memang sudah sangat mendesak."I don't care. the girls should be with me tonight!"Jika Anurak sudah menginginkan sesuatu, maka sulit bagi Haris untuk tidak memberikannya. Andai menolak, pastilah karir dan nyawanya akan terancam. Hidup dalam pekerjaan gelap seperti yang digelutin
Wajah Hasna dan kedua wanita yang bersamanya nampak gusar saat mendengar kabar dari tim medis mengenai kondisi Mega.Tubuh Indira terasa limbung, ia menyandarkan punggungnya ke tembok, matanya nampak basah, ia merasa sedih dengan kondisi Mega."Kamu harus bertahan Mega, kita akan membesarkan Maira bersama-sama. Kamu belum sempat menggendongnya, bukannya kamu merindukan cucu kita?" gumam Indira, setitik bulir bening jatuh di pelupuk matanya.Hasna yang tengah duduk di samping Mayang melirik sekilas ke arah adiknya, wanita itu cukup mengerti dengan perasaan Indira. Sementara Mayang semakin frustasi. Ia memukul-mukul pahanya yang mengenakan rok pendek itu. Rasa bersalah semakin dahsyat menghantui pikirannya. Jika Mega mati, ia akan hidup dalam penuh penyesalan atau bahkan ikut mati juga di tangan kekasihnya."Kita do'akan yang terbaik untuk Mega, ya." Hasna menatap sendu wajah Indira yang masih bersandar pada tembok itu.Indira menarik napas dalam lalu mengembuskan perlahan untuk menetra
Setelah berkonsultasi dengan psikolog, Tiara kini semakin tenang. Gadis itu tetap menurut pada perintah Beni dan Nengsih agar tetap tinggal di apartemen. Di sana ia bersyukur bisa makan enak dan tidur dengan nyaman."Mbak Nengsih, Mbak hebat ya bisa nikah sama orang kaya, gimana sih ceritanya kok Mbak Nengsih bisa dekat sama Pak Beni?" tanya Tiara saat dirinya dan Nengsih sedang mengobrol."Aku juga gak tahu gimana kami bisa dekat, yang aku tahu takdir telah menuntun kami untuk bertemu lalu akhirnya dekat," balas Nengsih. Wanita itu membayangkan masa-masa singkat perkenalannya dengan Beni."Mbak Nengsih beruntung karena mempunyai orang yang sangat sayang sama Mbak Nengsih, gak seperti aku."Tiara menunduk, ia membayangkan saat dirinya dibawa oleh Juragan Bakri, tetapi ayah dan ibunya hanya diam dalam ketidakberdayaan."Tiara, yang berlalu sudah biarkan berlalu, yang penting sekarang kamu sudah berada di sini dan aman. Aku yakin Juragan Bakri dan kroninya gak akan bisa menculik kamu la
"Selamat siang, selamat datang Pak Beni, Bu Nengsih.""Selamat siang," balas Nengsih dan calon suaminya berbarengan. Dua insan yang sebentar lagi melabuhkan cinta mereka di dermaga suci itu tersenyum."Gaun yang dipesan Bu Zahra sudah kami siapkan, Pak," kata karyawan toko itu ramah.Mendengar itu, Nengsih dan Beni tersenyum. Mereka sudah tak sabar ingin mengenakan pakaian pengantin yang sangat indah dan mewah itu."Sebentar ya Mas, aku coba dulu." Nengsih masuk ke ruang ganti dan mencoba gaun yang sudah dipesan oleh ibunya Beni itu.Setelah gaun berwarna putih dengan sedikit renda terpasang di tubuhnya, Nengsih mematut diri di cermin. Pantulan dirinya berbalut kain mahal itu nampak memukau. Rambutnya yang rapi semakin menambah aura elegant.Namun, tiba-tiba saja hatinya terasa mendung. Nengsih ingat kedua orang tua dan adik-adiknya yang sudah tiada. Pernikahan tanpa keluarga membuat hatinya sedih."Bapak, Ibu ... aku mau nikah, tapi kalian gak di sini. Padahal, dulu Ibu sama Bapak se
Sesampainya di apartemen, Beni dan Nengsih terburu-buru masuk ke kamarnya. Saat pintu terbuka, mereka melihat sisa permen karet menempel di sana. Melihat itu, lantas mata Beni langsung melebar dan ia gegas mencari Tiara di kamar. Namun nihil, tak ada siapapun di sana.Seketika Nengsih dan calon suaminya berpandangan. Wajah mereka nampak gusar karena orang yang selama ini mereka lindungi hilang begitu saja."Mas, Nengsih ke mana? Atau jangan-jangan ada yang culik dia?" Nengsih bertanya-tanya."Kemungkinan iya, aku curiga seseorang telah masuk waktu lihat ada sisa permen karet di sana."Beni berjalan sambil menunjukkan sisa permen karet yang digunakan sebagai pengganjal pintu pada calon istrinya. Baru sadar dengan aksi kejahatan itu, Nengsih kini semakin panik. Sementara Beni merogoh saku, ia langsung mencari kontak Radit lalu menelponnya."Hallo, iya Pak Beni," kata Radit di seberang sana setelah panggilannya tersambung."Pak, Tiara hilang." Beni langsung bicara ke intinya, ia lupa kal
Stella tengah menunggu Haris di hotel, hari ini mereka berjanji untuk bertemu. Wanita itu tak sabar dengan rencana yang sudah disusun bersama Haris. Seperti dugaannya selama ini, Haris memang tidak mempunyai hati bahkan pada anaknya sendiri. Demi tetap bersama Stella, Haris mengatakan kalau ia tak keberatan menghancurkan hidup Dian.Stella bahagia karena lelaki yang baru saja dikencaninya itu sangat mampu diandalkan. Ia merasa bisa mengendalikan Haris karena yakin kalau lelaki itu tengah tertarik dan menjadi budak cintanya. Stella tahu kalau Haris sangat tergila-gila dengan tubuh sintalnya.Stella mengirim foto dirinya yang hanya mengenakan lingerie dengan pose eksotis pada Haris. Tentu saja tujuannya untuk membuat lelaki hidung belang itu semakin tergila-gila padanya. Jika sudah tergila-gila, Stella semakin leluasa memperalat lelaki itu untuk membantu memuluskan rencananya.Stella tersenyum, ia membayangkan Haris pasti akan menanggapi foto itu dengan kata-kata kotor nan nakal, lalu s
"Ayo pergi, Mayang," ajak Indira pada gadis yang masih terpaku itu."I_iya, Bu," balasnya sambil menganggukkan kepala. hatinya masih terus gelisah melihat kepergian Haris bersama polisi.Mayang tahu betul Haris orang yang seperti apa. Lelaki itu pasti akan balas dendam dengan yang jauh lebih keji padanya andai tidak dipenjara. Namun, kalaupun dipenjara dengan dakwaan yang masih ringan, lelaki itu pasti bisa lolos karena ia memang licin."Ayo kita ke kantor polisi untuk memberi keterangan," ajak Hasna sambil meraih lengan Mayang kemudian menuntunnya."Tapi aku takut, Bu," kata Mayang, wajahnya nampak gusar. Hasna berpikiran kalau kegelisahan Mayang karena takut Haris mengancam keluarganya, sehingga wanita itu berusaha untuk terus menenangkannya. Padahal, jauh di dalam hati Mayang, ia gelisah karena hal lain."Gak perlu takut, Mayang. Setelah ini, kita fokus pada sandera Haris yang hilang, kita harus menemukan dia dan meminta anak itu bersaksi bahwa Haris memang telah melakukan perbuata