"Iya, terima kasih karena telah mengkhawatirkan aku."Untuk pertama kalinya Mega menatap Hasna dengan hangat. Seolah-olah mereka adalah dua orang yang bersaudara.Seketika saja tercipta keheningan di antara tiga wanita yang tengah sibuk dengan pikirannya masing-masing itu."Tante Mega, apa orang suruhan Tante yang selamat sempat memvideokan tindakan Haris?" Dian memecah keheningan."Sudah saya pinta, tapi kayaknya belum dikirim." Mega menimpali sambil meraih ponselnya yang teronggok di meja. Di waktu yang bersamaan ponselnya bergetar, sebuah pesan yang ditunggu itupun datang."Ini, dia kirim foto." Mega semringah, tetapi senyum itu kembali pupus saat melihat objeknya tidak begitu jelas. Di gambar itu wajah Haris tertutup karena memang foto diambil bukan dari sudut yang tepat. Mega yakin foto itu tidak akan bisa dijadikan bukti tindakan kejahatan Haris."Cuma Alvin yang memiliki bukti kuat, tapi aku tidak yakin dengan kondisinya sekarang mengingat dia ditangkap oleh Haris."Mega menata
"Bapak jahat Mbak, Bapak jual aku ke Juragan Bakri. Aku benci Bapak."Tiara menangis tersedu-sedu mengingat ayahnya yang tak memiliki hati. Tangisan dan jeritannya tak cukup kuat untuk mengetuk hati ayahnya yang membatu."Sabar ya, Tiara."Nengsih meraih pundak gadis itu kemudian disandarkan ke bahunya. Di sana Tiara menangis, menumpahkan semua kemalangannya."Bapak pasti akan marah sama ibu, ibu pasti dipukul lagi sama Bapak saat tahu aku kabur dari Juragan Bakri," lirih Tiara sambil terisak."Mbak hampir gak percaya Bapak kamu setega itu, padahal Mbak Nengsih pikir Bapak kamu orang yang baik meskipun suka mabuk." Nengsih menimpali."Dulu Bapak memang baik, Mbak. Tapi, setelah Bapak senang judi dan kalah, Bapak semakin berubah."Tiara menatap ruang hampa, seolah-olah perasaannya telah mati dibunuh cinta pertamanya sendiri."Kamu tenang ya, sekarang kamu aman. Mbak janji akan berusaha lindungi kamu," balas Nengsih, mata gadis itu berkaca-kaca, sungguh membayangkannya nasib Tiara saja
Dian tengah mondar-mandir sambil menggenggam ponsel. Wanita itu khawatir dengan keadaan ibunya dan Mega. Berkali-kali ia menelpon Hasna, tetapi sulit tersambung."Bu, Neng Citra malah tidur di kamar," ucap Mbok Siti yang baru saja turun dari kamar Dian. Wanita itu baru saja selesai memandikan anak majikannya."Gak apa-apa, mungkin dia kecapekan, terima kasih ya, Mbok," balas Dian sambil tersenyum, tetapi tak mampu menyembunyikan kekhawatirannya."Bu Dian kenapa, sih? Si Mbok perhatikan dari tadi bolak-balik terus?"Wanita paruh baya itu akhirnya bertanya, ia tak tahu apapun tentang rencana Hasna dan Dian."Ibu sama Tante Mega pergi, Mbok. Aku khawatir sama mereka," jawab Dian gelisah, ia memijat pelipisnya yang terasa penat."Memang Bu Hasna sama Bu Mega sudah baikan ya? Saya kok gak yakin kalau niat Bu Mega baik pada Bu Hasna."Mbok Siti mengungkapkan keraguannya. Dian yang sebelumnya yakin pun kini kembali ragu, pupil mata wanita itu melebar karena pikiran yang melintas di benaknya.
Sarah menangis tersedu-sedu sambil memeluk cucunya yang malang. Semua rasa bercampur aduk dalam dadanya. Marah, kesal, kasihan, benci menjadi satu dalam hati.'Maafin Mama, Stella.'Sarah menjerit dalam hati, napasnya terasa sesak saking beratnya beban yang dirasa jiwa. Melihat Boy yang menangis, hati Sarah semakin hancur."Cup sayang, jangan nangis ya," ujar Sarah, ia bangkit dari kasur lalu menimang cucunya.Baru saja Boy merasakan kasih sayang Stella sebentar, tetapi kini anaknya itu kembali kehilangan jiwa keibuannya. Sarah tak mengerti kenapa anaknya mempunyai hati yang begitu keras. Bahkan dirinya yang juga pernah menanggung sakit karena hamil di luar nikah, tetapi ia masih bisa menyayangi Stella kendatipun ditinggalkan ayah kandungnya.Sarah tak habis pikir dengan isi kepala Stella. Wanita itu menggelengkan kepala mengingat anaknya yang seperti bukan lagi manusia."Teteh, kunaon Si Boy?" tanya kerabat Sarah yang langsung masuk ke kamar Stella begitu mendengar tangisan Boy yang
Ponsel Hasna berdering saat wanita itu tengah duduk di kasur, sementara Mega sedang ke toilet. Ia lantas meraih benda pipih itu kemudian menerima panggilan video dari adiknya."Halo sayang," sapa Hasna saat wajah Maira menyembul lucu dari layar ponselnya."Mbak, lagi apa?" tanya Indira yang duduk sambil memangku cucunya."M_m, lagiii...." Hasna bingung menjawab apa, ia tak mungkin mengatakan kalau dirinya tengah di hotel untuk menemani Mega."Mbak, lagi__"Belum sempat menyelesaikan ucapannya, tiba-tiba saja Mega yang baru saja keluar dari toilet itu mengambil sesuatu di atas nakas yang kebetulan terkena pantulan kamera.Hasna sudah berusaha bergeser agar Indira tak melihat Mega. Namun, ternyata telat, adiknya sudah menangkap sosok wanita yang sangat dibencinya itu."Mbak itu Mega?" tanya Indira kemudian, matanya memerah melihat Sang kakak berada di kamar yang sama dengan musuhnya."Siapa?" tanya Mega dengan gerakan mulut tanpa suara, ia mendengar seseorang di sana menyebut namanya."
Haris yang tengah tertidur itu melenguh kemudian menggeliat. Melihat lelaki di sampingnya tersadar, Stella langsung pura-pura tidur lagi.Haris terperanjat, matanya seolah-olah hendak melompat keluar saat menyadari dirinya ketiduran di sana.'Aaah siaal.'Haris menggerutu dalam hati. Gara-gara wanita muda yang menggodanya itu semua rencananya kacau. Padahal, malam itu dia harus ke gudang untuk memastikan anak buahnya sudah menemukan Tiara.'Kalau juga anak itu belum ditemukan, artinya kalian panjang umur.'Haris berbisik dalam hati sambil membayangkan kinerja anak buahnya yang tidak memuaskan.Haris melirik sekilas ke arah wanita cantik yang kira-kira usianya terpaut dua puluh lima tahun dengannya. Di mata Haris wanita itu sangat mengesankan malam tadi. Dirinya tak mengerti kenapa bisa melakukan hal itu pada orang yang tidak dikenalnya. Namun, melihat garis wajah wanita di sampingnya membuat Haris mengingat seseorang, tetapi ia sama sekali tak ingat mirip siapa. Lelaki itu hanya meras
"Mega sayang, kamu pikir kamu bisa lari dariku."Haris baru saja keluar dari toilet dan menatap istrinya yang tengah berbaring tak berdaya di atas ranjang.Lelaki itu melangkah dan mengelus wajah Mega lembut. Tatapannya kian bengis, seolah-olah ia adalah predator.Mega yang tengah tertidur itu merasakan sentuhan lembut di pipinya. Namun, kepala yang terasa berat itu membuatnya tak berdaya. Dadanya masih terasa sesak sehingga ia sulit untuk bernapas."Kamu tidak boleh mati, kamu harus menandatangani ini dulu untukku sayang."Haris membawa sejumlah berkas yang sudah dipersiapkan. Hanya tinggal menunggu tanda tangan Mega maka ia akan mendapatkan seluruh aset milik istrinya.Haris mengambil pulpen, ia sudah hafal dan mampu menduplikasi tanda tangan sang istri. Namun, ia tidak bodoh untuk memalsukan. Maka dari itu Haris menuntun tangan istrinya yang tidak berdaya untuk menandatangani beberapa berkas penting itu.Mega menyadari Haris tengah menggunakan tangannya untuk tanda tangan. Wanita i
Indira bersama keluarganya baru saja selesai makan bersama sebagai ungkapan rasa syukur atas rumah Maira."Indira, mohon maaf sebelumnya, aku sama Radit sudah harus pulang." Ajeng menghampiri Indira untuk berpamitan."Lha, Buru-buru amat," sanggah Indira dengan wajah seolah-olah tak rela besan plus teman gengnya dulu hendak pergi."Radit masih ada pekerjaan, aku juga ada janji hari ini." Ajeng menggenggam tangan Indira sambil tersenyum."Ya sudah, kalau begitu hati-hati ya. Sekali lagi terima kasih atas kebaikan besar ini, Ajeng."Indira memeluk tubuh Ajeng. Lagi, air mata membanjiri pipinya. Wanita itu masih tak menyangka dengan kebaikan Ajeng dan rezeki besar hari ini.Setelah puas berpelukan, keduanya akhirnya berpisah. Ajeng memeluk dan mencium Citra penuh keharuan. Mata wanita yang sudah tak lagi muda itu nampak basah saat menciumi Citra. Hatinya selalu sedih kala melihat mata bening cucunya karena selalu ingat kesalahannya di masa lalu pada Citra.Melihat mantan mertuanya memelu
"Sayang."Beni menghampiri Nengsih yang masih tersedu-sedu. Air mata wanita itu sulit terhenti. Hatinya masih saja nyeri membayangkan masalah yang menimpa keluarganya."Hmmm."Nengsih hanya berdehem, setelah jarak suaminya dekat, ia pun justru mengalihkan pandangan. Kondisi mood sedang buruk lantaran tengah premenstrual syndrom. Sehingga, hormonnya sangat berpengaruh terhadap masalah yang tengah dihadapi.Biasanya, Nengsih akan berpikir rasional. Namun, entah mengapa kali ini seakan-akan ia membenarkan ucapan Abizar bahwa semua yang terjadi antara keluarganya dengan keluarga Tiara disebabkan oleh pengkhianatan suaminya.Beni yang lelah, lantas mencoba diam, lelaki itu mencerna sikap istrinya kemudian instrospeksi diri. Namun, setelah diperhatikan sekian lama ia baru peka bahwa istrinya tengah mengalami mood swing. Sehingga, ia memeluk istrinya dari belakang, tak peduli Nengsih mengamuk, ia hanya ingin menunjukkan bahwa dirinya sangat mencintai sang istri dibandingkan orang lain."Apaa
"Ya udah, sambil nunggu Kak Citra masuk aja dulu, yuk."Kedua insan itu lantas masuk ke rumah Dian. Di dalam, Abizar langsung disambut hangat oleh Dian."Abizar, apa kabar?" tanya Dian begitu pandangannya bersitatap dengan putra kedua Beni."Alhamdulillah, aku sehat Tante, Tante Dian apa kabar?"Abizar meraih tangan Dian lalu menciumnya takzim. Lelaki itu kemudian duduk di sofa, sementara Syadea pergi ke dapur untuk mengambilkan jamuan untuk sahabatnya."Katanya mau berangkat siang, ini masih pagi, lho," ujar Dian, ia menoleh ke arah jam dinding yang baru menunjukkan pukul sembilan.Belum sempat Abizar menjawab, Syadea yang baru kembali dari dapur sembari membawa air dan kudapan itu menyahut."Biasa Ma, dia gak sabar," ujar Syadea dengan menaikkan sebelah alisnya.Dian tersenyum, wanita itu kemudian menganggukkan kepala dan pergi ke halaman rumah untuk mengurus semua tanaman hias kesayangannya.Setelah Dian berlalu, wajah Abizar kembali pias kala mengingat sang ayah. Rasa kecewa kemba
Beni mengejar istrinya yang tengah dikuasai emosi. Lelaki itu tahu betul bukan seperti ini karakter Nengsih. Namun, ia pun memaklumi apa yang dirasakan sang istri."Sayang, tunggu!"Beni menyeru istrinya yang baru saja membuka pintu kamar. Sedangkan Nengsih yang baru saja memutar kenop pintu itu menghentikan langkahnya sejenak. Wanita itu terisak, kemudian menyeka air mata yang berkejaran di pipinya.Melihat butiran kristal yang terus meluruh dari manik belahan jiwanya, Beni lantas memeluk sang istri erat. Ia tak mengatakan apapun meski ada yang ingin dikatakan.Beni memilih untuk membiarkan Nengsih mengekspresikan perasaannya. Sedih, marah, kecewa adalah rasa yang sangat manusiawi. Sebaik apapun sang istri, lelaki itu sadar wanitanya bukanlah malaikat. Sama seperti dirinya, kendatipun sudah berusaha menjadi orang baik, tetap saja ia selalu melakukan kesalahan."Mungkin benar kata Abizar, aku yang membuat semua jadi begini, andai aku gak menikahi Tiara untuk membantunya, andai aku jug
Mendengar kalimat yang dilontarkan oleh Asih, Beni dan istrinya lantas saling pandang. kedua insan itu mengerutkan dahi sebab rasa penasaran."Maksud Bu Asih?" tanya Nengsih tak mengerti.Begitupun dengan Beni, ia menatap mata mantan mertuanya penuh selidik. Entah, lelaki itu merasa ada makna tersirat dari kalimat yang diucapkan oleh Asih.Tak langsung menjawab, Asih justru menangis semakin kencang hingga membuat Abizar yang sebelumnya tak peduli dengan tamu kedua orang tuanya pun ikut menghampiri."Ma, Pa, ada apa?" tanya Abizar setengah berlari, ia takut ada orang kesurupan di rumahnya mengingat sang ibu pernah diganggu makhluk halus."Ssst, gak ada apa-apa," jawab Beni dengan meletakkan jari telunjuk di bibirnya.Namun, bukannya pergi, Abizar justru tertarik ingin mendengar obrolan mereka. Sehingga, lelaki kelas tiga sekolah menengah atas itu duduk di kursi lainnya yang kosong.Asih yang tengah menangis tak memedulikan kehadiran putra Beni, ia tak lagi malu untuk mengemis maaf."Be
Alarm berbunyi di pukul empat pagi. Sehingga, membuat Citra dan suaminya terperanjat. Boy yang masih merasa lelah itupun meraih ponsel di atas meja, kemudian ia mematikan alarmnya. Namun, bukannya bangkit, lelaki itu justru merebahkan lagi kepalanya ke atas bantal."Kok tidur lagi?"Citra yang juga terbangun karena mendengar alarm lantas menoleh ke arah suaminya. Tubuh keduanya masih polos dan hanya ditutupi oleh selimut saja."Masih ngantuk," jawab Boy dengan suara parau. Matanya seakan-akan sulit terbuka karena rasa lelahnya."Ish, bangun yuk, sebentar lagi kan subuh," ajak Citra.Wanita yang baru saja melepas kegadisannya itu bangkit kemudian duduk di samping Boy, ia menutup dadanya dengan selimut yang dikenakan."Hufft, ayo."Meskipun masih terasa lelah karena pertarungan semalam, tetapi Boy masih selalu ingat dengan kewajibannya. Kendatipun mengantuk dan kerap dihantui rasa malas, tetapi ia selalu bangun untuk bersih-bersih sebelum subuh.Lelaki itu lantas ikut bangkit lalu menci
"Kamu siap, gak?" tanya Boy.Lelaki itu berbisik di daun telinga sang istri dengan suara lembut dan berat. Sementara Citra hanya mengangguk dengan wajah tersipu."Tapi kita harus berdoa dulu," ujar Citra.Ia hampir tak berani melihat mata suaminya sebab malu, takut dan gelisah terus menghantuinya. Namun, tak dipungkiri ia pun sangat menginginkan malam ini."Iya, aku tahu, yuk kita berdoa dulu," jawab Boy.Keduanya saling melempar senyum, kemudian melafalkan doa sebelum berhubungan. Keduanya berharap semoga setelah malam ini akan lahir keturunan yang sholeh dan sholehah.Namun, setelah berdoa keduanya justru merasa kaku dan malu. Citra bingung begitupun Boy, sehingga lelaki dengan janggut tipis itu menggaruk-garuk kepala sebab salah tingkah yang membuat keduanya tertawa.Tak ingin gagal, Boy yang sangat senang dengan bibir istrinya lantas kembali melabuhkannya di sana. Pun Citra, ia sudah merasa terbiasa sehingga tak lagi malu seperti saat pertama menikah.Lama Boy memainkan bibirnya d
"Aku sakit karena membaca surat kamu sama Maira," jawab Citra, bukannya sedih, gadis itu justru tertawa mengingat kekonyolannya. Namun, tidak bagi Boy, ia justru semakin merasa bersalah dan menyadari betapa besar cinta sang istri padanya."Iya kah?" tanya Boy."Iya, kamu tahu gak, kamu adalah orang pertama yang aku cintai."Citra melanjutkan perjalanan, sementara Boy terus menatapnya dengan perasaan kagum juga bahagia."Aku berasa terbang karena dicintai begitu dalam," jawab Boy sembari tertawa. Lelaki itupun meraih kembali jemari Citra dan menuntunnya keluar dari area makam.Setelah sampai di parkiran, Boy meraih helm dan membantu Citra mengenakannya."Aku juga bisa pakai sendiri," tolak Citra, tetapi tak dipungkiri hatinya meleleh dengan perlakuan Boy yang begitu manis."Gak apa-apa, kamu cantik kalau pakai helm," puji Boy sembari menepuk-nepuk benda penutup kepala itu lembut."Ya sudah, sekarang kita cari masjid dulu yuk, habis itu kita makan, aku laper," ajak Citra."Ayok," balas
"Kak Farel, ada Oma sama Opa."Maira berbisik di telinga suaminya. Ia malu sebab ketahuan bermesraan di dapur. Sehingga, keduanya yang tengah berhadapan dengan jarak yang sangat dekat itu lantas menjauh."Gak usah malu, justru kita senang ya, Mas," ujar Indira pada suaminya.kedua pasangan berusia lanjut itu saling melempar senyum. Indira tanpa ragu menggandeng lengan suaminya di hadapan pengantin baru itu."Iya, gak apa-apa, jangan kalah sama kita yang udah tua," sahut Adi sembari tertawa kemudian berlalu meninggalkan Maira dan suaminya di sana.Saat langkah Adi menjauh, Farel masih tersenyum lebar. Ia sangat bahagia karena melihat keromantisan nenek dan kakek Maira meski sudah berusia lanjut."Oma sama Opa romantis banget, ya. Pasti dulu mereka saling mencintai," puji Farel saat kedua orang yang merawat istrinya pergi."Enggak, justru di masa lalu mereka pernah bercerai. Bahkan, kehadiran Mama pun belum bisa membuat Oma mencintai suaminya," balas Maira."Yang benar?"Farel terkejut,
Di rumah Indira, Maira tengah memasak untuk sarapan. Sementara nenek dan kakeknya tengah berjalan-jalan pagi. Mereka sadar sudah tak muda lagi dan harus memerhatikan kesehatan agar tak menjadi pesakitan."Masak apa?"Farel yang baru saja keluar kamar itu menghampiri sang istri, ia memeluk Maira dari belakang sehingga membuat istrinya sedikit terkejut."Eh, aku masak nasi goreng buat sarapan," jawab Maira.Wanita itu membiarkan tangan suaminya melingkar di pinggang. Sehingga, Maira bisa merasakan kehangatan di punggungnya yang menempel dengan dada Farel."Baunya enak," puji Farel.Melihat rambut Maira yang diikat ke belakang dan menampilkan leher jenjang membuat kecantikan wanita itu kian paripurna. Sehingga, membuat Farel semakin senang bermanja-manja dengannya."Oh ya, hari ini mau temani aku ke kantor, enggak?" tanya Maira.Saat libur kuliah, ia memang sering menghabiskan waktu untuk mengurus perusahaan Mega. Maira yang memang mengambil jurusan manajemen dan administrasi bisnis itu