"Dian, kamu gak apa-apa, Nak?"Indira langsung merengkuh tubuh keponakannya yang kesakitan. Wanita itu dibantu oleh Adi dan Radit untuk duduk, mereka berharap semoga saja sakit di perut Dian mereda."Ssssttt, hhhh...." Dian terus meringis merasakan sakit yang menghujam perut bagian bawahnya."Minum dulu Dian," kata Adi sambil membuka tutup botol yang ia ambil dari tas Indira.Dian menerima air itu kemudian meminumnya. Namun, rasa sakitnya tak kunjung hilang. Wanita itu masih terus meringis sambil mengatur napasnya."Bawa ke rumah sakit aja," timpal Radit dengan perasaan khawatir. Meski anak yang dikandung Dian sama sekali tak ada hubungan dengannya, tetapi ia sangat mencemaskan kondisi mantan istri. Radit takut terjadi sesuatu dengan Dian."Ya sudah." Indira menganggukkan kepala tanda setuju. Ia bersama Adi membantu keponakannya untuk berdiri dan berjalan keluar, sementara Radit bergegas lari untuk menyiapkan mobil agar Dian tak harus jalan jauh ke parkiran.Di sepanjang perjalanan m
"Mbak Hasna," lirih Indira setelah sampai di rumah kakak kandungnya itu. Indira langsung memeluk Hasna erat. Ia menangis kencang di pelukan saudara perempuannya."Bagaimana hasilnya, Indira?" tanya Hasna dengan raut wajah khawatir. Sebenarnya ia sudah tahu jawabannya meski tak bertanya, hanya saja ia ingin mendengar sendiri dari mulut Indira."Mbak, kita kalah, Maira mau diambil sama mereka," kata Indira sambil terisak.Tak lama kemudian Mbok Siti membawa Maira dan Citra turun. Melihat cucunya, Hasna dan Indira lantas langsung mendekati keturunannya masing-masing. Indira memeluk Maira erat, ia tak rela cucunya yang diperjuangkan olehnya itu harus diambil oleh Mega dan Haris."Maira harus ikut saya."Baru saja Indira memeluk Maira, tiba-tiba saja Mega dan Haris sudah berdiri di ambang pintu. Melihat kedatangan mereka, Adi lantas menyeret dua manusia itu keluar dari rumah Hasna.Hasna, Mbok Siti dan Citra ikut keluar, sementara pintu langsung ditutup agar Mega tak mengambil Maira begitu
"Indira, keluar kamu. Kalau gak keluar saya dobrak pintunya."Haris mengancam Indira sambil berteriak dari luar. Lelaki itu sudah memasang badan hendak mendobrak pintu rumah Rian."Jangan brutal. Ini rumah saya!" Rian muak melihat arogansi Haris. Pun Dian, ia menatap lelaki itu dengan penuh kebencian."Bujuk Indira atau saya dobrak!" Haris memberi perintah pada pemilik rumah.Hasna yang tengah menahan gemuruh hebat di dadanya lantaran kelakuan sang mantan itu akhirnya melangkah, ia mendekati daun pintu dan mengetuknya."Indira, buka pintunya ya. Kita bisa bicarakan ini baik-baik, jangan seperti itu Indira. Mbak tahu kamu sangat menyayangi Maira. Mbak mengerti sulit untuk kamu menerima ini semua. Tapi Mbak mohon, buka pintunya dulu ya."Hasna berkata dengan suara lembut, ia berusaha bernegosiasi dengan adiknya sambil terus mengetuk pintu. Namun, kini tak terdengar suara Indira maupun Maira di dalam rumah.Hasna menatap mata Dian, kedua manik hitam itu membulat saat saling berhadapan. I
Langit sudah mulai gelap, jalan tol Jakarta-Merak itu cukup lenggang, sehingga mobil yang ditumpangi Indira bisa melesat dengan kecepetan tinggi."Pak, ayo agak cepat jalannya, aku takut dikejar mereka."Indira yang berada di dalam mobil itu nampak panik. Sementara Maira fokus dengan boneka dalam genggamannya. Sesekali gadis kecil itu melirik ke arah Indira dan tersenyum. Ia sama sekali tak mengerti bahwa dirinya sedang diperebutkan."Tenang. Kita sudah jauh dari rumah. Mega dan Haris pasti tidak akan mengejar.Lelaki berpakaian hitam yang mengemudi itu meyakinkan Indira bahwa kini mereka telah aman.'Syukurlah. Kalau bukan bantuan Mbak Hasna, aku pasti sudah kehilangan Maira,' gumam Indira sambil menghembuskan napas lega.Sepuluh jam yang lalu.....[Mbak, maaf aku keceplosan. Aku terlampau kesal sama Haris karena dia berlaku curang dan sialnya hak asuh Maira jatuh padanya. Aku gak bisa nahan emosi sampai-sampai gak sengaja membuka rahasia masa lalu pada Dian.]Indira mengirim pesan p
"Ibu punya rencana apa untuk Haris?" tanya Dian sambil menatap Hasna penuh selidik. Kendatipun sudah tahu kalau Haris adalah ayahnya, tetapi Dian enggan menyebut lelaki itu ayah. Luka hatinya telah menjadi borok setelah tahu orang seperti apa lelaki yang menitipkan benih pada ibunya itu.Mata Hasna yang memerah beralih pandang dari jendela. Kini ia menatap lekat manik hitam Dian. Wanita itu terharu dengan pengertian anaknya. Namun, sebagai seorang ibu tetap saja ia merasa bersalah dan kasihan pada sang buah hati.Hasna sedih karena tak seharusnya Dian membenci ayah kandungnya sendiri. Namun, melihat sikap Haris yang tidak berprikemanusiaan itu membuat hatinya jengah. Puluhan tahun telah berlalu, tetapi Haris masih belum berubah."Sebenernya Indira tidak kabur, ini adalah bagian dari rencana kami," jelas Hasna dengan suara pelan.Dian mengerutkan kening. Wanita itu hampir tak percaya bahwa semua sudah disetting, akting Hasna yang terkejut saat melihat Indira hilang itu nampak natural,
Nengsih yang tengah termenung di sisi ranjang itu melirik sekilas karena merasa ada bola mata yang tengah memperhatikannya. Tanpa sengaja manik hitam dua insan yang tengah dilema asmara itu bersirobok.Untuk sepersekian detik Beni masih terpaku di tempatnya berdiri. Lelaki itu mencari setitik jawaban dari pancaran wajah Nengsih. Merasa hatinya semakin tak terkendali, kemudian Beni melangkah ke kamar untuk menenangkan diri.Melihat kepergian Beni, air mata Nengsih kembali mengalir dari sudut mata. Wanita itu tak mengerti dengan kebimbangan hatinya. Padahal, jauh di dalam sana ia begitu mencintai lelaki yang membantunya bebas dari hukuman itu. Namun, jika mengingat Dedi yang juga serius padanya, hati Nengsih kembali gundah.Tak lama kemudian pintu kamarnya berderit. Ibu kandung Beni itu masuk sambil menggerakkan sendiri kursi rodanya.Menyadari majikannya masuk ke kamar, Nengsih lantas segera menyeka air matanya. Wanita itu kemudian beranjak dan mendorong kursi roda sang majikan yang he
"Alhamdulillah Bu, ini berkas-berkas yang kita cari. Saya dibantu oleh rekan firma terkait informasi bahwa pengacara yang merupakan kliennya Pak Haris telah beberapa kali melakukan kecurangan. Maka dari itu saya menggali data itu hingga berhasil ditemukan. Saya juga sudah perlajari semua. Saya yakin, setelah ini Pak Haris tidak bisa mengelak dengan bukti-bukti yang ada."Beni menggeser beberapa berkas yang sudah ia persiapkan untuk kepentingan kliennya di atas meja. Setelah berhasil mengungkap pelaku pembunuh Adrian, perlahan-lahan nama Beni kini mencuat dan mulai dikenal orang, sehingga kapasitas dan kapabilitasnya tidak lagi diragukan."Baiklah, lakukan apa yang menurut Pak Beni harus dilakukan. Saya hanya ingin Maira tetap bersama adik saya. Saya gak rela anak keponakan saya dibawa oleh pihak keluarga yang keji," kata Hasna dengan sorot wajah tak biasa."Omong-omong, bagaimana keadaan Maira, apa Tante sudah menghubunginya?" tanya Radit setelah urusan Hasna dengan Beni selesai."Mer
Sarah berusaha menajamkan pandangannya untuk membuktikan bahwa matanya tak salah lihat.Benar, lelaki yang tengah mengendarai mobil di sebelahnya itu adalah Haris. Seketika saja Sarah menelan ludah. Otaknya kembali mengingat kepingan-kepingan masa lalu yang terus berputar di kepalanya.Lampu lalu lintas berubah kuning, Haris pun tak sengaja melihat seseorang yang tengah duduk di dalam mobil sebelahnya. Mata Haris membulat saat manik hitam itu bersirobok dengan Sarah. Seketika saja hatinya menjadi gusar karena teringat masa lalunya.Lampu lalu lintas sudah hijau, tetapi Haris masih terpaku dengan orang yang tak sengaja dilihatnya. Sehingga, kendaraan di belakang mobil Haris sahut menyahut membunyikan klakson."Woy.... jalan!"Pengguna jalan lainnya mengumpat. Lelaki itu terperanjat kemudian memacu laju kendaraannya.Di dalam mobilnya yang melaju di depan Haris, Sarah kini termenung. Wanita yang sebelumnya sangat ceria karena hendak memulai hidup baru itu melamun setelah melihat wajah l
"Sayang."Beni menghampiri Nengsih yang masih tersedu-sedu. Air mata wanita itu sulit terhenti. Hatinya masih saja nyeri membayangkan masalah yang menimpa keluarganya."Hmmm."Nengsih hanya berdehem, setelah jarak suaminya dekat, ia pun justru mengalihkan pandangan. Kondisi mood sedang buruk lantaran tengah premenstrual syndrom. Sehingga, hormonnya sangat berpengaruh terhadap masalah yang tengah dihadapi.Biasanya, Nengsih akan berpikir rasional. Namun, entah mengapa kali ini seakan-akan ia membenarkan ucapan Abizar bahwa semua yang terjadi antara keluarganya dengan keluarga Tiara disebabkan oleh pengkhianatan suaminya.Beni yang lelah, lantas mencoba diam, lelaki itu mencerna sikap istrinya kemudian instrospeksi diri. Namun, setelah diperhatikan sekian lama ia baru peka bahwa istrinya tengah mengalami mood swing. Sehingga, ia memeluk istrinya dari belakang, tak peduli Nengsih mengamuk, ia hanya ingin menunjukkan bahwa dirinya sangat mencintai sang istri dibandingkan orang lain."Apaa
"Ya udah, sambil nunggu Kak Citra masuk aja dulu, yuk."Kedua insan itu lantas masuk ke rumah Dian. Di dalam, Abizar langsung disambut hangat oleh Dian."Abizar, apa kabar?" tanya Dian begitu pandangannya bersitatap dengan putra kedua Beni."Alhamdulillah, aku sehat Tante, Tante Dian apa kabar?"Abizar meraih tangan Dian lalu menciumnya takzim. Lelaki itu kemudian duduk di sofa, sementara Syadea pergi ke dapur untuk mengambilkan jamuan untuk sahabatnya."Katanya mau berangkat siang, ini masih pagi, lho," ujar Dian, ia menoleh ke arah jam dinding yang baru menunjukkan pukul sembilan.Belum sempat Abizar menjawab, Syadea yang baru kembali dari dapur sembari membawa air dan kudapan itu menyahut."Biasa Ma, dia gak sabar," ujar Syadea dengan menaikkan sebelah alisnya.Dian tersenyum, wanita itu kemudian menganggukkan kepala dan pergi ke halaman rumah untuk mengurus semua tanaman hias kesayangannya.Setelah Dian berlalu, wajah Abizar kembali pias kala mengingat sang ayah. Rasa kecewa kemba
Beni mengejar istrinya yang tengah dikuasai emosi. Lelaki itu tahu betul bukan seperti ini karakter Nengsih. Namun, ia pun memaklumi apa yang dirasakan sang istri."Sayang, tunggu!"Beni menyeru istrinya yang baru saja membuka pintu kamar. Sedangkan Nengsih yang baru saja memutar kenop pintu itu menghentikan langkahnya sejenak. Wanita itu terisak, kemudian menyeka air mata yang berkejaran di pipinya.Melihat butiran kristal yang terus meluruh dari manik belahan jiwanya, Beni lantas memeluk sang istri erat. Ia tak mengatakan apapun meski ada yang ingin dikatakan.Beni memilih untuk membiarkan Nengsih mengekspresikan perasaannya. Sedih, marah, kecewa adalah rasa yang sangat manusiawi. Sebaik apapun sang istri, lelaki itu sadar wanitanya bukanlah malaikat. Sama seperti dirinya, kendatipun sudah berusaha menjadi orang baik, tetap saja ia selalu melakukan kesalahan."Mungkin benar kata Abizar, aku yang membuat semua jadi begini, andai aku gak menikahi Tiara untuk membantunya, andai aku jug
Mendengar kalimat yang dilontarkan oleh Asih, Beni dan istrinya lantas saling pandang. kedua insan itu mengerutkan dahi sebab rasa penasaran."Maksud Bu Asih?" tanya Nengsih tak mengerti.Begitupun dengan Beni, ia menatap mata mantan mertuanya penuh selidik. Entah, lelaki itu merasa ada makna tersirat dari kalimat yang diucapkan oleh Asih.Tak langsung menjawab, Asih justru menangis semakin kencang hingga membuat Abizar yang sebelumnya tak peduli dengan tamu kedua orang tuanya pun ikut menghampiri."Ma, Pa, ada apa?" tanya Abizar setengah berlari, ia takut ada orang kesurupan di rumahnya mengingat sang ibu pernah diganggu makhluk halus."Ssst, gak ada apa-apa," jawab Beni dengan meletakkan jari telunjuk di bibirnya.Namun, bukannya pergi, Abizar justru tertarik ingin mendengar obrolan mereka. Sehingga, lelaki kelas tiga sekolah menengah atas itu duduk di kursi lainnya yang kosong.Asih yang tengah menangis tak memedulikan kehadiran putra Beni, ia tak lagi malu untuk mengemis maaf."Be
Alarm berbunyi di pukul empat pagi. Sehingga, membuat Citra dan suaminya terperanjat. Boy yang masih merasa lelah itupun meraih ponsel di atas meja, kemudian ia mematikan alarmnya. Namun, bukannya bangkit, lelaki itu justru merebahkan lagi kepalanya ke atas bantal."Kok tidur lagi?"Citra yang juga terbangun karena mendengar alarm lantas menoleh ke arah suaminya. Tubuh keduanya masih polos dan hanya ditutupi oleh selimut saja."Masih ngantuk," jawab Boy dengan suara parau. Matanya seakan-akan sulit terbuka karena rasa lelahnya."Ish, bangun yuk, sebentar lagi kan subuh," ajak Citra.Wanita yang baru saja melepas kegadisannya itu bangkit kemudian duduk di samping Boy, ia menutup dadanya dengan selimut yang dikenakan."Hufft, ayo."Meskipun masih terasa lelah karena pertarungan semalam, tetapi Boy masih selalu ingat dengan kewajibannya. Kendatipun mengantuk dan kerap dihantui rasa malas, tetapi ia selalu bangun untuk bersih-bersih sebelum subuh.Lelaki itu lantas ikut bangkit lalu menci
"Kamu siap, gak?" tanya Boy.Lelaki itu berbisik di daun telinga sang istri dengan suara lembut dan berat. Sementara Citra hanya mengangguk dengan wajah tersipu."Tapi kita harus berdoa dulu," ujar Citra.Ia hampir tak berani melihat mata suaminya sebab malu, takut dan gelisah terus menghantuinya. Namun, tak dipungkiri ia pun sangat menginginkan malam ini."Iya, aku tahu, yuk kita berdoa dulu," jawab Boy.Keduanya saling melempar senyum, kemudian melafalkan doa sebelum berhubungan. Keduanya berharap semoga setelah malam ini akan lahir keturunan yang sholeh dan sholehah.Namun, setelah berdoa keduanya justru merasa kaku dan malu. Citra bingung begitupun Boy, sehingga lelaki dengan janggut tipis itu menggaruk-garuk kepala sebab salah tingkah yang membuat keduanya tertawa.Tak ingin gagal, Boy yang sangat senang dengan bibir istrinya lantas kembali melabuhkannya di sana. Pun Citra, ia sudah merasa terbiasa sehingga tak lagi malu seperti saat pertama menikah.Lama Boy memainkan bibirnya d
"Aku sakit karena membaca surat kamu sama Maira," jawab Citra, bukannya sedih, gadis itu justru tertawa mengingat kekonyolannya. Namun, tidak bagi Boy, ia justru semakin merasa bersalah dan menyadari betapa besar cinta sang istri padanya."Iya kah?" tanya Boy."Iya, kamu tahu gak, kamu adalah orang pertama yang aku cintai."Citra melanjutkan perjalanan, sementara Boy terus menatapnya dengan perasaan kagum juga bahagia."Aku berasa terbang karena dicintai begitu dalam," jawab Boy sembari tertawa. Lelaki itupun meraih kembali jemari Citra dan menuntunnya keluar dari area makam.Setelah sampai di parkiran, Boy meraih helm dan membantu Citra mengenakannya."Aku juga bisa pakai sendiri," tolak Citra, tetapi tak dipungkiri hatinya meleleh dengan perlakuan Boy yang begitu manis."Gak apa-apa, kamu cantik kalau pakai helm," puji Boy sembari menepuk-nepuk benda penutup kepala itu lembut."Ya sudah, sekarang kita cari masjid dulu yuk, habis itu kita makan, aku laper," ajak Citra."Ayok," balas
"Kak Farel, ada Oma sama Opa."Maira berbisik di telinga suaminya. Ia malu sebab ketahuan bermesraan di dapur. Sehingga, keduanya yang tengah berhadapan dengan jarak yang sangat dekat itu lantas menjauh."Gak usah malu, justru kita senang ya, Mas," ujar Indira pada suaminya.kedua pasangan berusia lanjut itu saling melempar senyum. Indira tanpa ragu menggandeng lengan suaminya di hadapan pengantin baru itu."Iya, gak apa-apa, jangan kalah sama kita yang udah tua," sahut Adi sembari tertawa kemudian berlalu meninggalkan Maira dan suaminya di sana.Saat langkah Adi menjauh, Farel masih tersenyum lebar. Ia sangat bahagia karena melihat keromantisan nenek dan kakek Maira meski sudah berusia lanjut."Oma sama Opa romantis banget, ya. Pasti dulu mereka saling mencintai," puji Farel saat kedua orang yang merawat istrinya pergi."Enggak, justru di masa lalu mereka pernah bercerai. Bahkan, kehadiran Mama pun belum bisa membuat Oma mencintai suaminya," balas Maira."Yang benar?"Farel terkejut,
Di rumah Indira, Maira tengah memasak untuk sarapan. Sementara nenek dan kakeknya tengah berjalan-jalan pagi. Mereka sadar sudah tak muda lagi dan harus memerhatikan kesehatan agar tak menjadi pesakitan."Masak apa?"Farel yang baru saja keluar kamar itu menghampiri sang istri, ia memeluk Maira dari belakang sehingga membuat istrinya sedikit terkejut."Eh, aku masak nasi goreng buat sarapan," jawab Maira.Wanita itu membiarkan tangan suaminya melingkar di pinggang. Sehingga, Maira bisa merasakan kehangatan di punggungnya yang menempel dengan dada Farel."Baunya enak," puji Farel.Melihat rambut Maira yang diikat ke belakang dan menampilkan leher jenjang membuat kecantikan wanita itu kian paripurna. Sehingga, membuat Farel semakin senang bermanja-manja dengannya."Oh ya, hari ini mau temani aku ke kantor, enggak?" tanya Maira.Saat libur kuliah, ia memang sering menghabiskan waktu untuk mengurus perusahaan Mega. Maira yang memang mengambil jurusan manajemen dan administrasi bisnis itu