Bening menatap perlengkapan bayi yang ada di depannya itu dengan tatapan penuh puja. Keinginannya untuk membeli barang-barang itu begitu besar, tapi apalah daya ketika waktu mengatakan belum waktunya. Fatma sudah mewanti-wanti dirinya agar tidak membeli barang-barang bayi sebelum tujuh bulan. Kini kandungannya bahkan masih jalan dua bulan. Tatapan matanya tidak bisa berbohong jika dia tertarik untuk memiliki semua itu. “Nanti kita akan membeli kalau sudah waktunya.” Arga mengelus punggung sang istri lembut untuk menyadarkan Bening dari lamunan. Hari ini mereka akan membelikan kado untuk putra pertama Anyelir yang sudah lahir ke dunia semalam. Akhirnya, keluarga mereka kedatangan anggota baru lagi. Seorang bayi laki-laki yang akan meneruskan garis keluarga Sambara. Ancala yang sudah menunggu adiknya keluar pun akhirnya sudah bisa melihatnya juga. Setelah mendapatkan satu buah stroller, dan meminta toko tersebut mengirimkan ke rumah Ramon, mereka pergi ke rumah sakit untuk mengunjung
Hanya karena ingin makan makanan keinginannya, Bening menolak penawaran Arga yang mengajaknya sarapan. Alasannya adalah kalau nanti sudah kenyang, maka sudah tidak enak lagi. Arga pun akhirnya juga hanya sarapan roti dan kopi yang dibeli di sebuah minimarket. Bening ini benar-benar luar biasa kalau sudah mengakalinya. Ketika mereka akhirnya pergi ke tempat tujuan di mana makanan yang diinginkan oleh Bening itu dijual, mata Bening tampak berbinar saat melihatnya. Dia sedikit berlari ketika keluar dari mobil mendekati penjual. Mengambil dengan semangat lumpia yang diinginkan tersebut dengan wadah kertas minyak, lalu mencari tempat yang nyaman untuk duduk. “Istri saya lagi ngidam, Pak,” adu Arga kepada pedagangnya. “Kami harus terbang dari Jakarta jam setengah empat tadi.” “Waduh. Jauh juga, Pak.” Si penjual itu tampak terharu mendengarnya. “Semoga bisa mengobati keinginannya, Pak.” Arga tersenyum. “Terima kasih, Pak.” Arga lalu bergabung dengan Bening dan duduk di samping istrinya t
“Dahlia udah keluar dari penjara. Dia hari ini sudah kembali pada keluarganya.” Akhirnya, perempuan itu bisa melewati hukuman yang dijatuhkan kepadanya. Meskipun berat, tapi Dahlia mampu menjalaninya. Bening tidak segera bereaksi dengan kabar dari suaminya tersebut. Pikirannya tiba-tiba berisik dan bahkan tidak tahu apa yang sedang dipikirkan. Bening ingin berdamai dengan masa lalu yang menyakitkan gara-gara Dahlia, dan dia tengah mengupayakannya. Tarikan napas panjangnya keluar. Bening tidak akan berurusan lagi dengan perempuan itu. Jadi dia tak perlu memikirkan apa pun tentang Dahlia. Yang diperlukan sekarang adalah kembali berhati-hati karena saudaranya itu sudah bebas. Meskipun Jaya sudah mengatakan jika Dahlia berjanji kepadanya tidak akan pernah mengusik Bening lagi, tapi siapa yang tahu pikiran orang lain. “Kamu nggak perlu khawatir akan apa pun.” Arga melanjutkan. “Ramon sudah mengurus masalah ini dengan benar. Dahlia sudah menyetujui untuk tidak lagi berurusan dengan kamu.
Pertemuan tempo hari di rumah sakit, tidak berpengaruh apa pun dengan kehidupan Bening dan Arga. Tidak ada pembahasan yang terjadi di antara mereka hanya untuk membicarakan tentang Dahlia dan Januar. Atau bahkan membicarakan tentang kesehatan Jaya dan sikap Ambar yang terlihat berbeda. Hari-hari berlalu begitu cepat. Pergantian minggu menjadi bulan terasa seperti hitungan detik. Kehamilan Bening lambat laun semakin membesar. Tak lama lagi, dia akan segera melahirkan dan anak pertamanya akan hadir di tengah-tengah keluarga kecilnya. Melengkapi kebahagiaan yang sudah ada. “Capek?” Arga memijat kaki Bening yang terlihat bengkak. Mengoles minyak di sana agar mudah untuk memijatnya. “Seharian cuma duduk, jalan sebentar, rebahan, tapi rasanya badanku nggak karuan, Mas.” Bening menyandarkan tubuhnya pada headboard ranjang sambil memeluk guling. Usia kehamilan yang sudah tua, membuat badan Bening semakin berat. “Yang kamu bawa ke mana-mana itu bayi, Yang. Itu lebih berat dari aku duduk di
Arga mendengus kesal ketika menatap Kala dan juga Ramon yang seolah menghinanya terang-terangan. Arga sudah meminta mereka untuk berhenti bersikap kekanakan, tapi mereka tidak menghiraukannya. “Lihatlah ayah muda ini. Bucinnya nggak tahu tempat. Istrinya hanya menutup mata karena capek, dianya yang pingsan. Malu-maluin darah Abimanyu aja.” Itu suara Ramon yang terdengar mencelanya. “Kamu itu cowok. Bisa-bisanya bertindak menyedihkan begitu. Memalukan.” Tambahnya. Arga menarik napasnya panjang karena ucapan Ramon. Ya, karena ucapan Bening yang terdengar ambigu beberapa waktu yang lalu, kemudian dibarengi dengan mata Bening yang terpejam, membuat jantung Arga seolah berhenti berdetak. Tak terasa, tubuhnya limbung dan dia pingsan. Lupa segalanya. Tak lama setelah itu, dia bangun dan mendapati Bening menatapnya dengan datar. Istrinya itu sudah dibersihkan, serta bayinya yang berada di atas tubuh Bening. Bayi laki-laki itu tengah menikmati asinya untuk pertama kalinya. Ketika dia meliha
“Laksa ke mana, Yang? Nggak ada di mana-mana?” Pertama kali yang Arga cari ketika dia baru saja pulang kerja adalah putranya. Bening sekarang merasa sedikit tersingkirkan dengan keberadaan putranya. Bukan hanya Arga, Hardi pun sama. Lelaki paruh baya itu juga akan menanyakan keberadaan Laksa, ketika kakinya menginjak lantai rumah. Tinggal bersama mertua, ternyata tidak buruk menurut Bening. Hardi dan Fatma benar-benar memperlakukannya seperti anaknya sendiri. Bening dibuat nyaman di rumah besar tersebut. Rumah barunya masih diusahakan untuk segera selesai. Tapi masih membutuhkan waktu lagi dan lagi. “Sama Mama. Diajak arisan.” Bening menjawab. “Nggak jauh. Di blok lima. Mau pamer katanya.” Fatma sekarang memiliki hobi baru. Pamer cucu laki-lakinya yang tampan itu ke teman-teman arisannya. Perempuan paruh baya itu begitu bangga menunjukkan betapa Laksa adalah cucu lelaki kebanggaannya. Terlebih lagi sekarang, Laksa sudah berusia enam bulan, yang mana bocah itu semakin menunjukkan k
“Ancala belum punya pacar yang mau dikenalin sama Oma?” Di dalam pertemuan yang rutin diadakan di kediaman keluarga Abimanyu, ini untuk pertama kalinya Ancala mendapatkan pertanyaan yang demikian sulit untuk dijawab. Senyumnya terlihat di bibir merahnya. Seperti biasa, dia menjawab dengan tenang. “Oma udah pengen aku nikah emangnya?” Dia menjawab dengan pertanyaan juga kepada Fatma. “Lho iya. Usia kamu udah dua delapan tahun lho. Jangan kayak ayahmu yang nikah udah kepala tiga. Kelamaan.” Fatma menjawab dengan semangat. “Ayahmu dan papa-papamu itu jangan ditiru. Nikah aja usianya udah tua.” Ramon, Kala, dan Arga hanya diam saja mendengar itu. Fatma yang tampak masih sehat meskipun sudah tergerus usia itu, ingin segera melihat salah satu cucunya menikah. Sayangnya, yang paling besar adalah Ancala. Gemintang baru saja lulus dari kuliah dan baru bekerja. Sedangkan Arca dan Laksa masih kuliah. Lalu Lentera – anak kedua Arga – masih sekolah. Jadi satu-satunya yang bisa didesak untuk se
Gemi melihat jam yang ada di pergelangan tangannya. Waktu menunjukkan pukul sepuluh malam dan Gemi memutuskan untuk menyusul Ancala setelah menunggu selama lima belas menit di dalam mobil. Perasaannya sedang risau. Semua itu gara-gara omanya yang sudah menagih cucu menantu kepada Ancala. Gadis itu duduk di samping Ancala, lalu segera menyandarkan kepalanya di pundaknya dengan tangan dilingkarkan di tangan kiri lelaki itu. Ancala tidak menghindar dan justru mengelus kepala gadisnya. Perasaan yang beberapa saat lalu terasa resah pun lambat laun menghilang. “Bang, ending seperti apa yang akan kita dapatkan dalam hubungan ini?” Gemi mengeratkan pelukan di tangan Ancala. “Kalau orang tua kita nggak setuju dengan hubungan kita, apa Abang akan meninggalkanku?” “Jangan pikirkan hal-hal seperti itu.” Ancala menahan Gemi agar tidak membahas hal itu lagi. “Aku mau Abang menjawab.” Gemi melepaskan tangannya, lalu sedikit menjauh dari Ancala. Menatap lelaki itu dengan picingan mata yang tajam.