“Dahlia udah keluar dari penjara. Dia hari ini sudah kembali pada keluarganya.” Akhirnya, perempuan itu bisa melewati hukuman yang dijatuhkan kepadanya. Meskipun berat, tapi Dahlia mampu menjalaninya. Bening tidak segera bereaksi dengan kabar dari suaminya tersebut. Pikirannya tiba-tiba berisik dan bahkan tidak tahu apa yang sedang dipikirkan. Bening ingin berdamai dengan masa lalu yang menyakitkan gara-gara Dahlia, dan dia tengah mengupayakannya. Tarikan napas panjangnya keluar. Bening tidak akan berurusan lagi dengan perempuan itu. Jadi dia tak perlu memikirkan apa pun tentang Dahlia. Yang diperlukan sekarang adalah kembali berhati-hati karena saudaranya itu sudah bebas. Meskipun Jaya sudah mengatakan jika Dahlia berjanji kepadanya tidak akan pernah mengusik Bening lagi, tapi siapa yang tahu pikiran orang lain. “Kamu nggak perlu khawatir akan apa pun.” Arga melanjutkan. “Ramon sudah mengurus masalah ini dengan benar. Dahlia sudah menyetujui untuk tidak lagi berurusan dengan kamu.
Pertemuan tempo hari di rumah sakit, tidak berpengaruh apa pun dengan kehidupan Bening dan Arga. Tidak ada pembahasan yang terjadi di antara mereka hanya untuk membicarakan tentang Dahlia dan Januar. Atau bahkan membicarakan tentang kesehatan Jaya dan sikap Ambar yang terlihat berbeda. Hari-hari berlalu begitu cepat. Pergantian minggu menjadi bulan terasa seperti hitungan detik. Kehamilan Bening lambat laun semakin membesar. Tak lama lagi, dia akan segera melahirkan dan anak pertamanya akan hadir di tengah-tengah keluarga kecilnya. Melengkapi kebahagiaan yang sudah ada. “Capek?” Arga memijat kaki Bening yang terlihat bengkak. Mengoles minyak di sana agar mudah untuk memijatnya. “Seharian cuma duduk, jalan sebentar, rebahan, tapi rasanya badanku nggak karuan, Mas.” Bening menyandarkan tubuhnya pada headboard ranjang sambil memeluk guling. Usia kehamilan yang sudah tua, membuat badan Bening semakin berat. “Yang kamu bawa ke mana-mana itu bayi, Yang. Itu lebih berat dari aku duduk di
Arga mendengus kesal ketika menatap Kala dan juga Ramon yang seolah menghinanya terang-terangan. Arga sudah meminta mereka untuk berhenti bersikap kekanakan, tapi mereka tidak menghiraukannya. “Lihatlah ayah muda ini. Bucinnya nggak tahu tempat. Istrinya hanya menutup mata karena capek, dianya yang pingsan. Malu-maluin darah Abimanyu aja.” Itu suara Ramon yang terdengar mencelanya. “Kamu itu cowok. Bisa-bisanya bertindak menyedihkan begitu. Memalukan.” Tambahnya. Arga menarik napasnya panjang karena ucapan Ramon. Ya, karena ucapan Bening yang terdengar ambigu beberapa waktu yang lalu, kemudian dibarengi dengan mata Bening yang terpejam, membuat jantung Arga seolah berhenti berdetak. Tak terasa, tubuhnya limbung dan dia pingsan. Lupa segalanya. Tak lama setelah itu, dia bangun dan mendapati Bening menatapnya dengan datar. Istrinya itu sudah dibersihkan, serta bayinya yang berada di atas tubuh Bening. Bayi laki-laki itu tengah menikmati asinya untuk pertama kalinya. Ketika dia meliha
“Laksa ke mana, Yang? Nggak ada di mana-mana?” Pertama kali yang Arga cari ketika dia baru saja pulang kerja adalah putranya. Bening sekarang merasa sedikit tersingkirkan dengan keberadaan putranya. Bukan hanya Arga, Hardi pun sama. Lelaki paruh baya itu juga akan menanyakan keberadaan Laksa, ketika kakinya menginjak lantai rumah. Tinggal bersama mertua, ternyata tidak buruk menurut Bening. Hardi dan Fatma benar-benar memperlakukannya seperti anaknya sendiri. Bening dibuat nyaman di rumah besar tersebut. Rumah barunya masih diusahakan untuk segera selesai. Tapi masih membutuhkan waktu lagi dan lagi. “Sama Mama. Diajak arisan.” Bening menjawab. “Nggak jauh. Di blok lima. Mau pamer katanya.” Fatma sekarang memiliki hobi baru. Pamer cucu laki-lakinya yang tampan itu ke teman-teman arisannya. Perempuan paruh baya itu begitu bangga menunjukkan betapa Laksa adalah cucu lelaki kebanggaannya. Terlebih lagi sekarang, Laksa sudah berusia enam bulan, yang mana bocah itu semakin menunjukkan k
“Ancala belum punya pacar yang mau dikenalin sama Oma?” Di dalam pertemuan yang rutin diadakan di kediaman keluarga Abimanyu, ini untuk pertama kalinya Ancala mendapatkan pertanyaan yang demikian sulit untuk dijawab. Senyumnya terlihat di bibir merahnya. Seperti biasa, dia menjawab dengan tenang. “Oma udah pengen aku nikah emangnya?” Dia menjawab dengan pertanyaan juga kepada Fatma. “Lho iya. Usia kamu udah dua delapan tahun lho. Jangan kayak ayahmu yang nikah udah kepala tiga. Kelamaan.” Fatma menjawab dengan semangat. “Ayahmu dan papa-papamu itu jangan ditiru. Nikah aja usianya udah tua.” Ramon, Kala, dan Arga hanya diam saja mendengar itu. Fatma yang tampak masih sehat meskipun sudah tergerus usia itu, ingin segera melihat salah satu cucunya menikah. Sayangnya, yang paling besar adalah Ancala. Gemintang baru saja lulus dari kuliah dan baru bekerja. Sedangkan Arca dan Laksa masih kuliah. Lalu Lentera – anak kedua Arga – masih sekolah. Jadi satu-satunya yang bisa didesak untuk se
Gemi melihat jam yang ada di pergelangan tangannya. Waktu menunjukkan pukul sepuluh malam dan Gemi memutuskan untuk menyusul Ancala setelah menunggu selama lima belas menit di dalam mobil. Perasaannya sedang risau. Semua itu gara-gara omanya yang sudah menagih cucu menantu kepada Ancala. Gadis itu duduk di samping Ancala, lalu segera menyandarkan kepalanya di pundaknya dengan tangan dilingkarkan di tangan kiri lelaki itu. Ancala tidak menghindar dan justru mengelus kepala gadisnya. Perasaan yang beberapa saat lalu terasa resah pun lambat laun menghilang. “Bang, ending seperti apa yang akan kita dapatkan dalam hubungan ini?” Gemi mengeratkan pelukan di tangan Ancala. “Kalau orang tua kita nggak setuju dengan hubungan kita, apa Abang akan meninggalkanku?” “Jangan pikirkan hal-hal seperti itu.” Ancala menahan Gemi agar tidak membahas hal itu lagi. “Aku mau Abang menjawab.” Gemi melepaskan tangannya, lalu sedikit menjauh dari Ancala. Menatap lelaki itu dengan picingan mata yang tajam.
“Kenapa Gemi harus cemburu, Papa?” Menutupi kegugupannya, Gemi menarik bantal yang ada di sampingnya, kemudian memeluknya. Ayahnya ini benar-benar. Gemi menjadi takut kalau-kalau sang ayah mengetahui hubungan Ancala yang sebenarnya dan rahasia itu akan dibuka. Padahal, dia pun sempat memiliki keinginan untuk mengatakan kepada orang tuanya tentang hubungannya dengan Ancala. “Karena kamu merasa Ancala nantinya tidak akan bisa sama-sama kamu lagi.” Kala menjawab lugas. “Kamu takut, Ancala membagi perhatian dan kasih sayangnya kepada perempuan lain sehingga kamu akan dinomor duakan. Papa benar, ‘kan?” Kala yang masih berdiri di depan pintu itu melipat kedua tangannya di depan dada, lalu tatapannya mengarah pada sang putri dengan tegas. Gemi memilih tidak menjawab, dia menundukkan kepalanya dengan memainkan pinggiran bantal. Sedikit lega karena dugaannya salah. Ternyata Kala tidak membahas tentang perasaan yang menjurus pada cinta antara Gemi dan Anca. “Sayang, kalian itu udah sama-sama
Pernyataan Gemi saat itu membuat hubungannya dengan Ancala benar-benar merenggang. Gemi lebih banyak menyibukkan dirinya untuk bekerja dan akan membaca banyak buku jika sudah pulang ke rumah. Berusaha mengenyahkan segala pikiran tentang Ancala. Meskipun dia merindukan lelaki itu, mati-matian dia mencoba untuk tidak peduli. Malam ini, dia memilih pergi ke rumah Arga. Dia akan menginap di sana dan menikmati waktunya bersama dengan dua sepupunya. Melihat Laksa dan Tera yang terkadang meributkan hal-hal yang tidak penting, membuatnya memiliki hiburan sendiri. “Kalian ngapain sih?” Baru saja Gemi menginjakkan kakinya di lantai ruang keluarga kediaman Arga, dia sudah melihat keributan antara dua sepupunya. Laksa tengah memelintir tangan Tera, dan mereka bergulat di atas lantai. Suara Tera memekir sambil minta dilepaskan. Gemi dulu juga ingin memiliki saudara, tapi sayangnya ibunya tidak bisa memberikannya. Binar hamil dua kali setelah Gemi, tapi dua-duanya keguguran. Setelah itu, dia din
“Istriku.” Ancala baru saja sampai rumah ketika melihat penampilan Gemi yang sudah cantik. Meskipun hanya mengenakan daster rumahan kebanggaannya, kecantikan perempuan itu selalu terpancar. Dan inilah yang selalu disukai oleh Ancala, Gemi akan selalu menunggu kepulangannya di teras rumah sambil membaca buku. Tidak di rumah Kala, atau bahkan di rumah mereka sendiri, Gemi memiliki perpustakaan sendiri dengan koleksi buku-bukunya. Gemi tersenyum melihat Ancala yang berjalan ke arahnya. Perempuan itu beranjak untuk menerima tas kerja lelaki itu. “Suamiku capek banget kayaknya.” Ancala memeluk Gemi sambil mencium pipi perempuan itu. Bagi Ancala, energinya akan kembali ketika sudah bertemu dengan sang istri setelah seharian bekerja. Rasa lelah itu seolah menguap begitu saja. Pelukan mereka terurai. Masih dengan memeluk pinggang sang istri, Ancala sedikit menjauhkan tubuhnya untuk menatap wajah Gemi yang halus. “Makan apa malam ini?” tanyanya, “lama nggak ke angkringan. Kangen nasi
“Kalian udah datang?” Ancala mendekati istri dan kedua adiknya dengan senyum kecil. Meskipun pagi tadi dia sempat kesal, tetapi setelah Gemi sekarang datang ke kantor, perasaannya menjadi sedikit membaik. Tatapannya mengarah pada ‘tiga tamunya’ yang tidak membawa apa pun. “Jadi belanjanya?” tanyanya. Perempuan yang dimaksud oleh Laksa tadi tidak mengikuti Ancala dan kembali lebih dulu. Gemi tidak bertanya siapa perempuan tersebut karena dia tahu kalau itu adalah sekretaris Ancala. Laksa pun sebenarnya juga tahu, tetapi dia hanya pura-pura untuk mengerjai Gemi. “Bang, aku laper banget, lho.” Laksa mengadu. “Aku laper, Bang.” Ulangnya lagi. “Kalian nggak makan dulu tadi?” Ancala mengernyit aneh menatap satu per satu saudaranya. “Istri Abang ngambek karena diajak desak-desakan. Jadi, nggak memedulikan aku yang kelaparan. Tapi, aku nggak mau makan di kantin ini. Abang tolong pesankan aku makanan yang enak, ya.” Laksa memang benar-benar membuat kakak-kakaknya kesal kalau sudah me
“Gem, bangun!” Ancala menepuk paha sang istri pelan ketika sudah sampai di rumah. Mereka baru saja sampai rumah ketika Gemi tidak sadarkan diri, tidur. Sepanjang jalan, Ancala memegangi tangan Gemi takut-takut kalau istrinya itu terjatuh. Bukannya apa-apa, Gemi tidur sepanjang jalan sedangkan mereka menggunakan motor. Kebanyakan makan kepala ayam membuat Gemi lemas sepertinya. “Bang, aku nggak sanggup jalan. Gendong.” Dengan suara lemas, perempuan itu masih memeluk pinggang Ancala dengan erat takut jatuh. Matanya masih tertutup erat enggan untuk terjaga. Napas panjang Ancala terbuang kasar. Menikahi Gemi adalah impiannya, tetapi kalau sifat manja perempuan keluar, maka habislah dia. “Iya, tapi tunggu dulu deh. Aku turun dulu.” Ancala melepaskan tangan Gemi dari pinggangnya sebelum dia turun dengan pelan dari motor. Baru setelahnya menarik tangan Gemi agar istrinya itu naik ke gendongannya. Diam-diam Ancala tersenyum kecil. Terkadang istrinya itu memang menyebalkan, tetapi juga me
Perdebatan yang terjadi malam itu dianggap bukan apa-apa. Pernikahan antara Gemi dan Ancala bahkan akan segera dilakukan dalam waktu dua hari lagi. Pernikahan mewah itu akan dilakukan di outdoor di pinggir pantai. Tidak banyak yang diundang karena Gemi dan Ancala benar-benar memilih orang-orang terdekat mereka saja yang datang. Kabar pernikahan yang sudah merebak itu membuat banyak orang terkejut. Tidak pernah menyangka kalau Gemi dan Ancala akan menikah. Semua orang tahu jika Abimanyu dan Sambara group adalah saudara. Tentu saja hal itu menjadi perbincangan banyak orang. “Gimana rasanya mau menikah?” Denta datang ke rumah Ancala untuk sekedar menemani sahabatnya itu mengobrol. “Dan menikah dengan perempuan yang lo cintai?” “Setelah semua yang terjadi, tentu saja gue bahagia, Den.” Ancala memainkan kakinya yang ada di kolam renang, menimbulkan bunyi kecipak air. “Gue kira akan sulit mendapatkan restu dari para tetua.” Denial mengatakan itu merujuk pada nenek dan kakek Ancala, lela
“Kamu sudah benar-benar yakin akan menikah dengan Gemi, Bang?” Ramon meyakinkan sekali lagi kepada sang putra atas keputusan untuk meminang sang pencuri hati. Para tetua, nenek kakeknya sudah memberikan izin untuk mempersatukan dua keluarga yang seharusnya tetap menjadi keluarga yang sesungguhnya. Namun, mereka memilih untuk memberikan restu dan menyingkirkan segala ego yang ada. Dua anak manusia itu sudah tidak bisa dipisahkan, untuk apa lagi mereka menahannya dan akan berakhir buruk. “Aku udah yakin, Yah. Aku sudah berbicara dengan Gemi dan dia menerima lamaranku.” Senyum lebar tersemat di bibir Ancala dan wajah sumringah itu tidak bisa berbohong jika dia sangat bahagia. “Kalau begitu, Ayah dan Bunda akan berbicara kepada Papa Kala kalau kami akan segera melamar Gemi. Pikirkan juga kamu ingin menikah di mana? Outdoor atau indoor, masalah biaya jangan khawatir, semua biaya Ayah yang urus.” Rasa sayang Ramon yang diberikan kepada Ancala tidak surut sedikitpun sejak dulu. Lelaki it
Setelah obrolan semalam, Gemi bangun tidur dengan perasaan yang terasa ringan. Hubungannya dengan sang ayah sudah membaik dan dia sudah memaafkan apa pun yang pernah sang ayah lakukan. Semua yang dilakukan oleh sang ayah semata untuk melindungi keluarganya. Suasana hati Gemi pun terlihat sangat baik seharian ini. Meskipun Ancala sejak tadi tak kunjung menghubunginya seperti yang sudah dijanjikan semalam, dia masih baik-baik saja. Seperti yang sudah Ancala bilang semalam, lelaki itu akan membicarakan masalah kerjaan dengan sang ayah. “Jadi, kamu mau balik kerja lagi?” Gemi yang baru saja duduk di sofa di samping sang bunda, segera mendapatkan pertanyaan tersebut. “Aku akan pikirkan lagi, Ma.” Sudah kebiasaan berada di rumah selama beberapa bulan, menjadikan Gemi enggan untuk kembali beraktivitas. “Tapi, Ma, Papa ngeluarin aku dari kantor dengan alasan apa, ya?” Benar, Binar pun tampaknya belum tahu tentang masalah tersebut karena dia tak pernah bertanya dengan Kala. “Mama juga
Binar dan Kala mendengar dengan jelas ucapan putri mereka meskipun kata-kata yang diucapkan terbata-bata. Mereka mendengarkan di balik dinding hanya untuk mengetahui reaksi Gemi ketika bertemu dengan Ancala. Nyatanya, Gemi mengatakan sesuatu yang membuat orang tuanya menahan kesedihannya. “Jangan bicara yang tidak-tidak. Sekarang fokuslah pada kesembuhanmu dulu. Papa bilang, kamu masih perlu bertemu dengan psikiater. Kapan jadwalnya? Aku temani ya?” “Aku nggak butuh psikiater lagi, Bang. Obatku udah ada di sini.” Kala mendesah pasrah mendengar jawaban Ancala atas ucapan sang putri. Sudah pasti perasaan Kala sekarang dipenuhi oleh rasa penyesalan yang amat besar. Di ruang tamu, Gemi dan Ancala melepaskan pelukan mereka. Ancala mengusap air mata Gemi yang mengalir menganak sungai di wajahnya. “Aku nggak akan ke mana-mana lagi, Gemi. Aku udah pulang sekarang. Jadi, kamu nggak perlu takut aku pergi lagi.” “Memangnya, Abang dari mana kemarin?” Ancala menyodorkan minuman yang disiapka
Kala pasti tidak pernah menyangka jika Ramon akan menurunkan egonya untuk meminta putranya pulang. Dia tahu betul bagaimana Ramon menolak permintaannya saat itu. Namun, sekarang tiba-tiba Ancala sudah ada di rumahnya dan menanyakan kabar Gemi. Hal itu tentu saja membuat Kala sedikit bingung. Apa pun itu, Kala tentulah merasa senang dengan kedatangan Ancala ke rumahnya. “Keadaan Gemi sudah lebih baik. Dia sekarang sedang istirahat.” Tepat setelah itu, Binar datang dan segera duduk di samping Ancala. Perempuan paruh baya itu mengelus punggung Ancala tanpa berbicara. Kelegaan terpancar dari matanya. “Kamu dari mana saja, Bang?” tanyanya setelah itu, “Mama cariin kamu.” “Aku jalan-jalan, Ma,” jawab Ancala dengan lembut, “Mama baik-baik aja ‘kan?” “Mama baik. Anca, kamu masih mau nemuin Gemi ‘kan? Setelah waktu itu, dia murung dan tidak ingin berurusan dengan siapa pun.” “Tentu saja aku mau, Ma. Gemi adalah adikku. Kalau memang perlu, aku akan menemaninya sampai dia sembuh.” “Apa mak
“Aku harus pulang, Den. Sorry, ya.” Gemi memilih menghindar daripada harus menjawab ucapan Denta. Gadis itu berdiri, lalu buru-buru pergi meninggalkan Denta yang tampak kebingungan. “Gem!” Denta berteriak memanggil gadis itu, tetapi seolah tuli, Gemi tetap berjalan dan sesekali berlari untuk menghindari sahabat Ancala tersebut. Setelah memasuki komplek perumahannya, barulah dia berjalan dengan tenang. Gemi berpikir, kalau Denta saja tidak tahu keberadaan Ancala, itu artinya, kepergian lelaki itu dirahasiakan. Sepertinya, masalah ini benar-benar serius. Gemi berhenti di pinggir jalan, terpaku di tempatnya, lalu berpikir sejenak. Apa dia harus menghubungi Ancala? Apa lelaki itu akan menerima panggilannya kalau dia melakukannya? Kebingungan itu melanda dirinya. Gara-gara kedatangan Denta, menjadikannya berpikir lebih keras tentang Ancala. Gadis berdaster coklat itu kembali melangkah untuk kembali ke rumah. Meskipun dia banyak memikirkan banyak hal, tapi beruntung kini halusinasinya ti