Pernyataan Gemi saat itu membuat hubungannya dengan Ancala benar-benar merenggang. Gemi lebih banyak menyibukkan dirinya untuk bekerja dan akan membaca banyak buku jika sudah pulang ke rumah. Berusaha mengenyahkan segala pikiran tentang Ancala. Meskipun dia merindukan lelaki itu, mati-matian dia mencoba untuk tidak peduli. Malam ini, dia memilih pergi ke rumah Arga. Dia akan menginap di sana dan menikmati waktunya bersama dengan dua sepupunya. Melihat Laksa dan Tera yang terkadang meributkan hal-hal yang tidak penting, membuatnya memiliki hiburan sendiri. “Kalian ngapain sih?” Baru saja Gemi menginjakkan kakinya di lantai ruang keluarga kediaman Arga, dia sudah melihat keributan antara dua sepupunya. Laksa tengah memelintir tangan Tera, dan mereka bergulat di atas lantai. Suara Tera memekir sambil minta dilepaskan. Gemi dulu juga ingin memiliki saudara, tapi sayangnya ibunya tidak bisa memberikannya. Binar hamil dua kali setelah Gemi, tapi dua-duanya keguguran. Setelah itu, dia din
Laksa tidak menjawab. Apalagi Tera. Keduanya memilih diam dan membiarkan sang kakak sepupu lega setelah mengeluarkan tangisnya. Mereka pasti tahu jika perasaan Gemi sakit luar biasa mendengar kabar yang dibawa oleh sang ayah. Selama ini, Gemi dan Ancala tampak bahagia dengan hubungan mereka. Tapi karena omanya yang sudah membahas tentang pernikahan, akhirnya perasaan Gemi goyah. Ketakutannya akan kehilangan Ancala begitu besar, sedangkan di antara dirinya dan Ancala tidak ada yang berani mengatakan tentang perasaan mereka. Maka tentu saja masalah itu muncul. “Mbak mau kita jalan-jalan aja, atau mau nongkrong?” Laksa akhirnya bersuara. Gemi ini tidak pernah bisa ditebak. Di saat moodnya sedang berantakan seperti ini, kadang-kadang dia hanya ingin putar-putar tanpa tujuan. Atau bahkan dia akan mengajak ke tempat makan dan memakan banyak makanan. “Makan,” jawabnya. “Angkringan.” Laksa paham dan melanjutkan perjalannya. Ada satu tempat langganan angkringan Gemi yang sering didatangi. L
Ancala terbatuk mendengar ucapan Tera yang ngawur. Lelaki itu baru saja menelan sate telur ketika Tera mengatakan hal itu secara berapi-api. Bukan hanya itu, gadis itu juga menatap Ancala dengan sinis. Dia seolah tengah mengatakan kepada Ancala harus berhati-hati. Sedangkan Gemi, gadis itu justru entah kenapa merasa terhibur dengan ucapan Tera. Nasi yang tadinya hanya dimainkan, kini dia makan dengan lahap. Membuka lagi nasi bungkus yang sebesar kepalan tangan itu dan menikmatinya. Tiba-tiba saja, senyumnya terlihat. Ada sedikit kikikan yang keluar dari mulutnya, sehingga empat orang yang ada di sana menoleh ke arahnya. Tampak bingung. “Apa yang lucu, Mbak?” tanya Tera. Gemi kali ini tidak lagi menunduk. Dia mengangkat wajahnya, menatap Tera dan Laksa bergantian. “Idemu bagus, Ter. Aku jadi mikir, bagaimana kalau kita ke dukun dan buat dia jadi impoten?” ekspresi antagonisnya keluar. Seringaiannya pun keluar keji. Namun ucapan selanjutnya membuat haru. “Tapi aku ‘kan bukan orang ja
Untuk sesaat, Gemi hanya mematung di tempatnya. Tidak pernah memiliki bayangan kalau Ancala akan datang ke rumahnya bersama dengan keluarganya. Sepertinya, Ancala tengah mengujinya. Pertemuan malam itu saja belum hilang dari ingatan Gemi, sekarang lelaki itu justru berada di rumahnya. Tersenyum lebar seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Hal itu membuatnya sangat kesal. Tapi, sekali lagi Gemi tak bisa melakukan apa pun kecuali harus menyingkirkan segala macam perasaan sakit yang dirasakan. Kalau dia sekarang menunjukkan perubahan interaksi dengan Ancala, maka itu akan membuat para orang tua curiga. Karena itu, dia akhirnya mencoba tersenyum. Mengubur sebentar luka basahnya. “Bunda Anye.” Gemi mendekat pada Anyelir. Perempuan paruh baya itu mencium Gemi. “Kenapa nggak dikeringkan dulu rambutnya?” Anyelir mengelus punggung Gemi dengan pelan. “Udah dipanggil. Biar terasa seger juga, Nda.” Gemi berlalu untuk mendekati Ramon. Mencium punggung tangan laki-laki itu. Barulah dia duduk di
Kata-kata yang diucapkan oleh Kala malam itu, membuat Gemi merasa ditekan begitu kuat. Rasa sesak itu dirasakan di dalam hatinya itu begitu hebat sampai dia tak tahu bagaimana akan melanjutkan hidupnya kedepannya. Haruskan dia merelakan perasaannya begitu saja dan membiarkan Ancala hidup dengan kebahagiaannya sendiri tanpa dirinya? “Gemi!” Panggilan itu membuat gadis itu terkejut. Lamunannya tampaknya menimbulkan masalah. Dia berada di ruang meeting dan beberapa orang yang ada di divisinya tengah konsentrasi mendengarkan bosnya berbicara, sedangkan Gemi justru menunjukkan tidak fokusnya. “Maaf.” Sadar kalau dia salah, Gemi segera meminta maaf. “Fokuslah. Jangan main-main.” Peringatan itu membuat Gemi mengangguk mengerti. Meskipun dia adalah salah satu calon pemilik perusahaan, tidak ada yang memerlakukannya khusus. Atasannya pun tidak akan memarahinya jika dia membuat kesalahan. Mencoba untuk fokus, Gemi merasa waktu berjalan lambat. Di dalam pikirannya, dia berbicara sendiri. Jik
“Tidak ada lowongan pekerjaan!” Gemi menjawab cepat. “Idemu mentah.” Gemi tahu persis siapa Denta. Lelaki itu bahkan memiliki perusahaan traveling. Dia bukan pejuang rupiah yang harus sibuk mencari pekerjaan. Gemi tidak tahu bagaimana kehidupannya sebelumnya, tapi dia yakin lelaki itu memang dipersiapkan untuk menjadi pewaris keluarganya.“Aku harus pergi sekarang.” Gemi pamit. “Nomor Ancala masih sama kalau mau menghubunginya.” “Biarkan aku antar.” Denta bersiap berdiri, namun Gemi menghalau. “Kamu datang kesini pasti membutuhkan sesuatu untuk dibeli. Lanjutkan saja.” “Udah nggak lagi. Ayo, aku antar.” Denta kukuh.“Aku bawa mobil sendiri.” Gemi tak kalah kukuh. Berdiri, membawa paper bag miliknya sebelum berlalu dari sana. Namun Denta sama sekali tidak mengindahkan ucapan Gemi. Dia mengikuti Gemi dari belakang. Ada dengusan yang keluar dari mulut Gemi. Tapi dia membiarkan Denta mengikutinya. Sampai di basement, Gemi kembali mengusir lelaki itu sekali lagi. “Pergi sana. Aku mau
“Aku barusan dari kantor Ancala.” Denta mengatakan itu ketika dalam perjalanan pergi makan siang. Gemi tampak tak acuh. Gadis itu hanya melihat ke arah luar tanpa mengatakan apa pun. Menjadi pihak pendengar. “Tapi dia bilang, dia belum mau menikah. Baru tahap awal kenalan.” Denta tidak menambahi dan tidak mengurangi semua ucapan yang dikatakan oleh Ancala. Gemi begeming. Menutup matanya berpura-pura tidur. Dia sedang tidak mood untuk berbicara. Untuk pertama kalinya dia akan makan siang dengan seorang lelaki yang bukan keluarganya, rasanya aneh. Gemi adalah orang yang tertutup. Dia tidak memiliki banyak teman dan kalaupun dia punya, itu hanya perempuan. Sejak kecil sudah bersama dengan Ancala, rasa-rasanya sudah tidak membutuhkan laki-laki lain. Sayangnya, semua sekarang berubah. Keadaan berbalik seratus delapan puluh derajat. Hubungannya dengan Ancala tidak memiliki masa depan. Mereka akan tetap menjadi keluarga. Hanya dengan memikirkan itu saja, Gemi merasa terluka. Merasa bodoh d
Arga bergeming. Tidak segera memberikan jawaban atas apa pun yang dikatakan oleh keponakan kesayangannya. Mungkin kalau Bening saat itu mengatakan tentang kegalauan Gemi, lelaki itu sekarang tengah berpikir apakah yang dikatakan oleh istrinya saat itu adalah benar. Maka dia yang bertanya untuk memastikan. “Sejak kapan kamu punya pacar?” tanya Arga penuh selidik. “Papa nggak akan ngelarang, kalau memang pacarmu itu memenuhi kriteria. Kalau tidak, kita bisa bicarakan ulang.” Untuk menjadi pendamping Gemi, seseorang itu harus berhadapan dengan keluarga besarnya yang memiliki banyak kriteria. Tapi yang paling susah tentu saja orang tuanya. Kala itu tidak akan mudah memberikan restu tanpa lolos dari banyak ujian darinya. Selama ini, Gemi tidak pernah memperkenalkan lelaki mana pun kepada keluarganya. Jadi dia tak benar-benar tahu bagaimana reaksi keluarganya seandainya dia membawa seorang lelaki untuk dikenalkan kepada mereka. Belum lagi semua sepupunya yang pasti akan membuat ulah. “Ak