Gemi melihat jam yang ada di pergelangan tangannya. Waktu menunjukkan pukul sepuluh malam dan Gemi memutuskan untuk menyusul Ancala setelah menunggu selama lima belas menit di dalam mobil. Perasaannya sedang risau. Semua itu gara-gara omanya yang sudah menagih cucu menantu kepada Ancala. Gadis itu duduk di samping Ancala, lalu segera menyandarkan kepalanya di pundaknya dengan tangan dilingkarkan di tangan kiri lelaki itu. Ancala tidak menghindar dan justru mengelus kepala gadisnya. Perasaan yang beberapa saat lalu terasa resah pun lambat laun menghilang. “Bang, ending seperti apa yang akan kita dapatkan dalam hubungan ini?” Gemi mengeratkan pelukan di tangan Ancala. “Kalau orang tua kita nggak setuju dengan hubungan kita, apa Abang akan meninggalkanku?” “Jangan pikirkan hal-hal seperti itu.” Ancala menahan Gemi agar tidak membahas hal itu lagi. “Aku mau Abang menjawab.” Gemi melepaskan tangannya, lalu sedikit menjauh dari Ancala. Menatap lelaki itu dengan picingan mata yang tajam.
“Kenapa Gemi harus cemburu, Papa?” Menutupi kegugupannya, Gemi menarik bantal yang ada di sampingnya, kemudian memeluknya. Ayahnya ini benar-benar. Gemi menjadi takut kalau-kalau sang ayah mengetahui hubungan Ancala yang sebenarnya dan rahasia itu akan dibuka. Padahal, dia pun sempat memiliki keinginan untuk mengatakan kepada orang tuanya tentang hubungannya dengan Ancala. “Karena kamu merasa Ancala nantinya tidak akan bisa sama-sama kamu lagi.” Kala menjawab lugas. “Kamu takut, Ancala membagi perhatian dan kasih sayangnya kepada perempuan lain sehingga kamu akan dinomor duakan. Papa benar, ‘kan?” Kala yang masih berdiri di depan pintu itu melipat kedua tangannya di depan dada, lalu tatapannya mengarah pada sang putri dengan tegas. Gemi memilih tidak menjawab, dia menundukkan kepalanya dengan memainkan pinggiran bantal. Sedikit lega karena dugaannya salah. Ternyata Kala tidak membahas tentang perasaan yang menjurus pada cinta antara Gemi dan Anca. “Sayang, kalian itu udah sama-sama
Pernyataan Gemi saat itu membuat hubungannya dengan Ancala benar-benar merenggang. Gemi lebih banyak menyibukkan dirinya untuk bekerja dan akan membaca banyak buku jika sudah pulang ke rumah. Berusaha mengenyahkan segala pikiran tentang Ancala. Meskipun dia merindukan lelaki itu, mati-matian dia mencoba untuk tidak peduli. Malam ini, dia memilih pergi ke rumah Arga. Dia akan menginap di sana dan menikmati waktunya bersama dengan dua sepupunya. Melihat Laksa dan Tera yang terkadang meributkan hal-hal yang tidak penting, membuatnya memiliki hiburan sendiri. “Kalian ngapain sih?” Baru saja Gemi menginjakkan kakinya di lantai ruang keluarga kediaman Arga, dia sudah melihat keributan antara dua sepupunya. Laksa tengah memelintir tangan Tera, dan mereka bergulat di atas lantai. Suara Tera memekir sambil minta dilepaskan. Gemi dulu juga ingin memiliki saudara, tapi sayangnya ibunya tidak bisa memberikannya. Binar hamil dua kali setelah Gemi, tapi dua-duanya keguguran. Setelah itu, dia din
Laksa tidak menjawab. Apalagi Tera. Keduanya memilih diam dan membiarkan sang kakak sepupu lega setelah mengeluarkan tangisnya. Mereka pasti tahu jika perasaan Gemi sakit luar biasa mendengar kabar yang dibawa oleh sang ayah. Selama ini, Gemi dan Ancala tampak bahagia dengan hubungan mereka. Tapi karena omanya yang sudah membahas tentang pernikahan, akhirnya perasaan Gemi goyah. Ketakutannya akan kehilangan Ancala begitu besar, sedangkan di antara dirinya dan Ancala tidak ada yang berani mengatakan tentang perasaan mereka. Maka tentu saja masalah itu muncul. “Mbak mau kita jalan-jalan aja, atau mau nongkrong?” Laksa akhirnya bersuara. Gemi ini tidak pernah bisa ditebak. Di saat moodnya sedang berantakan seperti ini, kadang-kadang dia hanya ingin putar-putar tanpa tujuan. Atau bahkan dia akan mengajak ke tempat makan dan memakan banyak makanan. “Makan,” jawabnya. “Angkringan.” Laksa paham dan melanjutkan perjalannya. Ada satu tempat langganan angkringan Gemi yang sering didatangi. L
Ancala terbatuk mendengar ucapan Tera yang ngawur. Lelaki itu baru saja menelan sate telur ketika Tera mengatakan hal itu secara berapi-api. Bukan hanya itu, gadis itu juga menatap Ancala dengan sinis. Dia seolah tengah mengatakan kepada Ancala harus berhati-hati. Sedangkan Gemi, gadis itu justru entah kenapa merasa terhibur dengan ucapan Tera. Nasi yang tadinya hanya dimainkan, kini dia makan dengan lahap. Membuka lagi nasi bungkus yang sebesar kepalan tangan itu dan menikmatinya. Tiba-tiba saja, senyumnya terlihat. Ada sedikit kikikan yang keluar dari mulutnya, sehingga empat orang yang ada di sana menoleh ke arahnya. Tampak bingung. “Apa yang lucu, Mbak?” tanya Tera. Gemi kali ini tidak lagi menunduk. Dia mengangkat wajahnya, menatap Tera dan Laksa bergantian. “Idemu bagus, Ter. Aku jadi mikir, bagaimana kalau kita ke dukun dan buat dia jadi impoten?” ekspresi antagonisnya keluar. Seringaiannya pun keluar keji. Namun ucapan selanjutnya membuat haru. “Tapi aku ‘kan bukan orang ja
Untuk sesaat, Gemi hanya mematung di tempatnya. Tidak pernah memiliki bayangan kalau Ancala akan datang ke rumahnya bersama dengan keluarganya. Sepertinya, Ancala tengah mengujinya. Pertemuan malam itu saja belum hilang dari ingatan Gemi, sekarang lelaki itu justru berada di rumahnya. Tersenyum lebar seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Hal itu membuatnya sangat kesal. Tapi, sekali lagi Gemi tak bisa melakukan apa pun kecuali harus menyingkirkan segala macam perasaan sakit yang dirasakan. Kalau dia sekarang menunjukkan perubahan interaksi dengan Ancala, maka itu akan membuat para orang tua curiga. Karena itu, dia akhirnya mencoba tersenyum. Mengubur sebentar luka basahnya. “Bunda Anye.” Gemi mendekat pada Anyelir. Perempuan paruh baya itu mencium Gemi. “Kenapa nggak dikeringkan dulu rambutnya?” Anyelir mengelus punggung Gemi dengan pelan. “Udah dipanggil. Biar terasa seger juga, Nda.” Gemi berlalu untuk mendekati Ramon. Mencium punggung tangan laki-laki itu. Barulah dia duduk di
Kata-kata yang diucapkan oleh Kala malam itu, membuat Gemi merasa ditekan begitu kuat. Rasa sesak itu dirasakan di dalam hatinya itu begitu hebat sampai dia tak tahu bagaimana akan melanjutkan hidupnya kedepannya. Haruskan dia merelakan perasaannya begitu saja dan membiarkan Ancala hidup dengan kebahagiaannya sendiri tanpa dirinya? “Gemi!” Panggilan itu membuat gadis itu terkejut. Lamunannya tampaknya menimbulkan masalah. Dia berada di ruang meeting dan beberapa orang yang ada di divisinya tengah konsentrasi mendengarkan bosnya berbicara, sedangkan Gemi justru menunjukkan tidak fokusnya. “Maaf.” Sadar kalau dia salah, Gemi segera meminta maaf. “Fokuslah. Jangan main-main.” Peringatan itu membuat Gemi mengangguk mengerti. Meskipun dia adalah salah satu calon pemilik perusahaan, tidak ada yang memerlakukannya khusus. Atasannya pun tidak akan memarahinya jika dia membuat kesalahan. Mencoba untuk fokus, Gemi merasa waktu berjalan lambat. Di dalam pikirannya, dia berbicara sendiri. Jik
“Tidak ada lowongan pekerjaan!” Gemi menjawab cepat. “Idemu mentah.” Gemi tahu persis siapa Denta. Lelaki itu bahkan memiliki perusahaan traveling. Dia bukan pejuang rupiah yang harus sibuk mencari pekerjaan. Gemi tidak tahu bagaimana kehidupannya sebelumnya, tapi dia yakin lelaki itu memang dipersiapkan untuk menjadi pewaris keluarganya.“Aku harus pergi sekarang.” Gemi pamit. “Nomor Ancala masih sama kalau mau menghubunginya.” “Biarkan aku antar.” Denta bersiap berdiri, namun Gemi menghalau. “Kamu datang kesini pasti membutuhkan sesuatu untuk dibeli. Lanjutkan saja.” “Udah nggak lagi. Ayo, aku antar.” Denta kukuh.“Aku bawa mobil sendiri.” Gemi tak kalah kukuh. Berdiri, membawa paper bag miliknya sebelum berlalu dari sana. Namun Denta sama sekali tidak mengindahkan ucapan Gemi. Dia mengikuti Gemi dari belakang. Ada dengusan yang keluar dari mulut Gemi. Tapi dia membiarkan Denta mengikutinya. Sampai di basement, Gemi kembali mengusir lelaki itu sekali lagi. “Pergi sana. Aku mau
“Istriku.” Ancala baru saja sampai rumah ketika melihat penampilan Gemi yang sudah cantik. Meskipun hanya mengenakan daster rumahan kebanggaannya, kecantikan perempuan itu selalu terpancar. Dan inilah yang selalu disukai oleh Ancala, Gemi akan selalu menunggu kepulangannya di teras rumah sambil membaca buku. Tidak di rumah Kala, atau bahkan di rumah mereka sendiri, Gemi memiliki perpustakaan sendiri dengan koleksi buku-bukunya. Gemi tersenyum melihat Ancala yang berjalan ke arahnya. Perempuan itu beranjak untuk menerima tas kerja lelaki itu. “Suamiku capek banget kayaknya.” Ancala memeluk Gemi sambil mencium pipi perempuan itu. Bagi Ancala, energinya akan kembali ketika sudah bertemu dengan sang istri setelah seharian bekerja. Rasa lelah itu seolah menguap begitu saja. Pelukan mereka terurai. Masih dengan memeluk pinggang sang istri, Ancala sedikit menjauhkan tubuhnya untuk menatap wajah Gemi yang halus. “Makan apa malam ini?” tanyanya, “lama nggak ke angkringan. Kangen nasi
“Kalian udah datang?” Ancala mendekati istri dan kedua adiknya dengan senyum kecil. Meskipun pagi tadi dia sempat kesal, tetapi setelah Gemi sekarang datang ke kantor, perasaannya menjadi sedikit membaik. Tatapannya mengarah pada ‘tiga tamunya’ yang tidak membawa apa pun. “Jadi belanjanya?” tanyanya. Perempuan yang dimaksud oleh Laksa tadi tidak mengikuti Ancala dan kembali lebih dulu. Gemi tidak bertanya siapa perempuan tersebut karena dia tahu kalau itu adalah sekretaris Ancala. Laksa pun sebenarnya juga tahu, tetapi dia hanya pura-pura untuk mengerjai Gemi. “Bang, aku laper banget, lho.” Laksa mengadu. “Aku laper, Bang.” Ulangnya lagi. “Kalian nggak makan dulu tadi?” Ancala mengernyit aneh menatap satu per satu saudaranya. “Istri Abang ngambek karena diajak desak-desakan. Jadi, nggak memedulikan aku yang kelaparan. Tapi, aku nggak mau makan di kantin ini. Abang tolong pesankan aku makanan yang enak, ya.” Laksa memang benar-benar membuat kakak-kakaknya kesal kalau sudah me
“Gem, bangun!” Ancala menepuk paha sang istri pelan ketika sudah sampai di rumah. Mereka baru saja sampai rumah ketika Gemi tidak sadarkan diri, tidur. Sepanjang jalan, Ancala memegangi tangan Gemi takut-takut kalau istrinya itu terjatuh. Bukannya apa-apa, Gemi tidur sepanjang jalan sedangkan mereka menggunakan motor. Kebanyakan makan kepala ayam membuat Gemi lemas sepertinya. “Bang, aku nggak sanggup jalan. Gendong.” Dengan suara lemas, perempuan itu masih memeluk pinggang Ancala dengan erat takut jatuh. Matanya masih tertutup erat enggan untuk terjaga. Napas panjang Ancala terbuang kasar. Menikahi Gemi adalah impiannya, tetapi kalau sifat manja perempuan keluar, maka habislah dia. “Iya, tapi tunggu dulu deh. Aku turun dulu.” Ancala melepaskan tangan Gemi dari pinggangnya sebelum dia turun dengan pelan dari motor. Baru setelahnya menarik tangan Gemi agar istrinya itu naik ke gendongannya. Diam-diam Ancala tersenyum kecil. Terkadang istrinya itu memang menyebalkan, tetapi juga me
Perdebatan yang terjadi malam itu dianggap bukan apa-apa. Pernikahan antara Gemi dan Ancala bahkan akan segera dilakukan dalam waktu dua hari lagi. Pernikahan mewah itu akan dilakukan di outdoor di pinggir pantai. Tidak banyak yang diundang karena Gemi dan Ancala benar-benar memilih orang-orang terdekat mereka saja yang datang. Kabar pernikahan yang sudah merebak itu membuat banyak orang terkejut. Tidak pernah menyangka kalau Gemi dan Ancala akan menikah. Semua orang tahu jika Abimanyu dan Sambara group adalah saudara. Tentu saja hal itu menjadi perbincangan banyak orang. “Gimana rasanya mau menikah?” Denta datang ke rumah Ancala untuk sekedar menemani sahabatnya itu mengobrol. “Dan menikah dengan perempuan yang lo cintai?” “Setelah semua yang terjadi, tentu saja gue bahagia, Den.” Ancala memainkan kakinya yang ada di kolam renang, menimbulkan bunyi kecipak air. “Gue kira akan sulit mendapatkan restu dari para tetua.” Denial mengatakan itu merujuk pada nenek dan kakek Ancala, lela
“Kamu sudah benar-benar yakin akan menikah dengan Gemi, Bang?” Ramon meyakinkan sekali lagi kepada sang putra atas keputusan untuk meminang sang pencuri hati. Para tetua, nenek kakeknya sudah memberikan izin untuk mempersatukan dua keluarga yang seharusnya tetap menjadi keluarga yang sesungguhnya. Namun, mereka memilih untuk memberikan restu dan menyingkirkan segala ego yang ada. Dua anak manusia itu sudah tidak bisa dipisahkan, untuk apa lagi mereka menahannya dan akan berakhir buruk. “Aku udah yakin, Yah. Aku sudah berbicara dengan Gemi dan dia menerima lamaranku.” Senyum lebar tersemat di bibir Ancala dan wajah sumringah itu tidak bisa berbohong jika dia sangat bahagia. “Kalau begitu, Ayah dan Bunda akan berbicara kepada Papa Kala kalau kami akan segera melamar Gemi. Pikirkan juga kamu ingin menikah di mana? Outdoor atau indoor, masalah biaya jangan khawatir, semua biaya Ayah yang urus.” Rasa sayang Ramon yang diberikan kepada Ancala tidak surut sedikitpun sejak dulu. Lelaki it
Setelah obrolan semalam, Gemi bangun tidur dengan perasaan yang terasa ringan. Hubungannya dengan sang ayah sudah membaik dan dia sudah memaafkan apa pun yang pernah sang ayah lakukan. Semua yang dilakukan oleh sang ayah semata untuk melindungi keluarganya. Suasana hati Gemi pun terlihat sangat baik seharian ini. Meskipun Ancala sejak tadi tak kunjung menghubunginya seperti yang sudah dijanjikan semalam, dia masih baik-baik saja. Seperti yang sudah Ancala bilang semalam, lelaki itu akan membicarakan masalah kerjaan dengan sang ayah. “Jadi, kamu mau balik kerja lagi?” Gemi yang baru saja duduk di sofa di samping sang bunda, segera mendapatkan pertanyaan tersebut. “Aku akan pikirkan lagi, Ma.” Sudah kebiasaan berada di rumah selama beberapa bulan, menjadikan Gemi enggan untuk kembali beraktivitas. “Tapi, Ma, Papa ngeluarin aku dari kantor dengan alasan apa, ya?” Benar, Binar pun tampaknya belum tahu tentang masalah tersebut karena dia tak pernah bertanya dengan Kala. “Mama juga
Binar dan Kala mendengar dengan jelas ucapan putri mereka meskipun kata-kata yang diucapkan terbata-bata. Mereka mendengarkan di balik dinding hanya untuk mengetahui reaksi Gemi ketika bertemu dengan Ancala. Nyatanya, Gemi mengatakan sesuatu yang membuat orang tuanya menahan kesedihannya. “Jangan bicara yang tidak-tidak. Sekarang fokuslah pada kesembuhanmu dulu. Papa bilang, kamu masih perlu bertemu dengan psikiater. Kapan jadwalnya? Aku temani ya?” “Aku nggak butuh psikiater lagi, Bang. Obatku udah ada di sini.” Kala mendesah pasrah mendengar jawaban Ancala atas ucapan sang putri. Sudah pasti perasaan Kala sekarang dipenuhi oleh rasa penyesalan yang amat besar. Di ruang tamu, Gemi dan Ancala melepaskan pelukan mereka. Ancala mengusap air mata Gemi yang mengalir menganak sungai di wajahnya. “Aku nggak akan ke mana-mana lagi, Gemi. Aku udah pulang sekarang. Jadi, kamu nggak perlu takut aku pergi lagi.” “Memangnya, Abang dari mana kemarin?” Ancala menyodorkan minuman yang disiapka
Kala pasti tidak pernah menyangka jika Ramon akan menurunkan egonya untuk meminta putranya pulang. Dia tahu betul bagaimana Ramon menolak permintaannya saat itu. Namun, sekarang tiba-tiba Ancala sudah ada di rumahnya dan menanyakan kabar Gemi. Hal itu tentu saja membuat Kala sedikit bingung. Apa pun itu, Kala tentulah merasa senang dengan kedatangan Ancala ke rumahnya. “Keadaan Gemi sudah lebih baik. Dia sekarang sedang istirahat.” Tepat setelah itu, Binar datang dan segera duduk di samping Ancala. Perempuan paruh baya itu mengelus punggung Ancala tanpa berbicara. Kelegaan terpancar dari matanya. “Kamu dari mana saja, Bang?” tanyanya setelah itu, “Mama cariin kamu.” “Aku jalan-jalan, Ma,” jawab Ancala dengan lembut, “Mama baik-baik aja ‘kan?” “Mama baik. Anca, kamu masih mau nemuin Gemi ‘kan? Setelah waktu itu, dia murung dan tidak ingin berurusan dengan siapa pun.” “Tentu saja aku mau, Ma. Gemi adalah adikku. Kalau memang perlu, aku akan menemaninya sampai dia sembuh.” “Apa mak
“Aku harus pulang, Den. Sorry, ya.” Gemi memilih menghindar daripada harus menjawab ucapan Denta. Gadis itu berdiri, lalu buru-buru pergi meninggalkan Denta yang tampak kebingungan. “Gem!” Denta berteriak memanggil gadis itu, tetapi seolah tuli, Gemi tetap berjalan dan sesekali berlari untuk menghindari sahabat Ancala tersebut. Setelah memasuki komplek perumahannya, barulah dia berjalan dengan tenang. Gemi berpikir, kalau Denta saja tidak tahu keberadaan Ancala, itu artinya, kepergian lelaki itu dirahasiakan. Sepertinya, masalah ini benar-benar serius. Gemi berhenti di pinggir jalan, terpaku di tempatnya, lalu berpikir sejenak. Apa dia harus menghubungi Ancala? Apa lelaki itu akan menerima panggilannya kalau dia melakukannya? Kebingungan itu melanda dirinya. Gara-gara kedatangan Denta, menjadikannya berpikir lebih keras tentang Ancala. Gadis berdaster coklat itu kembali melangkah untuk kembali ke rumah. Meskipun dia banyak memikirkan banyak hal, tapi beruntung kini halusinasinya ti