Arga mendengus kesal ketika menatap Kala dan juga Ramon yang seolah menghinanya terang-terangan. Arga sudah meminta mereka untuk berhenti bersikap kekanakan, tapi mereka tidak menghiraukannya. “Lihatlah ayah muda ini. Bucinnya nggak tahu tempat. Istrinya hanya menutup mata karena capek, dianya yang pingsan. Malu-maluin darah Abimanyu aja.” Itu suara Ramon yang terdengar mencelanya. “Kamu itu cowok. Bisa-bisanya bertindak menyedihkan begitu. Memalukan.” Tambahnya. Arga menarik napasnya panjang karena ucapan Ramon. Ya, karena ucapan Bening yang terdengar ambigu beberapa waktu yang lalu, kemudian dibarengi dengan mata Bening yang terpejam, membuat jantung Arga seolah berhenti berdetak. Tak terasa, tubuhnya limbung dan dia pingsan. Lupa segalanya. Tak lama setelah itu, dia bangun dan mendapati Bening menatapnya dengan datar. Istrinya itu sudah dibersihkan, serta bayinya yang berada di atas tubuh Bening. Bayi laki-laki itu tengah menikmati asinya untuk pertama kalinya. Ketika dia meliha
“Laksa ke mana, Yang? Nggak ada di mana-mana?” Pertama kali yang Arga cari ketika dia baru saja pulang kerja adalah putranya. Bening sekarang merasa sedikit tersingkirkan dengan keberadaan putranya. Bukan hanya Arga, Hardi pun sama. Lelaki paruh baya itu juga akan menanyakan keberadaan Laksa, ketika kakinya menginjak lantai rumah. Tinggal bersama mertua, ternyata tidak buruk menurut Bening. Hardi dan Fatma benar-benar memperlakukannya seperti anaknya sendiri. Bening dibuat nyaman di rumah besar tersebut. Rumah barunya masih diusahakan untuk segera selesai. Tapi masih membutuhkan waktu lagi dan lagi. “Sama Mama. Diajak arisan.” Bening menjawab. “Nggak jauh. Di blok lima. Mau pamer katanya.” Fatma sekarang memiliki hobi baru. Pamer cucu laki-lakinya yang tampan itu ke teman-teman arisannya. Perempuan paruh baya itu begitu bangga menunjukkan betapa Laksa adalah cucu lelaki kebanggaannya. Terlebih lagi sekarang, Laksa sudah berusia enam bulan, yang mana bocah itu semakin menunjukkan k
“Ancala belum punya pacar yang mau dikenalin sama Oma?” Di dalam pertemuan yang rutin diadakan di kediaman keluarga Abimanyu, ini untuk pertama kalinya Ancala mendapatkan pertanyaan yang demikian sulit untuk dijawab. Senyumnya terlihat di bibir merahnya. Seperti biasa, dia menjawab dengan tenang. “Oma udah pengen aku nikah emangnya?” Dia menjawab dengan pertanyaan juga kepada Fatma. “Lho iya. Usia kamu udah dua delapan tahun lho. Jangan kayak ayahmu yang nikah udah kepala tiga. Kelamaan.” Fatma menjawab dengan semangat. “Ayahmu dan papa-papamu itu jangan ditiru. Nikah aja usianya udah tua.” Ramon, Kala, dan Arga hanya diam saja mendengar itu. Fatma yang tampak masih sehat meskipun sudah tergerus usia itu, ingin segera melihat salah satu cucunya menikah. Sayangnya, yang paling besar adalah Ancala. Gemintang baru saja lulus dari kuliah dan baru bekerja. Sedangkan Arca dan Laksa masih kuliah. Lalu Lentera – anak kedua Arga – masih sekolah. Jadi satu-satunya yang bisa didesak untuk se
Gemi melihat jam yang ada di pergelangan tangannya. Waktu menunjukkan pukul sepuluh malam dan Gemi memutuskan untuk menyusul Ancala setelah menunggu selama lima belas menit di dalam mobil. Perasaannya sedang risau. Semua itu gara-gara omanya yang sudah menagih cucu menantu kepada Ancala. Gadis itu duduk di samping Ancala, lalu segera menyandarkan kepalanya di pundaknya dengan tangan dilingkarkan di tangan kiri lelaki itu. Ancala tidak menghindar dan justru mengelus kepala gadisnya. Perasaan yang beberapa saat lalu terasa resah pun lambat laun menghilang. “Bang, ending seperti apa yang akan kita dapatkan dalam hubungan ini?” Gemi mengeratkan pelukan di tangan Ancala. “Kalau orang tua kita nggak setuju dengan hubungan kita, apa Abang akan meninggalkanku?” “Jangan pikirkan hal-hal seperti itu.” Ancala menahan Gemi agar tidak membahas hal itu lagi. “Aku mau Abang menjawab.” Gemi melepaskan tangannya, lalu sedikit menjauh dari Ancala. Menatap lelaki itu dengan picingan mata yang tajam.
“Kenapa Gemi harus cemburu, Papa?” Menutupi kegugupannya, Gemi menarik bantal yang ada di sampingnya, kemudian memeluknya. Ayahnya ini benar-benar. Gemi menjadi takut kalau-kalau sang ayah mengetahui hubungan Ancala yang sebenarnya dan rahasia itu akan dibuka. Padahal, dia pun sempat memiliki keinginan untuk mengatakan kepada orang tuanya tentang hubungannya dengan Ancala. “Karena kamu merasa Ancala nantinya tidak akan bisa sama-sama kamu lagi.” Kala menjawab lugas. “Kamu takut, Ancala membagi perhatian dan kasih sayangnya kepada perempuan lain sehingga kamu akan dinomor duakan. Papa benar, ‘kan?” Kala yang masih berdiri di depan pintu itu melipat kedua tangannya di depan dada, lalu tatapannya mengarah pada sang putri dengan tegas. Gemi memilih tidak menjawab, dia menundukkan kepalanya dengan memainkan pinggiran bantal. Sedikit lega karena dugaannya salah. Ternyata Kala tidak membahas tentang perasaan yang menjurus pada cinta antara Gemi dan Anca. “Sayang, kalian itu udah sama-sama
Pernyataan Gemi saat itu membuat hubungannya dengan Ancala benar-benar merenggang. Gemi lebih banyak menyibukkan dirinya untuk bekerja dan akan membaca banyak buku jika sudah pulang ke rumah. Berusaha mengenyahkan segala pikiran tentang Ancala. Meskipun dia merindukan lelaki itu, mati-matian dia mencoba untuk tidak peduli. Malam ini, dia memilih pergi ke rumah Arga. Dia akan menginap di sana dan menikmati waktunya bersama dengan dua sepupunya. Melihat Laksa dan Tera yang terkadang meributkan hal-hal yang tidak penting, membuatnya memiliki hiburan sendiri. “Kalian ngapain sih?” Baru saja Gemi menginjakkan kakinya di lantai ruang keluarga kediaman Arga, dia sudah melihat keributan antara dua sepupunya. Laksa tengah memelintir tangan Tera, dan mereka bergulat di atas lantai. Suara Tera memekir sambil minta dilepaskan. Gemi dulu juga ingin memiliki saudara, tapi sayangnya ibunya tidak bisa memberikannya. Binar hamil dua kali setelah Gemi, tapi dua-duanya keguguran. Setelah itu, dia din
Laksa tidak menjawab. Apalagi Tera. Keduanya memilih diam dan membiarkan sang kakak sepupu lega setelah mengeluarkan tangisnya. Mereka pasti tahu jika perasaan Gemi sakit luar biasa mendengar kabar yang dibawa oleh sang ayah. Selama ini, Gemi dan Ancala tampak bahagia dengan hubungan mereka. Tapi karena omanya yang sudah membahas tentang pernikahan, akhirnya perasaan Gemi goyah. Ketakutannya akan kehilangan Ancala begitu besar, sedangkan di antara dirinya dan Ancala tidak ada yang berani mengatakan tentang perasaan mereka. Maka tentu saja masalah itu muncul. “Mbak mau kita jalan-jalan aja, atau mau nongkrong?” Laksa akhirnya bersuara. Gemi ini tidak pernah bisa ditebak. Di saat moodnya sedang berantakan seperti ini, kadang-kadang dia hanya ingin putar-putar tanpa tujuan. Atau bahkan dia akan mengajak ke tempat makan dan memakan banyak makanan. “Makan,” jawabnya. “Angkringan.” Laksa paham dan melanjutkan perjalannya. Ada satu tempat langganan angkringan Gemi yang sering didatangi. L
Ancala terbatuk mendengar ucapan Tera yang ngawur. Lelaki itu baru saja menelan sate telur ketika Tera mengatakan hal itu secara berapi-api. Bukan hanya itu, gadis itu juga menatap Ancala dengan sinis. Dia seolah tengah mengatakan kepada Ancala harus berhati-hati. Sedangkan Gemi, gadis itu justru entah kenapa merasa terhibur dengan ucapan Tera. Nasi yang tadinya hanya dimainkan, kini dia makan dengan lahap. Membuka lagi nasi bungkus yang sebesar kepalan tangan itu dan menikmatinya. Tiba-tiba saja, senyumnya terlihat. Ada sedikit kikikan yang keluar dari mulutnya, sehingga empat orang yang ada di sana menoleh ke arahnya. Tampak bingung. “Apa yang lucu, Mbak?” tanya Tera. Gemi kali ini tidak lagi menunduk. Dia mengangkat wajahnya, menatap Tera dan Laksa bergantian. “Idemu bagus, Ter. Aku jadi mikir, bagaimana kalau kita ke dukun dan buat dia jadi impoten?” ekspresi antagonisnya keluar. Seringaiannya pun keluar keji. Namun ucapan selanjutnya membuat haru. “Tapi aku ‘kan bukan orang ja