Akhirnya Kala nggak mimpi ya.
“Bayinya perempuan. Selamat, Pak, Bu.” Dokter yang membantu persalinan Binar itu mengangkat bayi kecil merah yang tengan menjeritkan tangis. Menunjukkan kepada Kala sebelum membawanya untuk dibersihkan. “Dokter, biarkan saya adzani dulu.” “Tapi, Pak ….” “Nggak papa. Berikan dulu ke saya.” Lantas bayi itu diserahkan kepada Kala setelah dibalut dengan selimut. Ini untuk pertama kalinya, Kala akan menggendong bayi. Tangannya bergetar luar biasa, tapi dia harus melakukan kewajibannya sebagai seorang ayah. Selama enam bulan, dia tidak menemani Binar, tidak berada di sisi istrinya tersebut. Rasa bersalah yang menggunung, membuat Kala merasa perasaannya kacau luar biasa. Dengan tangis yang tidak bisa dicegah, Kala mengumandangkan adzan di telinga kanan putrinya. Tangis putrinya itu semakin kencang seolah tengah memarahi sang ayah yang sudah bersikap brengsek kepada ibunya. “Maafkan Papa, Nak. Papa janji, mulai sekarang nggak akan pergi ke mana-mana lagi dan meninggalkan kalian. Papa a
Kala duduk dengan tangan saling bertaut. Dia seperti merasakan dejavu. Dia dulu juga pernah mengalami ini. Duduk di kursi samping ranjang rumah sakit dengan Binar di atasnya. Hanya saja bedanya adalah sekarang dia tengah bahagia karena ada satu anggota keluarganya yang lahir di dunia. Itu adalah putrinya, darah dagingnya. Sedangkan dulu, dia menunggu Binar yang tengah sakit karena dirinya. “Binar.” Akhirnya Kala memecah keheningan. Ditatapnya Binar yang tengah memberi asi putrinya. Mereka diberikan waktu berdua untuk berbicara. Setidaknya meskipun tidak menuntaskan masalah, mereka bisa membahas tentang nama putri mereka. “Aku minta maaf.” Kala harus mengucapkan kalimat itu sebelum dia melangkah untuk mendekati Binar. “Aku minta maaf atas semua kesalahan yang pernah aku lakukan ke kamu. Semuanya. Aku sadar mungkin semua salahku tidak akan bisa ditebus dalam waktu singkat. Tapi, berikan aku kesempatan untuk memperbaiki kesalahanku. Aku akan berusaha menjadi suami yang bertanggung jaw
Meskipun Kala sudah bercerita panjang lebar tentang hubungannya dengan Widi, Binar belum bisa mempercayai lelaki itu sepenuhnya. Sikap Kala yang plin-plan kepadanya beberapa bulan mereka menikah membuat Binar selalu berhati-hati. Seperti ada ketakutan tersendiri yang masih mengendap di hati Binar. “Bi, kamu yakin kamu akan menerima Kala lagi? Yakin bisa benar-benar bahagia bersama dengannya?” Itu suara ibu Binar yang bertanya. Di ruangan Binar hanya ada mereka berdua setelah Kala dan orang tuanya pamit pergi sebentar. “Orang yang suka berselingkuh, biasanya akan tetap melakukan hal yang sama di kemudian hari.” Ibu Binar pernah merasakan, oleh karena itu bisa mengatakan hal seperti itu. Padahal, ayah Binar tidak lagi kedapatan selingkuh setelah menikahi selingkuhannya. Yang sekarang menjadi ibu tiri Binar. “Aku akan melihat nanti bagaimana dia berubah.” Meskipun Binar merasakan keraguan di dalam hatinya, tapi dia tak ingin menunjukkan kepada ibunya atau orang lain. Dia tak ingin Kal
“Kalau kamu mencintai Binar, kamu nggak akan selingkuh darinya.” Ibu Binar tidak mau kalah. “Lihatlah apa yang kamu lakukan kepada Binar selama kalian menikah. Kamu meninggalkannya, lalu kamu pun nggak tahu kalau dia sakit dan harus rawat inap.” “Bu!” Binar tidak ingin ada orang lain yang ikut campur masalah rumah tangganya. Termasuk orang tuanya sendiri. Binar menganut paham, jika dia sudah berkeluarga, maka orang tua tetaplah orang luar. “Rumah tanggaku, biarkan aku yang urus. Ibu nggak perlu ikut campur. Aku tahu mana yang baik dan mana yang buruk untuk aku.” “Saya minta maaf.” Kala kembali bersuara. Lelaki itu mendekat dan berdiri di depan ranjang Binar. “Itu adalah sebuah kesalahan besar yang saya lakukan. Seandainya saya bisa mengulang waktu, saya pasti tidak akan pernah melakukan sesuatu yang akan membuat saya menyesal.” Bu Yuni tersenyum sinis. Menunjukkan rasa tidak senangnya kepada menantunya tersebut. Masih tampak ketidakrelaan jika Kala kembali dengan Binar. “Kamu tahu,
Kala mengerti pikiran istrinya yang menunjukkan keenggenannya pada dirinya. Mereka memang sudah sempat berbicara berdua tadi, tapi tentu saja hal itu tak lantas membuat Binar mengurai segala perasaan rumit yang membelenggunya. Kala akan bersabar dan menunggu. Setelah memastikan Binar tidur, dia keluar dari kamar. Memastikan semua hal baik-baik saja. Ternyata ibu dan ibu mertuanya masih berada di sana sedang mengobrol. Melihat kemunculannya, Bu Fatma segera menyapanya. “Kamu mau sarapan dulu? Sejak semalam kamu belum makan.” Kala tidak begitu memerhatikan ibunya melainkan melihat karyawan Binar yang tengah sibuk membungkus barang-barang yang akan dikirim. Saat dia berangkat ke Surabaya saat itu, masih ruangan tamu yang digunakan bekerja. Sekarang sudah merambah ke ruang keluarga. Kala tentu saja tidak nyaman melihat itu. Belum lagi suara-suara lakban untuk paket-paket yang besar. Dia jadi khawatir dengan putrinya yang akan terganggu. “Kal!” Panggilan itu menyadarkan Kala dari pikir
Binar merasakan rambutnya dialiri oleh air dingin yang menyegarkan. Tangan kiri Kala mengusap rambut Binar dengan lembut seolah takut dia akan menyakiti istrinya. Setelah rambutnya basah sepenuhnya, Kala memberinya shampoo lalu kembali menggosoknya yang kali ini lebih keras sehingga busa dari shampoo itu keluar. Aroma wangi itu segera menguar keluar. Kala melakukan itu tanpa kata. Tidak ada yang bicara di antara mereka. Binar benar-benar tidak tahu apa yang akan dikatakan ketika Kala melakukan ini. “Bi, ada hal penting yang ingin aku bicarakan sama kamu. Aku membutuhkan pendapatmu.” Kala akhirnya memecah keheningan di antara gemericik air.“Tentang apa?” tanya Binar penasaran. “Aku nggak bermaksud apa-apa, tapi aku pikir kita perlu pindah dari sini.” Akhirnya Kala menyuarakan pikirannya. “Bisnis kamu sudah cukup berkembang dan orang-orang packing pun sampai di ruang keluarga. Semakin banyak pesanan, pasti akan membutuhkan tempat yang lebih besar. Kalau kita tinggal di tempat baru,
Tautan bibir Kala dan Binar terlepas ketika mendengar suara tersebut. Keduanya menatap ke arah sumber suara dan mendapati Bu Yuni berada di ambang pintu. Perempuan itu menatap anak dan menantunya itu dengan tatapan kesal. Seharusnya ini bukan kesalahan Binar atau bahkan Kala. Pintu kamar tadinya sudah tertutup dan tak seharusnya perempuan paruh baya itu membukanya tanpa permisi.“Binar baru saja melahirkan. Apa yang kamu lakukan, Kala?” bukannya meminta maaf, Bu Yuni justru menyangka Kala yang tidak-tidak. Dengan mengomel. “Ibu kenapa?” tanya Binar merasa kesal. “Bu, seharusnya kalau Ibu mau masuk ke dalam kamar orang lain, Ibu permisi dulu. Mengetuknya.” “Kalau Ibu mengetuk, nggak akan tahu bagaimana tabiat Kala.” Kala yang mendengar itu segera saja merasa kesal luar biasa. Dia bukannya tidak tahu kalau mertuanya itu sangat tidak menyukainya. Kala berusaha untuk tetap menghormati perempuan itu. Lelaki itu tak menjawab, tapi dia segera turun dari kasur hanya untuk menjauh dari istr
“Selama ibu mertuamu tinggal di sini, ada nggak dia ngomong buruk sama kamu?” tadinya Kala ingin beristirahat di kamar, tapi ternyata ibunya menghalangi Kala di ruang keluarga. “Dia nggak suka sama kamu, kamu harus tahu itu,” lanjut Bu Fatma. Ada sebuah perasaan dongkol yang mengganjal di dalam hatinya. Bagaimanapun Kala adalah putranya. Meskipun dia akan memarahinya, menampar, atau bahkan mendeportasinya, biarlah dia sendiri yang melakukan. Orang lain tidak seharusnya melakukan hal tersebut. Terlebih lagi itu adalah mertuanya. Maka Bu Fatma lebih tidak menyukainya. “Kamu harus berhati-hati dengan perempuan itu, dia itu ingin kamu dan Binar pisah.” “Aku tahu kalau ibu nggak suka sama aku, Ma.” Kala tidak ingin menutupi. Kenyataan tidak bisa disembunyikan. “Tapi mau bagaimana lagi, aku memang melakukan kesalahan besar yang membuat putrinya sedih.” Kala tidak ingin memberitahukan tentang masalah Bu Yuni yang tanpa permisi datang ke kamarnya dan memergokinya tengah ciuman. Dia han
“Istriku.” Ancala baru saja sampai rumah ketika melihat penampilan Gemi yang sudah cantik. Meskipun hanya mengenakan daster rumahan kebanggaannya, kecantikan perempuan itu selalu terpancar. Dan inilah yang selalu disukai oleh Ancala, Gemi akan selalu menunggu kepulangannya di teras rumah sambil membaca buku. Tidak di rumah Kala, atau bahkan di rumah mereka sendiri, Gemi memiliki perpustakaan sendiri dengan koleksi buku-bukunya. Gemi tersenyum melihat Ancala yang berjalan ke arahnya. Perempuan itu beranjak untuk menerima tas kerja lelaki itu. “Suamiku capek banget kayaknya.” Ancala memeluk Gemi sambil mencium pipi perempuan itu. Bagi Ancala, energinya akan kembali ketika sudah bertemu dengan sang istri setelah seharian bekerja. Rasa lelah itu seolah menguap begitu saja. Pelukan mereka terurai. Masih dengan memeluk pinggang sang istri, Ancala sedikit menjauhkan tubuhnya untuk menatap wajah Gemi yang halus. “Makan apa malam ini?” tanyanya, “lama nggak ke angkringan. Kangen nasi
“Kalian udah datang?” Ancala mendekati istri dan kedua adiknya dengan senyum kecil. Meskipun pagi tadi dia sempat kesal, tetapi setelah Gemi sekarang datang ke kantor, perasaannya menjadi sedikit membaik. Tatapannya mengarah pada ‘tiga tamunya’ yang tidak membawa apa pun. “Jadi belanjanya?” tanyanya. Perempuan yang dimaksud oleh Laksa tadi tidak mengikuti Ancala dan kembali lebih dulu. Gemi tidak bertanya siapa perempuan tersebut karena dia tahu kalau itu adalah sekretaris Ancala. Laksa pun sebenarnya juga tahu, tetapi dia hanya pura-pura untuk mengerjai Gemi. “Bang, aku laper banget, lho.” Laksa mengadu. “Aku laper, Bang.” Ulangnya lagi. “Kalian nggak makan dulu tadi?” Ancala mengernyit aneh menatap satu per satu saudaranya. “Istri Abang ngambek karena diajak desak-desakan. Jadi, nggak memedulikan aku yang kelaparan. Tapi, aku nggak mau makan di kantin ini. Abang tolong pesankan aku makanan yang enak, ya.” Laksa memang benar-benar membuat kakak-kakaknya kesal kalau sudah me
“Gem, bangun!” Ancala menepuk paha sang istri pelan ketika sudah sampai di rumah. Mereka baru saja sampai rumah ketika Gemi tidak sadarkan diri, tidur. Sepanjang jalan, Ancala memegangi tangan Gemi takut-takut kalau istrinya itu terjatuh. Bukannya apa-apa, Gemi tidur sepanjang jalan sedangkan mereka menggunakan motor. Kebanyakan makan kepala ayam membuat Gemi lemas sepertinya. “Bang, aku nggak sanggup jalan. Gendong.” Dengan suara lemas, perempuan itu masih memeluk pinggang Ancala dengan erat takut jatuh. Matanya masih tertutup erat enggan untuk terjaga. Napas panjang Ancala terbuang kasar. Menikahi Gemi adalah impiannya, tetapi kalau sifat manja perempuan keluar, maka habislah dia. “Iya, tapi tunggu dulu deh. Aku turun dulu.” Ancala melepaskan tangan Gemi dari pinggangnya sebelum dia turun dengan pelan dari motor. Baru setelahnya menarik tangan Gemi agar istrinya itu naik ke gendongannya. Diam-diam Ancala tersenyum kecil. Terkadang istrinya itu memang menyebalkan, tetapi juga me
Perdebatan yang terjadi malam itu dianggap bukan apa-apa. Pernikahan antara Gemi dan Ancala bahkan akan segera dilakukan dalam waktu dua hari lagi. Pernikahan mewah itu akan dilakukan di outdoor di pinggir pantai. Tidak banyak yang diundang karena Gemi dan Ancala benar-benar memilih orang-orang terdekat mereka saja yang datang. Kabar pernikahan yang sudah merebak itu membuat banyak orang terkejut. Tidak pernah menyangka kalau Gemi dan Ancala akan menikah. Semua orang tahu jika Abimanyu dan Sambara group adalah saudara. Tentu saja hal itu menjadi perbincangan banyak orang. “Gimana rasanya mau menikah?” Denta datang ke rumah Ancala untuk sekedar menemani sahabatnya itu mengobrol. “Dan menikah dengan perempuan yang lo cintai?” “Setelah semua yang terjadi, tentu saja gue bahagia, Den.” Ancala memainkan kakinya yang ada di kolam renang, menimbulkan bunyi kecipak air. “Gue kira akan sulit mendapatkan restu dari para tetua.” Denial mengatakan itu merujuk pada nenek dan kakek Ancala, lela
“Kamu sudah benar-benar yakin akan menikah dengan Gemi, Bang?” Ramon meyakinkan sekali lagi kepada sang putra atas keputusan untuk meminang sang pencuri hati. Para tetua, nenek kakeknya sudah memberikan izin untuk mempersatukan dua keluarga yang seharusnya tetap menjadi keluarga yang sesungguhnya. Namun, mereka memilih untuk memberikan restu dan menyingkirkan segala ego yang ada. Dua anak manusia itu sudah tidak bisa dipisahkan, untuk apa lagi mereka menahannya dan akan berakhir buruk. “Aku udah yakin, Yah. Aku sudah berbicara dengan Gemi dan dia menerima lamaranku.” Senyum lebar tersemat di bibir Ancala dan wajah sumringah itu tidak bisa berbohong jika dia sangat bahagia. “Kalau begitu, Ayah dan Bunda akan berbicara kepada Papa Kala kalau kami akan segera melamar Gemi. Pikirkan juga kamu ingin menikah di mana? Outdoor atau indoor, masalah biaya jangan khawatir, semua biaya Ayah yang urus.” Rasa sayang Ramon yang diberikan kepada Ancala tidak surut sedikitpun sejak dulu. Lelaki it
Setelah obrolan semalam, Gemi bangun tidur dengan perasaan yang terasa ringan. Hubungannya dengan sang ayah sudah membaik dan dia sudah memaafkan apa pun yang pernah sang ayah lakukan. Semua yang dilakukan oleh sang ayah semata untuk melindungi keluarganya. Suasana hati Gemi pun terlihat sangat baik seharian ini. Meskipun Ancala sejak tadi tak kunjung menghubunginya seperti yang sudah dijanjikan semalam, dia masih baik-baik saja. Seperti yang sudah Ancala bilang semalam, lelaki itu akan membicarakan masalah kerjaan dengan sang ayah. “Jadi, kamu mau balik kerja lagi?” Gemi yang baru saja duduk di sofa di samping sang bunda, segera mendapatkan pertanyaan tersebut. “Aku akan pikirkan lagi, Ma.” Sudah kebiasaan berada di rumah selama beberapa bulan, menjadikan Gemi enggan untuk kembali beraktivitas. “Tapi, Ma, Papa ngeluarin aku dari kantor dengan alasan apa, ya?” Benar, Binar pun tampaknya belum tahu tentang masalah tersebut karena dia tak pernah bertanya dengan Kala. “Mama juga
Binar dan Kala mendengar dengan jelas ucapan putri mereka meskipun kata-kata yang diucapkan terbata-bata. Mereka mendengarkan di balik dinding hanya untuk mengetahui reaksi Gemi ketika bertemu dengan Ancala. Nyatanya, Gemi mengatakan sesuatu yang membuat orang tuanya menahan kesedihannya. “Jangan bicara yang tidak-tidak. Sekarang fokuslah pada kesembuhanmu dulu. Papa bilang, kamu masih perlu bertemu dengan psikiater. Kapan jadwalnya? Aku temani ya?” “Aku nggak butuh psikiater lagi, Bang. Obatku udah ada di sini.” Kala mendesah pasrah mendengar jawaban Ancala atas ucapan sang putri. Sudah pasti perasaan Kala sekarang dipenuhi oleh rasa penyesalan yang amat besar. Di ruang tamu, Gemi dan Ancala melepaskan pelukan mereka. Ancala mengusap air mata Gemi yang mengalir menganak sungai di wajahnya. “Aku nggak akan ke mana-mana lagi, Gemi. Aku udah pulang sekarang. Jadi, kamu nggak perlu takut aku pergi lagi.” “Memangnya, Abang dari mana kemarin?” Ancala menyodorkan minuman yang disiapka
Kala pasti tidak pernah menyangka jika Ramon akan menurunkan egonya untuk meminta putranya pulang. Dia tahu betul bagaimana Ramon menolak permintaannya saat itu. Namun, sekarang tiba-tiba Ancala sudah ada di rumahnya dan menanyakan kabar Gemi. Hal itu tentu saja membuat Kala sedikit bingung. Apa pun itu, Kala tentulah merasa senang dengan kedatangan Ancala ke rumahnya. “Keadaan Gemi sudah lebih baik. Dia sekarang sedang istirahat.” Tepat setelah itu, Binar datang dan segera duduk di samping Ancala. Perempuan paruh baya itu mengelus punggung Ancala tanpa berbicara. Kelegaan terpancar dari matanya. “Kamu dari mana saja, Bang?” tanyanya setelah itu, “Mama cariin kamu.” “Aku jalan-jalan, Ma,” jawab Ancala dengan lembut, “Mama baik-baik aja ‘kan?” “Mama baik. Anca, kamu masih mau nemuin Gemi ‘kan? Setelah waktu itu, dia murung dan tidak ingin berurusan dengan siapa pun.” “Tentu saja aku mau, Ma. Gemi adalah adikku. Kalau memang perlu, aku akan menemaninya sampai dia sembuh.” “Apa mak
“Aku harus pulang, Den. Sorry, ya.” Gemi memilih menghindar daripada harus menjawab ucapan Denta. Gadis itu berdiri, lalu buru-buru pergi meninggalkan Denta yang tampak kebingungan. “Gem!” Denta berteriak memanggil gadis itu, tetapi seolah tuli, Gemi tetap berjalan dan sesekali berlari untuk menghindari sahabat Ancala tersebut. Setelah memasuki komplek perumahannya, barulah dia berjalan dengan tenang. Gemi berpikir, kalau Denta saja tidak tahu keberadaan Ancala, itu artinya, kepergian lelaki itu dirahasiakan. Sepertinya, masalah ini benar-benar serius. Gemi berhenti di pinggir jalan, terpaku di tempatnya, lalu berpikir sejenak. Apa dia harus menghubungi Ancala? Apa lelaki itu akan menerima panggilannya kalau dia melakukannya? Kebingungan itu melanda dirinya. Gara-gara kedatangan Denta, menjadikannya berpikir lebih keras tentang Ancala. Gadis berdaster coklat itu kembali melangkah untuk kembali ke rumah. Meskipun dia banyak memikirkan banyak hal, tapi beruntung kini halusinasinya ti