Setelah sampai apartemen, Kala benar-benar enggan untuk keluar. Selain dia malu dengan Arga karena sudah kedapatan memimpikan Binar yang tidak-tidak, dia juga enggan untuk beranjak dari ranjang. Terlalu lelah untuk melakukannya. Tapi anehnya, Arga sama sekali tidak merusuh dan tidak mengganggunya sedari tadi. Apakah Arga sudah pulang atau belum Kala pun tidak tahu. Kala menatap langit-langit kamar dengan satu tangan di tumpukan di atas dahinya. Matanya mengedip pelan dan tarikan napasnya terasa berat. Kini Kala tidak bisa menyangkal jika dirinya diliputi oleh rasa rindu kepada Binar. Saat dia kembali dan bertemu dengan Binar, hal pertama yang ingin dia lakukan adalah dengan memeluk istrinya dan tidak akan pernah melepasnya lagi. Kala tidak ingin kehilangan Binar untuk kedua kalinya. “Kamu pasti udah baca surat yang aku kirim, Bi. Tapi kenapa nggak ada balasan yang kamu berikan?” gumaman itu terdengar menyedihkan. “Aku terima aja kok, Bi kalau kamu masih marah. Yang penting kita bis
“Bayinya perempuan. Selamat, Pak, Bu.” Dokter yang membantu persalinan Binar itu mengangkat bayi kecil merah yang tengan menjeritkan tangis. Menunjukkan kepada Kala sebelum membawanya untuk dibersihkan. “Dokter, biarkan saya adzani dulu.” “Tapi, Pak ….” “Nggak papa. Berikan dulu ke saya.” Lantas bayi itu diserahkan kepada Kala setelah dibalut dengan selimut. Ini untuk pertama kalinya, Kala akan menggendong bayi. Tangannya bergetar luar biasa, tapi dia harus melakukan kewajibannya sebagai seorang ayah. Selama enam bulan, dia tidak menemani Binar, tidak berada di sisi istrinya tersebut. Rasa bersalah yang menggunung, membuat Kala merasa perasaannya kacau luar biasa. Dengan tangis yang tidak bisa dicegah, Kala mengumandangkan adzan di telinga kanan putrinya. Tangis putrinya itu semakin kencang seolah tengah memarahi sang ayah yang sudah bersikap brengsek kepada ibunya. “Maafkan Papa, Nak. Papa janji, mulai sekarang nggak akan pergi ke mana-mana lagi dan meninggalkan kalian. Papa a
Kala duduk dengan tangan saling bertaut. Dia seperti merasakan dejavu. Dia dulu juga pernah mengalami ini. Duduk di kursi samping ranjang rumah sakit dengan Binar di atasnya. Hanya saja bedanya adalah sekarang dia tengah bahagia karena ada satu anggota keluarganya yang lahir di dunia. Itu adalah putrinya, darah dagingnya. Sedangkan dulu, dia menunggu Binar yang tengah sakit karena dirinya. “Binar.” Akhirnya Kala memecah keheningan. Ditatapnya Binar yang tengah memberi asi putrinya. Mereka diberikan waktu berdua untuk berbicara. Setidaknya meskipun tidak menuntaskan masalah, mereka bisa membahas tentang nama putri mereka. “Aku minta maaf.” Kala harus mengucapkan kalimat itu sebelum dia melangkah untuk mendekati Binar. “Aku minta maaf atas semua kesalahan yang pernah aku lakukan ke kamu. Semuanya. Aku sadar mungkin semua salahku tidak akan bisa ditebus dalam waktu singkat. Tapi, berikan aku kesempatan untuk memperbaiki kesalahanku. Aku akan berusaha menjadi suami yang bertanggung jaw
Meskipun Kala sudah bercerita panjang lebar tentang hubungannya dengan Widi, Binar belum bisa mempercayai lelaki itu sepenuhnya. Sikap Kala yang plin-plan kepadanya beberapa bulan mereka menikah membuat Binar selalu berhati-hati. Seperti ada ketakutan tersendiri yang masih mengendap di hati Binar. “Bi, kamu yakin kamu akan menerima Kala lagi? Yakin bisa benar-benar bahagia bersama dengannya?” Itu suara ibu Binar yang bertanya. Di ruangan Binar hanya ada mereka berdua setelah Kala dan orang tuanya pamit pergi sebentar. “Orang yang suka berselingkuh, biasanya akan tetap melakukan hal yang sama di kemudian hari.” Ibu Binar pernah merasakan, oleh karena itu bisa mengatakan hal seperti itu. Padahal, ayah Binar tidak lagi kedapatan selingkuh setelah menikahi selingkuhannya. Yang sekarang menjadi ibu tiri Binar. “Aku akan melihat nanti bagaimana dia berubah.” Meskipun Binar merasakan keraguan di dalam hatinya, tapi dia tak ingin menunjukkan kepada ibunya atau orang lain. Dia tak ingin Kal
“Kalau kamu mencintai Binar, kamu nggak akan selingkuh darinya.” Ibu Binar tidak mau kalah. “Lihatlah apa yang kamu lakukan kepada Binar selama kalian menikah. Kamu meninggalkannya, lalu kamu pun nggak tahu kalau dia sakit dan harus rawat inap.” “Bu!” Binar tidak ingin ada orang lain yang ikut campur masalah rumah tangganya. Termasuk orang tuanya sendiri. Binar menganut paham, jika dia sudah berkeluarga, maka orang tua tetaplah orang luar. “Rumah tanggaku, biarkan aku yang urus. Ibu nggak perlu ikut campur. Aku tahu mana yang baik dan mana yang buruk untuk aku.” “Saya minta maaf.” Kala kembali bersuara. Lelaki itu mendekat dan berdiri di depan ranjang Binar. “Itu adalah sebuah kesalahan besar yang saya lakukan. Seandainya saya bisa mengulang waktu, saya pasti tidak akan pernah melakukan sesuatu yang akan membuat saya menyesal.” Bu Yuni tersenyum sinis. Menunjukkan rasa tidak senangnya kepada menantunya tersebut. Masih tampak ketidakrelaan jika Kala kembali dengan Binar. “Kamu tahu,
Kala mengerti pikiran istrinya yang menunjukkan keenggenannya pada dirinya. Mereka memang sudah sempat berbicara berdua tadi, tapi tentu saja hal itu tak lantas membuat Binar mengurai segala perasaan rumit yang membelenggunya. Kala akan bersabar dan menunggu. Setelah memastikan Binar tidur, dia keluar dari kamar. Memastikan semua hal baik-baik saja. Ternyata ibu dan ibu mertuanya masih berada di sana sedang mengobrol. Melihat kemunculannya, Bu Fatma segera menyapanya. “Kamu mau sarapan dulu? Sejak semalam kamu belum makan.” Kala tidak begitu memerhatikan ibunya melainkan melihat karyawan Binar yang tengah sibuk membungkus barang-barang yang akan dikirim. Saat dia berangkat ke Surabaya saat itu, masih ruangan tamu yang digunakan bekerja. Sekarang sudah merambah ke ruang keluarga. Kala tentu saja tidak nyaman melihat itu. Belum lagi suara-suara lakban untuk paket-paket yang besar. Dia jadi khawatir dengan putrinya yang akan terganggu. “Kal!” Panggilan itu menyadarkan Kala dari pikir
Binar merasakan rambutnya dialiri oleh air dingin yang menyegarkan. Tangan kiri Kala mengusap rambut Binar dengan lembut seolah takut dia akan menyakiti istrinya. Setelah rambutnya basah sepenuhnya, Kala memberinya shampoo lalu kembali menggosoknya yang kali ini lebih keras sehingga busa dari shampoo itu keluar. Aroma wangi itu segera menguar keluar. Kala melakukan itu tanpa kata. Tidak ada yang bicara di antara mereka. Binar benar-benar tidak tahu apa yang akan dikatakan ketika Kala melakukan ini. “Bi, ada hal penting yang ingin aku bicarakan sama kamu. Aku membutuhkan pendapatmu.” Kala akhirnya memecah keheningan di antara gemericik air.“Tentang apa?” tanya Binar penasaran. “Aku nggak bermaksud apa-apa, tapi aku pikir kita perlu pindah dari sini.” Akhirnya Kala menyuarakan pikirannya. “Bisnis kamu sudah cukup berkembang dan orang-orang packing pun sampai di ruang keluarga. Semakin banyak pesanan, pasti akan membutuhkan tempat yang lebih besar. Kalau kita tinggal di tempat baru,
Tautan bibir Kala dan Binar terlepas ketika mendengar suara tersebut. Keduanya menatap ke arah sumber suara dan mendapati Bu Yuni berada di ambang pintu. Perempuan itu menatap anak dan menantunya itu dengan tatapan kesal. Seharusnya ini bukan kesalahan Binar atau bahkan Kala. Pintu kamar tadinya sudah tertutup dan tak seharusnya perempuan paruh baya itu membukanya tanpa permisi.“Binar baru saja melahirkan. Apa yang kamu lakukan, Kala?” bukannya meminta maaf, Bu Yuni justru menyangka Kala yang tidak-tidak. Dengan mengomel. “Ibu kenapa?” tanya Binar merasa kesal. “Bu, seharusnya kalau Ibu mau masuk ke dalam kamar orang lain, Ibu permisi dulu. Mengetuknya.” “Kalau Ibu mengetuk, nggak akan tahu bagaimana tabiat Kala.” Kala yang mendengar itu segera saja merasa kesal luar biasa. Dia bukannya tidak tahu kalau mertuanya itu sangat tidak menyukainya. Kala berusaha untuk tetap menghormati perempuan itu. Lelaki itu tak menjawab, tapi dia segera turun dari kasur hanya untuk menjauh dari istr