Kala duduk dengan tangan saling bertaut. Dia seperti merasakan dejavu. Dia dulu juga pernah mengalami ini. Duduk di kursi samping ranjang rumah sakit dengan Binar di atasnya. Hanya saja bedanya adalah sekarang dia tengah bahagia karena ada satu anggota keluarganya yang lahir di dunia. Itu adalah putrinya, darah dagingnya. Sedangkan dulu, dia menunggu Binar yang tengah sakit karena dirinya. “Binar.” Akhirnya Kala memecah keheningan. Ditatapnya Binar yang tengah memberi asi putrinya. Mereka diberikan waktu berdua untuk berbicara. Setidaknya meskipun tidak menuntaskan masalah, mereka bisa membahas tentang nama putri mereka. “Aku minta maaf.” Kala harus mengucapkan kalimat itu sebelum dia melangkah untuk mendekati Binar. “Aku minta maaf atas semua kesalahan yang pernah aku lakukan ke kamu. Semuanya. Aku sadar mungkin semua salahku tidak akan bisa ditebus dalam waktu singkat. Tapi, berikan aku kesempatan untuk memperbaiki kesalahanku. Aku akan berusaha menjadi suami yang bertanggung jaw
Meskipun Kala sudah bercerita panjang lebar tentang hubungannya dengan Widi, Binar belum bisa mempercayai lelaki itu sepenuhnya. Sikap Kala yang plin-plan kepadanya beberapa bulan mereka menikah membuat Binar selalu berhati-hati. Seperti ada ketakutan tersendiri yang masih mengendap di hati Binar. “Bi, kamu yakin kamu akan menerima Kala lagi? Yakin bisa benar-benar bahagia bersama dengannya?” Itu suara ibu Binar yang bertanya. Di ruangan Binar hanya ada mereka berdua setelah Kala dan orang tuanya pamit pergi sebentar. “Orang yang suka berselingkuh, biasanya akan tetap melakukan hal yang sama di kemudian hari.” Ibu Binar pernah merasakan, oleh karena itu bisa mengatakan hal seperti itu. Padahal, ayah Binar tidak lagi kedapatan selingkuh setelah menikahi selingkuhannya. Yang sekarang menjadi ibu tiri Binar. “Aku akan melihat nanti bagaimana dia berubah.” Meskipun Binar merasakan keraguan di dalam hatinya, tapi dia tak ingin menunjukkan kepada ibunya atau orang lain. Dia tak ingin Kal
“Kalau kamu mencintai Binar, kamu nggak akan selingkuh darinya.” Ibu Binar tidak mau kalah. “Lihatlah apa yang kamu lakukan kepada Binar selama kalian menikah. Kamu meninggalkannya, lalu kamu pun nggak tahu kalau dia sakit dan harus rawat inap.” “Bu!” Binar tidak ingin ada orang lain yang ikut campur masalah rumah tangganya. Termasuk orang tuanya sendiri. Binar menganut paham, jika dia sudah berkeluarga, maka orang tua tetaplah orang luar. “Rumah tanggaku, biarkan aku yang urus. Ibu nggak perlu ikut campur. Aku tahu mana yang baik dan mana yang buruk untuk aku.” “Saya minta maaf.” Kala kembali bersuara. Lelaki itu mendekat dan berdiri di depan ranjang Binar. “Itu adalah sebuah kesalahan besar yang saya lakukan. Seandainya saya bisa mengulang waktu, saya pasti tidak akan pernah melakukan sesuatu yang akan membuat saya menyesal.” Bu Yuni tersenyum sinis. Menunjukkan rasa tidak senangnya kepada menantunya tersebut. Masih tampak ketidakrelaan jika Kala kembali dengan Binar. “Kamu tahu,
Kala mengerti pikiran istrinya yang menunjukkan keenggenannya pada dirinya. Mereka memang sudah sempat berbicara berdua tadi, tapi tentu saja hal itu tak lantas membuat Binar mengurai segala perasaan rumit yang membelenggunya. Kala akan bersabar dan menunggu. Setelah memastikan Binar tidur, dia keluar dari kamar. Memastikan semua hal baik-baik saja. Ternyata ibu dan ibu mertuanya masih berada di sana sedang mengobrol. Melihat kemunculannya, Bu Fatma segera menyapanya. “Kamu mau sarapan dulu? Sejak semalam kamu belum makan.” Kala tidak begitu memerhatikan ibunya melainkan melihat karyawan Binar yang tengah sibuk membungkus barang-barang yang akan dikirim. Saat dia berangkat ke Surabaya saat itu, masih ruangan tamu yang digunakan bekerja. Sekarang sudah merambah ke ruang keluarga. Kala tentu saja tidak nyaman melihat itu. Belum lagi suara-suara lakban untuk paket-paket yang besar. Dia jadi khawatir dengan putrinya yang akan terganggu. “Kal!” Panggilan itu menyadarkan Kala dari pikir
Binar merasakan rambutnya dialiri oleh air dingin yang menyegarkan. Tangan kiri Kala mengusap rambut Binar dengan lembut seolah takut dia akan menyakiti istrinya. Setelah rambutnya basah sepenuhnya, Kala memberinya shampoo lalu kembali menggosoknya yang kali ini lebih keras sehingga busa dari shampoo itu keluar. Aroma wangi itu segera menguar keluar. Kala melakukan itu tanpa kata. Tidak ada yang bicara di antara mereka. Binar benar-benar tidak tahu apa yang akan dikatakan ketika Kala melakukan ini. “Bi, ada hal penting yang ingin aku bicarakan sama kamu. Aku membutuhkan pendapatmu.” Kala akhirnya memecah keheningan di antara gemericik air.“Tentang apa?” tanya Binar penasaran. “Aku nggak bermaksud apa-apa, tapi aku pikir kita perlu pindah dari sini.” Akhirnya Kala menyuarakan pikirannya. “Bisnis kamu sudah cukup berkembang dan orang-orang packing pun sampai di ruang keluarga. Semakin banyak pesanan, pasti akan membutuhkan tempat yang lebih besar. Kalau kita tinggal di tempat baru,
Tautan bibir Kala dan Binar terlepas ketika mendengar suara tersebut. Keduanya menatap ke arah sumber suara dan mendapati Bu Yuni berada di ambang pintu. Perempuan itu menatap anak dan menantunya itu dengan tatapan kesal. Seharusnya ini bukan kesalahan Binar atau bahkan Kala. Pintu kamar tadinya sudah tertutup dan tak seharusnya perempuan paruh baya itu membukanya tanpa permisi.“Binar baru saja melahirkan. Apa yang kamu lakukan, Kala?” bukannya meminta maaf, Bu Yuni justru menyangka Kala yang tidak-tidak. Dengan mengomel. “Ibu kenapa?” tanya Binar merasa kesal. “Bu, seharusnya kalau Ibu mau masuk ke dalam kamar orang lain, Ibu permisi dulu. Mengetuknya.” “Kalau Ibu mengetuk, nggak akan tahu bagaimana tabiat Kala.” Kala yang mendengar itu segera saja merasa kesal luar biasa. Dia bukannya tidak tahu kalau mertuanya itu sangat tidak menyukainya. Kala berusaha untuk tetap menghormati perempuan itu. Lelaki itu tak menjawab, tapi dia segera turun dari kasur hanya untuk menjauh dari istr
“Selama ibu mertuamu tinggal di sini, ada nggak dia ngomong buruk sama kamu?” tadinya Kala ingin beristirahat di kamar, tapi ternyata ibunya menghalangi Kala di ruang keluarga. “Dia nggak suka sama kamu, kamu harus tahu itu,” lanjut Bu Fatma. Ada sebuah perasaan dongkol yang mengganjal di dalam hatinya. Bagaimanapun Kala adalah putranya. Meskipun dia akan memarahinya, menampar, atau bahkan mendeportasinya, biarlah dia sendiri yang melakukan. Orang lain tidak seharusnya melakukan hal tersebut. Terlebih lagi itu adalah mertuanya. Maka Bu Fatma lebih tidak menyukainya. “Kamu harus berhati-hati dengan perempuan itu, dia itu ingin kamu dan Binar pisah.” “Aku tahu kalau ibu nggak suka sama aku, Ma.” Kala tidak ingin menutupi. Kenyataan tidak bisa disembunyikan. “Tapi mau bagaimana lagi, aku memang melakukan kesalahan besar yang membuat putrinya sedih.” Kala tidak ingin memberitahukan tentang masalah Bu Yuni yang tanpa permisi datang ke kamarnya dan memergokinya tengah ciuman. Dia han
Ucapan ibu Binar itu menarik penuh perhatian dari orang-orang yang ada di sana. Jangan tanyakan bagaimana Ramon menatap tak suka dengan sosok ibu Binar tersebut. Entahlah, semakin ke sini, perempuan itu semakin berbuat ulah. “Ibu ada masalah apa dengan Kala?” tanya Ramon dengan nada dingin. “Ucapan Ibu terlalu sinis dan menyakitkan untuk didengar. Tolong jangan begitu. Ibu juga harus mengingat kalau Ibu bukan ibu yang baik buat Binar sehingga bisa bersikap sinis kepada menantu Ibu sendiri.” Binar berdiri. Lalu dia mengambil Gemi dari pangkuan ibunya karena bayi itu tampak merengek. Dia mencoba untuk menenangkannya dengan menepuk-nepuk bokongnya. Ucapan Ramon itu belum mendapatkan tanggapan dari ibunya yang tampak menatap Ramon sama tidak sukanya. “Saya hanya bertanya. Janga sampai nanti lagi-lagi Binar dibebankan membayar rumah. Lebih baik tinggal di rumah sendiri tanpa memikirkan hutang daripada tinggal di rumah besar yang justru menjadi beban.” “Kalau belum lunas, bukannya belum