“Ada yang ingin aku katakan kepada Mas Kala.” Pagi ini Binar masih terlihat lemah meskipun tidak sepucat semalam. Namun dia ingin berbicarakan hal penting kepada suaminya tersebut. “Aku harap Mas bisa mendengarkanku sampai selesai,” lanjutnya. “Kamu udah lebih baik?” Tidak bisa dipungkiri ada firasat buruk yang dirasakan oleh Kala, tapi dia memilih mengalihkan pikiran buruk tersebut dengan menanyakan tentang keadaan istrinya. “Iya, aku udah lebih baik sekarang.” Atensi Binar mengarah lurus pada lelaki yang ada di depannya itu. Wajah tampan Kala terlihat lelah namun meskipun begitu, tatapannya masih terlihat tajam. Ingatan Binar melayang di malam tabrakan yang mempertemukan dirinya dengan Kala untuk pertama kalinya. Lelaki itu juga menatapnya dengan cara yang sama. Tajam dan dingin. Atau ketika mereka memiliki urusan dengan mobil, Kala juga selalu menunjukkan permusuhannya kepadanya. Pintu ruangan itu terbuka dan memunculkan orang tua Kala. Mereka menunjukkan wajah seriusnya se
Kala tidak bisa tidur sekeras apa pun dia mencoba dan menutup mata. Pikirannya tidak berada di dalam kepalanya melainkan melayang di tempat Binar berada. Apa yang sekarang sedang Binar lakukan, apakah dia baik-baik saja, atau benar yang dikatakan oleh Arga jika ini adalah cara Binar untuk melepaskannya? “Sialan.” Kala bangun dari tempat tidurnya lalu keluar dari kamar sambil menyambar rokok yang ada di atas nakas. Berjalan ke arah balkon, lalu segera menghisap nikotin itu dengan cepat. Hatinya benar-benar kacau sampai dia tak bisa berpikir dengan jernih. Dia mencoba untuk membaca berkas yang diberikan oleh Arga kepadanya tadi, tapi dia bahkan tidak bisa memahami apa pun dengan benar. Sekeras apa pun dia mencoba berkonsentrasi, maka itu percuma. Menatap ponselnya, membuka kontak Binar, mencoba untuk menghubungi, nyatanya nomornya diblokir. Perempuan itu benar-benar kejam. Itulah yang dipikir Kala di dalam hati. Mengencangkan niat, lelaki itu akhirnya mencoba untuk menjalani segala
“Ada yang tidak suka dengan keberadaan saya?” Saka mengulangi lagi seolah dia tak paham dengan ucapan itu. Tak perlu penerjemah untuk mengartikan kalimat itu. Saka tentu saja tahu kalau yang tidak suka dengan kedekatan Saka dengan Binar tentulah Kala. “Bu, baik dulu atau sekarang, saya dan Binar hanyalah teman. Seperti halnya Ramon dengan Binar. Begitulah hubungan kami selama ini.” “Tentu nggak sama, Mas Saka. Ramon dan Binar benar-benar hanya sahabat. Ramon melindungi Binar seperti adiknya sendiri. Tidak memiliki perasaan lebih dari itu. Tapi tentu saja itu nggak sama dengan posisi Mas Saka dengan Binar.” “Ma.” Di tengah-tengah pembicaraan itu, Binar tiba-tiba muncul yang membuat obrolan itu terhenti. Tidak tahu persis kapan perempuan itu datang, tapi tidak ada kekhawatiran di wajah ibu Kala karena kedapatan meminta Saka untuk menjauhi Binar. “Berikan saya waktu untuk bicara dengan Saka.” Saka tak bisa mengelak ketika melihat Binar terlihat pucat. Lelaki itu terlihat tidak bisa m
“Kalau dia mencintaimu dulu, kenapa kalian nggak bersama?” Ibu mertua Binar itu ternyata juga penasaran. Tidak bisa dipungkiri, orang yang pertama kali melihat Saka dengan Binar, mereka pasti bisa menilai betapa lelaki itu sangat mencintai Binar. “Saya juga nggak tahu. Memang ini takdirnya. Kami nggak akan pernah bisa bersama.” “Kenapa Mama merasa kamu juga menyimpan cinta buat dia?” Bu Fatma tampak curiga. Karena selama ini mereka selalu menyudutkan Kala dengan yang dilakukan, tapi tidak pernah bertanya kepada Binar tentang perasaan perempuan itu. Binar menggeleng. “Saya tidak pernah berpikir sampai sejauh itu, Ma. Sejak Saka muncul kembali, saya hanya menganggap dia sebagai teman dan rekan kerja. Tapi dia sekarang sakit hati karena perasaannya sendiri.” Ada nada sedih yang Binar keluarkan mengingat Saka. Lelaki itu adalah lelaki yang sangat baik. Dia pasti akan mendapatkan perempuan yang baik juga. Tapi, dari Saka, Binar bisa belajar, jika cinta yang tulus itu susah untuk dilup
Kala menyahut ponsel Arga dari tangan si pemilik dan menatap foto tersebut dengan lekat. Anaknya di dalam kandungan Binar sudah berusia empat bulan. Kini Kala sudah bisa melihat bayi itu dengan jelas seperti layaknya bayi. Janin yang tadinya hanya sebiji apel itu kini sudah memiliki rambut di kepalanya, jari-jari tangan dan kaki. Kala tak bisa mengalihkan tatapannya dari layar ponselnya. Ini adalah pemeriksaan kedua yang dilakukan Binar tanpa Kala. Perpisahan selalu menjadi hal yang menyedihkan. Dia tidak bisa menemani istrinya, tidak bisa berbicara dengan anaknya, dan tidak bisa memenuhi keinginan ngidamnya. Kala terduduk di kursi kerjanya dengan tatapan matanya yang sedih. “Siapa yang kirimkan ini ke lo, Ga?” tanya Kala setelah itu. “Mama.” “Kapan?” “Barusan.”Kala mendongak menatap sosok adiknya yang ada di depannya. Barusan, itu artinya ibunya tengah bersama Binar di ruang dokter ketika dia mengobrol di telepon tadi. Ibunya benar-benar totalitas ketika membalaskan dendamnya
“Mama puas banget lihat wajah-wajah burem mereka.” Ibu Kala itu terkekeh bangga sudah bisa ikut membalas mantan mertua Binar. Wajah orang tua Rasya benar-benar menggelap dan tampak amarah yang ditujukan kepada Binar. Bahkan mereka tidak permisi ketika memutuskan untuk pergi dari sana. “Itulah mereka, Ma. Nggak pernah ngerasa kalau diri mereka itu salah.” Binar mengelus perutnya yang sudah membuncit sambil menatap keluar mobil. Mereka sedang dalam perjalan untuk kembali pulang ke rumah. Sekarang ini, orang tua Kala tinggal di rumah Binar untuk menjaga Binar karena Binar menolak tinggal di rumah orang tua Kala. Hari-hari berikutnya berjalan tanpa ada hal yang berarti. Binar masih dengan pekerjaannya, ke kantor, dan memastikan kandungannya baik-baik saja. Setelah pemeriksaan kandungan dan dinyatakan semua sehat kembali, maka Binar sudah berani kembali bekerja. Tentu saja dengan catatan tidak terlalu lelah. “Mbak Bi.” Anton menyembulkan kepalanya ke dalam ruangan Binar sambil nyengir
Setelah sampai apartemen, Kala benar-benar enggan untuk keluar. Selain dia malu dengan Arga karena sudah kedapatan memimpikan Binar yang tidak-tidak, dia juga enggan untuk beranjak dari ranjang. Terlalu lelah untuk melakukannya. Tapi anehnya, Arga sama sekali tidak merusuh dan tidak mengganggunya sedari tadi. Apakah Arga sudah pulang atau belum Kala pun tidak tahu. Kala menatap langit-langit kamar dengan satu tangan di tumpukan di atas dahinya. Matanya mengedip pelan dan tarikan napasnya terasa berat. Kini Kala tidak bisa menyangkal jika dirinya diliputi oleh rasa rindu kepada Binar. Saat dia kembali dan bertemu dengan Binar, hal pertama yang ingin dia lakukan adalah dengan memeluk istrinya dan tidak akan pernah melepasnya lagi. Kala tidak ingin kehilangan Binar untuk kedua kalinya. “Kamu pasti udah baca surat yang aku kirim, Bi. Tapi kenapa nggak ada balasan yang kamu berikan?” gumaman itu terdengar menyedihkan. “Aku terima aja kok, Bi kalau kamu masih marah. Yang penting kita bis
“Bayinya perempuan. Selamat, Pak, Bu.” Dokter yang membantu persalinan Binar itu mengangkat bayi kecil merah yang tengan menjeritkan tangis. Menunjukkan kepada Kala sebelum membawanya untuk dibersihkan. “Dokter, biarkan saya adzani dulu.” “Tapi, Pak ….” “Nggak papa. Berikan dulu ke saya.” Lantas bayi itu diserahkan kepada Kala setelah dibalut dengan selimut. Ini untuk pertama kalinya, Kala akan menggendong bayi. Tangannya bergetar luar biasa, tapi dia harus melakukan kewajibannya sebagai seorang ayah. Selama enam bulan, dia tidak menemani Binar, tidak berada di sisi istrinya tersebut. Rasa bersalah yang menggunung, membuat Kala merasa perasaannya kacau luar biasa. Dengan tangis yang tidak bisa dicegah, Kala mengumandangkan adzan di telinga kanan putrinya. Tangis putrinya itu semakin kencang seolah tengah memarahi sang ayah yang sudah bersikap brengsek kepada ibunya. “Maafkan Papa, Nak. Papa janji, mulai sekarang nggak akan pergi ke mana-mana lagi dan meninggalkan kalian. Papa a
“Istriku.” Ancala baru saja sampai rumah ketika melihat penampilan Gemi yang sudah cantik. Meskipun hanya mengenakan daster rumahan kebanggaannya, kecantikan perempuan itu selalu terpancar. Dan inilah yang selalu disukai oleh Ancala, Gemi akan selalu menunggu kepulangannya di teras rumah sambil membaca buku. Tidak di rumah Kala, atau bahkan di rumah mereka sendiri, Gemi memiliki perpustakaan sendiri dengan koleksi buku-bukunya. Gemi tersenyum melihat Ancala yang berjalan ke arahnya. Perempuan itu beranjak untuk menerima tas kerja lelaki itu. “Suamiku capek banget kayaknya.” Ancala memeluk Gemi sambil mencium pipi perempuan itu. Bagi Ancala, energinya akan kembali ketika sudah bertemu dengan sang istri setelah seharian bekerja. Rasa lelah itu seolah menguap begitu saja. Pelukan mereka terurai. Masih dengan memeluk pinggang sang istri, Ancala sedikit menjauhkan tubuhnya untuk menatap wajah Gemi yang halus. “Makan apa malam ini?” tanyanya, “lama nggak ke angkringan. Kangen nasi
“Kalian udah datang?” Ancala mendekati istri dan kedua adiknya dengan senyum kecil. Meskipun pagi tadi dia sempat kesal, tetapi setelah Gemi sekarang datang ke kantor, perasaannya menjadi sedikit membaik. Tatapannya mengarah pada ‘tiga tamunya’ yang tidak membawa apa pun. “Jadi belanjanya?” tanyanya. Perempuan yang dimaksud oleh Laksa tadi tidak mengikuti Ancala dan kembali lebih dulu. Gemi tidak bertanya siapa perempuan tersebut karena dia tahu kalau itu adalah sekretaris Ancala. Laksa pun sebenarnya juga tahu, tetapi dia hanya pura-pura untuk mengerjai Gemi. “Bang, aku laper banget, lho.” Laksa mengadu. “Aku laper, Bang.” Ulangnya lagi. “Kalian nggak makan dulu tadi?” Ancala mengernyit aneh menatap satu per satu saudaranya. “Istri Abang ngambek karena diajak desak-desakan. Jadi, nggak memedulikan aku yang kelaparan. Tapi, aku nggak mau makan di kantin ini. Abang tolong pesankan aku makanan yang enak, ya.” Laksa memang benar-benar membuat kakak-kakaknya kesal kalau sudah me
“Gem, bangun!” Ancala menepuk paha sang istri pelan ketika sudah sampai di rumah. Mereka baru saja sampai rumah ketika Gemi tidak sadarkan diri, tidur. Sepanjang jalan, Ancala memegangi tangan Gemi takut-takut kalau istrinya itu terjatuh. Bukannya apa-apa, Gemi tidur sepanjang jalan sedangkan mereka menggunakan motor. Kebanyakan makan kepala ayam membuat Gemi lemas sepertinya. “Bang, aku nggak sanggup jalan. Gendong.” Dengan suara lemas, perempuan itu masih memeluk pinggang Ancala dengan erat takut jatuh. Matanya masih tertutup erat enggan untuk terjaga. Napas panjang Ancala terbuang kasar. Menikahi Gemi adalah impiannya, tetapi kalau sifat manja perempuan keluar, maka habislah dia. “Iya, tapi tunggu dulu deh. Aku turun dulu.” Ancala melepaskan tangan Gemi dari pinggangnya sebelum dia turun dengan pelan dari motor. Baru setelahnya menarik tangan Gemi agar istrinya itu naik ke gendongannya. Diam-diam Ancala tersenyum kecil. Terkadang istrinya itu memang menyebalkan, tetapi juga me
Perdebatan yang terjadi malam itu dianggap bukan apa-apa. Pernikahan antara Gemi dan Ancala bahkan akan segera dilakukan dalam waktu dua hari lagi. Pernikahan mewah itu akan dilakukan di outdoor di pinggir pantai. Tidak banyak yang diundang karena Gemi dan Ancala benar-benar memilih orang-orang terdekat mereka saja yang datang. Kabar pernikahan yang sudah merebak itu membuat banyak orang terkejut. Tidak pernah menyangka kalau Gemi dan Ancala akan menikah. Semua orang tahu jika Abimanyu dan Sambara group adalah saudara. Tentu saja hal itu menjadi perbincangan banyak orang. “Gimana rasanya mau menikah?” Denta datang ke rumah Ancala untuk sekedar menemani sahabatnya itu mengobrol. “Dan menikah dengan perempuan yang lo cintai?” “Setelah semua yang terjadi, tentu saja gue bahagia, Den.” Ancala memainkan kakinya yang ada di kolam renang, menimbulkan bunyi kecipak air. “Gue kira akan sulit mendapatkan restu dari para tetua.” Denial mengatakan itu merujuk pada nenek dan kakek Ancala, lela
“Kamu sudah benar-benar yakin akan menikah dengan Gemi, Bang?” Ramon meyakinkan sekali lagi kepada sang putra atas keputusan untuk meminang sang pencuri hati. Para tetua, nenek kakeknya sudah memberikan izin untuk mempersatukan dua keluarga yang seharusnya tetap menjadi keluarga yang sesungguhnya. Namun, mereka memilih untuk memberikan restu dan menyingkirkan segala ego yang ada. Dua anak manusia itu sudah tidak bisa dipisahkan, untuk apa lagi mereka menahannya dan akan berakhir buruk. “Aku udah yakin, Yah. Aku sudah berbicara dengan Gemi dan dia menerima lamaranku.” Senyum lebar tersemat di bibir Ancala dan wajah sumringah itu tidak bisa berbohong jika dia sangat bahagia. “Kalau begitu, Ayah dan Bunda akan berbicara kepada Papa Kala kalau kami akan segera melamar Gemi. Pikirkan juga kamu ingin menikah di mana? Outdoor atau indoor, masalah biaya jangan khawatir, semua biaya Ayah yang urus.” Rasa sayang Ramon yang diberikan kepada Ancala tidak surut sedikitpun sejak dulu. Lelaki it
Setelah obrolan semalam, Gemi bangun tidur dengan perasaan yang terasa ringan. Hubungannya dengan sang ayah sudah membaik dan dia sudah memaafkan apa pun yang pernah sang ayah lakukan. Semua yang dilakukan oleh sang ayah semata untuk melindungi keluarganya. Suasana hati Gemi pun terlihat sangat baik seharian ini. Meskipun Ancala sejak tadi tak kunjung menghubunginya seperti yang sudah dijanjikan semalam, dia masih baik-baik saja. Seperti yang sudah Ancala bilang semalam, lelaki itu akan membicarakan masalah kerjaan dengan sang ayah. “Jadi, kamu mau balik kerja lagi?” Gemi yang baru saja duduk di sofa di samping sang bunda, segera mendapatkan pertanyaan tersebut. “Aku akan pikirkan lagi, Ma.” Sudah kebiasaan berada di rumah selama beberapa bulan, menjadikan Gemi enggan untuk kembali beraktivitas. “Tapi, Ma, Papa ngeluarin aku dari kantor dengan alasan apa, ya?” Benar, Binar pun tampaknya belum tahu tentang masalah tersebut karena dia tak pernah bertanya dengan Kala. “Mama juga
Binar dan Kala mendengar dengan jelas ucapan putri mereka meskipun kata-kata yang diucapkan terbata-bata. Mereka mendengarkan di balik dinding hanya untuk mengetahui reaksi Gemi ketika bertemu dengan Ancala. Nyatanya, Gemi mengatakan sesuatu yang membuat orang tuanya menahan kesedihannya. “Jangan bicara yang tidak-tidak. Sekarang fokuslah pada kesembuhanmu dulu. Papa bilang, kamu masih perlu bertemu dengan psikiater. Kapan jadwalnya? Aku temani ya?” “Aku nggak butuh psikiater lagi, Bang. Obatku udah ada di sini.” Kala mendesah pasrah mendengar jawaban Ancala atas ucapan sang putri. Sudah pasti perasaan Kala sekarang dipenuhi oleh rasa penyesalan yang amat besar. Di ruang tamu, Gemi dan Ancala melepaskan pelukan mereka. Ancala mengusap air mata Gemi yang mengalir menganak sungai di wajahnya. “Aku nggak akan ke mana-mana lagi, Gemi. Aku udah pulang sekarang. Jadi, kamu nggak perlu takut aku pergi lagi.” “Memangnya, Abang dari mana kemarin?” Ancala menyodorkan minuman yang disiapka
Kala pasti tidak pernah menyangka jika Ramon akan menurunkan egonya untuk meminta putranya pulang. Dia tahu betul bagaimana Ramon menolak permintaannya saat itu. Namun, sekarang tiba-tiba Ancala sudah ada di rumahnya dan menanyakan kabar Gemi. Hal itu tentu saja membuat Kala sedikit bingung. Apa pun itu, Kala tentulah merasa senang dengan kedatangan Ancala ke rumahnya. “Keadaan Gemi sudah lebih baik. Dia sekarang sedang istirahat.” Tepat setelah itu, Binar datang dan segera duduk di samping Ancala. Perempuan paruh baya itu mengelus punggung Ancala tanpa berbicara. Kelegaan terpancar dari matanya. “Kamu dari mana saja, Bang?” tanyanya setelah itu, “Mama cariin kamu.” “Aku jalan-jalan, Ma,” jawab Ancala dengan lembut, “Mama baik-baik aja ‘kan?” “Mama baik. Anca, kamu masih mau nemuin Gemi ‘kan? Setelah waktu itu, dia murung dan tidak ingin berurusan dengan siapa pun.” “Tentu saja aku mau, Ma. Gemi adalah adikku. Kalau memang perlu, aku akan menemaninya sampai dia sembuh.” “Apa mak
“Aku harus pulang, Den. Sorry, ya.” Gemi memilih menghindar daripada harus menjawab ucapan Denta. Gadis itu berdiri, lalu buru-buru pergi meninggalkan Denta yang tampak kebingungan. “Gem!” Denta berteriak memanggil gadis itu, tetapi seolah tuli, Gemi tetap berjalan dan sesekali berlari untuk menghindari sahabat Ancala tersebut. Setelah memasuki komplek perumahannya, barulah dia berjalan dengan tenang. Gemi berpikir, kalau Denta saja tidak tahu keberadaan Ancala, itu artinya, kepergian lelaki itu dirahasiakan. Sepertinya, masalah ini benar-benar serius. Gemi berhenti di pinggir jalan, terpaku di tempatnya, lalu berpikir sejenak. Apa dia harus menghubungi Ancala? Apa lelaki itu akan menerima panggilannya kalau dia melakukannya? Kebingungan itu melanda dirinya. Gara-gara kedatangan Denta, menjadikannya berpikir lebih keras tentang Ancala. Gadis berdaster coklat itu kembali melangkah untuk kembali ke rumah. Meskipun dia banyak memikirkan banyak hal, tapi beruntung kini halusinasinya ti