“Kalau dia mencintaimu dulu, kenapa kalian nggak bersama?” Ibu mertua Binar itu ternyata juga penasaran. Tidak bisa dipungkiri, orang yang pertama kali melihat Saka dengan Binar, mereka pasti bisa menilai betapa lelaki itu sangat mencintai Binar. “Saya juga nggak tahu. Memang ini takdirnya. Kami nggak akan pernah bisa bersama.” “Kenapa Mama merasa kamu juga menyimpan cinta buat dia?” Bu Fatma tampak curiga. Karena selama ini mereka selalu menyudutkan Kala dengan yang dilakukan, tapi tidak pernah bertanya kepada Binar tentang perasaan perempuan itu. Binar menggeleng. “Saya tidak pernah berpikir sampai sejauh itu, Ma. Sejak Saka muncul kembali, saya hanya menganggap dia sebagai teman dan rekan kerja. Tapi dia sekarang sakit hati karena perasaannya sendiri.” Ada nada sedih yang Binar keluarkan mengingat Saka. Lelaki itu adalah lelaki yang sangat baik. Dia pasti akan mendapatkan perempuan yang baik juga. Tapi, dari Saka, Binar bisa belajar, jika cinta yang tulus itu susah untuk dilup
Kala menyahut ponsel Arga dari tangan si pemilik dan menatap foto tersebut dengan lekat. Anaknya di dalam kandungan Binar sudah berusia empat bulan. Kini Kala sudah bisa melihat bayi itu dengan jelas seperti layaknya bayi. Janin yang tadinya hanya sebiji apel itu kini sudah memiliki rambut di kepalanya, jari-jari tangan dan kaki. Kala tak bisa mengalihkan tatapannya dari layar ponselnya. Ini adalah pemeriksaan kedua yang dilakukan Binar tanpa Kala. Perpisahan selalu menjadi hal yang menyedihkan. Dia tidak bisa menemani istrinya, tidak bisa berbicara dengan anaknya, dan tidak bisa memenuhi keinginan ngidamnya. Kala terduduk di kursi kerjanya dengan tatapan matanya yang sedih. “Siapa yang kirimkan ini ke lo, Ga?” tanya Kala setelah itu. “Mama.” “Kapan?” “Barusan.”Kala mendongak menatap sosok adiknya yang ada di depannya. Barusan, itu artinya ibunya tengah bersama Binar di ruang dokter ketika dia mengobrol di telepon tadi. Ibunya benar-benar totalitas ketika membalaskan dendamnya
“Mama puas banget lihat wajah-wajah burem mereka.” Ibu Kala itu terkekeh bangga sudah bisa ikut membalas mantan mertua Binar. Wajah orang tua Rasya benar-benar menggelap dan tampak amarah yang ditujukan kepada Binar. Bahkan mereka tidak permisi ketika memutuskan untuk pergi dari sana. “Itulah mereka, Ma. Nggak pernah ngerasa kalau diri mereka itu salah.” Binar mengelus perutnya yang sudah membuncit sambil menatap keluar mobil. Mereka sedang dalam perjalan untuk kembali pulang ke rumah. Sekarang ini, orang tua Kala tinggal di rumah Binar untuk menjaga Binar karena Binar menolak tinggal di rumah orang tua Kala. Hari-hari berikutnya berjalan tanpa ada hal yang berarti. Binar masih dengan pekerjaannya, ke kantor, dan memastikan kandungannya baik-baik saja. Setelah pemeriksaan kandungan dan dinyatakan semua sehat kembali, maka Binar sudah berani kembali bekerja. Tentu saja dengan catatan tidak terlalu lelah. “Mbak Bi.” Anton menyembulkan kepalanya ke dalam ruangan Binar sambil nyengir
Setelah sampai apartemen, Kala benar-benar enggan untuk keluar. Selain dia malu dengan Arga karena sudah kedapatan memimpikan Binar yang tidak-tidak, dia juga enggan untuk beranjak dari ranjang. Terlalu lelah untuk melakukannya. Tapi anehnya, Arga sama sekali tidak merusuh dan tidak mengganggunya sedari tadi. Apakah Arga sudah pulang atau belum Kala pun tidak tahu. Kala menatap langit-langit kamar dengan satu tangan di tumpukan di atas dahinya. Matanya mengedip pelan dan tarikan napasnya terasa berat. Kini Kala tidak bisa menyangkal jika dirinya diliputi oleh rasa rindu kepada Binar. Saat dia kembali dan bertemu dengan Binar, hal pertama yang ingin dia lakukan adalah dengan memeluk istrinya dan tidak akan pernah melepasnya lagi. Kala tidak ingin kehilangan Binar untuk kedua kalinya. “Kamu pasti udah baca surat yang aku kirim, Bi. Tapi kenapa nggak ada balasan yang kamu berikan?” gumaman itu terdengar menyedihkan. “Aku terima aja kok, Bi kalau kamu masih marah. Yang penting kita bis
“Bayinya perempuan. Selamat, Pak, Bu.” Dokter yang membantu persalinan Binar itu mengangkat bayi kecil merah yang tengan menjeritkan tangis. Menunjukkan kepada Kala sebelum membawanya untuk dibersihkan. “Dokter, biarkan saya adzani dulu.” “Tapi, Pak ….” “Nggak papa. Berikan dulu ke saya.” Lantas bayi itu diserahkan kepada Kala setelah dibalut dengan selimut. Ini untuk pertama kalinya, Kala akan menggendong bayi. Tangannya bergetar luar biasa, tapi dia harus melakukan kewajibannya sebagai seorang ayah. Selama enam bulan, dia tidak menemani Binar, tidak berada di sisi istrinya tersebut. Rasa bersalah yang menggunung, membuat Kala merasa perasaannya kacau luar biasa. Dengan tangis yang tidak bisa dicegah, Kala mengumandangkan adzan di telinga kanan putrinya. Tangis putrinya itu semakin kencang seolah tengah memarahi sang ayah yang sudah bersikap brengsek kepada ibunya. “Maafkan Papa, Nak. Papa janji, mulai sekarang nggak akan pergi ke mana-mana lagi dan meninggalkan kalian. Papa a
Kala duduk dengan tangan saling bertaut. Dia seperti merasakan dejavu. Dia dulu juga pernah mengalami ini. Duduk di kursi samping ranjang rumah sakit dengan Binar di atasnya. Hanya saja bedanya adalah sekarang dia tengah bahagia karena ada satu anggota keluarganya yang lahir di dunia. Itu adalah putrinya, darah dagingnya. Sedangkan dulu, dia menunggu Binar yang tengah sakit karena dirinya. “Binar.” Akhirnya Kala memecah keheningan. Ditatapnya Binar yang tengah memberi asi putrinya. Mereka diberikan waktu berdua untuk berbicara. Setidaknya meskipun tidak menuntaskan masalah, mereka bisa membahas tentang nama putri mereka. “Aku minta maaf.” Kala harus mengucapkan kalimat itu sebelum dia melangkah untuk mendekati Binar. “Aku minta maaf atas semua kesalahan yang pernah aku lakukan ke kamu. Semuanya. Aku sadar mungkin semua salahku tidak akan bisa ditebus dalam waktu singkat. Tapi, berikan aku kesempatan untuk memperbaiki kesalahanku. Aku akan berusaha menjadi suami yang bertanggung jaw
Meskipun Kala sudah bercerita panjang lebar tentang hubungannya dengan Widi, Binar belum bisa mempercayai lelaki itu sepenuhnya. Sikap Kala yang plin-plan kepadanya beberapa bulan mereka menikah membuat Binar selalu berhati-hati. Seperti ada ketakutan tersendiri yang masih mengendap di hati Binar. “Bi, kamu yakin kamu akan menerima Kala lagi? Yakin bisa benar-benar bahagia bersama dengannya?” Itu suara ibu Binar yang bertanya. Di ruangan Binar hanya ada mereka berdua setelah Kala dan orang tuanya pamit pergi sebentar. “Orang yang suka berselingkuh, biasanya akan tetap melakukan hal yang sama di kemudian hari.” Ibu Binar pernah merasakan, oleh karena itu bisa mengatakan hal seperti itu. Padahal, ayah Binar tidak lagi kedapatan selingkuh setelah menikahi selingkuhannya. Yang sekarang menjadi ibu tiri Binar. “Aku akan melihat nanti bagaimana dia berubah.” Meskipun Binar merasakan keraguan di dalam hatinya, tapi dia tak ingin menunjukkan kepada ibunya atau orang lain. Dia tak ingin Kal
“Kalau kamu mencintai Binar, kamu nggak akan selingkuh darinya.” Ibu Binar tidak mau kalah. “Lihatlah apa yang kamu lakukan kepada Binar selama kalian menikah. Kamu meninggalkannya, lalu kamu pun nggak tahu kalau dia sakit dan harus rawat inap.” “Bu!” Binar tidak ingin ada orang lain yang ikut campur masalah rumah tangganya. Termasuk orang tuanya sendiri. Binar menganut paham, jika dia sudah berkeluarga, maka orang tua tetaplah orang luar. “Rumah tanggaku, biarkan aku yang urus. Ibu nggak perlu ikut campur. Aku tahu mana yang baik dan mana yang buruk untuk aku.” “Saya minta maaf.” Kala kembali bersuara. Lelaki itu mendekat dan berdiri di depan ranjang Binar. “Itu adalah sebuah kesalahan besar yang saya lakukan. Seandainya saya bisa mengulang waktu, saya pasti tidak akan pernah melakukan sesuatu yang akan membuat saya menyesal.” Bu Yuni tersenyum sinis. Menunjukkan rasa tidak senangnya kepada menantunya tersebut. Masih tampak ketidakrelaan jika Kala kembali dengan Binar. “Kamu tahu,