“Mas, please!” Binar melepaskan kedua tangan Kala di lengannya. “Dia itu teman aku. Kenapa aku harus jauhin dia?” Binar memutuskan masuk ke dalam rumah dan meninggalkan Kala di belakang. Kala mengikuti istrinya dengan amarah membumbung tinggi. “Kamu sedang membalas aku kan, Bi dengan dekat-dekat dengan Saka?” “Kenapa aku harus membalas Mas? Apa aku sekurang kerjaan itu?” “Lalu apa namanya kalau kamu nggak sedang membalas aku, Bi? Aku sudah bilang kalau aku nggak suka kamu dekat dengan Saka. Tapi nyatanya kamu sama sekali nggak peduli dan bahkan sekarang kamu pulang bareng sama dia!” Nada suara Kala terdengar meninggi di akhir kalimatnya. Binar berhenti di tengah ruangan ketika Kala terdengar emosi dan suasana memanas. Dia lantas membalikkan tubuhnya dan menatap Kala yang sudah memasang wajah kelamnya. “Mas, aku capek. Aku seharian ini banyak banget pekerjaan dan perlu istirahat. Nggak bisa ya marahnya nanti pas aku sudah lebih baik?” Binar bertanya dengan lembut. Menekan semakin
“Aku punya bukti yang akurat.” Widi melanjutkan. “Aku bisa memberikannya kepada Mas bukti itu tapi dengan syarat. Ayo kita kembali lagi. Aku masih mencintai Mas.” Kala tampak mengeratkan rahangnya mendengarkan ucapan Widi. Yang menjadi fokusnya bukan ajakan Widi untuk kembali, tapi tentang bukti yang dia katakan. Bukti seperti apa yang dimiliki oleh perempuan itu? Itu yang membuat Kala penasaran. Untungnya, Kala memiliki sedikit kewarasan dengan tidak menyanggupi syarat yang diminta oleh Widi. “Saat aku ingin kamu sembuh dari sakit, aku nggak pernah meminta imbalan atas apa yang aku lakukan. Kenapa sekarang kamu harus memberi syarat atas hal seperti ini?” Widi sempat terpaku dengan ucapan Kala. Dia pasti merasakan kalau lelaki itu sudah berubah. Drastis. Jika itu Kala yang dulu, lelaki itu pasti akan menerima syarat tersebut karena dia merasa masih mencintai Widi. Tapi sekarang perasaan itu seakan sudah pergi tanpa sisa. Kala menyadari itu sekarang setelah kembali bertemu dengan Wi
Iring-iringan mobil yang keluar dari halaman rumah Binar itu melaju kencang di jalanan. Kala tidak bisa diam di dalam mobil yang tengah dikendarai oleh Arga. Pikirannya kalut terasa ingin meledak. Ada banyak pertanyaan yang muncul dan berharap ada kejelasan tentang ‘kenapa’ dan ‘ada apa’ dengan Binar. Namun sekali lagi, dia harus menekan rasa penasaran itu di dalam hatinya yang paling dalam. Menunggu sampai ada yang bersedia menjelaskan kepada dirinya apa yang terjadi. Dan itu membutuhkan waktu yang cukup lama karena dia harus menunggu Binar mendapatkan penanganan dari dokter. “Tolong mulai sekarang lebih diperhatikan suasana hati ibu Binar. Dia tak boleh banyak pikiran dan menjadi stress. Itu akan membahayakan untuk kandungannya.” Dokter menjelaskan ketika sudah berada di depan ruangan UGD. “Terlebih lagi kandungannya masih cukup muda.” “Kami mengerti, Dokter.” Ibu Kala yang menjawab. “Tapi kandungannya baik-baik saja ‘kan, Dokter? Tidak ada yang bahaya?” “Bisa menjadi bahaya jik
Binar tahu jika Kala tengah disidang. Dia sudah bangun beberapa waktu lalu dan mendengarkan setengah dari obrolan orang-orang itu di sofa ruang inapnya. Binar tadinya bingung ketika dia membuka mata tapi dia berada di tempat asing. Binar masih ingat betul dia tadinya berada di dalam kamar mandi. Di malam pertengkarannya dengan Kala karena dia pulang bersama dengan Saka, Binar demam tinggi. Dia pikir itu hanya demam biasa, tapi nyatanya dia tak sadar dan mengakibatkan sekarang berada di rumah sakit. “Kenapa Papa selalu mengatakan hal-hal buruk seperti itu kepadaku? Perceraian, kehilangan istri, Papa senang kalau rumah tanggaku berantakan?” Suara Kala kembali terdengar dan membuat Binar harus menajamkan pendengarannya. Mata perempuan itu kembali tertutup karena sesekali kepalanya terasa begitu berat dan menyakitkan. “Itu semua karena ulahmu sendiri.” Bu Fatma menjawab dengan nada sinis. “Seandainya kamu tidak main api dengan mantan istrimu itu, papamu nggak akan mengatakan hal sep
Setelah ucapan yang Kala lontarkan kepada mertuanya, perdebatan berhenti seketika. Baik ayah Binar maupun ibunya, mereka sama-sama terdiam. Kala dan orang tua Binar sama-sama memiliki celah untuk melawan, membuat mereka tak ingin mengalah satu sama lain. Atmosfer menjadi tak nyaman. Orang tua Binar terlihat mengeratkan rahangnya karena Kala sudah berani melontarkan kata-kata yang menyentil hatinya. “Biarkan Binar yang membuat keputusan dalam masalah ini. Apa yang dia inginkan dan apa yang dia harapakan.” Ramon bersuara memecah keheningan. Mereka merebutkan Binar yang notabennya adalah perempuan keras kepala. “Sekarang biarkan Binar sembuh dan pulih terlebih dulu. Dan lo, Kal, tolong jangan merusuh lagi.” “Merusuh? Seolah-olah gue ini pelaku criminal aja.” “Memangnya bukan?” Ramon lama-lama ingin sekali mencekik sepupunya itu. Sudah salah, tapi dia seolah tidak tahu kesalahan yang dibuat. “Jangan pancing gue mengeluarkan kata-kata yang nggak seharusnya.” “Terserah!” Setelah mengat
“Ada yang ingin aku katakan kepada Mas Kala.” Pagi ini Binar masih terlihat lemah meskipun tidak sepucat semalam. Namun dia ingin berbicarakan hal penting kepada suaminya tersebut. “Aku harap Mas bisa mendengarkanku sampai selesai,” lanjutnya. “Kamu udah lebih baik?” Tidak bisa dipungkiri ada firasat buruk yang dirasakan oleh Kala, tapi dia memilih mengalihkan pikiran buruk tersebut dengan menanyakan tentang keadaan istrinya. “Iya, aku udah lebih baik sekarang.” Atensi Binar mengarah lurus pada lelaki yang ada di depannya itu. Wajah tampan Kala terlihat lelah namun meskipun begitu, tatapannya masih terlihat tajam. Ingatan Binar melayang di malam tabrakan yang mempertemukan dirinya dengan Kala untuk pertama kalinya. Lelaki itu juga menatapnya dengan cara yang sama. Tajam dan dingin. Atau ketika mereka memiliki urusan dengan mobil, Kala juga selalu menunjukkan permusuhannya kepadanya. Pintu ruangan itu terbuka dan memunculkan orang tua Kala. Mereka menunjukkan wajah seriusnya se
Kala tidak bisa tidur sekeras apa pun dia mencoba dan menutup mata. Pikirannya tidak berada di dalam kepalanya melainkan melayang di tempat Binar berada. Apa yang sekarang sedang Binar lakukan, apakah dia baik-baik saja, atau benar yang dikatakan oleh Arga jika ini adalah cara Binar untuk melepaskannya? “Sialan.” Kala bangun dari tempat tidurnya lalu keluar dari kamar sambil menyambar rokok yang ada di atas nakas. Berjalan ke arah balkon, lalu segera menghisap nikotin itu dengan cepat. Hatinya benar-benar kacau sampai dia tak bisa berpikir dengan jernih. Dia mencoba untuk membaca berkas yang diberikan oleh Arga kepadanya tadi, tapi dia bahkan tidak bisa memahami apa pun dengan benar. Sekeras apa pun dia mencoba berkonsentrasi, maka itu percuma. Menatap ponselnya, membuka kontak Binar, mencoba untuk menghubungi, nyatanya nomornya diblokir. Perempuan itu benar-benar kejam. Itulah yang dipikir Kala di dalam hati. Mengencangkan niat, lelaki itu akhirnya mencoba untuk menjalani segala
“Ada yang tidak suka dengan keberadaan saya?” Saka mengulangi lagi seolah dia tak paham dengan ucapan itu. Tak perlu penerjemah untuk mengartikan kalimat itu. Saka tentu saja tahu kalau yang tidak suka dengan kedekatan Saka dengan Binar tentulah Kala. “Bu, baik dulu atau sekarang, saya dan Binar hanyalah teman. Seperti halnya Ramon dengan Binar. Begitulah hubungan kami selama ini.” “Tentu nggak sama, Mas Saka. Ramon dan Binar benar-benar hanya sahabat. Ramon melindungi Binar seperti adiknya sendiri. Tidak memiliki perasaan lebih dari itu. Tapi tentu saja itu nggak sama dengan posisi Mas Saka dengan Binar.” “Ma.” Di tengah-tengah pembicaraan itu, Binar tiba-tiba muncul yang membuat obrolan itu terhenti. Tidak tahu persis kapan perempuan itu datang, tapi tidak ada kekhawatiran di wajah ibu Kala karena kedapatan meminta Saka untuk menjauhi Binar. “Berikan saya waktu untuk bicara dengan Saka.” Saka tak bisa mengelak ketika melihat Binar terlihat pucat. Lelaki itu terlihat tidak bisa m
“Istriku.” Ancala baru saja sampai rumah ketika melihat penampilan Gemi yang sudah cantik. Meskipun hanya mengenakan daster rumahan kebanggaannya, kecantikan perempuan itu selalu terpancar. Dan inilah yang selalu disukai oleh Ancala, Gemi akan selalu menunggu kepulangannya di teras rumah sambil membaca buku. Tidak di rumah Kala, atau bahkan di rumah mereka sendiri, Gemi memiliki perpustakaan sendiri dengan koleksi buku-bukunya. Gemi tersenyum melihat Ancala yang berjalan ke arahnya. Perempuan itu beranjak untuk menerima tas kerja lelaki itu. “Suamiku capek banget kayaknya.” Ancala memeluk Gemi sambil mencium pipi perempuan itu. Bagi Ancala, energinya akan kembali ketika sudah bertemu dengan sang istri setelah seharian bekerja. Rasa lelah itu seolah menguap begitu saja. Pelukan mereka terurai. Masih dengan memeluk pinggang sang istri, Ancala sedikit menjauhkan tubuhnya untuk menatap wajah Gemi yang halus. “Makan apa malam ini?” tanyanya, “lama nggak ke angkringan. Kangen nasi
“Kalian udah datang?” Ancala mendekati istri dan kedua adiknya dengan senyum kecil. Meskipun pagi tadi dia sempat kesal, tetapi setelah Gemi sekarang datang ke kantor, perasaannya menjadi sedikit membaik. Tatapannya mengarah pada ‘tiga tamunya’ yang tidak membawa apa pun. “Jadi belanjanya?” tanyanya. Perempuan yang dimaksud oleh Laksa tadi tidak mengikuti Ancala dan kembali lebih dulu. Gemi tidak bertanya siapa perempuan tersebut karena dia tahu kalau itu adalah sekretaris Ancala. Laksa pun sebenarnya juga tahu, tetapi dia hanya pura-pura untuk mengerjai Gemi. “Bang, aku laper banget, lho.” Laksa mengadu. “Aku laper, Bang.” Ulangnya lagi. “Kalian nggak makan dulu tadi?” Ancala mengernyit aneh menatap satu per satu saudaranya. “Istri Abang ngambek karena diajak desak-desakan. Jadi, nggak memedulikan aku yang kelaparan. Tapi, aku nggak mau makan di kantin ini. Abang tolong pesankan aku makanan yang enak, ya.” Laksa memang benar-benar membuat kakak-kakaknya kesal kalau sudah me
“Gem, bangun!” Ancala menepuk paha sang istri pelan ketika sudah sampai di rumah. Mereka baru saja sampai rumah ketika Gemi tidak sadarkan diri, tidur. Sepanjang jalan, Ancala memegangi tangan Gemi takut-takut kalau istrinya itu terjatuh. Bukannya apa-apa, Gemi tidur sepanjang jalan sedangkan mereka menggunakan motor. Kebanyakan makan kepala ayam membuat Gemi lemas sepertinya. “Bang, aku nggak sanggup jalan. Gendong.” Dengan suara lemas, perempuan itu masih memeluk pinggang Ancala dengan erat takut jatuh. Matanya masih tertutup erat enggan untuk terjaga. Napas panjang Ancala terbuang kasar. Menikahi Gemi adalah impiannya, tetapi kalau sifat manja perempuan keluar, maka habislah dia. “Iya, tapi tunggu dulu deh. Aku turun dulu.” Ancala melepaskan tangan Gemi dari pinggangnya sebelum dia turun dengan pelan dari motor. Baru setelahnya menarik tangan Gemi agar istrinya itu naik ke gendongannya. Diam-diam Ancala tersenyum kecil. Terkadang istrinya itu memang menyebalkan, tetapi juga me
Perdebatan yang terjadi malam itu dianggap bukan apa-apa. Pernikahan antara Gemi dan Ancala bahkan akan segera dilakukan dalam waktu dua hari lagi. Pernikahan mewah itu akan dilakukan di outdoor di pinggir pantai. Tidak banyak yang diundang karena Gemi dan Ancala benar-benar memilih orang-orang terdekat mereka saja yang datang. Kabar pernikahan yang sudah merebak itu membuat banyak orang terkejut. Tidak pernah menyangka kalau Gemi dan Ancala akan menikah. Semua orang tahu jika Abimanyu dan Sambara group adalah saudara. Tentu saja hal itu menjadi perbincangan banyak orang. “Gimana rasanya mau menikah?” Denta datang ke rumah Ancala untuk sekedar menemani sahabatnya itu mengobrol. “Dan menikah dengan perempuan yang lo cintai?” “Setelah semua yang terjadi, tentu saja gue bahagia, Den.” Ancala memainkan kakinya yang ada di kolam renang, menimbulkan bunyi kecipak air. “Gue kira akan sulit mendapatkan restu dari para tetua.” Denial mengatakan itu merujuk pada nenek dan kakek Ancala, lela
“Kamu sudah benar-benar yakin akan menikah dengan Gemi, Bang?” Ramon meyakinkan sekali lagi kepada sang putra atas keputusan untuk meminang sang pencuri hati. Para tetua, nenek kakeknya sudah memberikan izin untuk mempersatukan dua keluarga yang seharusnya tetap menjadi keluarga yang sesungguhnya. Namun, mereka memilih untuk memberikan restu dan menyingkirkan segala ego yang ada. Dua anak manusia itu sudah tidak bisa dipisahkan, untuk apa lagi mereka menahannya dan akan berakhir buruk. “Aku udah yakin, Yah. Aku sudah berbicara dengan Gemi dan dia menerima lamaranku.” Senyum lebar tersemat di bibir Ancala dan wajah sumringah itu tidak bisa berbohong jika dia sangat bahagia. “Kalau begitu, Ayah dan Bunda akan berbicara kepada Papa Kala kalau kami akan segera melamar Gemi. Pikirkan juga kamu ingin menikah di mana? Outdoor atau indoor, masalah biaya jangan khawatir, semua biaya Ayah yang urus.” Rasa sayang Ramon yang diberikan kepada Ancala tidak surut sedikitpun sejak dulu. Lelaki it
Setelah obrolan semalam, Gemi bangun tidur dengan perasaan yang terasa ringan. Hubungannya dengan sang ayah sudah membaik dan dia sudah memaafkan apa pun yang pernah sang ayah lakukan. Semua yang dilakukan oleh sang ayah semata untuk melindungi keluarganya. Suasana hati Gemi pun terlihat sangat baik seharian ini. Meskipun Ancala sejak tadi tak kunjung menghubunginya seperti yang sudah dijanjikan semalam, dia masih baik-baik saja. Seperti yang sudah Ancala bilang semalam, lelaki itu akan membicarakan masalah kerjaan dengan sang ayah. “Jadi, kamu mau balik kerja lagi?” Gemi yang baru saja duduk di sofa di samping sang bunda, segera mendapatkan pertanyaan tersebut. “Aku akan pikirkan lagi, Ma.” Sudah kebiasaan berada di rumah selama beberapa bulan, menjadikan Gemi enggan untuk kembali beraktivitas. “Tapi, Ma, Papa ngeluarin aku dari kantor dengan alasan apa, ya?” Benar, Binar pun tampaknya belum tahu tentang masalah tersebut karena dia tak pernah bertanya dengan Kala. “Mama juga
Binar dan Kala mendengar dengan jelas ucapan putri mereka meskipun kata-kata yang diucapkan terbata-bata. Mereka mendengarkan di balik dinding hanya untuk mengetahui reaksi Gemi ketika bertemu dengan Ancala. Nyatanya, Gemi mengatakan sesuatu yang membuat orang tuanya menahan kesedihannya. “Jangan bicara yang tidak-tidak. Sekarang fokuslah pada kesembuhanmu dulu. Papa bilang, kamu masih perlu bertemu dengan psikiater. Kapan jadwalnya? Aku temani ya?” “Aku nggak butuh psikiater lagi, Bang. Obatku udah ada di sini.” Kala mendesah pasrah mendengar jawaban Ancala atas ucapan sang putri. Sudah pasti perasaan Kala sekarang dipenuhi oleh rasa penyesalan yang amat besar. Di ruang tamu, Gemi dan Ancala melepaskan pelukan mereka. Ancala mengusap air mata Gemi yang mengalir menganak sungai di wajahnya. “Aku nggak akan ke mana-mana lagi, Gemi. Aku udah pulang sekarang. Jadi, kamu nggak perlu takut aku pergi lagi.” “Memangnya, Abang dari mana kemarin?” Ancala menyodorkan minuman yang disiapka
Kala pasti tidak pernah menyangka jika Ramon akan menurunkan egonya untuk meminta putranya pulang. Dia tahu betul bagaimana Ramon menolak permintaannya saat itu. Namun, sekarang tiba-tiba Ancala sudah ada di rumahnya dan menanyakan kabar Gemi. Hal itu tentu saja membuat Kala sedikit bingung. Apa pun itu, Kala tentulah merasa senang dengan kedatangan Ancala ke rumahnya. “Keadaan Gemi sudah lebih baik. Dia sekarang sedang istirahat.” Tepat setelah itu, Binar datang dan segera duduk di samping Ancala. Perempuan paruh baya itu mengelus punggung Ancala tanpa berbicara. Kelegaan terpancar dari matanya. “Kamu dari mana saja, Bang?” tanyanya setelah itu, “Mama cariin kamu.” “Aku jalan-jalan, Ma,” jawab Ancala dengan lembut, “Mama baik-baik aja ‘kan?” “Mama baik. Anca, kamu masih mau nemuin Gemi ‘kan? Setelah waktu itu, dia murung dan tidak ingin berurusan dengan siapa pun.” “Tentu saja aku mau, Ma. Gemi adalah adikku. Kalau memang perlu, aku akan menemaninya sampai dia sembuh.” “Apa mak
“Aku harus pulang, Den. Sorry, ya.” Gemi memilih menghindar daripada harus menjawab ucapan Denta. Gadis itu berdiri, lalu buru-buru pergi meninggalkan Denta yang tampak kebingungan. “Gem!” Denta berteriak memanggil gadis itu, tetapi seolah tuli, Gemi tetap berjalan dan sesekali berlari untuk menghindari sahabat Ancala tersebut. Setelah memasuki komplek perumahannya, barulah dia berjalan dengan tenang. Gemi berpikir, kalau Denta saja tidak tahu keberadaan Ancala, itu artinya, kepergian lelaki itu dirahasiakan. Sepertinya, masalah ini benar-benar serius. Gemi berhenti di pinggir jalan, terpaku di tempatnya, lalu berpikir sejenak. Apa dia harus menghubungi Ancala? Apa lelaki itu akan menerima panggilannya kalau dia melakukannya? Kebingungan itu melanda dirinya. Gara-gara kedatangan Denta, menjadikannya berpikir lebih keras tentang Ancala. Gadis berdaster coklat itu kembali melangkah untuk kembali ke rumah. Meskipun dia banyak memikirkan banyak hal, tapi beruntung kini halusinasinya ti