“Aku punya bukti yang akurat.” Widi melanjutkan. “Aku bisa memberikannya kepada Mas bukti itu tapi dengan syarat. Ayo kita kembali lagi. Aku masih mencintai Mas.” Kala tampak mengeratkan rahangnya mendengarkan ucapan Widi. Yang menjadi fokusnya bukan ajakan Widi untuk kembali, tapi tentang bukti yang dia katakan. Bukti seperti apa yang dimiliki oleh perempuan itu? Itu yang membuat Kala penasaran. Untungnya, Kala memiliki sedikit kewarasan dengan tidak menyanggupi syarat yang diminta oleh Widi. “Saat aku ingin kamu sembuh dari sakit, aku nggak pernah meminta imbalan atas apa yang aku lakukan. Kenapa sekarang kamu harus memberi syarat atas hal seperti ini?” Widi sempat terpaku dengan ucapan Kala. Dia pasti merasakan kalau lelaki itu sudah berubah. Drastis. Jika itu Kala yang dulu, lelaki itu pasti akan menerima syarat tersebut karena dia merasa masih mencintai Widi. Tapi sekarang perasaan itu seakan sudah pergi tanpa sisa. Kala menyadari itu sekarang setelah kembali bertemu dengan Wi
Iring-iringan mobil yang keluar dari halaman rumah Binar itu melaju kencang di jalanan. Kala tidak bisa diam di dalam mobil yang tengah dikendarai oleh Arga. Pikirannya kalut terasa ingin meledak. Ada banyak pertanyaan yang muncul dan berharap ada kejelasan tentang ‘kenapa’ dan ‘ada apa’ dengan Binar. Namun sekali lagi, dia harus menekan rasa penasaran itu di dalam hatinya yang paling dalam. Menunggu sampai ada yang bersedia menjelaskan kepada dirinya apa yang terjadi. Dan itu membutuhkan waktu yang cukup lama karena dia harus menunggu Binar mendapatkan penanganan dari dokter. “Tolong mulai sekarang lebih diperhatikan suasana hati ibu Binar. Dia tak boleh banyak pikiran dan menjadi stress. Itu akan membahayakan untuk kandungannya.” Dokter menjelaskan ketika sudah berada di depan ruangan UGD. “Terlebih lagi kandungannya masih cukup muda.” “Kami mengerti, Dokter.” Ibu Kala yang menjawab. “Tapi kandungannya baik-baik saja ‘kan, Dokter? Tidak ada yang bahaya?” “Bisa menjadi bahaya jik
Binar tahu jika Kala tengah disidang. Dia sudah bangun beberapa waktu lalu dan mendengarkan setengah dari obrolan orang-orang itu di sofa ruang inapnya. Binar tadinya bingung ketika dia membuka mata tapi dia berada di tempat asing. Binar masih ingat betul dia tadinya berada di dalam kamar mandi. Di malam pertengkarannya dengan Kala karena dia pulang bersama dengan Saka, Binar demam tinggi. Dia pikir itu hanya demam biasa, tapi nyatanya dia tak sadar dan mengakibatkan sekarang berada di rumah sakit. “Kenapa Papa selalu mengatakan hal-hal buruk seperti itu kepadaku? Perceraian, kehilangan istri, Papa senang kalau rumah tanggaku berantakan?” Suara Kala kembali terdengar dan membuat Binar harus menajamkan pendengarannya. Mata perempuan itu kembali tertutup karena sesekali kepalanya terasa begitu berat dan menyakitkan. “Itu semua karena ulahmu sendiri.” Bu Fatma menjawab dengan nada sinis. “Seandainya kamu tidak main api dengan mantan istrimu itu, papamu nggak akan mengatakan hal sep
Setelah ucapan yang Kala lontarkan kepada mertuanya, perdebatan berhenti seketika. Baik ayah Binar maupun ibunya, mereka sama-sama terdiam. Kala dan orang tua Binar sama-sama memiliki celah untuk melawan, membuat mereka tak ingin mengalah satu sama lain. Atmosfer menjadi tak nyaman. Orang tua Binar terlihat mengeratkan rahangnya karena Kala sudah berani melontarkan kata-kata yang menyentil hatinya. “Biarkan Binar yang membuat keputusan dalam masalah ini. Apa yang dia inginkan dan apa yang dia harapakan.” Ramon bersuara memecah keheningan. Mereka merebutkan Binar yang notabennya adalah perempuan keras kepala. “Sekarang biarkan Binar sembuh dan pulih terlebih dulu. Dan lo, Kal, tolong jangan merusuh lagi.” “Merusuh? Seolah-olah gue ini pelaku criminal aja.” “Memangnya bukan?” Ramon lama-lama ingin sekali mencekik sepupunya itu. Sudah salah, tapi dia seolah tidak tahu kesalahan yang dibuat. “Jangan pancing gue mengeluarkan kata-kata yang nggak seharusnya.” “Terserah!” Setelah mengat
“Ada yang ingin aku katakan kepada Mas Kala.” Pagi ini Binar masih terlihat lemah meskipun tidak sepucat semalam. Namun dia ingin berbicarakan hal penting kepada suaminya tersebut. “Aku harap Mas bisa mendengarkanku sampai selesai,” lanjutnya. “Kamu udah lebih baik?” Tidak bisa dipungkiri ada firasat buruk yang dirasakan oleh Kala, tapi dia memilih mengalihkan pikiran buruk tersebut dengan menanyakan tentang keadaan istrinya. “Iya, aku udah lebih baik sekarang.” Atensi Binar mengarah lurus pada lelaki yang ada di depannya itu. Wajah tampan Kala terlihat lelah namun meskipun begitu, tatapannya masih terlihat tajam. Ingatan Binar melayang di malam tabrakan yang mempertemukan dirinya dengan Kala untuk pertama kalinya. Lelaki itu juga menatapnya dengan cara yang sama. Tajam dan dingin. Atau ketika mereka memiliki urusan dengan mobil, Kala juga selalu menunjukkan permusuhannya kepadanya. Pintu ruangan itu terbuka dan memunculkan orang tua Kala. Mereka menunjukkan wajah seriusnya se
Kala tidak bisa tidur sekeras apa pun dia mencoba dan menutup mata. Pikirannya tidak berada di dalam kepalanya melainkan melayang di tempat Binar berada. Apa yang sekarang sedang Binar lakukan, apakah dia baik-baik saja, atau benar yang dikatakan oleh Arga jika ini adalah cara Binar untuk melepaskannya? “Sialan.” Kala bangun dari tempat tidurnya lalu keluar dari kamar sambil menyambar rokok yang ada di atas nakas. Berjalan ke arah balkon, lalu segera menghisap nikotin itu dengan cepat. Hatinya benar-benar kacau sampai dia tak bisa berpikir dengan jernih. Dia mencoba untuk membaca berkas yang diberikan oleh Arga kepadanya tadi, tapi dia bahkan tidak bisa memahami apa pun dengan benar. Sekeras apa pun dia mencoba berkonsentrasi, maka itu percuma. Menatap ponselnya, membuka kontak Binar, mencoba untuk menghubungi, nyatanya nomornya diblokir. Perempuan itu benar-benar kejam. Itulah yang dipikir Kala di dalam hati. Mengencangkan niat, lelaki itu akhirnya mencoba untuk menjalani segala
“Ada yang tidak suka dengan keberadaan saya?” Saka mengulangi lagi seolah dia tak paham dengan ucapan itu. Tak perlu penerjemah untuk mengartikan kalimat itu. Saka tentu saja tahu kalau yang tidak suka dengan kedekatan Saka dengan Binar tentulah Kala. “Bu, baik dulu atau sekarang, saya dan Binar hanyalah teman. Seperti halnya Ramon dengan Binar. Begitulah hubungan kami selama ini.” “Tentu nggak sama, Mas Saka. Ramon dan Binar benar-benar hanya sahabat. Ramon melindungi Binar seperti adiknya sendiri. Tidak memiliki perasaan lebih dari itu. Tapi tentu saja itu nggak sama dengan posisi Mas Saka dengan Binar.” “Ma.” Di tengah-tengah pembicaraan itu, Binar tiba-tiba muncul yang membuat obrolan itu terhenti. Tidak tahu persis kapan perempuan itu datang, tapi tidak ada kekhawatiran di wajah ibu Kala karena kedapatan meminta Saka untuk menjauhi Binar. “Berikan saya waktu untuk bicara dengan Saka.” Saka tak bisa mengelak ketika melihat Binar terlihat pucat. Lelaki itu terlihat tidak bisa m
“Kalau dia mencintaimu dulu, kenapa kalian nggak bersama?” Ibu mertua Binar itu ternyata juga penasaran. Tidak bisa dipungkiri, orang yang pertama kali melihat Saka dengan Binar, mereka pasti bisa menilai betapa lelaki itu sangat mencintai Binar. “Saya juga nggak tahu. Memang ini takdirnya. Kami nggak akan pernah bisa bersama.” “Kenapa Mama merasa kamu juga menyimpan cinta buat dia?” Bu Fatma tampak curiga. Karena selama ini mereka selalu menyudutkan Kala dengan yang dilakukan, tapi tidak pernah bertanya kepada Binar tentang perasaan perempuan itu. Binar menggeleng. “Saya tidak pernah berpikir sampai sejauh itu, Ma. Sejak Saka muncul kembali, saya hanya menganggap dia sebagai teman dan rekan kerja. Tapi dia sekarang sakit hati karena perasaannya sendiri.” Ada nada sedih yang Binar keluarkan mengingat Saka. Lelaki itu adalah lelaki yang sangat baik. Dia pasti akan mendapatkan perempuan yang baik juga. Tapi, dari Saka, Binar bisa belajar, jika cinta yang tulus itu susah untuk dilup