"Rom! Kabar buruk, hosh … hosh … berikan aku minum," pinta Stab yang nampak habis berlari sekuat tenaga."Ada apa? Apa rencana kita gagal? Apakah rombongan ketua tertangkap?" buru Romeo tak sabaran.Stab menghabiskan air dalam kantung itu. Nafasnya belum pulih sepenuhnya. "Parah … lebih parah lagi," semburnya menambah kekhawatiran Romeo."Apa yang bisa lebih parah dari tertangkap?" cebik Romeo."Kabur! Ketua dan rombongannya tidak membuat kerusuhan seperti rencana awal. Dia melanjutkan perjalanan dan meninggalkan desa menuju perbatasan!" pekik Stab. "Kita ditinggalkan di hutan ini, aku yakin dia menggunakan kita untuk mengalihkan perhatian.""Apa kau yakin?" lirih Romeo."Aku melihat sendiri! Seperti biasa aku memilih posisi paling aman, jadi aku memilih rombongan ke dua setelah rombongan ketua melumpuhkan penjaga," urai Stab. "Ternyata hanya lima orang yang bersedia menjadi rombongan pertama untuk membuka jalan.""Hm … hanya lima orang? Tanpa kehadiran ogre itu sama saja misi mengant
"Bandit?" Mata Jenderal Cedric menunjukkan gairah yang lama terpendam."Tunggu sebentar! Aku ikut, sudah lama aku mendengar insiden di Desa Mapple. Urusan warga kota biarlah diatur oleh Sir Milan dan Hector, sebentar lagi juru arsip yang terluka itu pulih dan bisa membantu mereka," seloroh Jendral yang sedang bosan itu."Sir Milan berpesan agar anda tetap di markas," tutur Jaden dengan nada segan. "Duke Robert hendak bertemu secara pribadi. Ada hal penting yang hendak disampaikan beliau," tegasnya."Aish … kirim utusan pada Duke Robert, katakan aku akan mengunjunginya segera. Menjaga keamanan wilayah itu lebih penting," sergah Jenderal Cedric."Ini bukan masalah besar Jenderal," cegah Jaden, yang lebih takut dengan amarah Sir Milan. "Kami hanya membantu regu yang bertugas, untuk menutup jalan keluar dari Desa Mapple, agar seluruh bandit dapat tertangkap. Regu yang dipimpin Sir Aiden sangat yakin bisa mengatasi bandit-bandit itu," bebernya."Hm … Sir Aiden sampai turun tangan sendiri y
"Dugh! Bangun! Kemana perginya kawanmu itu?" Seorang pria menendang Stab dan menginterogasi orang yang baru saja tak sadarkan diri.Sekelompok tawanan yang tadinya merasa gagah, menjadi sedikit ciut nyalinya. Tanpa seorangpun yang menyadari, Romeo telah berhasil meloloskan diri. Hilang lenyap bersama tali yang mengikat dirinya."Apa kalian lalai menggeledah bandit itu? Jangan-jangan dia menyembunyikan pisau di badannya" gerutu pria yang mengangkat dirinya sendiri sebagai pemimpin perlawanan itu. Stab terbangun akibat rasa sakit dari tendangan keras di rusuknya. Wajah-wajah asing yang tak pernah diingatnya sama sekali, sedang mengerumuninya. Stab adalah penjahat sejati berdarah dingin, dia tidak pernah mengingat wajah para korban yang terlihat sama di matanya.Wajah seperti domba, yang biasanya memohon untuk kehidupannya itu nampak berbeda kali ini. Ada sorot amarah dan harapan di wajah yang tidak lagi merana itu. Harapan untuk memutus sebuah mata rantai kekejaman dan kejahatan."Gel
Sore itu Cedric duduk termenung di samping rak persenjataan latihan. Cedric "Perisai Utara", jendral gagah perkasa yang telah banyak memenangkan pertempuran. Sore itu sang jendral tidak bisa memenangkan pertempuran yang ada didalam kepalanya.Banyak permasalahan yang dipikirkannya saat ini. Sebagai jendral yang bertanggung jawab atas keamanan perbatasan, bentengnya harus siap untuk menghalau kaum Barbar dari utara. Selain kaum Barbar ancaman juga datang dari pasukan kerajaan lain yang kerap berpatroli di daerah perbatasan.Pasokan ransum untuk seluruh pasukan hanya tersisa untuk tiga bulan kedepan. Persenjataan yang kurang dan sudah mulai usang. Perwira setingkat knight yang diminta tak kunjung datang, dan yang paling membebani pikirannya ialah tentang pos penjagaan. Tak ada lagi dana yang tersisa untuk pemeliharaan dan penambahan "outer post". Pos penjagaan yang dipasang diluar jangkauan benteng, garda terdepan dalam mengawasi pergerakan musuh ditempat yang paling jauh dan berbahaya.
"Bisakah dia melaksanakan tugas itu, maukah dia memangkas semak belukar berduri dalam tamanku," batin sang raja yang sedang menerawang ke angkasa, seakan ada jawaban yang dicarinya diatas sana. Jawaban untuk mengatasi sebuah permasalahan yang sedang dihadapinya."Solandia ... ah ... Pemberani lahir di Solandia," berkali-kali sang raja menggumamkan kata-kata itu. "Solandia ... ah ... andaikan tak ada pemberani yang lahir disana."*"Jaden dari Solandia! Siap menerima pelatihan hari ini Jendral!" ucap seorang prajurit dengan penuh rasa percaya diri."Hm ... datang juga kau akhirnya." Cedric mengakhiri peregangan dan mulai melemaskan seluruh otot-ototnya. Perlahan mulai dianalisanya seluruh bagian tubuh Jaden dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Kau menggunakan dua pedang? Kukira orang Solandia hanya menggunakan claymore?""Jaman ini terus berkembang Jendral, kebanggaan masa lalu tidak akan memberi kita kejayaan dimasa kini. Solandia telah melebur claymore mereka agar kerajaan Gerland b
"Solandia tak pernah menangis. Walaupun ribuan prajurit mengoyak. Dia tetap kokoh berdiri. Menunggu anak yang diharap," Pendongeng menyelesaikan sajaknya, dan mulai melanjutkan kisahnya. Dia berekspresi sedih. "Anak-anak yang terserak, tercerabut dari akar, tak punya lagi tempat bernaung. Meninggalkan ibunya dalam kesendirian.""Ibu yang menunggu dalam sunyi itu kini telah bangkit. Ia memanggil setiap anaknya yang terlahir dari keberanian, setiap anak yang ditempa dengan air mata, dan setiap anak yang pernah menjanjikan genggaman tangannya!" pekik pendongeng."Pemberani lahir dari Solandia ... pemberani menggenggam claymore!" pungkas pendongeng itu.Prok ... prok ... prok ... ramai para pendengar memberikan tepuk tangan pada pendongeng keliling yang baru saja menyelesaikan ceritanya. Jaden tersenyum sekilas, menghabiskan minumannya, dan berjalan mendekati gadis kecil yang sedang mengedarkan kotak untuk mengumpulkan uang. Dipanggilnya si gadis, ditatapnya wajahnya, sambil tersenyum l
"Raja perang telah tiba!" teriak pendongeng.Dia melanjutkan dengan ekspresi takut. "Raja kejam itu seperti bukan manusia. Besar, berbulu lebat, dengan tinggi lebih dari dua meter, lengan dan betisnya sangat kokoh, seperti batang pohon oak."Wajah pendongeng itu menunjukkan rasa muak. "Prajuritnya harus menyediakan seekor rusa atau beruang utuh, untuk makan malamnya.""Raja kejam ini ingin melahap Solandia!" jerit si pendongeng menyayat hati.Si pendongeng berhenti sejenak untuk memberi efek hening pada pendengar yang terlihat mulai terhanyut suasana. Diarahkannya seluruh pandangan ke pendengar yang ada. Di meja paling ujung di bar itu, dia melihat sosok yang dinantikanya. Pendongeng itu tersenyum samar ketika melihat sosok itu. Jaden duduk termenung, tak dihiraukannya suara si pendongeng yang seru menceritakan kisah kepahlawanan Solandia. Jovan sahabat karibnya tampak menghayati kisah tersebut. Air matanya menetes, ketika si pendongeng menceritakan kesengsaraan yang dialami Solan
"Bagaimana dengan kadonya?" tanya seseorang yang berkerudung di pojokan sebuah pemakaman. Malam yang dingin dan sunyi itu seakan melindungi pertemuan rahasia mereka. "Tepat pada waktunya, sebelum pembawa pesan kerajaan tiba, aku telah menitipkan pada orang terpercaya, karena segel itu terpaksa kubuka," jawab seorang utusan. "Membuka segel kerajaan itu pengkhianatan". "Ya … tapi sebanding dengan hasilnya," ujar orang berkerudung itu. "Dan hasilnya? Apakah sesuai dugaan kakek?" Utusan itu mengangguk tegas. "Dugaan kakek benar. Inilah hasilnya," Dia mengeluarkan sebuah kantong kecil, mengintip isinya dan menyerahkannya pada kawannya. "Simpan baik-baik, jangan sampai ketauan siapapun," tegasnya."Aman … malam ini juga aku akan bertamu ke rumah kakek. Aku juga tak mau menyimpan barang ini," ujar orang berkerudung itu. "Baik … segeralah berangkat, aku masih ingin menyandarkan punggungku sebentar," desah urusan itu. *Jovan menyandarkan punggungnya ke dinding pagar. Bayangan tentang kam