Sore itu Cedric duduk termenung di samping rak persenjataan latihan. Cedric "Perisai Utara", jendral gagah perkasa yang telah banyak memenangkan pertempuran. Sore itu sang jendral tidak bisa memenangkan pertempuran yang ada didalam kepalanya.
Banyak permasalahan yang dipikirkannya saat ini. Sebagai jendral yang bertanggung jawab atas keamanan perbatasan, bentengnya harus siap untuk menghalau kaum Barbar dari utara. Selain kaum Barbar ancaman juga datang dari pasukan kerajaan lain yang kerap berpatroli di daerah perbatasan.Pasokan ransum untuk seluruh pasukan hanya tersisa untuk tiga bulan kedepan. Persenjataan yang kurang dan sudah mulai usang. Perwira setingkat knight yang diminta tak kunjung datang, dan yang paling membebani pikirannya ialah tentang pos penjagaan. Tak ada lagi dana yang tersisa untuk pemeliharaan dan penambahan "outer post". Pos penjagaan yang dipasang diluar jangkauan benteng, garda terdepan dalam mengawasi pergerakan musuh ditempat yang paling jauh dan berbahaya.Trang ... trang ... trang ... suara pedang yang beradu tidak menggoyahkan keheningan sang jendral yang muram."Lemah itu hina!" teriak seorang prajurit yang diiringi sorakan kawan-kawannya. Rupanya teriakan itulah yang bisa menggoyahkan sang jendral."Hei ... siapa yang berani bicara seperti itu, sudah terdengar seperti anak buah si raja perang!" Cedric mendengus kesal ketika mendengar teriakan prajuritnya."He ... he ... he ... maafkan kami Jendral. Kami terbawa suasana." Seorang prajurit datang dan memberi salam dengan hormat."Lho kau kan wakil komandan unit pedang batalion dua," jawab sang jendral sambil mengangkat tangannya tanda menerima salam."Iya Jendral saya dari batalion kedua. Hari ini saya mendapat kemenangan ke seratus dalam duel pedang," ujar prajurit itu."Hm ... itu bukan berarti kau harus bercanda dengan semboyan si raja perang jahanam itu, kau sangat paham bukan, betapa bencinya aku dengan semboyan itu," cetus Cedric."Maafkan saya Jendral, saya takkan mengulanginya lagi," kata wakil komandan yang hanya bisa tertunduk malu dan merasa gelisah.Cedric tersenyum. "Baiklah, jangan kau ulangi lagi. Sekarang berikan aku tanda bukti kemenanganmu."Dengan tersenyum bangga si wakil komandan menyerahkan pedang kayu yang terdapat seratus goresan. Tanda bahwa dia telah memenangkan seratus duel. Cedric menerima pedang tersebut dan mulai menghitung tanda goresannya."Pas seratus. Kapan kau ingin menerima bimbingan khusus dariku?" Cedric mengembalikan pedang tersebut, dan mulai memilih pedang kayu untuk latihan. Sebagai jendral yang banyak terjun langsung di peperangan, Cedric sangat dekat dengan bawahannya. Dia memiliki aturan khusus bagi setiap bawahannya, siapapun yang telah memenangkan seratus duel terkonfirmasi, berhak untuk mendapat bimbingan khusus dari sang jendral."Jaden dari Solandia! Beri hamba waktu dua hari untuk mempersiapkan diri," jawab wakil komandan itu dengan percaya diri."Hm ... Solandia ... pemberani lahir di Solandia! Bagus ... bagus ... aku berikan kau waktu dua hari untuk persiapan!" sahut Cedric. Sang jendral yang muram kembali bersemangat ketika mendengar kata Solandia.Langit yang mulai gelap semakin menenggelamkan benak dan pikiran Cedric. Tanpa sadar dia mulai mengambil pedang untuk latihan dan mulai berlatih dengan memukul "dummies" yang berada di lapangan latihan. Dia mencurahkan setiap tenaga pada setiap pukulan, dengan harapan pukulannya akan mampu memecahkan salah satu permasalahannya.Seorang prajurit datang dan memberi hormat. "Lapor Jendral! Ada utusan dari pusat kerajaan. Beliau berada di aula pertemuan dan hendak segera bertemu dengan Jendral.""Yah ... tiba juga yang akhirnya ditunggu-tunggu," Cedric berkata pelan. Ia berjalan menuju rak tempat penyimpanan pedang. Baru berjalan beberapa langkah, mendadak datanglah utusan pembawa pesan dari kerajaan."Cedric dari Carthania, Perisai Utara terimalah titah dari sang raja!" lantang suara sang pembawa pesan. Ia menunjukkan gulungan titah dan lambang kerajaan yang berupa medali emas berukir dua ekor singa dan sebuah gauntlet yang memegang rantai.Cedric segera berlutut, mengangkat kedua tangannya keatas seakan menyambut sesuatu. "Cedric dari Carthania putra Canute dari Carthania menerima titah raja."Setelah menerima gulungan tersebut, sebagai bagian dari formalitas kerajaan, Cedric menunjukkan lambang penugasannya, membuka segel dan segera membacanya. Tampak jelas perubahan raut wajah dari sang penguasa benteng.Untuk menahan gejolak emosi dalam dadanya, Cedric menarik nafas panjang. "Cedric dari Carthania menerima titah sang raja, semoga sang raja panjang umur!""Kejayaan bagi Gerland!" sahut sang pembawa pesan. "Apakah Anda akan langsung menjawab titah ini ataukah akan mengirim pengirim pesan?" sang pembawa pesan bertanya dengan nada menyudutkan, menyiratkan kehendak akan jawaban segera dari Cedric.Cedric tak sanggup untuk berkata-kata. Terguncang setelah membaca isi titah yang tidak sesuai dengan harapan. Isi hati dan isi kepalanya sangat bertolak belakang. Isi hatinya berteriak. "Segala kemuliaan untuk raja, sang raja pemilik segala sesuatu yang ada di kerajaan ... bila raja meminta, berikan tanpa pikir panjang!""Omong kosong!" jawab suara dalam kepalanya. "Raja tak kompeten itu tak layak untuk menerima pengabdianmu! Bahkan, dia ingin mengoyak wilayahnya sendiri! Tolak titahnya ... usir utusan itu!"Larut dalam dilema, Cedric masih belum menemukan jawaban yang memuaskan untuk semuanya. Cukup lama keheningan menguasai keadaan hingga, tap ... tap ... tap ... tiba-tiba terdengar langkah kaki tergesa-gesa mendekat."Kejayaan bagi Gerland! Panjang umur sang raja!" pekik Count Armand, walikota Carthania. Sambil terengah-engah sang pemilik suara yang rupanya telah berlari sepanjang jalan berusaha memperbaiki penampilan pakaiannya."Salam bagi pembawa pesan kerajaan, bila anda berkenan mohon masuk dan beristirahat terlebih dahulu di kediaman saya. Jawaban titah raja dapat kita bicarakan sambil makan malam setelah beristirahat," kata Count Armand berusaha membujuk. "Lagipula hari sudah menjelang malam."Count Armand mendengar bahwa pembawa pesan kerajaan tiba. Ia segera berlari dari kantornya ke markas tentara. Demi kawan seperjuangan yang bersama-sama menjaga Carthania, ia paksakan tubuh tambunnya yang sebetulnya tak sanggup untuk berlari. Ia merasa tak boleh membiarkan Cedric sendirian ketika bertemu utusan itu. Dia mendapat firasat buruk akhir-akhir ini.Sang jendral memilih untuk menghindari pertemanan dengan birokrat ibukota. Mengandalkan ujung pedangnya untuk hidup, dan tidak pernah mengandalkan ujung lidahnya. Sang jendral pemberani ini buta politik. Garang di medan perang, garing di adu gagasan apalagi adu kata-kata beracun yang berbungkus kesopanan. Salah ucap didepan utusan kerajaan, bisa panjang dan berantai masalah yang ditimbulkannya.Walikota sadar bahwa situasi ibukota kerajaan sedang tidak baik-baik saja. Tensi politik di lingkar kekuasaan kerajaan sedang memanas. Fraksi perdana mentri sedang memperkuat pengaruhnya dalam ruang lingkup pemerintahan.Perdana mentri yang seharusnya mengatur dan mengurus urusan dalam negeri dan tidak terlibat dalam urusan militer, tiba-tiba memiliki pengaruh yang cukup besar dalam kekuatan militer. Beberapa jendral terang-terangan mengaku mendukung Ruther "The Grandfather" Cossack, perdana mentri yang berkuasa saat ini."Armand putra Agnus ... kami tidak ada waktu untuk segala basa-basi dan omong kosong mu, cukup berikan jawaban kalian agar kami bisa segera kembali melanjutkan tugas," tegur utusan itu dengan dingin dan lugas, sambil bersiap mencatat jawaban resmi dari Cedric sang jendral yang bimbang."Bisakah dia melaksanakan tugas itu, maukah dia memangkas semak belukar berduri dalam tamanku," batin sang raja yang sedang menerawang ke angkasa, seakan ada jawaban yang dicarinya diatas sana. Jawaban untuk mengatasi sebuah permasalahan yang sedang dihadapinya."Solandia ... ah ... Pemberani lahir di Solandia," berkali-kali sang raja menggumamkan kata-kata itu. "Solandia ... ah ... andaikan tak ada pemberani yang lahir disana."*"Jaden dari Solandia! Siap menerima pelatihan hari ini Jendral!" ucap seorang prajurit dengan penuh rasa percaya diri."Hm ... datang juga kau akhirnya." Cedric mengakhiri peregangan dan mulai melemaskan seluruh otot-ototnya. Perlahan mulai dianalisanya seluruh bagian tubuh Jaden dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Kau menggunakan dua pedang? Kukira orang Solandia hanya menggunakan claymore?""Jaman ini terus berkembang Jendral, kebanggaan masa lalu tidak akan memberi kita kejayaan dimasa kini. Solandia telah melebur claymore mereka agar kerajaan Gerland b
"Solandia tak pernah menangis. Walaupun ribuan prajurit mengoyak. Dia tetap kokoh berdiri. Menunggu anak yang diharap," Pendongeng menyelesaikan sajaknya, dan mulai melanjutkan kisahnya. Dia berekspresi sedih. "Anak-anak yang terserak, tercerabut dari akar, tak punya lagi tempat bernaung. Meninggalkan ibunya dalam kesendirian.""Ibu yang menunggu dalam sunyi itu kini telah bangkit. Ia memanggil setiap anaknya yang terlahir dari keberanian, setiap anak yang ditempa dengan air mata, dan setiap anak yang pernah menjanjikan genggaman tangannya!" pekik pendongeng."Pemberani lahir dari Solandia ... pemberani menggenggam claymore!" pungkas pendongeng itu.Prok ... prok ... prok ... ramai para pendengar memberikan tepuk tangan pada pendongeng keliling yang baru saja menyelesaikan ceritanya. Jaden tersenyum sekilas, menghabiskan minumannya, dan berjalan mendekati gadis kecil yang sedang mengedarkan kotak untuk mengumpulkan uang. Dipanggilnya si gadis, ditatapnya wajahnya, sambil tersenyum l
"Raja perang telah tiba!" teriak pendongeng.Dia melanjutkan dengan ekspresi takut. "Raja kejam itu seperti bukan manusia. Besar, berbulu lebat, dengan tinggi lebih dari dua meter, lengan dan betisnya sangat kokoh, seperti batang pohon oak."Wajah pendongeng itu menunjukkan rasa muak. "Prajuritnya harus menyediakan seekor rusa atau beruang utuh, untuk makan malamnya.""Raja kejam ini ingin melahap Solandia!" jerit si pendongeng menyayat hati.Si pendongeng berhenti sejenak untuk memberi efek hening pada pendengar yang terlihat mulai terhanyut suasana. Diarahkannya seluruh pandangan ke pendengar yang ada. Di meja paling ujung di bar itu, dia melihat sosok yang dinantikanya. Pendongeng itu tersenyum samar ketika melihat sosok itu. Jaden duduk termenung, tak dihiraukannya suara si pendongeng yang seru menceritakan kisah kepahlawanan Solandia. Jovan sahabat karibnya tampak menghayati kisah tersebut. Air matanya menetes, ketika si pendongeng menceritakan kesengsaraan yang dialami Solan
"Bagaimana dengan kadonya?" tanya seseorang yang berkerudung di pojokan sebuah pemakaman. Malam yang dingin dan sunyi itu seakan melindungi pertemuan rahasia mereka. "Tepat pada waktunya, sebelum pembawa pesan kerajaan tiba, aku telah menitipkan pada orang terpercaya, karena segel itu terpaksa kubuka," jawab seorang utusan. "Membuka segel kerajaan itu pengkhianatan". "Ya … tapi sebanding dengan hasilnya," ujar orang berkerudung itu. "Dan hasilnya? Apakah sesuai dugaan kakek?" Utusan itu mengangguk tegas. "Dugaan kakek benar. Inilah hasilnya," Dia mengeluarkan sebuah kantong kecil, mengintip isinya dan menyerahkannya pada kawannya. "Simpan baik-baik, jangan sampai ketauan siapapun," tegasnya."Aman … malam ini juga aku akan bertamu ke rumah kakek. Aku juga tak mau menyimpan barang ini," ujar orang berkerudung itu. "Baik … segeralah berangkat, aku masih ingin menyandarkan punggungku sebentar," desah urusan itu. *Jovan menyandarkan punggungnya ke dinding pagar. Bayangan tentang kam
"Pedang ini asli," kata tamu itu."Mustahil! Sir Milan adalah saksi mata pada waktu pemakaman mendiang raja," Sir Armand bersikeras tak bisa mempercayai kenyataan itu."Ya. Sesuai wasiat Raja Pantheron August II, beliau menginginkan pedang ini untuk dibawa ke alam kubur," lanjut tamu itu lagi."Perdebatan sengit terjadi diantara kaum bangsawan saat itu, terutama dari kalangan militer melawan bangsawan keluarga kerajaan yang menjunjung tinggi protokol.""Maksudnya?" sela Count Armand."Berdasarkan tradisi pemakaman raja-raja sebelumnya, jenazah raja akan dikuburkan bersama pedang kesayangannya atau pedang yang berharga. Tidak pernah ada raja yg dikuburkan dengan membawa pedang yang rusak," terang orang itu sambil melepas kerudungnya. "Kalangan militer sangat terharu dengan wasiat raja, yang memang sangat dihormati oleh kalangan militer itu. Dari sisi berlawanan, kaum bangsawan sangat menentang hal itu.""Cedric dengan senang hati mempersembahkan pedang tersebut. Sir Milan sendiri yang m
Malam ini bulan bersinar terang, langit cerah dan bintang bertaburan. Malam yang sangat damai, menurut Jaeger. Apalagi dengan berdiam diri didepan sebuah api unggun. Bagi seorang penjelajah sepertinya, api unggun adalah semacam ritual sebelum tidur yang wajib dilakukan. Jaeger selalu terpesona dan seakan terhipnotis oleh kobaran api dan liukan tariannya ketika terhembus angin. "Paman! Masuklah," Seorang pemuda datang dan membuyarkan lamunannya."Mengapa engkau suka membuat api unggun di halaman belakang dan duduk diam sendirian saja? Kalau kedinginan, masuklah dan duduk di depan perapian bersama yang lainnya," saran pemuda itu."Semua orang membicarakanmu Paman,"Pemuda itu mendekat dan duduk disampingnya. Jaeger hanya tersenyum, dan tetap diam sambil terus memandang tarian api di depannya. "Cobalah ini Paman, Marius membawa minuman baru dari kerajaan Gothlandia. Mereka menyebutnya goldenkey," Jaeger menerima botol itu, menenggaknya sampai hampir habis. Sambil tersenyum lebar, dia
"Bersihkan noda darah ini. Selesaikan sebelum para pelayan bangun dan mulai berdatangan," perintah Hector. "Sebelum matahari terbit, aku harus meninggalkan tempat ini, atau orang-orang akan curiga. Aku akan mengurus yang di dalam," Hector menutup pintu dan terdengar suara perabotan bergeser.Durant bergegas ke arah dapur. Setelah mengganti pakaiannya, dia merebus air dan menyiapkan kain untuk mengelap bekas noda darah. Diambilnya sekantong bubuk kopi. Dalam hatinya Durant merasa berat menggunakan bubuk hitam kecoklatan nan harum menyegarkan itu, untuk menutupi bau amis darah. "Benar-benar malam yang berat kali ini," gumamnya.Dalam hati dia merasa curiga dengan stoples tempat penyimpanan kopi dan gula yang berantakan. "Ada tikus di rumah ini. Esok harus dilakukan perburuan," Durant tidak menyadari bahwa itu semua adalah ulah Jovan, yang tak pernah menyeduh kopi atau teh seumur hidupnya. Segera Durant membersihkan meja kerja para juru masak. Mereka sangat sensitif akan kebersihan dan ta
"Cepat! Kita harus segera tiba sebelum waktunya!" seru seorang pria dari dalam kereta."Kita harus mengantarkan uang ini ke pelabuhan secepatnya," kata pria bangsawan itu. "Nasib anakku ada di dalam peti ini.""Earl tenanglah, semuanya akan baik-baik saja," hibur pengawal pribadinya. "Sebentar lagi kita akan sampai. Tak akan kubiarkan ada orang yang berani menyentuh Anda. Kujanjikan hidupku demi keselamatan Anda.""Apalah arti hidupku ini? Aku hidup sudah cukup lama. Sedangkan anakku, aku sungguh bersalah padanya," ratap seorang ayah yang khawatir. "Maaf Earl, ini bukanlah kesalahan Anda. Menurut saya, ini tetaplah kesalahan pengawal tuan muda itu," sanggah sang ahli pedang yang setia itu. "Pengawal tidak hanya sekedar menjaga disaat berada disamping tuannya, pengawal sejati itu juga melindungi masa depan tuannya.""Informasi yang saya dapatkan, Slover dengan licik mengajak tuan muda ke berbagai pertemuan hura-hura, dengan kalangan pemuda bangsawan lainnya, menyimpangkan arah tuan mu