Malam ini bulan bersinar terang, langit cerah dan bintang bertaburan. Malam yang sangat damai, menurut Jaeger. Apalagi dengan berdiam diri didepan sebuah api unggun. Bagi seorang penjelajah sepertinya, api unggun adalah semacam ritual sebelum tidur yang wajib dilakukan. Jaeger selalu terpesona dan seakan terhipnotis oleh kobaran api dan liukan tariannya ketika terhembus angin.
"Paman! Masuklah," Seorang pemuda datang dan membuyarkan lamunannya."Mengapa engkau suka membuat api unggun di halaman belakang dan duduk diam sendirian saja? Kalau kedinginan, masuklah dan duduk di depan perapian bersama yang lainnya," saran pemuda itu."Semua orang membicarakanmu Paman,"Pemuda itu mendekat dan duduk disampingnya.Jaeger hanya tersenyum, dan tetap diam sambil terus memandang tarian api di depannya."Cobalah ini Paman, Marius membawa minuman baru dari kerajaan Gothlandia. Mereka menyebutnya goldenkey," Jaeger menerima botol itu, menenggaknya sampai hampir habis. Sambil tersenyum lebar, dia mengusap janggutnya.Sisa minuman itu dituangkan ke api. Seketika api membesar dan hampir menyambar janggutnya. "Nyalakan api perjuangan!" Tanpa sadar dia bergumam."Awas Paman … janggut kesayanganmu terbakar nanti," seru si pemuda dengan khawatir."Grahahaha ... aku bukan suku barbar utara, yang merupakan kaum penggemar janggut!" Dielusnya janggut yang menjadi identitasnya selama beberapa tahun ini. "Aku terpaksa memanjangkan dan merawat janggut ini, hanya untuk sebuah misi khusus, permintaan spesial dari ayahmu."Jaeger tersenyum dan kembali mencoba untuk terhanyut dalam pesona kobaran api unggun. Perlahan dia menambahkan kayu untuk mempertahankan kehidupan api itu. Sesekali dia mendekatkan kedua telapak tangannya ke depan api, lain waktu dia bermain dengan botol kosong bekas minuman tadi. Jaeger benar-benar melupakan kehadiran pemuda yang baru saja memberinya minuman itu."Oh ... Paman … sebenarnya artefak apa yang pernah kau berikan pada ayah?" Pemuda itu menyodok kayu yang terbakar, terbitlah percikan api yang sedikit meramaikan sepinya malam.Pemuda itu mendekatkan tangannya ke arah api unggun, sekedar meminjam kehangatan yang dipancarkan, tanpa perlu mengembalikan. "Ayah pernah memintaku untuk menyimpan sebuah artefak secara rahasia. Sampai detik ini, aku tak pernah melihatnya. Ayah bilang itu pemberian darimu Paman," Rasa hangat dari api unggun yang berpijar menjalar hingga wajah pemuda itu, memperlihatkan wajah penuh kejujuran dan ketulusan yang penuh kehangatan."Kemarin, ayah pergi tergesa-gesa dengan membawa artefaknya," kata pemuda itu."Klontang!" botol ditangan Jaeger langsung terjatuh. Seketika rasa kantuknya hilang, tempatnya digantikan secara paksa dengan rasa tidak nyaman, yang dibawa oleh si firasat buruk. Jaeger tidak bodoh, dia tau pasti apa konsekuensi dari tindakan ayah pemuda itu. Dia memahami maksud dan tujuannya, tapi dia tak bisa menerimanya."Di mana titik pertemuannya?" Perubahan sikap dan nadanya nampak sangat jelas. Ada rasa khawatir dan gelisah dalam helaan nafasnya."Hutan Windemoor," jawab pemuda itu singkat.Jaeger terdiam sejenak. Jari telunjuk yang penuh pengalaman itu mulai menggores-gores tanah, hingga mendapatkan sebuah gambaran. Gambaran yang hanya dimengerti olehnya. Setelah merasa yakin dengan arah dan tujuannya. Sebuah kepalan tangan yang penuh perjuangan mengusap-usap gambaran itu, hingga terserap sempurna dalam kepalannya."Kumpulkan orang yang tersedia dan siapkan kereta kuda tercepat," perintahnya. "Kutunggu di halaman depan, kecuali kau anak muda," Jaeger berdiri, mematikan api unggun yang dibuatnya dan meninggalkan tempat itu."Tapi paman ... aku harus ikut. Kau tidak mengenal perantara kita di titik pertemuan," bantah pemuda itu."Aku tak perlu perantara. Kami akan langsung menuju ke tempat dimana Fenix berada," Jaeger memegang pundak pemuda itu dengan kedua tangannya. Sekelebat bayangan tentang anaknya sendiri muncul di benaknya. Dengan pandangan bersahabat, pria kekar itu menatap kedua mata pemuda itu. "Felix, bisnis harus terus berjalan. Demi ayahmu kau tetaplah disini, dan bekerja untuk mengawasi orang-orang."Tanpa basa-basi Jaeger pergi untuk membuat persiapan bagi dirinya sendiri. Dia menuju kamar tidurnya, membuka sebuah peti besar, dan mulai mengeluarkan peralatan perangnya. Sebuah pedang besar dan gada diletakkan diatas selimut tebal dan dibungkusnya dengan rapi. Dia mengeluarkan sebuah baju besi yang terbuat dari jalinan rantai, memakainya dan melapisinya dengan jubah. Belati dipasang di sepatu dan pinggangnya. Sebuah perisai besar dengan lambang cakar beruang diusapnya dengan lembut, dan dipasangnya di punggung. "Aku siap sekarang!"Jaeger memeriksa perbekalan dan kereta kuda sambil menunggu kawanannya. Tak lama kemudian, lima orang muncul dan mulai menyimpan barang bawaan mereka kedalam kereta."Di mana kita bisa mengganti kuda-kuda ini nanti?" Ditepuknya punggung kuda itu untuk memeriksa kondisinya."Bila menuju hutan Windemoor, kita harus mengganti kuda-kuda ini di Desa Lembah Pinus. Aku akan mengirim pesan pada orang kita di sana untuk menyiapkan kuda segar untuk kita pakai nanti," jawab seseorang yang akan menjadi kusir kereta ini."Tunggu, tolong kabarkan untuk menyiapkan tambahan enam ekor kuda. Kita memerlukannya bila kita terpaksa berpencar," tambahnya."Baik, akan kutulis pesannya sekarang. Apa ada lagi yang perlu kita persiapkan pak?" tanya pemuda dengan raut wajah menyenangkan dan murah senyum itu."Panggil Marius dan Felix kemari" sahut Jaeger. "Tunggu ... Marius saja, Felix tidak usah."Pengirim pesan itu segera masuk rumah dan menulis apa yang diperintahkan Jaeger. Dia segera mencari pria gempal pendek dengan satu penutup mata. Dibangunkannya pria bernama Marius itu dari tidurnya, dan dibawanya menemui Jaeger. Ketika berpapasan dengan Felix, tanpa sadar dia menunduk untuk menghindari tatapan mata Felix."Aneh, tak seperti biasanya Speed menghindariku," Felix merasa yakin, bila ada sesuatu yang disembunyikan darinya. Perlahan dia mengikuti kedua orang itu untuk mencari tau apa yang disembunyikan darinya.Samar-samar Felix mendengar suara Jaeger memberi instruksi pada Marius yang mengantuk. Ketika mendekat untuk menguping lebih jelas lagi, Jaeger tiba-tiba berjalan mendekati Marius dan berbisik-bisik di telinganya.Felix jelas melihat perubahan raut wajah Marius. Wajah sangar yang sulit tersenyum itu berubah pucat, dan tampak seperti menahan nafas. Dia hanya termenung ketika Jaeger memberi salam perpisahan sebelum masuk ke dalam kereta."Marius pasti mengetahui semuanya," gumam Felix pelan. Dia meninggalkan tempat persembunyiannya, dan beranjak pelan menuju ruang pertemuan.Felix pemuda yang cerdas, ia mulai memikirkan semuanya. Latar belakang kedua orang itu telah diketahuinya dengan baik, dari cerita ayahnya. Dua orang pelarian yang terkenal berbahaya dari jaman perang penyatuan, bila mereka serius sesuatu yang besar pasti akan terjadi.Felix lelah dan memutuskan untuk mencoba menutup mata. Duduk termenung didepan perapian sedikit menghibur hatinya. Beberapa saat lalu, ruangan ini terasa begitu damai dan sangat bersahabat. Canda dan gurauan dari anak buah ayahnya, membuat suasana menjadi sangat menyenangkan. Dan kini, hanya tersisa dia, Marius dan beberapa pelayan yang tertinggal.*Jaeger sering dianggap beban oleh rekan persaudaraannya. Dia datang dan pergi sesukanya, tidak pernah mengambil tugas rutin seperti anggota lainnya. Dan yang membuat mereka jengkel, dia tidak pernah memanggil Fenix dengan hormat, meskipun yang bersangkutan tidak pernah mempermasalahkannya.Malam ini, semuanya merasa sosok yang bersama mereka ini bukan seperti sosok yang mereka kenal biasanya. Sosok yang mereka kenal selama ini adalah seorang penjelajah dan pemburu yang handal. Seorang penyendiri yang selalu tampak waspada dan memiliki tatapan mata curiga.Jaeger adalah sosok misterius yang tak pernah menyebutkan nama aslinya. Beberapa kali dia menyebutkan nama yang berbeda ketika orang menanyakan namanya. Namun semuanya sepakat, bahwa dia selalu menanggapi bila ada seseorang yang memanggilnya dengan sebutan "paman" ."Paman," Seseorang mencoba untuk membuka pembicaraan.Jaeger hanya terdiam dan melirik sekilas ke arah orang yang memanggilnya. Jaeger hanya merasa senang ketika Felix yang memanggilnya dengan sebutan itu. Ketika orang lain yang memanggilnya dengan sebutan itu, sebenarnya dia ingin menghajar orang itu. Andai mereka tau kebenarannya, tak akan mereka memanggilnya dengan ceroboh."Sebenarnya kita ini akan pergi kemana?" tanya Glover. Seorang pria gempal berumur duapuluh lima tahun dengan ciri khas kepala plontos."Utara" jawab Jaeger datar."Apa kita akan berburu tanduk, Paman?" tanya Archer. Seorang ahli memanah yang berumur hampir limapuluh tahun, bahkan beberapa rekan yakin bahwa umurnya sebenarnya lebih dari limapuluh tahun."Tidak, akhir-akhir ini tanduk sudah berkurang harganya. Mereka bukan ancaman lagi!" Jaeger menjawab dengan nada kesal, karena orang yang lebih tua darinya, memanggilnya dengan sebutan itu."Lalu … apa yang akan kita lakukan di Utara?" tanya Glover lagi."Memastikan kedamaian," kata Jaeger singkat. Jaeger menutup mata, seolah-olah tidak ingin melanjutkan percakapan mereka. Di luar, bulan tetap bersinar dengan terang, langit tetap cerah, dan bintang tetap bertaburan menghiasi langit malam. Malam yang damai ini terus berlanjut bagi sebagian orang. Namun bagi orang-orang yang berada dalam kereta ini, entah mengapa, naluri dan firasat mereka berkata lain."Bulan yang bersinar terang, waktu yang tidak cocok untuk melakukan kejahatan di malam hari," celoteh Glover."Bersihkan noda darah ini. Selesaikan sebelum para pelayan bangun dan mulai berdatangan," perintah Hector. "Sebelum matahari terbit, aku harus meninggalkan tempat ini, atau orang-orang akan curiga. Aku akan mengurus yang di dalam," Hector menutup pintu dan terdengar suara perabotan bergeser.Durant bergegas ke arah dapur. Setelah mengganti pakaiannya, dia merebus air dan menyiapkan kain untuk mengelap bekas noda darah. Diambilnya sekantong bubuk kopi. Dalam hatinya Durant merasa berat menggunakan bubuk hitam kecoklatan nan harum menyegarkan itu, untuk menutupi bau amis darah. "Benar-benar malam yang berat kali ini," gumamnya.Dalam hati dia merasa curiga dengan stoples tempat penyimpanan kopi dan gula yang berantakan. "Ada tikus di rumah ini. Esok harus dilakukan perburuan," Durant tidak menyadari bahwa itu semua adalah ulah Jovan, yang tak pernah menyeduh kopi atau teh seumur hidupnya. Segera Durant membersihkan meja kerja para juru masak. Mereka sangat sensitif akan kebersihan dan ta
"Cepat! Kita harus segera tiba sebelum waktunya!" seru seorang pria dari dalam kereta."Kita harus mengantarkan uang ini ke pelabuhan secepatnya," kata pria bangsawan itu. "Nasib anakku ada di dalam peti ini.""Earl tenanglah, semuanya akan baik-baik saja," hibur pengawal pribadinya. "Sebentar lagi kita akan sampai. Tak akan kubiarkan ada orang yang berani menyentuh Anda. Kujanjikan hidupku demi keselamatan Anda.""Apalah arti hidupku ini? Aku hidup sudah cukup lama. Sedangkan anakku, aku sungguh bersalah padanya," ratap seorang ayah yang khawatir. "Maaf Earl, ini bukanlah kesalahan Anda. Menurut saya, ini tetaplah kesalahan pengawal tuan muda itu," sanggah sang ahli pedang yang setia itu. "Pengawal tidak hanya sekedar menjaga disaat berada disamping tuannya, pengawal sejati itu juga melindungi masa depan tuannya.""Informasi yang saya dapatkan, Slover dengan licik mengajak tuan muda ke berbagai pertemuan hura-hura, dengan kalangan pemuda bangsawan lainnya, menyimpangkan arah tuan mu
"Minumlah ini untuk menenangkan diri. Minuman ini disebut goldenkey," kata Cedric dengan sedih. "Aku berharap bisa memberimu sebuah kunci lain yang lebih kau perlukan, sayangnya aku tidak bisa."Cedric menatap prajurit yang terluka di depannya dengan pandangan sedih. Dia menganggap semua prajurit adalah satu keluarga. Suka dan duka yang dialami prajurit ingin ditanggungnya juga bersama mereka. "Mengapa kau tidak menikah saja," gumam Cedric. Prajurit itu tampak heran akan pernyataan Cedric. Masih belum kering tanda perjuangan seorang prajurit yang berupa luka berdarah. Masih belum hilang rasa letih, yang seharusnya sebuah kepuasan, setelah memperoleh pencapaian dari sebuah pengalaman menantang maut. Masih teringat jelas sosok yang memberikan pengalaman berharga itu. Sosok yang meninggalkan tanda mata berupa ketakutan di hatinya.Kemampuan berpikirnya belum terbangun sempurna. Jovan tidak perlu menjadi seorang bijak untuk mendapat pencerahan atas situasi ini. Ada sesuatu yang kelir
Cedric berlari ke arah rumahnya sambil diikuti bocah pelayan di belakangnya. Sesaat dia menoleh kebelakang sambil melirik Jaden. Tiba-tiba Cedric berhenti dan terlihat memberi perintah pada si bocah. Cedric lalu melanjutkan perjalanan nya, sedangkan si bocah berlari kembali ke arah Jaden. "Paman, jendral memanggilmu. Engkau disuruh mengikutinya ke rumah," teriak anak itu. "Secepatnya paman," Bocah itu menarik tangan Jaden agar segera beranjak dari tempat itu."Tunggu, jalan mana yang harus kuambil?" tanya Jaden."Ikuti saja jalan ini, arah jembatan, rumah yang halamannya penuh dengan samsak. Aku harus ke pasar. Jendral menyuruhku membeli sesuatu," Bocah itu segera berlari menuju pasar. *Siang ini pasar tidak terlalu ramai. Tidak banyak yang melakukan duel tawar menawar harga yang mempertaruhkan keuntungan. Bocah pelayan itu berjalan santai sambil melihat-lihat sekitar. Seorang pria tua melemparkan sebutir apel, dengan sigap ditangkapnya apel itu sambil tertawa senang.Semua orang
"Botak apakah kau tidak tau, bahwa berapapun kantor perdagangan itu bisa menjual, kau akan tetap dibayar dengan harga kesepakatan awalmu," cibir Speed. "Mengapa kau ribut, hanya untuk masalah sepele seperti itu.""Mereka itu penipu. Kalau aku tau mereka bisa menjual dengan harga dua belas keping perak, tak akan mau aku menerima hanya sembilan keping perak. Mendapat tiga keping hanya duduk diam? Pekerjaan macam apa itu?" Glover tetap bersikeras bahwa dia tak bersalah.Speed hanya bisa menghela nafas, mendengar argumen Glover. Di kota lain, serikat perdagangan seperti itu bisa menaikkan harga sampai lima atau tujuh keping. Dan terkadang masih ada pemotongan sepihak dan semena-mena untuk pemilik barang dagangan. "Sebaiknya, kamu banyak mengambil tugas atau misi ke luar kota". Speed menghela nafasnya lagi. "Ajax, anjing itu menemukan sesuatu. Bekas jubah yang bernoda darah.""Apakah jubah milik tuan?" Glover nampak khawatir."Belum bisa dipastikan. Jubahnya sudah hancur terkoyak dan ters
"Botak! Malam ini carilah makanan yang enak. Esok kau akan kami gantung!" Tom berteriak untuk mengejutkan Glover yang tampak sedang memeriksa kondisi Hector. "Bocah tengil! Siapa yang akan kau gantung? Kau kira aku takut dengan anjing dan kawan-kawan pelayanmu ini?" balasnya tanpa takut.Glover meludah, dan memandang hina ketiga orang didepannya. Dia mengira bocah ini mendatanginya karena masalah di pasar tadi. "Kemarikan kekurangan pembayaran kalian, dan pergilah dari sini! Kami tak ada urusan dengan kalian," tagih Glover."Aku inilah sebenarnya yang dikenal sebagai Stonehead sang penghancur!" Glover menggertak ketiga orang itu. Meskipun sama botaknya, Stonehead yang dikenal Cedric, tentunya bukan orang yang berdiri didepannya. Sepertinya si botak menggunakan nama itu untuk menaikkan reputasinya sendiri. Cedric merasa harus memberi pelajaran kepada orang ini. Cedric dan Jaden yang sedang tidak memakai pakaian dinas militernya, nampak lusuh setelah berlarian mengikuti cerby yang me
"Itu melanggar peraturan!" seru seseorang."Duagh!" seorang knight tua menggebrak meja. "Omong kosong! Siapa yang buat aturannya? Mengapa aku tak diundang waktu mereka buat peraturan?""Dia pantas mendapatkannya, memang seperti itulah seharusnya!" Orang yang lain menimpali. "Brak!" seorang kapten mencoba kemampuannya pada meja. "Peraturan itu hanya untuk yang hidup, orang mati tak perlu peraturan.""Cara yang tidak ksatria," ujar seseorang dengan nada tinggi. "Bugh!" suara kepalan tangan seorang komandan batalyon."Tidak seharusnya begitu," sela seseorang cepat."Brak! Crack! Krieeet … gedubrak!" Sir Milan menggebrak meja, dan meja tak bersalah itu pun hancur berantakan."Tenang! Semuanya tenang!" Sir Milan tak bisa menahan dirinya lagi. Komandan batalion dan kapten peleton dari seluruh kesatuan berkumpul dan menuntut pengadilan militer untuk kejahatan Jovan. Mereka sangat murka karena tindakan cabul Jovan, telah mencoreng nama baik dan kehormatan kesatuan. Prajurit yang diajarkan u
"Buruk sekali kondisi orang ini, cepat bawa masuk ke kamar," Orang tua yang sepertinya tabib itu bergegas memberi perintah pada ketiga orang itu untuk membantunya selagi dia menyiapkan berbagai ramuan. "Berikan ini untuk meredakan nyeri di kelopak matanya," Tabib itu memberikan kain dan sebaskom air hangat. "Aku kenal orang ini, petugas juru arsip di balaikota. Siapa yang tega melakukan hal sekejam ini?" tanya tabib itu lirih."Bangunkan dia dan pegang tubuhnya, aku sepertinya kehabisan kain pembalut. Tadi malam tahanan itu dibawa kemari, dan aku merawat tubuhnya yang penuh luka," Ketiga orang itu langsung saling berpandangan. Mereka tau, tabib ini bisa menyelesaikan permasalahan mereka. "Kasihan orang ini, dipukuli tanpa pernah tau apa kesalahannya," Archer mencoba membuka percakapan. "Oh, ya? kenapa bisa begitu?" Tabib langsung menyambar umpan dari Archer. Tanpa ragu, diceritakan semua kejadian yang dilihatnya. Sesekali Grunt menambahi cerita untuk meramaikan pembicaraan. Sedangk