"Buruk sekali kondisi orang ini, cepat bawa masuk ke kamar," Orang tua yang sepertinya tabib itu bergegas memberi perintah pada ketiga orang itu untuk membantunya selagi dia menyiapkan berbagai ramuan. "Berikan ini untuk meredakan nyeri di kelopak matanya," Tabib itu memberikan kain dan sebaskom air hangat. "Aku kenal orang ini, petugas juru arsip di balaikota. Siapa yang tega melakukan hal sekejam ini?" tanya tabib itu lirih."Bangunkan dia dan pegang tubuhnya, aku sepertinya kehabisan kain pembalut. Tadi malam tahanan itu dibawa kemari, dan aku merawat tubuhnya yang penuh luka," Ketiga orang itu langsung saling berpandangan. Mereka tau, tabib ini bisa menyelesaikan permasalahan mereka. "Kasihan orang ini, dipukuli tanpa pernah tau apa kesalahannya," Archer mencoba membuka percakapan. "Oh, ya? kenapa bisa begitu?" Tabib langsung menyambar umpan dari Archer. Tanpa ragu, diceritakan semua kejadian yang dilihatnya. Sesekali Grunt menambahi cerita untuk meramaikan pembicaraan. Sedangk
"Seperti apa pesanannya?" Seseorang bertanya sambil mengasah sebilah belati."Dingin dan hambar, tanpa bumbu apapun," balas kapten yang menjadi koordinator lapangan untuk malam nanti. "Mati dalam damai, seperti dambaan setiap orang. Tidak ada bekas dan jejak, hanya tidur dan tak bangun lagi. Kau bisa melakukannya?""Lho.. bukankah kesatuan meminta kematian tanpa kubur? Kami sudah merencanakan berbagai cara penyiksaan untuk jahanam itu," kata eksekutor itu, sambil menyelipkan belati itu di sepatu."Rencana berubah, Sir Milan tak bisa membersihkan piring yang kotor nanti malam," Koordinator lapangan yang memakai kode nama 'chef' itu memberikan sebuah kantung kulit kecil. "Gunakan ini, beruang meraung di sebelahnya pun dia tak akan bangun. Persiapkan segalanya dengan baik". Koordinator itu pun pergi untuk memantau segala persiapan yang lain."Ck … dingin dan hambar … padahal malam ini kami ingin makan sesuatu yang panas dan menggugah selera," Disimpannya kantong itu baik-baik di dalam ju
Cedric bergegas memacu kudanya ke arah desa Red Smithy. Tom menunggangi keledai yang menarik gerobak dengan penumpang Glover, cerby dan ajax. Sepanjang perjalanan Glover nampak sangat menderita, duduk meringkuk bersama dua ekor anjing yang nampak sangat tidak bersahabat. Terutama cerby, anjing jantan itu terlihat sangat tidak menginginkan kehadiran orang ketiga di gerobak yang penuh cinta itu. "Hei ... kawan kecil. Bisakah kita bertukar tempat?" Glover berkata dengan lirih dan nada putus asa. Tom tidak memperhatikannya sama sekali. Dia teringat terus akan adegan perkelahian belati yang menggetarkan hatinya. Untuk pertama kali dalam hidupnya dia melihat dengan mata kepala sendiri adegan yang tak ingin dialaminya di masa depan.Teringat jelas detik-detik terakhir, Cedric melepaskan belatinya. Seketika Tom hanya bisa berlinang air mata, dan Jaden hanya bisa membeku tanpa bisa bergerak. Secepat kilat Jaeger mengarahkan belatinya ke leher Cedric. Tanpa rasa ragu, Cedric maju, menangkap t
"Ayah … mengapa kita tidak mencari tabib?" Gadis itu mulai menangis tersedu dan memegang tangan ayahnya itu. "Paman pemilik bar bilang luka ayah sangat parah. Kita punya keping emas.. ayo kita mencari tabib Ayah.""Liz … maafkan ayahmu ini … uhuk, nanti … uhuk, prajurit muda carilah," Dengan sisa-sisa tenaganya, pria sekarat itu menunjuk sebuah kotak diatas lemari. "Ayah … bertahanlah, aku panggil paman," isak anak gadisnya. "Tidak … tidak, Liz … uhuk, dengar ibumu masih … ah … hidup di Solandia," rintih pendongeng itu dengan tersengal-sengal.Nafas pria itu sudah tidak panjang lagi. Pandangan matanya sudah sangat kabur. Bayangan ingatan masa lalu, kenangan indah, trauma, pencapaian, keluarga, penderitaannya semuanya datang silih berganti. "Hah..hah..hah.. surat … beri pada … prajurit ituh," pesannya pada anak gadisnya."Sudah Ayah … sudah," Tangis gadis itu semakin menjadi-jadi melihat kondisi ayahnya yang sedang sakaratul maut. Dipeluknya ayahnya, tak ingin gadis itu melepaskan
"Duraaaant! Lawan aku bedebah! Hector! Aku pasti balas dendam!" pekik Jaden murka."Klang!" suara jeruji besi dipukul."Tutup mulutmu brengsek! Tak bisakah kau mati saja dengan diam," Seorang prajurit yang muak mendengar ratapan, tangisan dan teriakan Jovan, akhirnya mengambil sebuah tindakan untuk mengakhiri gangguan suara itu. "Kau terlalu cerewet untuk orang yang akan mati.""Aku tidak akan mati! Aku akan hidup dan menyeret penjahat sebenarnya. Aku tak bersalah! Aku ingin hidup!" Jovan berteriak dan menangis putus asa. Prajurit itu masuk kedalam sel Jovan dan memberinya sebuah pukulan yang menenangkan. "Ah … Kau terlalu banyak minum minuman ini rupanya."Prajurit itu tersenyum tamak dan mengambil minuman golden key, yang ditinggalkan Cedric. "Lho … masih utuh. Ini minuman mahal. Sebuah pemborosan memberikan ini padamu, lebih baik ini buat kami. Ha..ha..ha.. anggaplah ini perbuatan baikmu yang terakhir," ejek prajurit itu."Ambil … ambil semuanya, aku hanya ingin hidup!" Jovan ber
Viscount Gerald terguncang jiwanya ketika melihat kekacauan di balai kota. Prajuritnya banyak yang tak sadarkan diri dan cedera. Perabotan berjatuhan, pecahan kaca berhamburan dan kertas-kertas dokumen berserakan, bercampur dengan segala macam barang. "Siapa yang melakukan kekacauan ini?"Didekat sebuah vas bunga, tak sengaja dia melihat selembar kertas yang sangat dikenalnya. Tangannya bergetar ketika membaca kertas dengan cap segel gubernur provinsi. "Duke Robert Callahan ternyata belum menandatangani surat rekomendasi kepindahanku ke provinsi. Bila dia mendengar tentang kejadian disini, maka akan semakin berkurang penilaiannya padaku," Disimpannya surat itu di balik jaketnya. Viscount Gerald berjalan hilir mudik, menunggu bawahannya ada yang bisa memberi keterangan yang memuaskan. Dia segera berlari keluar ketika melihat dua orang nampak berdebat diluar halaman balaikota.Letnan yang memakai kode nama chef itu tampak murka dan membanting sebuah gulungan kertas. "Apa maksudmu deng
"Sayang ini belum musim jamur merang. Daging rusa ini akan lezat bila dibuat sup dengan jamur," ujar Stonehead sambil mengiris daging rusa menjadi beberapa potongan besar. "Tapi, bagaimana kau bisa tau kalau orang ini bisa berada di sini? Apa kau ini punya cermin penyihir?" tanya Stonehead serius pada Cedric."Hahaha … tidak perlu cermin penyihir. Kalian sendiri yang sesungguhnya memberitahukan hal itu padaku," Cedric tertawa melihat wajah serius kawannya itu. "Siapa orang bermulut panjang di desa ini? Aku berada di luar rumah sepanjang hari untuk membelah kayu. Tak ada yang seorang pun yang berkata akan pergi ke kota!". Stonehead marah dan menancapkan pisaunya ke potongan daging terbesar."Laporan harian prajurit. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, ada laporan serangan beruang di desa yang penuh ketidakwajaran ini," ungkap Cedric tenang. “Aku membaca laporannya tadi pagi.”"Anak kecil, wanita, tua dan muda di desa ini, seingatku tak ada yang berteriak ketakutan ketika bertemu b
"Kalian yakin tidak perlu makan malam dulu?" tahan si tuan rumah. “Perjalanan kalian masih cukup jauh. Lagipula ada orang yang terluka parah, apa tak sebaiknya bersembunyi dulu di sini,” saran tuan rumah."Tidak. Terimakasih. Semakin lama kami berada di sini, semakin membahayakan untuk keluargamu. Kami harus pergi secepat mungkin menuju tempat persembunyian kuda-kuda kami," tepis Jaeger sopan. “Persiapkan semuanya! Sebentar lagi kita harus berangkat,” perintahnya pada kelompok itu.“Bawa roti secukupnya dan air beberapa botol, serta kain perban dan obat luka. Jangan lupakan senjata masing-masing,” Jaeger mengikat sepatunya erat-erat dan mengencangkan perisai di punggungnya.Dia berjalan menuju tumpukan jerami dan mengambil segenggam. “Nah! Ayo kita ambil undiannya,” ajaknya.Grunt maju dengan gagah dan tertawa. “Aku yang paling muda di persaudaraan ini, tak perlu undian, biar aku yang menggendong tahanan sekarat ini.” Jovan menoleh lemah melihat wajah-wajah yang tak pernah dikenalny