"Bisakah dia melaksanakan tugas itu, maukah dia memangkas semak belukar berduri dalam tamanku," batin sang raja yang sedang menerawang ke angkasa, seakan ada jawaban yang dicarinya diatas sana. Jawaban untuk mengatasi sebuah permasalahan yang sedang dihadapinya.
"Solandia ... ah ... Pemberani lahir di Solandia," berkali-kali sang raja menggumamkan kata-kata itu. "Solandia ... ah ... andaikan tak ada pemberani yang lahir disana."*"Jaden dari Solandia! Siap menerima pelatihan hari ini Jendral!" ucap seorang prajurit dengan penuh rasa percaya diri."Hm ... datang juga kau akhirnya." Cedric mengakhiri peregangan dan mulai melemaskan seluruh otot-ototnya. Perlahan mulai dianalisanya seluruh bagian tubuh Jaden dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Kau menggunakan dua pedang? Kukira orang Solandia hanya menggunakan claymore?""Jaman ini terus berkembang Jendral, kebanggaan masa lalu tidak akan memberi kita kejayaan dimasa kini. Solandia telah melebur claymore mereka agar kerajaan Gerland bisa bertahan dan tidak runtuh. Kami sangat bangga dengan pengorbanan itu," ungkapnya dengan semangat."Yah ... baru kali ini aku bertemu seorang Solandia tanpa claymore dan dia ada didalam pasukanku. Persiapkan dirimu, ayo kita mulai," ajak Cedric. Ia berjalan menuju rak penyimpanan dan mulai berpikir senjata apa yang akan dipakainya untuk pelatihan bersama Jaden. Setelah cukup lama berpikir, Cedric tersenyum dan mengambil sebuah perisai dan pentungan sebagai perlengkapannya.Jaden sudah tahu kalau pimpinan mereka ini terkenal eksentrik. Kali ini dia benar-benar tidak menyangka bahwa sang jendral akan memilih sebuah blunt atau pentungan kayu untuk melawan dual sword miliknya. Rasa ragu membuat Jaden ingin menukar pedangnya dengan pedang kayu yang sering dipakai latihan."Ayo ... serang aku semampumu," perintah Cedric pada Jaden."Erm ... maaf Jendral, anda yakin menggunakan itu?" Serba salah Jaden menunjuk ke arah pentungan yang nampak sangat tidak cocok dengan kharisma dan sosok sang jendral."Tentu saja. Aku sangat yakin bahwa senjata pertama nenek moyang kita pastilah sebuah pentungan! Sebatang dahan pohon, praktis dan mudah didapat. Hanya batu yang dapat menandinginya," tegas Cedric."Saya siap Jendral, saya akan mulai!" Jaden mengambil ancang-ancang dan siap menyerang. Dua bilah pedang digenggamnya erat-erat, berjalan maju perlahan, Jaden mencari celah untuk memberi serangan pembuka. Semakin mendekat, sekitar jarak lima langkah, Jaden heran melihat posisi Cedric, perisai yang dibawa tidak pada posisi siaga, hanya tergantung santai dilengan kiri yang tidak pada posisi siaga didepan dada. Pentungan yang dibawa pun juga tidak dalam posisi siap menyerang.Dalam hatinya, Jaden merasa kecewa. Jaden merasa sang jendral hanya main-main dengannya. Teringat akan seratus kemenangan yang diraih, yang didapat dengan penuh perjuangan dan penuh luka, emosinya timbul dan menyerang Cedric sekuat tenaga.Pelatihan khusus tersebut berakhir dengan kekalahan telak Jaden. Dalam tiga ronde yang dijalani, tak satupun pukulan bersih yang berhasil mendarat di tubuh sang jendral. Kebalikannya, memar di beberapa bagian tubuh Jaden terasa sangat nyeri. "Terimakasih atas petunjuknya Jendral!" Jaden membungkuk memberi hormat setulus hati."Apa maksudmu? Kau berterimakasih atas benjolan dan memar itu?" tanya Cedric sambil membersihkan pentunganya."Ermm ... bukan begitu Jendral ... saya berterimakasih atas kesempatan latih tanding ini," lirih Jaden menjawab. Ia merasa nyeri disekujur tubuhnya semakin bertambah."Kau tidak perlu pentunganku kalo hanya benjol dan nyeri yang kau dapat, kau bisa meminta Armand untuk memukulimu. Adakah pelajaran yang kau dapat dari latihan ini?" selidiknya.Jaden tertunduk dan terdiam, dalam hati dia merasa malu, dengan persenjataan yang lebih baik, tak satupun dia berhasil mendaratkan pukulan. Dalam seratus duelnya, dia hampir selalu mendominasi pertandingan. Duel terberatnya adalah ketika melawan calon knight yang berlatih dibawah arahan langsung Cedric.Duel itu menjadi pembicaraan di seluruh bar di kota. Duel itu berakhir dengan masing-masing harus dirawat oleh tabib selama beberapa minggu. Jaden bahkan membuang claymore dan berlatih menggunakan dualsword agar seperti junjungannya tersebut. Cedric adalah seorang legenda dalam peperangan, ksatria yang berjaya dengan menggunakan dua pedang. Idola bagi setiap anggota pasukan benteng Carthania."Baiklah ... apa kau pernah mendengar cerita tentang prajurit ratusan pertempuran yang kalah oleh berandalan muda? Juga kisah tentang berandalan muda yang hampir mati di pertempuran pertamanya?" Cedric bertanya sambil menggosok perisai yang baru dipakainya."Maaf Jendral ... ehm ... Bukankah itu kisah tentang anda sendiri?" jawab Jaden pelan. Tak ada satupun anggota pasukan Cedric yang tak mengenal kisah itu. Legenda seorang jendral kalangan bawah. Meski berasal dari kelas bangsawan tingkat rendah, Cedric hidup layaknya rakyat jelata, hidup semaunya, menjadi berandalan dan memulai karir militernya dari bawah."Ya ... itu kisah tentangku. Aku dengan noraknya menantang seorang letnan veteran, berkelahi dengan sekuat tenaga dan memenangkan perkelahian itu," Cedric tersenyum dan sedikit berkaca-kaca ketika mengenang momen itu. "Ini adalah salah satu rahasia besarku, pentungan inilah yang kupakai untuk mengalahkan letnan itu.""Ini bukan senjata magis, atau pentungan dari bahan khusus. Ini hanyalah bekas godam yang pas digenggaman tanganku," kenang Cedric.Jaden hanya bisa melongo dan menatap mata junjungannya seakan tak percaya dengan kisah itu. Perkelahian legendaris yang bertahun-tahun dibicarakan hampir semua pemuda kalangan bawah itu, ternyata bukan tentang lahirnya pengguna dual sword pertama diseluruh benua."Semua kisah epik itu sama saja. Seperti bola salju yang menggelinding, semakin lama akan semakin besar dan menabrak apapun yang dilaluinya, tak peduli itu benar atau salah," Cedric menasehati. "Aku selalu diam, karena ini rahasia untuk menghormati letnan veteran itu. Perkelahian itu merubah hidupku, memberiku kesempatan untuk kembali ke keluargaku melalui jalur militer."Cedric pernah dikeluarkan dari daftar penerus kepala keluarga. Cara hidup, pergaulan, dan pemikiran yang tidak sesuai dengan kelas bangsawan pada umumnya, cukup menjadi alasan untuk mengucilkan dirinya. Cedric muda adalah seorang bangsawan ceroboh yang tak pernah berpikir sebelum melakukan sesuatu. Apa yang dirasanya salah atau tidak sesuai kata hatinya, tanpa rasa takut akan dilawannya semua."Letnan tersebut membawaku ke barak untuk diperkenalkan pada seorang wakil jendral. Dia memberiku kesempatan untuk mengikuti tes, mengabaikan catatan kriminal yang pernah kulakukan, dan memberi sebuah senjata yang akan selalu kukenang," ungkap Cedric."Dia ... Memberiku sebuah ... claymore," Cedric tersenyum bangga ketika menyebut senjata itu. "Memiliki senjata pertamaku, aku sangat bangga dan bahagia. Semua pelatihan kujalani dengan santai dan riang gembira. Bagiku pelatihan tentara ini semacam permainan anak-anak yang tak berguna. Aku merasa jauh lebih kuat daripada seluruh rekrutan baru yang ada."Cedric menerawang jauh. "Namun ... berandal muda ini hampir mati dipertempuran pertamanya, juga karena sebuah claymore."Jaden menghela nafas mendengar kisah itu. Bermacam prasangka muncul dibenaknya. Apa sebenarnya maksud sang jendral menceritakan kisah itu."Ehm ... ma-"Belum selesai Jaden menyelesaikan kalimatnya, Armand muncul tiba-tiba dan mengejutkan mereka. Tubuh tambunnya tampak basah oleh keringat, dan nampak getaran diseluruh tubuhnya. "Cedric putra Canute ... jawaban apa yang akan kauberikan pada raja?"Cedric terdiam dan menghela nafas. "Titah itu ...."Semuanya terdiam menunggu Cedric melanjutkan perkataannya."Titah itu tidak bisa kujalankan!" Cedric nampak berkaca-kaca. "Solandia. Raja meminta Solandia.""Solandia tak pernah menangis. Walaupun ribuan prajurit mengoyak. Dia tetap kokoh berdiri. Menunggu anak yang diharap," Pendongeng menyelesaikan sajaknya, dan mulai melanjutkan kisahnya. Dia berekspresi sedih. "Anak-anak yang terserak, tercerabut dari akar, tak punya lagi tempat bernaung. Meninggalkan ibunya dalam kesendirian.""Ibu yang menunggu dalam sunyi itu kini telah bangkit. Ia memanggil setiap anaknya yang terlahir dari keberanian, setiap anak yang ditempa dengan air mata, dan setiap anak yang pernah menjanjikan genggaman tangannya!" pekik pendongeng."Pemberani lahir dari Solandia ... pemberani menggenggam claymore!" pungkas pendongeng itu.Prok ... prok ... prok ... ramai para pendengar memberikan tepuk tangan pada pendongeng keliling yang baru saja menyelesaikan ceritanya. Jaden tersenyum sekilas, menghabiskan minumannya, dan berjalan mendekati gadis kecil yang sedang mengedarkan kotak untuk mengumpulkan uang. Dipanggilnya si gadis, ditatapnya wajahnya, sambil tersenyum l
"Raja perang telah tiba!" teriak pendongeng.Dia melanjutkan dengan ekspresi takut. "Raja kejam itu seperti bukan manusia. Besar, berbulu lebat, dengan tinggi lebih dari dua meter, lengan dan betisnya sangat kokoh, seperti batang pohon oak."Wajah pendongeng itu menunjukkan rasa muak. "Prajuritnya harus menyediakan seekor rusa atau beruang utuh, untuk makan malamnya.""Raja kejam ini ingin melahap Solandia!" jerit si pendongeng menyayat hati.Si pendongeng berhenti sejenak untuk memberi efek hening pada pendengar yang terlihat mulai terhanyut suasana. Diarahkannya seluruh pandangan ke pendengar yang ada. Di meja paling ujung di bar itu, dia melihat sosok yang dinantikanya. Pendongeng itu tersenyum samar ketika melihat sosok itu. Jaden duduk termenung, tak dihiraukannya suara si pendongeng yang seru menceritakan kisah kepahlawanan Solandia. Jovan sahabat karibnya tampak menghayati kisah tersebut. Air matanya menetes, ketika si pendongeng menceritakan kesengsaraan yang dialami Solan
"Bagaimana dengan kadonya?" tanya seseorang yang berkerudung di pojokan sebuah pemakaman. Malam yang dingin dan sunyi itu seakan melindungi pertemuan rahasia mereka. "Tepat pada waktunya, sebelum pembawa pesan kerajaan tiba, aku telah menitipkan pada orang terpercaya, karena segel itu terpaksa kubuka," jawab seorang utusan. "Membuka segel kerajaan itu pengkhianatan". "Ya … tapi sebanding dengan hasilnya," ujar orang berkerudung itu. "Dan hasilnya? Apakah sesuai dugaan kakek?" Utusan itu mengangguk tegas. "Dugaan kakek benar. Inilah hasilnya," Dia mengeluarkan sebuah kantong kecil, mengintip isinya dan menyerahkannya pada kawannya. "Simpan baik-baik, jangan sampai ketauan siapapun," tegasnya."Aman … malam ini juga aku akan bertamu ke rumah kakek. Aku juga tak mau menyimpan barang ini," ujar orang berkerudung itu. "Baik … segeralah berangkat, aku masih ingin menyandarkan punggungku sebentar," desah urusan itu. *Jovan menyandarkan punggungnya ke dinding pagar. Bayangan tentang kam
"Pedang ini asli," kata tamu itu."Mustahil! Sir Milan adalah saksi mata pada waktu pemakaman mendiang raja," Sir Armand bersikeras tak bisa mempercayai kenyataan itu."Ya. Sesuai wasiat Raja Pantheron August II, beliau menginginkan pedang ini untuk dibawa ke alam kubur," lanjut tamu itu lagi."Perdebatan sengit terjadi diantara kaum bangsawan saat itu, terutama dari kalangan militer melawan bangsawan keluarga kerajaan yang menjunjung tinggi protokol.""Maksudnya?" sela Count Armand."Berdasarkan tradisi pemakaman raja-raja sebelumnya, jenazah raja akan dikuburkan bersama pedang kesayangannya atau pedang yang berharga. Tidak pernah ada raja yg dikuburkan dengan membawa pedang yang rusak," terang orang itu sambil melepas kerudungnya. "Kalangan militer sangat terharu dengan wasiat raja, yang memang sangat dihormati oleh kalangan militer itu. Dari sisi berlawanan, kaum bangsawan sangat menentang hal itu.""Cedric dengan senang hati mempersembahkan pedang tersebut. Sir Milan sendiri yang m
Malam ini bulan bersinar terang, langit cerah dan bintang bertaburan. Malam yang sangat damai, menurut Jaeger. Apalagi dengan berdiam diri didepan sebuah api unggun. Bagi seorang penjelajah sepertinya, api unggun adalah semacam ritual sebelum tidur yang wajib dilakukan. Jaeger selalu terpesona dan seakan terhipnotis oleh kobaran api dan liukan tariannya ketika terhembus angin. "Paman! Masuklah," Seorang pemuda datang dan membuyarkan lamunannya."Mengapa engkau suka membuat api unggun di halaman belakang dan duduk diam sendirian saja? Kalau kedinginan, masuklah dan duduk di depan perapian bersama yang lainnya," saran pemuda itu."Semua orang membicarakanmu Paman,"Pemuda itu mendekat dan duduk disampingnya. Jaeger hanya tersenyum, dan tetap diam sambil terus memandang tarian api di depannya. "Cobalah ini Paman, Marius membawa minuman baru dari kerajaan Gothlandia. Mereka menyebutnya goldenkey," Jaeger menerima botol itu, menenggaknya sampai hampir habis. Sambil tersenyum lebar, dia
"Bersihkan noda darah ini. Selesaikan sebelum para pelayan bangun dan mulai berdatangan," perintah Hector. "Sebelum matahari terbit, aku harus meninggalkan tempat ini, atau orang-orang akan curiga. Aku akan mengurus yang di dalam," Hector menutup pintu dan terdengar suara perabotan bergeser.Durant bergegas ke arah dapur. Setelah mengganti pakaiannya, dia merebus air dan menyiapkan kain untuk mengelap bekas noda darah. Diambilnya sekantong bubuk kopi. Dalam hatinya Durant merasa berat menggunakan bubuk hitam kecoklatan nan harum menyegarkan itu, untuk menutupi bau amis darah. "Benar-benar malam yang berat kali ini," gumamnya.Dalam hati dia merasa curiga dengan stoples tempat penyimpanan kopi dan gula yang berantakan. "Ada tikus di rumah ini. Esok harus dilakukan perburuan," Durant tidak menyadari bahwa itu semua adalah ulah Jovan, yang tak pernah menyeduh kopi atau teh seumur hidupnya. Segera Durant membersihkan meja kerja para juru masak. Mereka sangat sensitif akan kebersihan dan ta
"Cepat! Kita harus segera tiba sebelum waktunya!" seru seorang pria dari dalam kereta."Kita harus mengantarkan uang ini ke pelabuhan secepatnya," kata pria bangsawan itu. "Nasib anakku ada di dalam peti ini.""Earl tenanglah, semuanya akan baik-baik saja," hibur pengawal pribadinya. "Sebentar lagi kita akan sampai. Tak akan kubiarkan ada orang yang berani menyentuh Anda. Kujanjikan hidupku demi keselamatan Anda.""Apalah arti hidupku ini? Aku hidup sudah cukup lama. Sedangkan anakku, aku sungguh bersalah padanya," ratap seorang ayah yang khawatir. "Maaf Earl, ini bukanlah kesalahan Anda. Menurut saya, ini tetaplah kesalahan pengawal tuan muda itu," sanggah sang ahli pedang yang setia itu. "Pengawal tidak hanya sekedar menjaga disaat berada disamping tuannya, pengawal sejati itu juga melindungi masa depan tuannya.""Informasi yang saya dapatkan, Slover dengan licik mengajak tuan muda ke berbagai pertemuan hura-hura, dengan kalangan pemuda bangsawan lainnya, menyimpangkan arah tuan mu
"Minumlah ini untuk menenangkan diri. Minuman ini disebut goldenkey," kata Cedric dengan sedih. "Aku berharap bisa memberimu sebuah kunci lain yang lebih kau perlukan, sayangnya aku tidak bisa."Cedric menatap prajurit yang terluka di depannya dengan pandangan sedih. Dia menganggap semua prajurit adalah satu keluarga. Suka dan duka yang dialami prajurit ingin ditanggungnya juga bersama mereka. "Mengapa kau tidak menikah saja," gumam Cedric. Prajurit itu tampak heran akan pernyataan Cedric. Masih belum kering tanda perjuangan seorang prajurit yang berupa luka berdarah. Masih belum hilang rasa letih, yang seharusnya sebuah kepuasan, setelah memperoleh pencapaian dari sebuah pengalaman menantang maut. Masih teringat jelas sosok yang memberikan pengalaman berharga itu. Sosok yang meninggalkan tanda mata berupa ketakutan di hatinya.Kemampuan berpikirnya belum terbangun sempurna. Jovan tidak perlu menjadi seorang bijak untuk mendapat pencerahan atas situasi ini. Ada sesuatu yang kelir