"Raja perang telah tiba!" teriak pendongeng.
Dia melanjutkan dengan ekspresi takut. "Raja kejam itu seperti bukan manusia. Besar, berbulu lebat, dengan tinggi lebih dari dua meter, lengan dan betisnya sangat kokoh, seperti batang pohon oak."Wajah pendongeng itu menunjukkan rasa muak. "Prajuritnya harus menyediakan seekor rusa atau beruang utuh, untuk makan malamnya.""Raja kejam ini ingin melahap Solandia!" jerit si pendongeng menyayat hati.Si pendongeng berhenti sejenak untuk memberi efek hening pada pendengar yang terlihat mulai terhanyut suasana. Diarahkannya seluruh pandangan ke pendengar yang ada.Di meja paling ujung di bar itu, dia melihat sosok yang dinantikanya. Pendongeng itu tersenyum samar ketika melihat sosok itu.Jaden duduk termenung, tak dihiraukannya suara si pendongeng yang seru menceritakan kisah kepahlawanan Solandia. Jovan sahabat karibnya tampak menghayati kisah tersebut. Air matanya menetes, ketika si pendongeng menceritakan kesengsaraan yang dialami Solandia, amarah tampak diwajahnya, ketika si pendongeng menceritakan tentang kekejaman raja perang. Kerinduan nampak sangat jelas, ketika si pendongeng menceritakan keindahan Solandia. Tanah kelahiran yang tak pernah dilihatnya lagi."Ayo pulang, habiskan minumannya," ajak Jovan yang berdiri dan membayar minuman mereka."Pulang? Kemana? Ke Solandia?" jawab Jaden lirih, seakan baru bangun dari tidur yang panjang."Barak peleton infanteri, lah! Itulah rumah kita sekarang!" Jovan berkata sambil memberikan sekeping uang emas pada si gadis kecil."Ayo cepat, nanti malam aku dapat jadwal jaga malam. Aku harus bersiap setelah jam makan malam," Jovan berjalan terburu-buru menuju barak mereka."Tunggu sebentar, aku lupa memberikan surat ini pada tuan Hector," decak Jaden sambil menghentikan langkahnya. "Kau ... pulanglah duluan, aku harus menyerahkan surat ini."Jovan terdiam, tidak biasanya Jaden sahabatnya itu melalaikan tugasnya. Dalam hati dia merasa bersimpati pada Jaden. Dia merasa bahwa Jaden masih terpukul karena insiden kapak sialan itu. Jaden telah menjadi bahan pembicaraan dan candaan di seluruh benteng.Pagi ini, secara sengaja, regu unit dapur membelah kayu bakar menggunakan kapak dan saling bercanda, persis didepan barak peleton Jaden. Sebuah tempat yang tidak biasanya mereka pakai. Andai mereka bukan unit khusus, mau rasanya Jovan menghajar mereka untuk membela harga diri Jaden. Sayang sekali dia tidak bisa melakukannya.Bersama unit medis, unit dapur adalah segalanya bagi prajurit yang berperang. Jovan mungkin harus menghadapi seluruh kesatuan bila berani menyakiti unit dapur. Bila tak beruntung berurusan dengan unit dapur, mereka bisa mengurangi jatah makan satu peleton, atau malah mengerjai lawan dengan berbagai macam trik melalui makanan yang dibagikan.Jovan segera bersiap untuk berangkat patroli malam. Sebelum berangkat, dia menuju kantor untuk melapor penugasannya. "Mantap!" pekiknya sambil tersenyum bahagia. "Menjaga rumah count … tak ada tugas yang sesulit ini, hanya aku yang bisa melakukannya hehehe…."Jovan merasa bahwa dia sangat beruntung malam ini. Semua prajurit yang ada di benteng tau, menjaga rumah count adalah berkah. Rumahnya adalah tempat teraman kedua setelah markas militer benteng Carthania.Tak ada yang perlu diperhatikan, penjaga dipersilahkan untuk istirahat, sering kali diberikan tambahan makanan, dan bila beruntung, bisa melihat sosok cantik putri Carmen.*Firasat Jovan ternyata benar. Malam ini dia sangat beruntung. Jovan datang ketika count sedang bersantai di kebun belakang rumahnya. Count Armand sedang bersama putrinya yang sangat cantik, namun tidak pernah sombong dalam pergaulan sehari-hari."Itu masalah besar Ayah!" sentak Putri Carmen.Tak sengaja Jovan mendengar suara seorang gadis muda. Itu pasti suara Putri Carmen. Pintu ditutup dan Jovan tak bisa mendengar suara apapun lagi."Ambilah apapun yang anda kehendaki didapur ini. Katakan pada pelayan, bila anda ingin sesuatu seperti teh atau kopi. Hanya alkohol yang dilarang dirumah ini!" instruksi dari kepala pelayan.Seperti biasanya, kepala pelayan yang kaku ini akan menerima surat penugasan dari prajurit yang dikirim barak. Memberi cap stempel, memberi makanan dan memberi pengarahan. "Lalu untuk malam ini, kau berjaga dikebun belakang.""Siap Pak! ... seperti biasanya!" sahut Jovan dengan tegas.Kepala pelayan memandang Jovan dengan pandangan lelah, dan mengulanginya lagi arahannya. "Kebun belakang ... kau berjaga di kebun belakang."Kepala pelayan berkata dingin dengan wajah yang selalu datar dalam situasi apapun. Salah satu keajaiban dunia menurut Jovan. Wajah yang tak pernah berubah seiring waktu adalah wajah kepala pelayan ini. Wajah datar abadi.Dengan perasaan heran, Jovan kembali berjalan menuju kebun belakang. Biasanya mereka yang ditugaskan, akan menempati pos penjagaan didepan rumah. Sebuah pos yang lebih mirip kamar di sebuah penginapan. Pos surgawi, sebutan Jovan dan rekan-rekan sejawatnya untuk tempat itu."Desa Mapple membutuhkan bantuan segera Ayah. Putri kepala desa adalah salah seorang sahabatku yang baik. Ladang mereka sudah tiga kali ini dirusak oleh sesuatu," rayu Putri Carmen."Para penebang kayu, pemburu, dan pedagang yang melintas, juga sering mengalami serangan, kabar terakhir sudah ada korban jiwa Ayah," urainya lagi."Ah ... mereka itu terlalu keras kepala, Nak. Andai mereka mau pindah ke selatan benteng, mungkin mereka akan lebih aman," sanggah Count Armand pada putrinya. "Desa itu terlalu jauh dari teritori kita, Cedric selalu pusing memikirkan biaya perawatan pos penjagaan yang ditempatkan disana."Count Armand mendesah. "Paling lama, hanya dua bulan, pos yang baru diperbaiki akan rusak lagi terkena serangan pengintai musuh atau suku Barbar. Serangan terakhir bahkan menghancurkan seluruh bagian pos, sampai rata dengan tanah.""Carmen … putriku …." bujuk Count Armand. "Bila kau sangat perduli dengan nasib kawanmu itu ... tolong bantu meyakinkan mereka untuk pindah ke wilayah yang lebih aman."Pos neraka, mereka pasti sedang membahas pos terkutuk di Desa Mapple. Jovan teringat akan pengalaman mengerikan ketika ditugaskan di desa tersebut. Dalam riwayat kesatuan, dari sebuah regu yang dikirim, paling banyak hanya setengah personel, yang dapat kembali dalam kondisi baik. Cedera berat adalah kondisi baik tersebut."Aku beruntung dapat kembali dalam kondisi baik tersebut," kenang Jovan dengan sendu. Ia menyeka setetes air penuh kedukaan, dengan hikmat ia mengenang kawan-kawannya yang gugur di pos neraka tersebut."Apa sebenarnya yang diharapkan dari desa sunyi tersebut? Mengapa mereka berkeras hati bertahan didesa itu?" Armand berkata pelan pada dirinya sendiri."Ayah!" geram putrinya. "Disanalah tanah kelahiran mereka, turun temurun mereka lahir, hidup dan dikubur disana. Penduduk Carthania yang lahir disana, ketika ajal menjelang, lebih memilih pulang kedesa tersebut untuk dikuburkan disana."Putri Carmen menegaskan. "Tak ada yang seindah kampung halaman Ayah!""Bukankah Ayah sendiri, yang sering mengatakan itu kepada kami. Ketika kawan-kawan Ayah mengajak untuk pindah ke ibukota dan masuk dalam lingkar kekuasaan kerajaan ... apa yang Ayah katakan?" sergah putrinya."Tak ada yang seindah kampung halaman…." ratap Jovan lirih, menjawab pertanyaan putri Carmen tersebut. Pikirannya melayang jauh ke setiap lapisan memori dalam kepalanya. Mencoba mengingat kembali seperti apa bentuk dan rupa rumah tempat dia lahir dan dibesarkan. Mengingat kembali setiap teman-teman bermain yang tumbuh dan berkembang bersama. Mengingat kembali wajah kedua orangtuanya dan sanak saudaranya.Jovan mengalirkan kembali air penyesalan dari dalam lubuk hatinya yang terdalam.Jovan seorang prajurit terlatih, yang ditempa dalam berbagai situasi demi mempertahankan hidup atau harus mati. Jovan menangis tersedu dalam keheningan malam, dia ternyata tidak bisa mengingat semuanya."Bagaimana dengan kadonya?" tanya seseorang yang berkerudung di pojokan sebuah pemakaman. Malam yang dingin dan sunyi itu seakan melindungi pertemuan rahasia mereka. "Tepat pada waktunya, sebelum pembawa pesan kerajaan tiba, aku telah menitipkan pada orang terpercaya, karena segel itu terpaksa kubuka," jawab seorang utusan. "Membuka segel kerajaan itu pengkhianatan". "Ya … tapi sebanding dengan hasilnya," ujar orang berkerudung itu. "Dan hasilnya? Apakah sesuai dugaan kakek?" Utusan itu mengangguk tegas. "Dugaan kakek benar. Inilah hasilnya," Dia mengeluarkan sebuah kantong kecil, mengintip isinya dan menyerahkannya pada kawannya. "Simpan baik-baik, jangan sampai ketauan siapapun," tegasnya."Aman … malam ini juga aku akan bertamu ke rumah kakek. Aku juga tak mau menyimpan barang ini," ujar orang berkerudung itu. "Baik … segeralah berangkat, aku masih ingin menyandarkan punggungku sebentar," desah urusan itu. *Jovan menyandarkan punggungnya ke dinding pagar. Bayangan tentang kam
"Pedang ini asli," kata tamu itu."Mustahil! Sir Milan adalah saksi mata pada waktu pemakaman mendiang raja," Sir Armand bersikeras tak bisa mempercayai kenyataan itu."Ya. Sesuai wasiat Raja Pantheron August II, beliau menginginkan pedang ini untuk dibawa ke alam kubur," lanjut tamu itu lagi."Perdebatan sengit terjadi diantara kaum bangsawan saat itu, terutama dari kalangan militer melawan bangsawan keluarga kerajaan yang menjunjung tinggi protokol.""Maksudnya?" sela Count Armand."Berdasarkan tradisi pemakaman raja-raja sebelumnya, jenazah raja akan dikuburkan bersama pedang kesayangannya atau pedang yang berharga. Tidak pernah ada raja yg dikuburkan dengan membawa pedang yang rusak," terang orang itu sambil melepas kerudungnya. "Kalangan militer sangat terharu dengan wasiat raja, yang memang sangat dihormati oleh kalangan militer itu. Dari sisi berlawanan, kaum bangsawan sangat menentang hal itu.""Cedric dengan senang hati mempersembahkan pedang tersebut. Sir Milan sendiri yang m
Malam ini bulan bersinar terang, langit cerah dan bintang bertaburan. Malam yang sangat damai, menurut Jaeger. Apalagi dengan berdiam diri didepan sebuah api unggun. Bagi seorang penjelajah sepertinya, api unggun adalah semacam ritual sebelum tidur yang wajib dilakukan. Jaeger selalu terpesona dan seakan terhipnotis oleh kobaran api dan liukan tariannya ketika terhembus angin. "Paman! Masuklah," Seorang pemuda datang dan membuyarkan lamunannya."Mengapa engkau suka membuat api unggun di halaman belakang dan duduk diam sendirian saja? Kalau kedinginan, masuklah dan duduk di depan perapian bersama yang lainnya," saran pemuda itu."Semua orang membicarakanmu Paman,"Pemuda itu mendekat dan duduk disampingnya. Jaeger hanya tersenyum, dan tetap diam sambil terus memandang tarian api di depannya. "Cobalah ini Paman, Marius membawa minuman baru dari kerajaan Gothlandia. Mereka menyebutnya goldenkey," Jaeger menerima botol itu, menenggaknya sampai hampir habis. Sambil tersenyum lebar, dia
"Bersihkan noda darah ini. Selesaikan sebelum para pelayan bangun dan mulai berdatangan," perintah Hector. "Sebelum matahari terbit, aku harus meninggalkan tempat ini, atau orang-orang akan curiga. Aku akan mengurus yang di dalam," Hector menutup pintu dan terdengar suara perabotan bergeser.Durant bergegas ke arah dapur. Setelah mengganti pakaiannya, dia merebus air dan menyiapkan kain untuk mengelap bekas noda darah. Diambilnya sekantong bubuk kopi. Dalam hatinya Durant merasa berat menggunakan bubuk hitam kecoklatan nan harum menyegarkan itu, untuk menutupi bau amis darah. "Benar-benar malam yang berat kali ini," gumamnya.Dalam hati dia merasa curiga dengan stoples tempat penyimpanan kopi dan gula yang berantakan. "Ada tikus di rumah ini. Esok harus dilakukan perburuan," Durant tidak menyadari bahwa itu semua adalah ulah Jovan, yang tak pernah menyeduh kopi atau teh seumur hidupnya. Segera Durant membersihkan meja kerja para juru masak. Mereka sangat sensitif akan kebersihan dan ta
"Cepat! Kita harus segera tiba sebelum waktunya!" seru seorang pria dari dalam kereta."Kita harus mengantarkan uang ini ke pelabuhan secepatnya," kata pria bangsawan itu. "Nasib anakku ada di dalam peti ini.""Earl tenanglah, semuanya akan baik-baik saja," hibur pengawal pribadinya. "Sebentar lagi kita akan sampai. Tak akan kubiarkan ada orang yang berani menyentuh Anda. Kujanjikan hidupku demi keselamatan Anda.""Apalah arti hidupku ini? Aku hidup sudah cukup lama. Sedangkan anakku, aku sungguh bersalah padanya," ratap seorang ayah yang khawatir. "Maaf Earl, ini bukanlah kesalahan Anda. Menurut saya, ini tetaplah kesalahan pengawal tuan muda itu," sanggah sang ahli pedang yang setia itu. "Pengawal tidak hanya sekedar menjaga disaat berada disamping tuannya, pengawal sejati itu juga melindungi masa depan tuannya.""Informasi yang saya dapatkan, Slover dengan licik mengajak tuan muda ke berbagai pertemuan hura-hura, dengan kalangan pemuda bangsawan lainnya, menyimpangkan arah tuan mu
"Minumlah ini untuk menenangkan diri. Minuman ini disebut goldenkey," kata Cedric dengan sedih. "Aku berharap bisa memberimu sebuah kunci lain yang lebih kau perlukan, sayangnya aku tidak bisa."Cedric menatap prajurit yang terluka di depannya dengan pandangan sedih. Dia menganggap semua prajurit adalah satu keluarga. Suka dan duka yang dialami prajurit ingin ditanggungnya juga bersama mereka. "Mengapa kau tidak menikah saja," gumam Cedric. Prajurit itu tampak heran akan pernyataan Cedric. Masih belum kering tanda perjuangan seorang prajurit yang berupa luka berdarah. Masih belum hilang rasa letih, yang seharusnya sebuah kepuasan, setelah memperoleh pencapaian dari sebuah pengalaman menantang maut. Masih teringat jelas sosok yang memberikan pengalaman berharga itu. Sosok yang meninggalkan tanda mata berupa ketakutan di hatinya.Kemampuan berpikirnya belum terbangun sempurna. Jovan tidak perlu menjadi seorang bijak untuk mendapat pencerahan atas situasi ini. Ada sesuatu yang kelir
Cedric berlari ke arah rumahnya sambil diikuti bocah pelayan di belakangnya. Sesaat dia menoleh kebelakang sambil melirik Jaden. Tiba-tiba Cedric berhenti dan terlihat memberi perintah pada si bocah. Cedric lalu melanjutkan perjalanan nya, sedangkan si bocah berlari kembali ke arah Jaden. "Paman, jendral memanggilmu. Engkau disuruh mengikutinya ke rumah," teriak anak itu. "Secepatnya paman," Bocah itu menarik tangan Jaden agar segera beranjak dari tempat itu."Tunggu, jalan mana yang harus kuambil?" tanya Jaden."Ikuti saja jalan ini, arah jembatan, rumah yang halamannya penuh dengan samsak. Aku harus ke pasar. Jendral menyuruhku membeli sesuatu," Bocah itu segera berlari menuju pasar. *Siang ini pasar tidak terlalu ramai. Tidak banyak yang melakukan duel tawar menawar harga yang mempertaruhkan keuntungan. Bocah pelayan itu berjalan santai sambil melihat-lihat sekitar. Seorang pria tua melemparkan sebutir apel, dengan sigap ditangkapnya apel itu sambil tertawa senang.Semua orang
"Botak apakah kau tidak tau, bahwa berapapun kantor perdagangan itu bisa menjual, kau akan tetap dibayar dengan harga kesepakatan awalmu," cibir Speed. "Mengapa kau ribut, hanya untuk masalah sepele seperti itu.""Mereka itu penipu. Kalau aku tau mereka bisa menjual dengan harga dua belas keping perak, tak akan mau aku menerima hanya sembilan keping perak. Mendapat tiga keping hanya duduk diam? Pekerjaan macam apa itu?" Glover tetap bersikeras bahwa dia tak bersalah.Speed hanya bisa menghela nafas, mendengar argumen Glover. Di kota lain, serikat perdagangan seperti itu bisa menaikkan harga sampai lima atau tujuh keping. Dan terkadang masih ada pemotongan sepihak dan semena-mena untuk pemilik barang dagangan. "Sebaiknya, kamu banyak mengambil tugas atau misi ke luar kota". Speed menghela nafasnya lagi. "Ajax, anjing itu menemukan sesuatu. Bekas jubah yang bernoda darah.""Apakah jubah milik tuan?" Glover nampak khawatir."Belum bisa dipastikan. Jubahnya sudah hancur terkoyak dan ters