"Raja perang telah tiba!" teriak pendongeng.
Dia melanjutkan dengan ekspresi takut. "Raja kejam itu seperti bukan manusia. Besar, berbulu lebat, dengan tinggi lebih dari dua meter, lengan dan betisnya sangat kokoh, seperti batang pohon oak."Wajah pendongeng itu menunjukkan rasa muak. "Prajuritnya harus menyediakan seekor rusa atau beruang utuh, untuk makan malamnya.""Raja kejam ini ingin melahap Solandia!" jerit si pendongeng menyayat hati.Si pendongeng berhenti sejenak untuk memberi efek hening pada pendengar yang terlihat mulai terhanyut suasana. Diarahkannya seluruh pandangan ke pendengar yang ada.Di meja paling ujung di bar itu, dia melihat sosok yang dinantikanya. Pendongeng itu tersenyum samar ketika melihat sosok itu.Jaden duduk termenung, tak dihiraukannya suara si pendongeng yang seru menceritakan kisah kepahlawanan Solandia. Jovan sahabat karibnya tampak menghayati kisah tersebut. Air matanya menetes, ketika si pendongeng menceritakan kesengsaraan yang dialami Solandia, amarah tampak diwajahnya, ketika si pendongeng menceritakan tentang kekejaman raja perang. Kerinduan nampak sangat jelas, ketika si pendongeng menceritakan keindahan Solandia. Tanah kelahiran yang tak pernah dilihatnya lagi."Ayo pulang, habiskan minumannya," ajak Jovan yang berdiri dan membayar minuman mereka."Pulang? Kemana? Ke Solandia?" jawab Jaden lirih, seakan baru bangun dari tidur yang panjang."Barak peleton infanteri, lah! Itulah rumah kita sekarang!" Jovan berkata sambil memberikan sekeping uang emas pada si gadis kecil."Ayo cepat, nanti malam aku dapat jadwal jaga malam. Aku harus bersiap setelah jam makan malam," Jovan berjalan terburu-buru menuju barak mereka."Tunggu sebentar, aku lupa memberikan surat ini pada tuan Hector," decak Jaden sambil menghentikan langkahnya. "Kau ... pulanglah duluan, aku harus menyerahkan surat ini."Jovan terdiam, tidak biasanya Jaden sahabatnya itu melalaikan tugasnya. Dalam hati dia merasa bersimpati pada Jaden. Dia merasa bahwa Jaden masih terpukul karena insiden kapak sialan itu. Jaden telah menjadi bahan pembicaraan dan candaan di seluruh benteng.Pagi ini, secara sengaja, regu unit dapur membelah kayu bakar menggunakan kapak dan saling bercanda, persis didepan barak peleton Jaden. Sebuah tempat yang tidak biasanya mereka pakai. Andai mereka bukan unit khusus, mau rasanya Jovan menghajar mereka untuk membela harga diri Jaden. Sayang sekali dia tidak bisa melakukannya.Bersama unit medis, unit dapur adalah segalanya bagi prajurit yang berperang. Jovan mungkin harus menghadapi seluruh kesatuan bila berani menyakiti unit dapur. Bila tak beruntung berurusan dengan unit dapur, mereka bisa mengurangi jatah makan satu peleton, atau malah mengerjai lawan dengan berbagai macam trik melalui makanan yang dibagikan.Jovan segera bersiap untuk berangkat patroli malam. Sebelum berangkat, dia menuju kantor untuk melapor penugasannya. "Mantap!" pekiknya sambil tersenyum bahagia. "Menjaga rumah count … tak ada tugas yang sesulit ini, hanya aku yang bisa melakukannya hehehe…."Jovan merasa bahwa dia sangat beruntung malam ini. Semua prajurit yang ada di benteng tau, menjaga rumah count adalah berkah. Rumahnya adalah tempat teraman kedua setelah markas militer benteng Carthania.Tak ada yang perlu diperhatikan, penjaga dipersilahkan untuk istirahat, sering kali diberikan tambahan makanan, dan bila beruntung, bisa melihat sosok cantik putri Carmen.*Firasat Jovan ternyata benar. Malam ini dia sangat beruntung. Jovan datang ketika count sedang bersantai di kebun belakang rumahnya. Count Armand sedang bersama putrinya yang sangat cantik, namun tidak pernah sombong dalam pergaulan sehari-hari."Itu masalah besar Ayah!" sentak Putri Carmen.Tak sengaja Jovan mendengar suara seorang gadis muda. Itu pasti suara Putri Carmen. Pintu ditutup dan Jovan tak bisa mendengar suara apapun lagi."Ambilah apapun yang anda kehendaki didapur ini. Katakan pada pelayan, bila anda ingin sesuatu seperti teh atau kopi. Hanya alkohol yang dilarang dirumah ini!" instruksi dari kepala pelayan.Seperti biasanya, kepala pelayan yang kaku ini akan menerima surat penugasan dari prajurit yang dikirim barak. Memberi cap stempel, memberi makanan dan memberi pengarahan. "Lalu untuk malam ini, kau berjaga dikebun belakang.""Siap Pak! ... seperti biasanya!" sahut Jovan dengan tegas.Kepala pelayan memandang Jovan dengan pandangan lelah, dan mengulanginya lagi arahannya. "Kebun belakang ... kau berjaga di kebun belakang."Kepala pelayan berkata dingin dengan wajah yang selalu datar dalam situasi apapun. Salah satu keajaiban dunia menurut Jovan. Wajah yang tak pernah berubah seiring waktu adalah wajah kepala pelayan ini. Wajah datar abadi.Dengan perasaan heran, Jovan kembali berjalan menuju kebun belakang. Biasanya mereka yang ditugaskan, akan menempati pos penjagaan didepan rumah. Sebuah pos yang lebih mirip kamar di sebuah penginapan. Pos surgawi, sebutan Jovan dan rekan-rekan sejawatnya untuk tempat itu."Desa Mapple membutuhkan bantuan segera Ayah. Putri kepala desa adalah salah seorang sahabatku yang baik. Ladang mereka sudah tiga kali ini dirusak oleh sesuatu," rayu Putri Carmen."Para penebang kayu, pemburu, dan pedagang yang melintas, juga sering mengalami serangan, kabar terakhir sudah ada korban jiwa Ayah," urainya lagi."Ah ... mereka itu terlalu keras kepala, Nak. Andai mereka mau pindah ke selatan benteng, mungkin mereka akan lebih aman," sanggah Count Armand pada putrinya. "Desa itu terlalu jauh dari teritori kita, Cedric selalu pusing memikirkan biaya perawatan pos penjagaan yang ditempatkan disana."Count Armand mendesah. "Paling lama, hanya dua bulan, pos yang baru diperbaiki akan rusak lagi terkena serangan pengintai musuh atau suku Barbar. Serangan terakhir bahkan menghancurkan seluruh bagian pos, sampai rata dengan tanah.""Carmen … putriku …." bujuk Count Armand. "Bila kau sangat perduli dengan nasib kawanmu itu ... tolong bantu meyakinkan mereka untuk pindah ke wilayah yang lebih aman."Pos neraka, mereka pasti sedang membahas pos terkutuk di Desa Mapple. Jovan teringat akan pengalaman mengerikan ketika ditugaskan di desa tersebut. Dalam riwayat kesatuan, dari sebuah regu yang dikirim, paling banyak hanya setengah personel, yang dapat kembali dalam kondisi baik. Cedera berat adalah kondisi baik tersebut."Aku beruntung dapat kembali dalam kondisi baik tersebut," kenang Jovan dengan sendu. Ia menyeka setetes air penuh kedukaan, dengan hikmat ia mengenang kawan-kawannya yang gugur di pos neraka tersebut."Apa sebenarnya yang diharapkan dari desa sunyi tersebut? Mengapa mereka berkeras hati bertahan didesa itu?" Armand berkata pelan pada dirinya sendiri."Ayah!" geram putrinya. "Disanalah tanah kelahiran mereka, turun temurun mereka lahir, hidup dan dikubur disana. Penduduk Carthania yang lahir disana, ketika ajal menjelang, lebih memilih pulang kedesa tersebut untuk dikuburkan disana."Putri Carmen menegaskan. "Tak ada yang seindah kampung halaman Ayah!""Bukankah Ayah sendiri, yang sering mengatakan itu kepada kami. Ketika kawan-kawan Ayah mengajak untuk pindah ke ibukota dan masuk dalam lingkar kekuasaan kerajaan ... apa yang Ayah katakan?" sergah putrinya."Tak ada yang seindah kampung halaman…." ratap Jovan lirih, menjawab pertanyaan putri Carmen tersebut. Pikirannya melayang jauh ke setiap lapisan memori dalam kepalanya. Mencoba mengingat kembali seperti apa bentuk dan rupa rumah tempat dia lahir dan dibesarkan. Mengingat kembali setiap teman-teman bermain yang tumbuh dan berkembang bersama. Mengingat kembali wajah kedua orangtuanya dan sanak saudaranya.Jovan mengalirkan kembali air penyesalan dari dalam lubuk hatinya yang terdalam.Jovan seorang prajurit terlatih, yang ditempa dalam berbagai situasi demi mempertahankan hidup atau harus mati. Jovan menangis tersedu dalam keheningan malam, dia ternyata tidak bisa mengingat semuanya."Bagaimana dengan kadonya?" tanya seseorang yang berkerudung di pojokan sebuah pemakaman. Malam yang dingin dan sunyi itu seakan melindungi pertemuan rahasia mereka. "Tepat pada waktunya, sebelum pembawa pesan kerajaan tiba, aku telah menitipkan pada orang terpercaya, karena segel itu terpaksa kubuka," jawab seorang utusan. "Membuka segel kerajaan itu pengkhianatan". "Ya … tapi sebanding dengan hasilnya," ujar orang berkerudung itu. "Dan hasilnya? Apakah sesuai dugaan kakek?" Utusan itu mengangguk tegas. "Dugaan kakek benar. Inilah hasilnya," Dia mengeluarkan sebuah kantong kecil, mengintip isinya dan menyerahkannya pada kawannya. "Simpan baik-baik, jangan sampai ketauan siapapun," tegasnya."Aman … malam ini juga aku akan bertamu ke rumah kakek. Aku juga tak mau menyimpan barang ini," ujar orang berkerudung itu. "Baik … segeralah berangkat, aku masih ingin menyandarkan punggungku sebentar," desah urusan itu. *Jovan menyandarkan punggungnya ke dinding pagar. Bayangan tentang kam
"Pedang ini asli," kata tamu itu."Mustahil! Sir Milan adalah saksi mata pada waktu pemakaman mendiang raja," Sir Armand bersikeras tak bisa mempercayai kenyataan itu."Ya. Sesuai wasiat Raja Pantheron August II, beliau menginginkan pedang ini untuk dibawa ke alam kubur," lanjut tamu itu lagi."Perdebatan sengit terjadi diantara kaum bangsawan saat itu, terutama dari kalangan militer melawan bangsawan keluarga kerajaan yang menjunjung tinggi protokol.""Maksudnya?" sela Count Armand."Berdasarkan tradisi pemakaman raja-raja sebelumnya, jenazah raja akan dikuburkan bersama pedang kesayangannya atau pedang yang berharga. Tidak pernah ada raja yg dikuburkan dengan membawa pedang yang rusak," terang orang itu sambil melepas kerudungnya. "Kalangan militer sangat terharu dengan wasiat raja, yang memang sangat dihormati oleh kalangan militer itu. Dari sisi berlawanan, kaum bangsawan sangat menentang hal itu.""Cedric dengan senang hati mempersembahkan pedang tersebut. Sir Milan sendiri yang m
Malam ini bulan bersinar terang, langit cerah dan bintang bertaburan. Malam yang sangat damai, menurut Jaeger. Apalagi dengan berdiam diri didepan sebuah api unggun. Bagi seorang penjelajah sepertinya, api unggun adalah semacam ritual sebelum tidur yang wajib dilakukan. Jaeger selalu terpesona dan seakan terhipnotis oleh kobaran api dan liukan tariannya ketika terhembus angin. "Paman! Masuklah," Seorang pemuda datang dan membuyarkan lamunannya."Mengapa engkau suka membuat api unggun di halaman belakang dan duduk diam sendirian saja? Kalau kedinginan, masuklah dan duduk di depan perapian bersama yang lainnya," saran pemuda itu."Semua orang membicarakanmu Paman,"Pemuda itu mendekat dan duduk disampingnya. Jaeger hanya tersenyum, dan tetap diam sambil terus memandang tarian api di depannya. "Cobalah ini Paman, Marius membawa minuman baru dari kerajaan Gothlandia. Mereka menyebutnya goldenkey," Jaeger menerima botol itu, menenggaknya sampai hampir habis. Sambil tersenyum lebar, dia
"Bersihkan noda darah ini. Selesaikan sebelum para pelayan bangun dan mulai berdatangan," perintah Hector. "Sebelum matahari terbit, aku harus meninggalkan tempat ini, atau orang-orang akan curiga. Aku akan mengurus yang di dalam," Hector menutup pintu dan terdengar suara perabotan bergeser.Durant bergegas ke arah dapur. Setelah mengganti pakaiannya, dia merebus air dan menyiapkan kain untuk mengelap bekas noda darah. Diambilnya sekantong bubuk kopi. Dalam hatinya Durant merasa berat menggunakan bubuk hitam kecoklatan nan harum menyegarkan itu, untuk menutupi bau amis darah. "Benar-benar malam yang berat kali ini," gumamnya.Dalam hati dia merasa curiga dengan stoples tempat penyimpanan kopi dan gula yang berantakan. "Ada tikus di rumah ini. Esok harus dilakukan perburuan," Durant tidak menyadari bahwa itu semua adalah ulah Jovan, yang tak pernah menyeduh kopi atau teh seumur hidupnya. Segera Durant membersihkan meja kerja para juru masak. Mereka sangat sensitif akan kebersihan dan ta
"Cepat! Kita harus segera tiba sebelum waktunya!" seru seorang pria dari dalam kereta."Kita harus mengantarkan uang ini ke pelabuhan secepatnya," kata pria bangsawan itu. "Nasib anakku ada di dalam peti ini.""Earl tenanglah, semuanya akan baik-baik saja," hibur pengawal pribadinya. "Sebentar lagi kita akan sampai. Tak akan kubiarkan ada orang yang berani menyentuh Anda. Kujanjikan hidupku demi keselamatan Anda.""Apalah arti hidupku ini? Aku hidup sudah cukup lama. Sedangkan anakku, aku sungguh bersalah padanya," ratap seorang ayah yang khawatir. "Maaf Earl, ini bukanlah kesalahan Anda. Menurut saya, ini tetaplah kesalahan pengawal tuan muda itu," sanggah sang ahli pedang yang setia itu. "Pengawal tidak hanya sekedar menjaga disaat berada disamping tuannya, pengawal sejati itu juga melindungi masa depan tuannya.""Informasi yang saya dapatkan, Slover dengan licik mengajak tuan muda ke berbagai pertemuan hura-hura, dengan kalangan pemuda bangsawan lainnya, menyimpangkan arah tuan mu
"Minumlah ini untuk menenangkan diri. Minuman ini disebut goldenkey," kata Cedric dengan sedih. "Aku berharap bisa memberimu sebuah kunci lain yang lebih kau perlukan, sayangnya aku tidak bisa."Cedric menatap prajurit yang terluka di depannya dengan pandangan sedih. Dia menganggap semua prajurit adalah satu keluarga. Suka dan duka yang dialami prajurit ingin ditanggungnya juga bersama mereka. "Mengapa kau tidak menikah saja," gumam Cedric. Prajurit itu tampak heran akan pernyataan Cedric. Masih belum kering tanda perjuangan seorang prajurit yang berupa luka berdarah. Masih belum hilang rasa letih, yang seharusnya sebuah kepuasan, setelah memperoleh pencapaian dari sebuah pengalaman menantang maut. Masih teringat jelas sosok yang memberikan pengalaman berharga itu. Sosok yang meninggalkan tanda mata berupa ketakutan di hatinya.Kemampuan berpikirnya belum terbangun sempurna. Jovan tidak perlu menjadi seorang bijak untuk mendapat pencerahan atas situasi ini. Ada sesuatu yang kelir
Cedric berlari ke arah rumahnya sambil diikuti bocah pelayan di belakangnya. Sesaat dia menoleh kebelakang sambil melirik Jaden. Tiba-tiba Cedric berhenti dan terlihat memberi perintah pada si bocah. Cedric lalu melanjutkan perjalanan nya, sedangkan si bocah berlari kembali ke arah Jaden. "Paman, jendral memanggilmu. Engkau disuruh mengikutinya ke rumah," teriak anak itu. "Secepatnya paman," Bocah itu menarik tangan Jaden agar segera beranjak dari tempat itu."Tunggu, jalan mana yang harus kuambil?" tanya Jaden."Ikuti saja jalan ini, arah jembatan, rumah yang halamannya penuh dengan samsak. Aku harus ke pasar. Jendral menyuruhku membeli sesuatu," Bocah itu segera berlari menuju pasar. *Siang ini pasar tidak terlalu ramai. Tidak banyak yang melakukan duel tawar menawar harga yang mempertaruhkan keuntungan. Bocah pelayan itu berjalan santai sambil melihat-lihat sekitar. Seorang pria tua melemparkan sebutir apel, dengan sigap ditangkapnya apel itu sambil tertawa senang.Semua orang
"Botak apakah kau tidak tau, bahwa berapapun kantor perdagangan itu bisa menjual, kau akan tetap dibayar dengan harga kesepakatan awalmu," cibir Speed. "Mengapa kau ribut, hanya untuk masalah sepele seperti itu.""Mereka itu penipu. Kalau aku tau mereka bisa menjual dengan harga dua belas keping perak, tak akan mau aku menerima hanya sembilan keping perak. Mendapat tiga keping hanya duduk diam? Pekerjaan macam apa itu?" Glover tetap bersikeras bahwa dia tak bersalah.Speed hanya bisa menghela nafas, mendengar argumen Glover. Di kota lain, serikat perdagangan seperti itu bisa menaikkan harga sampai lima atau tujuh keping. Dan terkadang masih ada pemotongan sepihak dan semena-mena untuk pemilik barang dagangan. "Sebaiknya, kamu banyak mengambil tugas atau misi ke luar kota". Speed menghela nafasnya lagi. "Ajax, anjing itu menemukan sesuatu. Bekas jubah yang bernoda darah.""Apakah jubah milik tuan?" Glover nampak khawatir."Belum bisa dipastikan. Jubahnya sudah hancur terkoyak dan ters
"Dugh! Bangun! Kemana perginya kawanmu itu?" Seorang pria menendang Stab dan menginterogasi orang yang baru saja tak sadarkan diri.Sekelompok tawanan yang tadinya merasa gagah, menjadi sedikit ciut nyalinya. Tanpa seorangpun yang menyadari, Romeo telah berhasil meloloskan diri. Hilang lenyap bersama tali yang mengikat dirinya."Apa kalian lalai menggeledah bandit itu? Jangan-jangan dia menyembunyikan pisau di badannya" gerutu pria yang mengangkat dirinya sendiri sebagai pemimpin perlawanan itu. Stab terbangun akibat rasa sakit dari tendangan keras di rusuknya. Wajah-wajah asing yang tak pernah diingatnya sama sekali, sedang mengerumuninya. Stab adalah penjahat sejati berdarah dingin, dia tidak pernah mengingat wajah para korban yang terlihat sama di matanya.Wajah seperti domba, yang biasanya memohon untuk kehidupannya itu nampak berbeda kali ini. Ada sorot amarah dan harapan di wajah yang tidak lagi merana itu. Harapan untuk memutus sebuah mata rantai kekejaman dan kejahatan."Gel
"Bandit?" Mata Jenderal Cedric menunjukkan gairah yang lama terpendam."Tunggu sebentar! Aku ikut, sudah lama aku mendengar insiden di Desa Mapple. Urusan warga kota biarlah diatur oleh Sir Milan dan Hector, sebentar lagi juru arsip yang terluka itu pulih dan bisa membantu mereka," seloroh Jendral yang sedang bosan itu."Sir Milan berpesan agar anda tetap di markas," tutur Jaden dengan nada segan. "Duke Robert hendak bertemu secara pribadi. Ada hal penting yang hendak disampaikan beliau," tegasnya."Aish … kirim utusan pada Duke Robert, katakan aku akan mengunjunginya segera. Menjaga keamanan wilayah itu lebih penting," sergah Jenderal Cedric."Ini bukan masalah besar Jenderal," cegah Jaden, yang lebih takut dengan amarah Sir Milan. "Kami hanya membantu regu yang bertugas, untuk menutup jalan keluar dari Desa Mapple, agar seluruh bandit dapat tertangkap. Regu yang dipimpin Sir Aiden sangat yakin bisa mengatasi bandit-bandit itu," bebernya."Hm … Sir Aiden sampai turun tangan sendiri y
"Rom! Kabar buruk, hosh … hosh … berikan aku minum," pinta Stab yang nampak habis berlari sekuat tenaga."Ada apa? Apa rencana kita gagal? Apakah rombongan ketua tertangkap?" buru Romeo tak sabaran.Stab menghabiskan air dalam kantung itu. Nafasnya belum pulih sepenuhnya. "Parah … lebih parah lagi," semburnya menambah kekhawatiran Romeo."Apa yang bisa lebih parah dari tertangkap?" cebik Romeo."Kabur! Ketua dan rombongannya tidak membuat kerusuhan seperti rencana awal. Dia melanjutkan perjalanan dan meninggalkan desa menuju perbatasan!" pekik Stab. "Kita ditinggalkan di hutan ini, aku yakin dia menggunakan kita untuk mengalihkan perhatian.""Apa kau yakin?" lirih Romeo."Aku melihat sendiri! Seperti biasa aku memilih posisi paling aman, jadi aku memilih rombongan ke dua setelah rombongan ketua melumpuhkan penjaga," urai Stab. "Ternyata hanya lima orang yang bersedia menjadi rombongan pertama untuk membuka jalan.""Hm … hanya lima orang? Tanpa kehadiran ogre itu sama saja misi mengant
"Wow … benar-benar sembuh," puji Coman. "Jangan-jangan kau ini benar-benar ogre.""Hahaha … mana ada ogre yang berniat berhutang duapuluh keping uang emas dengan ganti sebuah pedang," balas Jack. "Biaya melintas sampai Gothlandia itu memakan lebih dari lima keping. Kecuali kau melewati daerah kaum barbar, bebas biaya masuk.""Kau benar-benar hebat kawan," puji Coman sambil mengganti kain perban di lengan kiri Argon. "Kau bertahan hidup hanya demi menyampaikan kabar mengenai rekan-rekanmu yang gugur di pertempuran sepuluh tahun yang lalu."Jack tersenyum dan mengembalikan pedang besar itu pada Argon. "Maaf, kami membaca surat dan daftar nama itu tanpa seijinmu."Argon membalas dengan senyuman pedih di hatinya. Betapa dia mengutuk ketidak mampuannya sendiri. Usaha sederhana untuk mengakhiri kehidupannya yang hitam dan kelam itupun gagal, di tangan ksatria yang diharap bisa menolongnya."Maafkan aku juga bila meminta kalian melakukan hal yang di luar kemampuan," balas Argon. "Mencari sem
"Tak bisa dibiarkan! Keluarga Durandal itu sejak dulu selalu kurang ajar," geram seorang bangsawan tua sambil merobek sepucuk surat."Pelayan! Panggil cucuku kemari, ada yang hendak kubicarakan," perintahnya tegas. "Berani-beraninya si tua bangka itu mencoba mencari jodoh untuk cucuku," gerutu Sir Duval.Si pelayan segera berlari tergopoh-gopoh menuju ruang berlatih. Ruangan itu sedang ramai para prajurit dan ksatria yang sedang mengelilingi dan menyoraki sebuah duel yang sedang berlangsung. Tak ada satupun yang mempedulikan omongan pelayan yang sedang mencari cucu Sir Duval.Susah payah pelayan bertubuh kecil itu menerobos kerumunan. Seketika lututnya lemas melihat orang yang sedang berduel. Tuan muda Aaron sang cucu Sir Duval sedang mempertaruhkan nyawa melawan seorang royal knight dari istana."Trang! Trang! Trang!" suara tiga kali pukulan penuh tenaga ksatria itu ditangkis Aaron.Ksatria itu tampak santai dan meremehkan. Sekilas dia melirik ke arah penonton. Seorang pemuda berpaka
"Brengsek! Mengapa tak ada yang membangunkan aku!" raung Romeo. "Hampir tengah hari, mana ketua?" tanyanya lagi dengan nada khawatir. Baru kali ini dia merasa menyesal meninggalkan kesempatan untuk melihat sapaan mentari terbit. "Hahaha … tenang, aku juga bangun kesiangan. Ketua sudah pergi bersama Bernie untuk mengintai," jawab Stab. "Ketua agak cemas karena kita sudah tidak memiliki senjata pemusnah lagi. Lagipula … tak ada seorangpun yang berani mengganggu tidurmu. Hehehehe."Dengan malas Romeo bangun dan berjalan pelan untuk membasuh muka. Kepalanya masih berdenyut, akibat efek minuman semalam. Kesadarannya masih belum pulih sepenuhnya, namun dia cukup sadar untuk menyadari kegiatan rekan-rekannya."Mengapa kalian sudah membongkar tenda-tenda itu?" tanya Romeo pada seorang bandit."Kita akan pulang, misi selesai," jawab bandit itu sambil mengikat erat kain tenda."Kita akan menyamar menjadi pedagang, mengelabui penjaga dan membuat kerusuhan begitu masuk desa itu," sela Stab. "Se
"Rom! Bagaimana ogre bisa hilang?" tanya seorang pria dengan wajah penuh bekas luka. Tatapan sadis dari matanya, cukup untuk menghilangkan keberanian seorang Romeo."Pe- Penyihir darah. Kami bertemu sekumpulan orang tiga hari yang lalu. Kami kira akan mendapatkan domba gemuk untuk tambahan kiriman akhir bulan ini," jawab Romeo takut-takut. "Ternyata seorang dari mereka adalah penyihir.""Kau … dasar gila. Rencana kita akan terganggu bila tak ada ogre," umpat orang yang ternyata seorang pemimpin kawanan bandit. "Kau sudah pakai peluitnya?" tanyanya lagi dengan khawatir."Su- sudah kapten. Berkali-kali kutiup peluit itu. Kami tunggu di tempat persembunyian sementara selama semalaman, ogre itu tidak pernah muncul," jelas Romeo menguraikan tindakannya yang sudah sesuai prosedur.Gregor termenung mendengar penjelasan itu. Kapten kawanan bandit itu sudah bisa menyimpulkan sesuatu. Kisah ogre yang meneror Desa Mapple telah tamat."Kami salah memilih korban untuk kali ini. Beruntung kami berd
"Wah … mengapa semuanya berkumpul di tempat ini?" sela Hogan memotong diskusi antar petani yang sedang berlangsung."Maafkan saya yang belum memperkenalkan diri. Saya Hogan, juru bicara perwakilan petani yang gelisah dan ingin memperjuangkan haknya," urai Hogan tanpa ada yang bertanya. Semua yang ada menoleh heran pada asal suara sumbang itu. Terutama para petani yang merasa tidak mengenal juru bicaranya sendiri itu."Ah, tidak sopan rasanya bila saya tidak mengikuti pembicaraan tentang nasib para petani yang sedang diperjuangkan ini," lanjutnya lagi. Sir Conrad merasa ada hal yang kurang beres dengan orang ini. Pengalaman mengajarkan untuk waspada dengan tipe sepertinya. "Oh ya, silahkan duduk bergabung bersama kami," ujar Sir Conrad datar.Fastleg yang juga menyadari ketidakberesan Hogan langsung mengambil inisiatif melanjutkan diskusi. "Bawang putih juga naik drastis harganya. Kalian harus tau penyebab kenaikan harga yang tiba-tiba itu," ujarnya."Apa benar ini ada hubungannya de
"Duagh! Menjengkelkan sekali petani-petani itu. Mereka masih saja keras kepala menolak permintaan kita," keluh seorang pria bangsawan, sambil mengelus tangannya yang sakit karena menghantam meja."Sabar Baron, sebentar lagi musim dingin tiba. Kereta kita masih berjalan sesuai jalurnya," ucap pria gemuk pendek yang duduk di seberang mejanya."Kita dikejar waktu!" bentak baron itu. "Ini momen dan kesempatan bagus."Pria gemuk itu menggosok telapak tangannya. "Anda sendiri bagaimana? Kereta kita tidak akan melaju bila anda tidak mendapat dukungan dari 'yang lebih tinggi' daripada Anda," ucapnya sinis. "Bragh!" suara meja itu kembali kena gebrak. "Itulah sebabnya kita harus cepat bergerak. Viscount Gerald pasti tidak akan bertahan menghadapi musim dingin ini. Bila tetap berada di bawah kepemimpinan orang itu, musim dingin ini kita akan ikut mati kedinginan.""Hehehe … hahahaha! Aku ini seorang pedagang. Tidak mungkin seorang pedagang akan mati kedinginan di musim dingin," sergah orang ge