Aku mendatangi kantor pengadilan agama itu bersama Mama. Papa yang sudah pulang, enggak kuajak. Beliau berkata tak ingin bertemu dengan lelaki yang sudah menyaitiku itu."Jangan pedulikan apapun perkataan mereka nanti, ya, Rain! Mama selalu ada di belakangmu!"Aku mengangguk seraya berjalan menuju pintu masuk. Dari kejauhan, terlihat keluarga Mas Arga tengah duduk di ruang tunggu. Ada Shelina juga. Wanita itu, benar-benar tak tahu malu.Kami berjalan melewati mereka. Tak ada niatan untuk menyapa. Buat apa? Aku duduk tak jauh dari gerombolan keluarga cemara itu.Mas Arga menatapku sendu. Aku hanya mengacuhkannya. Dia sebentar lagi akan menjadi mantan suami, aku tak perlu bersimpatik padanya.Sidang pun dimulai. Meskipun alot, namun akhirnya selesai dengan seluruh harta mertua menjadi milikku kecuali rumah yang mereka tempati sekarang."Dasar wanita serakah!" ucap Shelina saat aku berjalan melewatinya.
Esok paginya, kami bertiga-aku, Nur, dan Megan, pergi ke rumah Ibu mertua. Izin itu perlu, karena biar bagaimanapun, beliau adalah ibu dari Megan, jadi ia harus datang ke sana meskipun suasana hatinya nanti menjadi tidak baik.Mama berniat ikut juga, namun kutolak karena takut dianggap terlalu mencampuri urusan keluarga itu. Nur pun kuajak karena aku akan ke toko setelah pulang dari sana, jadi dia bisa menemani ibu hamil itu pulang ke rumah.[Dek, bisa kita bertemu?] Pesan dari Mas Arga masuk ke ponselku.[Mau ngapain?]Sudah tak ada hal yang perlu kami bicarakan, untuk apa kembali bertemu?[Di rumah lagi banyak masalah, aku pusing. Pengen ketemu sama kamu.]Cih! Dulu aja menyiksa, seolah aku tak berharga. Namun kini, dia malah datang membutuhkanku? Maaf, tak ada ruang lagi untukmu.[Maaf, aku hari ini sibuk.]Pesan lain masuk, dari Indri. Satu persatu pesan kubaca, ada masalah di toko katanya. Selama ini aku memang terlalu
Aku masih bergeming ditempat, menatap Kak Diana tanpa mengalihkan pandangan sedikitpun."Apa?" tanyanya tanpa menatapku."Maksud Kakak apa tadi?""Nggak usah pura-pura, kamu juga tahu itu."Aku terperanjat. Jadi, pemikiranku tadi tak salah? Ya Allah, Kak Diana. Shelina, benar-benar urat malunya sudah terputus.Aku menyuruh Nur untuk pulang terlebih dahulu, mungkin rencanaku untuk ke toko akan gagal.Nur pun menurutinya, kupesankan taksi online dan menyuruhnya untuk menunggu di depan pagar karena jarak taksinya dekat."Aku pulang dulu, ya, Kak," ucap Nur sambil menyalamiku, juga Kak Diana."Hati-hati di jalan, yak. Jaga diri, jangan kayak Megan."Deg!Aku tahu sekarang. Ia, bukan tak memedulikan adik bungsunya, hanya saja terlampau sakit menghadapi kenyataan salah satu anggota keluarga mencoreng nama baik kita.Nur hanya mengangguk, kemudian pergi keluar."Duduk sini!" perintah Kak Diana.Aku seg
"Apa, Mas?" tanyaku, ternyata Mas Arga lah yang menahan langkahku."Makan dulu aja.""Nggak usah, Mas. Aku dan Megan masih ada urusan," jawabku."Iya, Mas. Silakan kalian makan aja. Kami pamit dulu," ucap Megan."Kamu berbeda sekali sekarang, Dek," kata Mas Arga padaku."Lalu, siapa yang membuatku jadi seperti ini?"Kami lantas pergi meninggalkan rumah megah itu. Yang penting Ibu sudah memberikan izinnya pada Megan."Alhamdulillah, Kak. Ibu mau memberikan izinnya."Lantas kubuka ponsel dan menelpon Alfi. Ingin menanyakan kapan sekiranya ia dan keluarganya akan datang.Panggilan pertama tak tersambung, hingga akhirnya ada sebuah suara dari seberang sana."Halo, Kak.""Halo, Alfi?""Iya, Kak. Ada apa?""Kakak mau nanya, kapan kamu dan keluarga siap ke rumah? Ingat, perut Megan sudah semakin membesar. Apa kata tetangga nanti?" tany
Kami semua terkesiap, begitupun dengan sang penghulu, beliau menarik kembali tangannya.Ternyata itu adalah Mas Uji. Dia datang dengan langkah terburu-buru. Kenapa dia?"Hentikan ini, Rain. Kamu mau menikah? Aku baru saja mau melamarmu. Kenapa kamu malah menikah dengan orang lain?!"Aku terbengong, sementara yang lain mengulum senyumnya. Kecuali Mas Arga, ia menatap tak suka pada lelaki di hadapanku ini."Aku nggak peduli statusmu, Rain. Mau kamu janda, gadis, kamu tetap sama di mataku. Sejak dulu, saat masih bertetangga!"Deg!Jadi, dulu Mas Uji juga menaruh rasa padaku? Aku pikir, itu hanyalah cinta monyet biasa. Takkan berlanjut saat usia kita sudah mulai beranjak dewasa.Riuh tepuk tangan menghiasi acara akad, Mama dan Papa tersenyum padaku. Aku tahu, mereka memang menyukai Mas Uji sedari kami masih di kampung.Mas Uji yang selalu rajin salat di masjid, membantu sesama, bahkan
"Pa, jangan gitu, dong! Kasian Mas Uji, nanti tertekan," ucapku sambil menarik ujung baju Papa."Papa percaya, kalau Uji bisa membahagiakan Raina sepenuhnya. Kita kan udah kenal dekat. Agamanya pun alhamdulillah, gak kaya..."Ampun Papa! Kini beliau tengah melirik Mas Arga, benar-benar mirip emak tiri yang lagi nyinyirin anaknya!Papa emang termasuk dekat denganku, dulu kami sampai harus berantem dulu hanya karena aku akan menikah dengan Mas Arga. Meskipun lambat laun sikapnya berubah menjadi lembut, namun kini harus menelan pil kecewa lagi. Papa, maafkan aku!Mama yang berada di luar pun masuk, terheran dengan kami yang tengah berdiri mematung."Kalian kenapa?""Lho, kok Mama masuk? Megan mana?" tanya Papa."Ya lagi sama orang tuanya lah, Pa!"Mas Arga terlihat canggung sekali berada di antara kami. Apalagi selanjutnya Mama dan Papa mengajak ngobrol Mas Uji. Makin-makin lah ia!
"Siapa, Rain?" tanya Mama dari dalam."Nggak tahu-"Mataku membulat sempurna saat melihat Mas Uji keluar dari pintu kemudi. Ia hari ini berpakaian rapi, seragam batik pun sepertinya pilihannya.Tak lama, beberapa orang turun menggunakan kemeja senada. Astaghfirullah, benarkah perkataannya kemarin itu?Aku tersentak karena sebuah tepukan di pundak. Nur terlihat melongo mendapati tamu di pagi hari."Mas Uji, mau lamar Kakak, ya?" godanya."Apaan, sih? Ketemu lagi kan baru beberapa hari yang lalu, masa iya mau nikah?" elakku."Tapi, Kak, perasaan waktu cinta monyet itu jangan disepelakan, lho. Buktinya temen Nur sekarang menikah dengan lelaki yang dulu pernah disukainya.Ucapan Nur membuatku terdiam. Masa sih, aku mau menerima lamarannya? Apa tidak terlalu buru-buru? Apa nantinya aku takkan dicap murahan oleh orang sekitar?"Ma, ada tamu di depan," ucapku."Siapa,
"Saya terima nikah dan kawinnya Raina Saraswati Binti Hendrawan dengan mas kawin seperangkat alat salat dibayar tunai!" Suasana mengharu-biru mulai menguasai suasana. Mama beberapa kali mengusap air matanya. Begitupun dengan Papa, beliau terlihat menaruh banyak harapan pada lelaki yang kini telah resmi menjadi suamiku. Setelah menandatangani buku nikah, kami berdua foto dahulu. Tamu pun ramai berdatangan. Teman kantorku dulu, karyawan toko beserta keluarganya, dari pihak Mas Uji serta orang terdekat kami datang semua. Tak lupa, Ibu dan Kak Diana pun datang. Mantan suamiku itu tak terlihat. Biarkan lah! Toh aku pun tak menginginkannya ada di sini. "Ayo pengantinnya duduk dulu di kursi pelaminan!" perintah photografernya. Mas Uji mengulurkan tangannya, dan aku langsung menyambut. Riuh godaan menghampiri kami. Ya Allah, kenapa rasa bahagia kali ini sangat berbeda dengan yang dulu? "Duduk, Na," ucapnya. Aku duduk terlebih dahulu, begitupun dengannya. Rasanya kali ini aku benar-bena