Kami semua terkesiap, begitupun dengan sang penghulu, beliau menarik kembali tangannya.
Ternyata itu adalah Mas Uji. Dia datang dengan langkah terburu-buru. Kenapa dia?
"Hentikan ini, Rain. Kamu mau menikah? Aku baru saja mau melamarmu. Kenapa kamu malah menikah dengan orang lain?!"
Aku terbengong, sementara yang lain mengulum senyumnya. Kecuali Mas Arga, ia menatap tak suka pada lelaki di hadapanku ini.
"Aku nggak peduli statusmu, Rain. Mau kamu janda, gadis, kamu tetap sama di mataku. Sejak dulu, saat masih bertetangga!"
Deg!
Jadi, dulu Mas Uji juga menaruh rasa padaku? Aku pikir, itu hanyalah cinta monyet biasa. Takkan berlanjut saat usia kita sudah mulai beranjak dewasa.
Riuh tepuk tangan menghiasi acara akad, Mama dan Papa tersenyum padaku. Aku tahu, mereka memang menyukai Mas Uji sedari kami masih di kampung.
Mas Uji yang selalu rajin salat di masjid, membantu sesama, bahkan
"Pa, jangan gitu, dong! Kasian Mas Uji, nanti tertekan," ucapku sambil menarik ujung baju Papa."Papa percaya, kalau Uji bisa membahagiakan Raina sepenuhnya. Kita kan udah kenal dekat. Agamanya pun alhamdulillah, gak kaya..."Ampun Papa! Kini beliau tengah melirik Mas Arga, benar-benar mirip emak tiri yang lagi nyinyirin anaknya!Papa emang termasuk dekat denganku, dulu kami sampai harus berantem dulu hanya karena aku akan menikah dengan Mas Arga. Meskipun lambat laun sikapnya berubah menjadi lembut, namun kini harus menelan pil kecewa lagi. Papa, maafkan aku!Mama yang berada di luar pun masuk, terheran dengan kami yang tengah berdiri mematung."Kalian kenapa?""Lho, kok Mama masuk? Megan mana?" tanya Papa."Ya lagi sama orang tuanya lah, Pa!"Mas Arga terlihat canggung sekali berada di antara kami. Apalagi selanjutnya Mama dan Papa mengajak ngobrol Mas Uji. Makin-makin lah ia!
"Siapa, Rain?" tanya Mama dari dalam."Nggak tahu-"Mataku membulat sempurna saat melihat Mas Uji keluar dari pintu kemudi. Ia hari ini berpakaian rapi, seragam batik pun sepertinya pilihannya.Tak lama, beberapa orang turun menggunakan kemeja senada. Astaghfirullah, benarkah perkataannya kemarin itu?Aku tersentak karena sebuah tepukan di pundak. Nur terlihat melongo mendapati tamu di pagi hari."Mas Uji, mau lamar Kakak, ya?" godanya."Apaan, sih? Ketemu lagi kan baru beberapa hari yang lalu, masa iya mau nikah?" elakku."Tapi, Kak, perasaan waktu cinta monyet itu jangan disepelakan, lho. Buktinya temen Nur sekarang menikah dengan lelaki yang dulu pernah disukainya.Ucapan Nur membuatku terdiam. Masa sih, aku mau menerima lamarannya? Apa tidak terlalu buru-buru? Apa nantinya aku takkan dicap murahan oleh orang sekitar?"Ma, ada tamu di depan," ucapku."Siapa,
"Saya terima nikah dan kawinnya Raina Saraswati Binti Hendrawan dengan mas kawin seperangkat alat salat dibayar tunai!" Suasana mengharu-biru mulai menguasai suasana. Mama beberapa kali mengusap air matanya. Begitupun dengan Papa, beliau terlihat menaruh banyak harapan pada lelaki yang kini telah resmi menjadi suamiku. Setelah menandatangani buku nikah, kami berdua foto dahulu. Tamu pun ramai berdatangan. Teman kantorku dulu, karyawan toko beserta keluarganya, dari pihak Mas Uji serta orang terdekat kami datang semua. Tak lupa, Ibu dan Kak Diana pun datang. Mantan suamiku itu tak terlihat. Biarkan lah! Toh aku pun tak menginginkannya ada di sini. "Ayo pengantinnya duduk dulu di kursi pelaminan!" perintah photografernya. Mas Uji mengulurkan tangannya, dan aku langsung menyambut. Riuh godaan menghampiri kami. Ya Allah, kenapa rasa bahagia kali ini sangat berbeda dengan yang dulu? "Duduk, Na," ucapnya. Aku duduk terlebih dahulu, begitupun dengannya. Rasanya kali ini aku benar-bena
Suamiku itu terbahak, entah apa yang membuatnya tertawa? "Kita udah suami istri, lho." "Terus?" "Ya nggak terus-terus." Tiba-tiba. Klik! Lampu dimatikan. "Mas uji, ih!" --Esok paginya. Aku dan dia masih dalam keadaan biasa saja. Jangan membayangkan yang iya-iya, karena itu hanya ada dalam imajinasi kalian saja, hehe. Papa dan Mama tersenyum melihat kami keluar dari kamar, namun senyum itu memudar saat melihat rambutku. "Kok kering?" tanya Mama. "Eh?""Ma, apaan sih? Malu itu si penganten barunya." Mama menutup mulutnya. Lalu mempersilakan kami duduk untuk sarapan. "Uji, kerjaannya gimana?" tanya Papa. "Mungkin sementara waktu bakal diambil alih sama temen Uji, Om, eh Pa. Maaf, belum terbiasa." Aku dan Mama terkekeh mendengar obrolan keduanya. Nita belum bangun, mungkin kecapekan gara-gara kemarin mengurus acara pernikahanku. "Jani nanti mau ngecek toko dulu. Mas Uji mau ikut atau di rumah aja?" tanyaku. "Ikut aja deh, Jan. Daripada di rumah, bete." Aku mengangguk s
"Siapa itu?" teriakku. Dan saat menghadap ke Mas Uji ... Blush! Dapat kupastikan sekarang wajahku sudah seperti kepiting rebus! "Mas Uji, ih!" Aku memberontak dan membuka pintu. Beberapa orang terlihat menundukkan kepalanya. "Siapa tadi yang masuk ke dalam ruanganku?" tanyaku. Beberapa dari mereka terlihat saling sikut. Hm, apakah mereka takut? "Apakah kalian tau kalau perbuatan tadi sangatlah tidak sopan?""Anu, Bu ... Tadi, saya yang mau masuk ke dalam. Karena sudah kebiasaan. Kalau tak ada Ibu, biasanya saya yang di dalam, kan?" tanya Indri. "Iya." "Nah itu. Saya lupa, Bu." Aku tertawa, melihat raut wajah mereka yang panik. "Kenapa kalian serius banget? Aku ini nggak papa, loh. Cuma kaget aja." "Maaf, ya, Bu. Saya lupa dan tadi tidak sengaja melihat eeem-" Kututup mulut indri agar tak melewati batas. Bisa bahaya jika mereka mendengar apa yang terjadi tadi di dalam. Bisa-bisa aku jadi bahan perghibah-an mereka. "Ya sudah, Indri. Silakan masuk ke dalam. Saya sama suami
"Mas?!" panggilku."Eh, kenapa?""Aku, mau minta maaf."Mas Uji meletakan ponsel di sakunya. Aku terus mengikuti arah ponsel itu. Untuk apa Mas Uji memasukkannya? Apakah ia takut ketahuan?Mas Uji mengusap pelan rambutku, lalu mengangguk. Sebuah senyuman terukir di wajah tampannya. Ah, tidak, Raina! Jangan sampai kamu tergoda oleh senyumannya itu!Tapi ... Manis! Astaga, Raina, ada apa denganmu?"Kenapa geleng-geleng begitu? Pusing?"Aku mendongak, kemudian menggeleng saja. Meskipun aku masih saja penasaran dengan objek yang membuat Mas Uji tersenyum-senyum sendiri."Lho, Kak Rain?" Aku menoleh saat seseorang memanggil namaku."Eh, Alfi. Sendirian?"Alfi menyalamiku dan Mas Uji. Ia sebenarnya adalah orang yang baik, selama beberapa bulan mereka menikah, aku melihatnya begitu menyayangi Megan."Iya, Mbak. Megan maunya di rumah aja. Kemarin iku
Ia tengah chattingan dengan Nur. Adikku itu ternyata curhat dan nanya-nanya soal lelaki yang kemarin datang ketika lamaran.Namun, kenapa Mas Uji sampe tersenyum seperti itu?"Rain, ngapain?"Aku panik, segera kubuka aplikasi facebook. Berpura-pura tengah melihat akun sosial media miliknya."Nggak papa. Pengen liat sosial media suamiku aja. Ga boleh emang?"Mas Uji tersenyum, lalu berjalan menuju lemari. Bukannya dia tadi mau mandi?"Mas nggak jadi mandi?" tanyaku."Handuknya ketinggalan, Adek Sayang," ucapnya sambil mencubit pipiku.Ish, lelaki ini! Mau sampai kapan gombalin dan bikin jantungku berdetak tak karuan?"Sudah ah, mandi sana!"Mas Uji tergelak melihat tingkahku yang menjauhkannya dariku. Kemudian ia pergi setelah sebelumnya mengacak rambutku.Aku merebahkan diri di atas kasur. Setelah bercerai dengan Mas Arga, aku lebih posesif pada Ma
, BALASAN UNTUK SUAMI PELIT—Aku masih berpikir keras, haruskah kukirim pesan pada Arlan? Tapi, apa yang akan aku ucapkan? Ah, sudah lah. Yang terpenting sekarang, aku sudah memiliki nomor lelaki itu. Kulihat kembali nomor lelaki yang sanggup membuat jantungku berdebar itu. Ya Allah, sesungguhnya aku tak boleh begini, tapi hamba tak bisa mengendalikan perasaan ini.Pagi hari.Kak Raina melihatku dengan senyum merekah, membuatku menjadi salah tingkah. Apakah Mas Uji memberitau semuanya padanya? Jika iya, maka aku bisa-bisa abis diledeki olehnya.“Kenapa, Kak?” tanyaku, sambil bergeser karena terus dilihat dari tadi.“Nggak papa, kok. Megan nggak jadi nginap semalam.”“Iya, Kak, hujan lebat juga, kan?”Kak Raina mengangguk, kukira ia akasegera berlalu dan menyusul suamiya di depan karena sudah agak siang. Namun ternyata aku salah, ia malah semakin mendekatiku, dan sudah dipastikan hal apa yang akan ia lakukan.“Cie, nemu tambatan hati baru nih, ye!”Aku hanya mendeli