Aku masih bergeming ditempat, menatap Kak Diana tanpa mengalihkan pandangan sedikitpun.
"Apa?" tanyanya tanpa menatapku.
"Maksud Kakak apa tadi?"
"Nggak usah pura-pura, kamu juga tahu itu."
Aku terperanjat. Jadi, pemikiranku tadi tak salah? Ya Allah, Kak Diana. Shelina, benar-benar urat malunya sudah terputus.
Aku menyuruh Nur untuk pulang terlebih dahulu, mungkin rencanaku untuk ke toko akan gagal.
Nur pun menurutinya, kupesankan taksi online dan menyuruhnya untuk menunggu di depan pagar karena jarak taksinya dekat.
"Aku pulang dulu, ya, Kak," ucap Nur sambil menyalamiku, juga Kak Diana.
"Hati-hati di jalan, yak. Jaga diri, jangan kayak Megan."
Deg!
Aku tahu sekarang. Ia, bukan tak memedulikan adik bungsunya, hanya saja terlampau sakit menghadapi kenyataan salah satu anggota keluarga mencoreng nama baik kita.Nur hanya mengangguk, kemudian pergi keluar.
"Duduk sini!" perintah Kak Diana.
Aku seg
"Apa, Mas?" tanyaku, ternyata Mas Arga lah yang menahan langkahku."Makan dulu aja.""Nggak usah, Mas. Aku dan Megan masih ada urusan," jawabku."Iya, Mas. Silakan kalian makan aja. Kami pamit dulu," ucap Megan."Kamu berbeda sekali sekarang, Dek," kata Mas Arga padaku."Lalu, siapa yang membuatku jadi seperti ini?"Kami lantas pergi meninggalkan rumah megah itu. Yang penting Ibu sudah memberikan izinnya pada Megan."Alhamdulillah, Kak. Ibu mau memberikan izinnya."Lantas kubuka ponsel dan menelpon Alfi. Ingin menanyakan kapan sekiranya ia dan keluarganya akan datang.Panggilan pertama tak tersambung, hingga akhirnya ada sebuah suara dari seberang sana."Halo, Kak.""Halo, Alfi?""Iya, Kak. Ada apa?""Kakak mau nanya, kapan kamu dan keluarga siap ke rumah? Ingat, perut Megan sudah semakin membesar. Apa kata tetangga nanti?" tany
Kami semua terkesiap, begitupun dengan sang penghulu, beliau menarik kembali tangannya.Ternyata itu adalah Mas Uji. Dia datang dengan langkah terburu-buru. Kenapa dia?"Hentikan ini, Rain. Kamu mau menikah? Aku baru saja mau melamarmu. Kenapa kamu malah menikah dengan orang lain?!"Aku terbengong, sementara yang lain mengulum senyumnya. Kecuali Mas Arga, ia menatap tak suka pada lelaki di hadapanku ini."Aku nggak peduli statusmu, Rain. Mau kamu janda, gadis, kamu tetap sama di mataku. Sejak dulu, saat masih bertetangga!"Deg!Jadi, dulu Mas Uji juga menaruh rasa padaku? Aku pikir, itu hanyalah cinta monyet biasa. Takkan berlanjut saat usia kita sudah mulai beranjak dewasa.Riuh tepuk tangan menghiasi acara akad, Mama dan Papa tersenyum padaku. Aku tahu, mereka memang menyukai Mas Uji sedari kami masih di kampung.Mas Uji yang selalu rajin salat di masjid, membantu sesama, bahkan
"Pa, jangan gitu, dong! Kasian Mas Uji, nanti tertekan," ucapku sambil menarik ujung baju Papa."Papa percaya, kalau Uji bisa membahagiakan Raina sepenuhnya. Kita kan udah kenal dekat. Agamanya pun alhamdulillah, gak kaya..."Ampun Papa! Kini beliau tengah melirik Mas Arga, benar-benar mirip emak tiri yang lagi nyinyirin anaknya!Papa emang termasuk dekat denganku, dulu kami sampai harus berantem dulu hanya karena aku akan menikah dengan Mas Arga. Meskipun lambat laun sikapnya berubah menjadi lembut, namun kini harus menelan pil kecewa lagi. Papa, maafkan aku!Mama yang berada di luar pun masuk, terheran dengan kami yang tengah berdiri mematung."Kalian kenapa?""Lho, kok Mama masuk? Megan mana?" tanya Papa."Ya lagi sama orang tuanya lah, Pa!"Mas Arga terlihat canggung sekali berada di antara kami. Apalagi selanjutnya Mama dan Papa mengajak ngobrol Mas Uji. Makin-makin lah ia!
"Siapa, Rain?" tanya Mama dari dalam."Nggak tahu-"Mataku membulat sempurna saat melihat Mas Uji keluar dari pintu kemudi. Ia hari ini berpakaian rapi, seragam batik pun sepertinya pilihannya.Tak lama, beberapa orang turun menggunakan kemeja senada. Astaghfirullah, benarkah perkataannya kemarin itu?Aku tersentak karena sebuah tepukan di pundak. Nur terlihat melongo mendapati tamu di pagi hari."Mas Uji, mau lamar Kakak, ya?" godanya."Apaan, sih? Ketemu lagi kan baru beberapa hari yang lalu, masa iya mau nikah?" elakku."Tapi, Kak, perasaan waktu cinta monyet itu jangan disepelakan, lho. Buktinya temen Nur sekarang menikah dengan lelaki yang dulu pernah disukainya.Ucapan Nur membuatku terdiam. Masa sih, aku mau menerima lamarannya? Apa tidak terlalu buru-buru? Apa nantinya aku takkan dicap murahan oleh orang sekitar?"Ma, ada tamu di depan," ucapku."Siapa,
"Saya terima nikah dan kawinnya Raina Saraswati Binti Hendrawan dengan mas kawin seperangkat alat salat dibayar tunai!" Suasana mengharu-biru mulai menguasai suasana. Mama beberapa kali mengusap air matanya. Begitupun dengan Papa, beliau terlihat menaruh banyak harapan pada lelaki yang kini telah resmi menjadi suamiku. Setelah menandatangani buku nikah, kami berdua foto dahulu. Tamu pun ramai berdatangan. Teman kantorku dulu, karyawan toko beserta keluarganya, dari pihak Mas Uji serta orang terdekat kami datang semua. Tak lupa, Ibu dan Kak Diana pun datang. Mantan suamiku itu tak terlihat. Biarkan lah! Toh aku pun tak menginginkannya ada di sini. "Ayo pengantinnya duduk dulu di kursi pelaminan!" perintah photografernya. Mas Uji mengulurkan tangannya, dan aku langsung menyambut. Riuh godaan menghampiri kami. Ya Allah, kenapa rasa bahagia kali ini sangat berbeda dengan yang dulu? "Duduk, Na," ucapnya. Aku duduk terlebih dahulu, begitupun dengannya. Rasanya kali ini aku benar-bena
Suamiku itu terbahak, entah apa yang membuatnya tertawa? "Kita udah suami istri, lho." "Terus?" "Ya nggak terus-terus." Tiba-tiba. Klik! Lampu dimatikan. "Mas uji, ih!" --Esok paginya. Aku dan dia masih dalam keadaan biasa saja. Jangan membayangkan yang iya-iya, karena itu hanya ada dalam imajinasi kalian saja, hehe. Papa dan Mama tersenyum melihat kami keluar dari kamar, namun senyum itu memudar saat melihat rambutku. "Kok kering?" tanya Mama. "Eh?""Ma, apaan sih? Malu itu si penganten barunya." Mama menutup mulutnya. Lalu mempersilakan kami duduk untuk sarapan. "Uji, kerjaannya gimana?" tanya Papa. "Mungkin sementara waktu bakal diambil alih sama temen Uji, Om, eh Pa. Maaf, belum terbiasa." Aku dan Mama terkekeh mendengar obrolan keduanya. Nita belum bangun, mungkin kecapekan gara-gara kemarin mengurus acara pernikahanku. "Jani nanti mau ngecek toko dulu. Mas Uji mau ikut atau di rumah aja?" tanyaku. "Ikut aja deh, Jan. Daripada di rumah, bete." Aku mengangguk s
"Siapa itu?" teriakku. Dan saat menghadap ke Mas Uji ... Blush! Dapat kupastikan sekarang wajahku sudah seperti kepiting rebus! "Mas Uji, ih!" Aku memberontak dan membuka pintu. Beberapa orang terlihat menundukkan kepalanya. "Siapa tadi yang masuk ke dalam ruanganku?" tanyaku. Beberapa dari mereka terlihat saling sikut. Hm, apakah mereka takut? "Apakah kalian tau kalau perbuatan tadi sangatlah tidak sopan?""Anu, Bu ... Tadi, saya yang mau masuk ke dalam. Karena sudah kebiasaan. Kalau tak ada Ibu, biasanya saya yang di dalam, kan?" tanya Indri. "Iya." "Nah itu. Saya lupa, Bu." Aku tertawa, melihat raut wajah mereka yang panik. "Kenapa kalian serius banget? Aku ini nggak papa, loh. Cuma kaget aja." "Maaf, ya, Bu. Saya lupa dan tadi tidak sengaja melihat eeem-" Kututup mulut indri agar tak melewati batas. Bisa bahaya jika mereka mendengar apa yang terjadi tadi di dalam. Bisa-bisa aku jadi bahan perghibah-an mereka. "Ya sudah, Indri. Silakan masuk ke dalam. Saya sama suami
"Mas?!" panggilku."Eh, kenapa?""Aku, mau minta maaf."Mas Uji meletakan ponsel di sakunya. Aku terus mengikuti arah ponsel itu. Untuk apa Mas Uji memasukkannya? Apakah ia takut ketahuan?Mas Uji mengusap pelan rambutku, lalu mengangguk. Sebuah senyuman terukir di wajah tampannya. Ah, tidak, Raina! Jangan sampai kamu tergoda oleh senyumannya itu!Tapi ... Manis! Astaga, Raina, ada apa denganmu?"Kenapa geleng-geleng begitu? Pusing?"Aku mendongak, kemudian menggeleng saja. Meskipun aku masih saja penasaran dengan objek yang membuat Mas Uji tersenyum-senyum sendiri."Lho, Kak Rain?" Aku menoleh saat seseorang memanggil namaku."Eh, Alfi. Sendirian?"Alfi menyalamiku dan Mas Uji. Ia sebenarnya adalah orang yang baik, selama beberapa bulan mereka menikah, aku melihatnya begitu menyayangi Megan."Iya, Mbak. Megan maunya di rumah aja. Kemarin iku
BAB 58 Aku tak bisa tinggal diam saja ketika melihat suamiku diharapkan oleh perempuan lain. Terlebih ini adalah oleh wanita di masa lalu Mas Uji. "Ayo, Na, kita teruskan jalan-jalan. Misi ya, Nak Riris." Seperti ada kekecewaan di kedua manik hitam perempuan manis itu. Seolah-olah mengharapkan sesuatu yang memang sangat ia inginkan. "Umi duluan, Nana mau ngobrol dulu sama Mbak Riris." Riris membeliakkan matanua seakan bingung dengan keinginanku. Aku meminta Umi untuk menunggu di warung dekat lapangan. "Ada apa, Mbak?" tanya Riris. "Begini ya, Mbak Riris. Aku tak ingin menggunakan cara kasar. Singkatnya saja, tolong jauhi suami saya. Mbak Riris sudah tahu Mas Uji memiliki seodang istri, kenapa masih mengharapkannya?" tanyaku pada Riris yang langsung menunduk. Kupikir, wanita itu mengerti, namun ternyata tidak. Ia justru terkekeh mendengar ucapanku. "Lantas, kalau dia sudah menikah memang kenapa? Banyak kok, pernikahan yang hancur karena orang ketiga." Dadaku berdebar kencang
"Eh, Nak Raina. Nggak papa, tadi Bibi salah ngomong. Kalau begitu, aku pulang dulu ya mbak, soalnya bentar lagi mau ada tamu. Maaf gak bisa ngebantu dulu," ucap Bi Waroh. Umi menggelengkan kepalanya, Aku hanya bisa beristighfar dan mencoba sabar untuk menghadapi bibinya Suamiku itu. Aku sadar, jumlah manusia itu banyak dan tak mungkin semuanya itu menyukai kita. Ada saja permasalahan yang terjadi, meski kita hanya diam saja. "Mau masak apa, Mi? Biar Nana bantu." "Nggak usah, Na. Umi bisa melakukannya sendiri, lagi pula kamu di rumah Mama kan nggak pernah ngapa-ngapain, Masa Iya Umi mau menyuruh-nyuruh kamu." Aku terkekeh, memang banyak orang yang mengira jika Mama terlalu memanjakan aku. Padahal sebenarnya tidak, karena aku pun mengerjakan pekerjaan rumah selayaknya anak pada umumnya ketika di rumah. "Nggak, Mi, Nana juga sering masak di rumah. Enak masakannya, Mi," ucap Mas Uji sambil keluar dari kamar. "Iyakah? Wah Umi nggak tahu, Ayo kalau gitu sini, Na, bantu kupaskan kentan
BAB 56 "Maafkan Riris, ya, dia memang terkenal pendiam. Jadinya begitu," ucap Bu Ina. Pendiam? Dari mananya? Terlihat sekali jika anaknya itu memendam perasaan pada suamiku. "Iya, Bu, nggak papa," jawabku. Mas Uji mengajakku keliling kampung lagi. Kampung suamiku memang sangat asri lingkungannya. Banyak pepohonan yang masih rindang. "Mas, Riris beneran pendiam?" tanyaku. "Iya, memang begitu. Kenapa?" "Nggak papa." Kami melanjutkan perjalanan hingga akhirnya sampai di rumah. Rupanya, Umi sudah membuatkan kudapan. Aku jadi tak enak, karena tak membantunya. "Maaf ya, Umi, Raina nggak bantuin." "Nggak papa, Nak Rain. Ayo, dimakan." Aku mengangguk, kami lalu lanjut mengobrol tentang masa-masa Mas Uji setelah pindah dulu. Ternyata, Umi tak jauh berbeda. "Sudah, Mi. Uji malu, ah." Umi terkekeh, lalu mengajakku untuk ikut pengajian nanti malam. Sementara Mas Uji berlalu untuk mandi sore. "Di mana, Mi?" tanyaku. "Ada di mushola, tadi Uji ngajak ke sana, nggak? Ke guru ngajinya U
BAB 55Aku kembali ke kamar. Perasaan senang yang tercipta dari rumah tadi mendadak menguap begitu saja. Hatiku sakit saat lagi-lagi mendapat hinaan semacam itu. Meski tak diucapkan secara langsung, tapi itu bisa membuatnya lebih sakit hati. "Kenapa balik lagi?" tanya Mas Uji. "Oh, nggak papa. Ada Bik Waroh di belakang," jawabku. "Apa Bik Waroh ngomong yang nyakitin hati?" tanya Mas Uji sambil memegang pundakku. "Nggak, Mas. Cuma aku memang agak capek aja." "Oh, ya sudah, istirahat. Kamu kan akhir-akhir ini sering bolak-balik ke toko. Belum ke toko cabang. Jadi, selama di sini, kamu bisa istirahat." Aku mengangguk. Kantor Mas Uji dengan rumah Umi jauh lebih dekat daripada dari rumahku. Itu sebabnya, aku menyetujui ketika kami akan tinggal di sini selama seminggu. Aku keluar kamar, lalu melihat foto keluarga yang sepertinya sudah lama diambilnya. Di sana ada almarhum bapak mertua. "Sayang sekali, Raina nggak bisa bertemu dengan Bapak," ucapku sambil mengelus bingkai fotonya. "
Aku menghela napas, ragu akan menjelaskan semuanya. Bukan tidak mungkin, Mas Uji malah akan menuduhku melakukan alibi untuk menutupi semua kesalahanku. "Laki-laki emang begitu kalau sudah cemburu, Na. Dulu saja Papamu begitu." "Iyakah? Mama kan nggak punya mantan suami," ucapku sambil cemberut. "Kata siapa? Mama punya." "Hah? Serius? Lalu, apa Raina bukan anak Papa?" tanyaku dengan sendu. "Hust! Ngawur. Kamu ya anak Mama dan Papa. Dulu, Mama dijodohkan. Nggak lama pernikahan, cuma bertahan satu bulan aja. Mama kabur dan nggak mau kembali ke rumah itu. "Wah, Rain baru tahu soal ini, Ma." "Memang sengaja dirahasiakan. Buat apa? Mama jadi kepikiran sama kamu. Kenapa nasib kita sama? Apa ini karma dari perbuatan kami di masa lalu?" "Tidak, Ma. Ini sudah takdirnya. Dulu, pas Raina menikah dengan Mas Arga, itu sebuah kesalahan sehingga pernikahan pun gagal. Semoga dengan Mas Uji ini, kami bisa akur." "Aamiin. Ya sudah, Mama masuk dulu. Sudah adzan magrib." Aku mengangguk, lalu ik
"Mas?'" ulangku. Aneh, Mas Uji bahkan tak melirik sekalipun. Aku menghela napas, lalu segera mandi. Sebaiknya aku memang membersihkan diri terlebih dahulu, sebelum aku bertanya padanya. Usai mandi, masih kulihat Mas Uji di depan layar laptopnya. Ia bahkan tak bersuara sama sekali. "Mas, kamu kenapa sih?" tanyaku. "Kamu nanya aku kenapa? Harusnya aku yang nanya, kamu kenapa? Apa kamu mau kembali ke mantan suamimu?" Aku mengerutkan kening saat mendengar ucapan Mas Uji. Apa maksudnya? Kapan aku bilang akan kembali ke mantan suamiku? Jika pun iya, aku pasti sudah gila. Atau jangan-jangan.... "Mas apa kamu tadi-" "Ya, aku melihatmu masuk ke rumahnya Arga, mantan suamimu." Aku tersentak mendengar teriakan Mas Uji. Apakah ia cemburu? Seandainya iya, bukankah harusnya bicara pelan-pelan?"Dari mana kamu tahu, Mas?" "Jelas aku tahu, karena aku mengikutimu dari belakang," jawab Mas Uji. "Apa?" "Kenapa? Aku mau turun di toko, tapi ngeliat mobilmu pergi. Kupikir kamu mau pulang, terny
, “Lho, Raina. Ayo masuk dulu,” ajak mantan mertuaku.“Nggak usah, Bu. Raina ada janji dengan suami. Jadi langsung saja,” ucapku.“Apa karena kesalahan di masa lalu, makanya kamu nggak mau lagi silaturahmi dengan kami, Rain? Apa suami barumu itu melarangmu bergaul dengan orang lain, sehingga kamu begini?”“Bukan begitu…”“Kalau begitu, ayo masuk.”Megan menatapku dengan tidak enak, melihat itu aku jadi tak tega dengannya dan akhirnya masuk ke dalam rumah yang penuh dengan kenangan pahit itu. setelah mengembuskan napas, aku akhirnya duduk. Teringat beberapa bulan yang lalu aku bahkan sempat dijadikan babu gratisan di sini.“Kakak ambilkan minum dulu ya, Rain.”Aku hanya mengangguk saja. Bukan hanya Kak Diana, tapi Ibu pun ikut pergi ke belakang. Megan segera mendekatiku dan meminta maaf karena telah menuimbulkan rasa tak nyaman ini.“Iya, nggak papa. Tapi habis ini pulang, ya?” pintaku.“Iya, Kak. Megan juga sudah kangen sama Mama,” jawabnya dengan tersenyum lebar.
, BALASAN UNTUK SUAMI PELIT—Aku masih berpikir keras, haruskah kukirim pesan pada Arlan? Tapi, apa yang akan aku ucapkan? Ah, sudah lah. Yang terpenting sekarang, aku sudah memiliki nomor lelaki itu. Kulihat kembali nomor lelaki yang sanggup membuat jantungku berdebar itu. Ya Allah, sesungguhnya aku tak boleh begini, tapi hamba tak bisa mengendalikan perasaan ini.Pagi hari.Kak Raina melihatku dengan senyum merekah, membuatku menjadi salah tingkah. Apakah Mas Uji memberitau semuanya padanya? Jika iya, maka aku bisa-bisa abis diledeki olehnya.“Kenapa, Kak?” tanyaku, sambil bergeser karena terus dilihat dari tadi.“Nggak papa, kok. Megan nggak jadi nginap semalam.”“Iya, Kak, hujan lebat juga, kan?”Kak Raina mengangguk, kukira ia akasegera berlalu dan menyusul suamiya di depan karena sudah agak siang. Namun ternyata aku salah, ia malah semakin mendekatiku, dan sudah dipastikan hal apa yang akan ia lakukan.“Cie, nemu tambatan hati baru nih, ye!”Aku hanya mendeli
Ia tengah chattingan dengan Nur. Adikku itu ternyata curhat dan nanya-nanya soal lelaki yang kemarin datang ketika lamaran.Namun, kenapa Mas Uji sampe tersenyum seperti itu?"Rain, ngapain?"Aku panik, segera kubuka aplikasi facebook. Berpura-pura tengah melihat akun sosial media miliknya."Nggak papa. Pengen liat sosial media suamiku aja. Ga boleh emang?"Mas Uji tersenyum, lalu berjalan menuju lemari. Bukannya dia tadi mau mandi?"Mas nggak jadi mandi?" tanyaku."Handuknya ketinggalan, Adek Sayang," ucapnya sambil mencubit pipiku.Ish, lelaki ini! Mau sampai kapan gombalin dan bikin jantungku berdetak tak karuan?"Sudah ah, mandi sana!"Mas Uji tergelak melihat tingkahku yang menjauhkannya dariku. Kemudian ia pergi setelah sebelumnya mengacak rambutku.Aku merebahkan diri di atas kasur. Setelah bercerai dengan Mas Arga, aku lebih posesif pada Ma