Kami sampai di rumah Ibu. Tampak lengang. Mungkin karena Mas Arga masih di kantor, dan Shelina tadi bersama selingkuhannya?
Aku dan Megan segera masuk.
"Assalamu'alaikum. Bu?"
Tampak Ibu keluar dari kamarnya sambil menguap lebar. Astaghfirullah! Udah jam 11 padahal. Rumah berantakan, banyak sampah di mana-mana.
"Ngapain kalian ke sini?" tanya beliau, mungkin terkejut melihat kami sudah masuk.
"Bu!" Megan berlari menghampiri Ibu. Tampak Ibu acuh. Bukannya merangkul karena lama tak bertemu, ini malah diam seribu bahasa. Astaghfirullah, ya Allah. Semoga Ibu segera diberi hidayah.
"Bu, maafkan Megan. Megan bersalah, Bu!"
"Bagus kamu sadar! Kamu memang salah. Dasar b*d*h! Mau-maunya diperdaya lelaki. Ibu tak sudi memiliki anak kotor sepertimu!"
Hatiku terasa sakit mendengarnya, meskipun bukan aku sendiri yang menerima cacian itu.
Ya Allah, mulut itu masih saja terdengar pa
"Kutolehkan kepala ke arah Megan. Pipinya telah basah oleh air mata. Ya Allah, aku merasa sangat bersalah."Megan, maafkan Mbak, ya. Seharusnya Mbak nggak bawa kamu ke sana. Mbak lupa bahwa di sana bukan rumah, tapi neraka.""Nggak papa, Mbak. Aku jadi sadar, kalau Ibu memang sudah tak bisa memaafkan aku. Tak apa, Mbak. Aku mengerti."Megan mengusap air mata yang lagi terjatuh."Kamu masih punya Mbak, dan juga yang lain. Mbak tak akan meninggalkanmu di tengah kegelapan. Setelah ini, Mbak ingin membalaskan sakit hati Mbak. Maaf, Megan. Yang penting, Mbak takkan membuat mereka celaka."Megan menatapku penuh tanya. Biarlah, aku tak ingin membagi rencanaku kali ini.Sampai rumah, Megan ikut nonton televisi dengan Mama. Sementara aku duduk di meja makan."Gimana tadi, Rain?" tanya Mama sambil mengupas jeruk."Ya begitulah, Ma. Rain juga kecewa dengan Arga yang tak bisa tegas dari awal. Juga
Setelah selesai bersiap, aku segera menaiki mobil dan meluncur ke perumahan mewah itu.Aku tak habis pikir, kenapa Shelina bisa sampai melakukan hal begitu? Berselingkuh dengan pria yang bahkan sudah memiliki cucu. Astaghfirullah!Dedi Sanjaya.Lelaki yang tempo hari pergi bersama Shelina di poli kandungan itu, adalah seorang pengusaha.Aku kini tahu betul latar belakangnya. Ya, aku menyuruh seseorang untuk mencari tahu semua.Memiliki dua orang istri yang tinggal satu atap, tujuh orang anak, serta tiga cucu di usianya yang sudah bisa dibilang tua. Bagaimana tidak? Ia seumuran dengan Papa.Drrt-drrt!Ponselku berdering. Dari Arman, orang yang kusuruh membuntuti lelaki tua itu."Halo, Man!""Halo, Kak!""Gimana?" tanyaku."Tepat sesuai prediksi Kakak. Mereka sekarang ada di hotel."Aku tersenyum sinis."Awasi terus mereka. Jangan sampai mereka kel
Wajah pucat Shelina yang terlihat pertama kali begitu pintu itu terbuka. Tak lupa kunyalakan perekam video agar dapat kuviralkan esok."Siapa, Sayang?"Dapat kulihat Bu Fatma bertambah marah saat mendengar suara ngebass dari belakang Shelina."K-kak, ngapain ke sini?" tanya Shelina tampak gugup."Aku cuma nganterin dua orang ini.""Dasar pelakor kau ya!"Bu Fatma merangsek maju, menjambak rambut Shelina yang panjang nan berantakan itu. Kamera ponselku terus mengarah pada keduanya. Bukan bermaksud enggan melerai, tapi ini bagus untuk dia yang kur*ng aj*r dan berani-beraninya menghancurkan rumah tangga orang.Ada banyak jenis si Shelina ini, ada yang lebih garang dia daripada istri sah, ada pula yang lari kocar-kacir begitu liat penampakan sang 'pemilik' yang sesungguhnya dari laki-laki tersebut."Aaa! Tolong! Om, bantuin dong! Mereka ini siapa, sih? Aw, sakit!""Dasar j*l*ng! Manu
Perlahan menghampiri pintu, dapat kudengar suara di dalam. Mobil di depan adalah punya Kak Diana dan juga Mas Arga. Ada apa lagi mereka ke sini? Apa tak cukup menyakiti Megan?"Assalamu'alaikum," ucapku sambil membuka sepatu."Wa'alaikum salam."Nampak wajah tak bersahabat dari kedua orang itu, Ibu dan juga Kak Diana. Sementara Mas Arga sedari tadi terus menatapku, membuatku tak enak sendiri.Mama menghampiri, lalu memberitahu jika ada yang mau mereka bicarakan padaku. Aku berjalan dan duduk di depan mereka."Ada apa?" tanyaku, datar. Tak ada senyum untuk merasa. Buat apa? Toh mereka nggak ada sopan-sopannya."Nih!"Ibu meletakkan sebuah surat yang kutahu dari pengadilan agama. Rupanya sudah datang. Aku tersenyum."Lalu?""Kamu beneran mau cerai dariku, Dek?" Aku nggak mau," kata Mas Arga."Tapi aku mau. Gimana dong?""Pikirkan lah baik-baik, Dek. Jangan
"Halo.""Halo, Kak. Ini aku, Alfi." Mataku melebar saat menerima panggilan darinya. "Oh, iya! Ada apa?" Megan berbisik, bertanya siapa yang menelponku. Kusuruh bocah itu keluar sebentar, karena jangan sampai ia mendengar penolakan dari Alfi. "Halo, iya, Fi. Kenapa?" tanyaku. "Bapak setuju, Kak. Aku akan menikahi Megan.""Serius?" "Iya, tapi ada syaratnya."Aku mengerutkan kening. Syarat apalagi? "Kenapa harus ada syarat? Ini sudah menjadi kewajiban kamu. Berani berbuat, berani bertanggung jawab!" Tak ada jawaban dari seberang sana. "Kakak beneran mau ngasih jabatan mandor ke aku, kan?" "Tentu. Asal kamu tidak menyakiti Megan.""Baik, Kak. Aku akan melamar Megan." "Tentang syarat tadi?""Nggak papa, Kak. Hehe." Aneh! Sepertinya ia memang masih ragu akan menikahi Megan. Kuhubungi Nur untuk memberitahunya. "Assalamu'alaikum, Kak.""Wa'alaikum salam, Nur. Kakak punya kabar bagus.""Apa itu, Kak?" "Alfi bersedia menikahi Megan.""Serius, Kak?" "Huum.""Ya sudah, minggu nanti
Aku mendatangi kantor pengadilan agama itu bersama Mama. Papa yang sudah pulang, enggak kuajak. Beliau berkata tak ingin bertemu dengan lelaki yang sudah menyaitiku itu."Jangan pedulikan apapun perkataan mereka nanti, ya, Rain! Mama selalu ada di belakangmu!"Aku mengangguk seraya berjalan menuju pintu masuk. Dari kejauhan, terlihat keluarga Mas Arga tengah duduk di ruang tunggu. Ada Shelina juga. Wanita itu, benar-benar tak tahu malu.Kami berjalan melewati mereka. Tak ada niatan untuk menyapa. Buat apa? Aku duduk tak jauh dari gerombolan keluarga cemara itu.Mas Arga menatapku sendu. Aku hanya mengacuhkannya. Dia sebentar lagi akan menjadi mantan suami, aku tak perlu bersimpatik padanya.Sidang pun dimulai. Meskipun alot, namun akhirnya selesai dengan seluruh harta mertua menjadi milikku kecuali rumah yang mereka tempati sekarang."Dasar wanita serakah!" ucap Shelina saat aku berjalan melewatinya.
Esok paginya, kami bertiga-aku, Nur, dan Megan, pergi ke rumah Ibu mertua. Izin itu perlu, karena biar bagaimanapun, beliau adalah ibu dari Megan, jadi ia harus datang ke sana meskipun suasana hatinya nanti menjadi tidak baik.Mama berniat ikut juga, namun kutolak karena takut dianggap terlalu mencampuri urusan keluarga itu. Nur pun kuajak karena aku akan ke toko setelah pulang dari sana, jadi dia bisa menemani ibu hamil itu pulang ke rumah.[Dek, bisa kita bertemu?] Pesan dari Mas Arga masuk ke ponselku.[Mau ngapain?]Sudah tak ada hal yang perlu kami bicarakan, untuk apa kembali bertemu?[Di rumah lagi banyak masalah, aku pusing. Pengen ketemu sama kamu.]Cih! Dulu aja menyiksa, seolah aku tak berharga. Namun kini, dia malah datang membutuhkanku? Maaf, tak ada ruang lagi untukmu.[Maaf, aku hari ini sibuk.]Pesan lain masuk, dari Indri. Satu persatu pesan kubaca, ada masalah di toko katanya. Selama ini aku memang terlalu
Aku masih bergeming ditempat, menatap Kak Diana tanpa mengalihkan pandangan sedikitpun."Apa?" tanyanya tanpa menatapku."Maksud Kakak apa tadi?""Nggak usah pura-pura, kamu juga tahu itu."Aku terperanjat. Jadi, pemikiranku tadi tak salah? Ya Allah, Kak Diana. Shelina, benar-benar urat malunya sudah terputus.Aku menyuruh Nur untuk pulang terlebih dahulu, mungkin rencanaku untuk ke toko akan gagal.Nur pun menurutinya, kupesankan taksi online dan menyuruhnya untuk menunggu di depan pagar karena jarak taksinya dekat."Aku pulang dulu, ya, Kak," ucap Nur sambil menyalamiku, juga Kak Diana."Hati-hati di jalan, yak. Jaga diri, jangan kayak Megan."Deg!Aku tahu sekarang. Ia, bukan tak memedulikan adik bungsunya, hanya saja terlampau sakit menghadapi kenyataan salah satu anggota keluarga mencoreng nama baik kita.Nur hanya mengangguk, kemudian pergi keluar."Duduk sini!" perintah Kak Diana.Aku seg