“Ini tidak gratis, kau tahu?”
Sesuatu yang besar dari dalam mimpi menghantamku dengan keras, instan membuat mataku terbuka lebar. Aku terbangun di sebuah kamar tak dikenal, dengan kepala berdenyut-denyut dan dikelilingi oleh kebingungan. Setelah mati-matian beradaptasi dengan cahaya dan dapat membuka mata dengan ringan, ruangan ini perlahan-lahan mulai tampak jelas, menampakkan seorang pria asing yang bergelung di selimut di sampingku.
Tunggu, APA?!
Kepanikan melanda, mendorongku untuk mencoba merangkai kejadian-kejadian sebelumnya yang membawaku ke situasi gila ini. Semuanya tampak berkabut, gambar-gambar adegan yang buram melintas di benakku. Tak ada satu pun yang kupahami selain … oh, astaga, alkohol sialan! Mustahil untuk dapat mengingat kejadian semalam.
Tak kunjung menemukan jawaban, aku akhirnya memutuskan untuk melakukan sesuatu yang lebih masuk akal. Dengan hati-hati, aku menyibak selimut putih kusut dan kemudian melepaskan diri. Ya Tuhan, aku sampai tak sadar telah menahan napas hingga akhirnya kakiku berhasil menapak di lantai yang dingin. Aku mulai berjingkat-jingkat, mencari di mana agaknya pakaianku terlempar semalam.
“Mencoba menyelinap, huh?” Sebuah suara memecah keheningan, membuat jantungku berhenti. Aku berbalik, menemukannya menatap lurus padaku dengan sebelah alis yang terangkat, sikunya menopang kepala.
“Mencoba merayuku, huh?” Sebuah suara dari ingatanku berkelebat. Ini dia!
Baru sadar akan kondisiku, buru-buru aku menarik selimut untuk menutupi tubuh telanjangku, lupa bahwa selimut itu jugalah yang menutupi tubuhnya. Aku melotot dengan pemandangan di hadapanku, dan seketika aku balik badan. “Well, bangun di kamar yang asing cenderung membuat seseorang sedikit gelisah,” gumamku mencoba agar terdengar sedang bercanda, tapi suaraku malah menyiratkan sebaliknya.
Terdengar tawa halus yang memenuhi ruangan. Dan seketika itu juga suara yang sama terlintas lagi di kepalaku. Dia tertawa pelan di telingaku. “Tidak biasanya aku bermain-main.” Suara musik yang kencang mengalun di latar belakang.
“Bukan rencana pelarian paling mulus yang pernah kulihat,” komentarnya. Di belakang punggungku, aku mendengarnya bangkit dari tempat tidur dan berpakaian.
“Dengar, aku tahu ini terdengar klise, tapi aku tidak mengingat apa pun.” Aku memulai pembicaraan, berharap dia bisa bekerja sama tanpa melontarkan lelucon-lelucon yang membuatku semakin malu dengan diriku sendiri.
“Well, yang kuingat kita menghabiskan malam yang menyenangkan,” jawabnya.
Walaupun membelakanginya, tapi aku dapat menebak dia sedang tersenyum mengejek. Oke, dia tidak bisa diajak bekerja sama.
Yakin dia sudah berpakaian, aku berbalik, berniat memberikan tatapan mengancam padanya. Namun, pandanganku malah salah fokus ke tubuh bagian atasnya yang masih terbuka.
Tanganku meraba-raba perutnya, sementara dia menciumi leherku. Dan dengan satu gerakan mulus, dia mendorongku hingga terlentang di tempat tidur.
Aku menggeleng-geleng cepat, mengenyahkan memori itu. Pandanganku beralih ke matanya, mencoba mempertahankan kontak mata agar dia tidak bisa melihat konflik internal yang terefleksi di wajahku. Aku mengeratkan selimut, berdeham pelan. “Aku benar-benar tidak ingat apa pun,” ucapku mengulang, tak menemukan sesuatu yang bagus yang bisa kukatakan.
Dia duduk di pinggiran tempat tidur. Kedua tangannya menyangga tubuh dari belakang. “Apakah kau selalu bangun dengan orang asing di kamar hotel?” sindirnya. “Dengan alasan aku-tidak-ingat yang luar biasa klasik itu?”
Aku serta merta tersipu malu. “Tidak, tidak juga. Sungguh, ini bukan hal yang biasa bagiku.”
“Yang mana? Bagian ‘bangun dengan orang asing’ atau ‘alasan aku-tidak-ingat’?”
Aku menggeram jengkel. Pria itu menyeringai, memperdalam kerutan di sekitar matanya. Astaga, berapa umurnya? Apakah tepat jika aku menanyakan itu padanya secara langsung?
“Jadi, apa yang kau inginkan?” tawarnya.
“Apa yang kau inginkan?” bisiknya, mengirimkan embusan napas di bibirku. Jemarinya meluncur di sepanjang tulang punggungku.
“Buat aku lupa,” kataku teperdaya, mengalungkan lengan ke lehernya. “Aku ingin melupakannya barang sebentar saja.”
Dan kemudian tangannya menuju tengkukku, menariknya hingga ia bisa menciumku dengan begitu dalam, begitu dahsyat.
Aku mendesis, memejamkan mata. Ini salah. Astaga, ini benar-benar kesalahan. “Aku tidak seharusnya berada di sini.”
Sehari sebelumnya“Aku melihat Evan masuk hotel bersama seorang perempuan,” kata Addy setengah jam yang lalu. Dan itulah yang membuatku datang ke Hotel Gallan. Sebenarnya aku tidak mempercayai kata-kata Addy, yang barangkali dia melihat sesuatu secara keliru. Atau mungkin dia salah mengenali orang lain sebagai Evan. Namun, sepuluh persen dari diriku tetap ingin memastikan bahwa dia salah.Saat aku berjalan memasuki Hotel Gallan, pikiranku terbagi antara perkataan Addy dan perasaan skeptisku sendiri. Lantai marmer putih membentang luas di lobi, lampu-lampu LED bersembunyi di bawahnya. Dinding-dinding utama terbuat dari kaca, menjulang ke atas dan bertemu dengan langit-langit tinggi berwarna putih, yang di tengahnya terdapat lampu gantung besar bergaya avant-garde. Rasa was-was menggerogoti ketika aku menuju meja resepsionis di mana seorang wanita ramah menyambutku dengan senyum hangat. “Selamat datang di Hotel Gallan. Ada yang bisa saya bantu?”Mengambil napas panjang, aku memutuskan
Sepeninggal mereka, aku berjalan gontai keluar dari hotel, refleksi dari rasa sakit hati yang terasa begitu jelas. Suasana di sekeliling terasa mengabur, sulit untuk digenggam. Pikiranku mengatakan orang-orang yang kulewati menatapku mencemooh. Atau sebenarnya tidak? Ya Tuhan, aku tidak bisa mengendalikan situasi ini!Pikiran kacauku menuntunku memasuki sebuah kelab malam, dan aku kemudian menuju bar, mengambil tempat duduk di sudut, agak menyingkir dari keramaian. Aku mencoba menenangkan diri, punggung tanganku menyeka air mata yang hampir jatuh. Jangan sampai orang lain melihatnya.Seorang bartender menghampiri. “Selamat datang! Ada yang bisa saya buat untuk Anda?”“Tequila martini, tolong. Kau punya?” Pria berwajah ramah itu mengangguk pelan. Barangkali dia tahu bahwa minuman yang kupesan ini memang akan kugunakan untuk melupakan sesuatu. “Yang kuat,” tambahku sebelum dia mulai mencampurkan bahan-bahan minuman.Setelah beberapa saat, bartender itu kembali lagi. “Ini dia, satu tequi
Langit pagi itu begitu biru ketika aku keluar dari kelab dengan langkah cepat. Wajahku mungkin mencerminkan kombinasi antara kegelisahan, rasa bersalah, dan kepanikan. Aku harus segera kembali ke unit dan bersiap ke kantor. Aku berdecak setelah menatap sekilas ke arlojiku. Pening dan mual kukesampingkan, walaupun tubuhku benar-benar menyuruhku untuk berhenti berjalan cepat dan istirahat. Astaga, tidak ada waktu!Ketika pintu gedung apartemen terbuka, aku menabrak seseorang yang sedang berada di lorong. “Astaga, Mia—hai!”Syukurlah, itu hanya Addy. “Hai, Addy. Aku sedang terburu-buru. Nanti saja, oke?”“Tidak, tidak.” Addy mencegatku, membuatku tak repot-repot menyembunyikan wajah keberatan. “Aku berutang maaf padamu dan Evan—”“Tidak,” selaku, langsung teringat kejadian semalam. “Kau benar, uh, dia berselingkuh. Tapi sungguh, kita bicarakan ini nanti saja, kumohon? Aku terlambat masuk kerja.”“Baiklah. Segala sesuatu akan membaik seiring waktu.” Addy menatapku dengan simpati, tapi sej
“Selamat siang, Mr. Lynch,” sapaku, dalam hati sedikit bertanya-tanya karena dia tak kunjung berbalik.Namun, ketika dia akhirnya berbalik, jantungku benar-benar berhenti berdetak selama beberapa saat. Aku mengenalinya. Demi ibu pertiwi, aku benar-benar berharap bisa pergi dari sini. Dia pria itu! Pria yang semalam tidur denganku!Aku sekonyong-konyong mengobrak-abrik isi tasku, mencari sesuatu.**Pria itu mencegatku di depan pintu kamar. Dia sudah mengenakan kemeja biru mudanya. Tangannya mengulurkan sebuah benda tipis berwarna hitam yang sangat biasa. Aku melihatnya sekilas dan hanya dapat menangkap tulisan kecil berwarna keemasan.Aku mendongak, menatapnya malas.“Tidak perlu,” jawabku singkat. Karena aku tahu ini hanya akan menjadi hubungan satu malam tak berarti. Atau setidaknya aku berniat begitu. Tidak menerima apa pun darinya adalah langkah utama untuk melupakannya. Aku bahkan tidak repot-repot menanyakan namanya, yang sudah kulupakan karena pengaruh alkohol semalam. Aku membe
Aku memasuki ruang redaksi dengan perasaan campur aduk yang menghantui pikiran. Pernyataan River tentang hubungannya dengan Evan masih terus membelenggu pikiranku, seakan tak bisa dipercaya. Setiap langkah yang kuambil terasa begitu berat, dan ketidakpastian merayap di dalam benaknya.Masih tak bisa dipercaya bahwa aku mengambil keputusan seperti tadi. Umpan yang dipasang River … aku telah memakannya mentah-mentah. Dia berhasil menipuku, melakukannya seolah-olah aku memutuskan semuanya sendiri. Ayolah, semuanya tampak mudah bagi pria itu!Emma, yang sibuk menata berkas di meja kerjanya, merupakan orang pertama yang menyadari kehadiranku. Ia mengangkat kepala ketika aku memasuki ruangan. Wajahnya langsung berubah penuh perhatian, barangkali karena melihat ekspresiku yang sangat muram. “Hai! Mia, bagaimana wawancara dengan River Lynch?”Hampir semua orang yang berada di ruangan itu langsung menoleh padaku, berharap-harap cemas.“Sangat baik,” jawabku, tak sepenuhnya jujur. Mereka terus