Share

Balas Dendam Berbalut Sutra
Balas Dendam Berbalut Sutra
Penulis: Anne Joyce

Prolog

“Ini tidak gratis, kau tahu?”

Sesuatu yang besar dari dalam mimpi menghantamku dengan keras, instan membuat mataku  terbuka lebar. Aku terbangun di sebuah kamar tak dikenal, dengan kepala berdenyut-denyut dan dikelilingi oleh kebingungan. Setelah mati-matian beradaptasi dengan cahaya dan dapat membuka mata dengan ringan, ruangan ini perlahan-lahan mulai tampak jelas, menampakkan seorang pria asing yang bergelung di selimut di sampingku.

Tunggu, APA?!

Kepanikan melanda, mendorongku untuk mencoba merangkai kejadian-kejadian sebelumnya yang membawaku ke situasi gila ini. Semuanya tampak berkabut, gambar-gambar adegan yang buram melintas di benakku. Tak ada satu pun yang kupahami selain … oh, astaga, alkohol sialan! Mustahil untuk dapat mengingat kejadian semalam.

Tak kunjung menemukan jawaban, aku akhirnya memutuskan untuk melakukan sesuatu yang lebih masuk akal. Dengan hati-hati, aku menyibak selimut putih kusut dan kemudian melepaskan diri. Ya Tuhan, aku sampai tak sadar telah menahan napas hingga akhirnya kakiku berhasil menapak di lantai yang dingin. Aku mulai berjingkat-jingkat, mencari di mana agaknya pakaianku terlempar semalam. 

“Mencoba menyelinap, huh?” Sebuah suara memecah keheningan, membuat jantungku berhenti. Aku berbalik, menemukannya menatap lurus padaku dengan sebelah alis yang terangkat, sikunya menopang kepala.

“Mencoba merayuku, huh?” Sebuah suara dari ingatanku berkelebat. Ini dia!

Baru sadar akan kondisiku, buru-buru aku menarik selimut untuk menutupi tubuh telanjangku, lupa bahwa selimut itu jugalah yang menutupi tubuhnya. Aku melotot dengan pemandangan di hadapanku, dan seketika aku balik badan. “Well, bangun di kamar yang asing cenderung membuat seseorang sedikit gelisah,” gumamku mencoba agar terdengar sedang bercanda, tapi suaraku malah menyiratkan sebaliknya.

Terdengar tawa halus yang memenuhi ruangan. Dan seketika itu juga suara yang sama terlintas lagi di kepalaku. Dia tertawa pelan di telingaku. “Tidak biasanya aku bermain-main.” Suara musik yang kencang mengalun di latar belakang.

“Bukan rencana pelarian paling mulus yang pernah kulihat,” komentarnya. Di belakang punggungku, aku mendengarnya bangkit dari tempat tidur dan berpakaian.

“Dengar, aku tahu ini terdengar klise, tapi aku tidak mengingat apa pun.” Aku memulai pembicaraan, berharap dia bisa bekerja sama tanpa melontarkan lelucon-lelucon yang membuatku semakin malu dengan diriku sendiri.

“Well, yang kuingat kita menghabiskan malam yang menyenangkan,” jawabnya. 

Walaupun membelakanginya, tapi aku dapat menebak dia sedang tersenyum mengejek. Oke, dia tidak bisa diajak bekerja sama.

Yakin dia sudah berpakaian, aku berbalik, berniat memberikan tatapan mengancam padanya. Namun, pandanganku malah salah fokus ke tubuh bagian atasnya yang masih terbuka.

Tanganku meraba-raba perutnya, sementara dia menciumi leherku. Dan dengan satu gerakan mulus, dia mendorongku hingga terlentang di tempat tidur.

Aku menggeleng-geleng cepat, mengenyahkan memori itu. Pandanganku beralih ke matanya, mencoba mempertahankan kontak mata agar dia tidak bisa melihat konflik internal yang terefleksi di wajahku. Aku mengeratkan selimut, berdeham pelan. “Aku benar-benar tidak ingat apa pun,” ucapku mengulang, tak menemukan sesuatu yang bagus yang bisa kukatakan.

Dia duduk di pinggiran tempat tidur. Kedua tangannya menyangga tubuh dari belakang. “Apakah kau selalu bangun dengan orang asing di kamar hotel?” sindirnya. “Dengan alasan aku-tidak-ingat yang luar biasa klasik itu?”

Aku serta merta tersipu malu. “Tidak, tidak juga. Sungguh, ini bukan hal yang biasa bagiku.”

“Yang mana? Bagian ‘bangun dengan orang asing’ atau ‘alasan aku-tidak-ingat’?”

Aku menggeram jengkel. Pria itu menyeringai, memperdalam kerutan di sekitar matanya. Astaga, berapa umurnya? Apakah tepat jika aku menanyakan itu padanya secara langsung?

“Jadi, apa yang kau inginkan?” tawarnya.

“Apa yang kau inginkan?” bisiknya, mengirimkan embusan napas di bibirku. Jemarinya meluncur di sepanjang tulang punggungku.

“Buat aku lupa,” kataku teperdaya, mengalungkan lengan ke lehernya. “Aku ingin melupakannya barang sebentar saja.”

Dan kemudian tangannya menuju tengkukku, menariknya hingga ia bisa menciumku dengan begitu dalam, begitu dahsyat.

Aku mendesis, memejamkan mata. Ini salah. Astaga, ini benar-benar kesalahan. “Aku tidak seharusnya berada di sini.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status