“Gracie, rupanya kau menahan tamuku di sini.” Sebuah suara di belakangku membuatku dan bartender wanita itu menoleh. Aku tersedak ludahku sendiri. River berdiri menjulang dengan setelah abu-abunya.“Halo, Mr. Lynch,” sapa wanita itu, membuatku menahan napas. “Wanita cantik ini tamumu? Tunggu,” jedanya, menatap bingung padaku. “Jadi pria yang akan kau temui itu adalah Mr. Lynch?”“Kalian saling kenal?” tanyaku panik, teringat dengan perkataanku beberapa waktu lalu yang menyebutnya menyebalkan dan sebagainya.“Ya,” jawab Gracie, kemudian menatapku dan River bergantian. “Bar ini milik Mr. Lynch.”Pria itu kemudian menyeringai, dan tiba-tiba rasanya aku ingin menghilang ditelan bumi saja. “Sepertinya kau tersesat,” komentarnya, mencemoohku. Aku belum bisa menemukan suara. River beralih memandang Gracie. “Biar kuambil alih dari sini, Gracie.”“Ya-ya,” jawab Gracie yang masih kebingungan, “tentu, Mr. Lynch.”“Masukkan apa pun yang nona
“Mengapa kau ingin membalas dendam kepada Evan?” Aku bertanya, suaraku diwarnai dengan perpaduan antara kehati-hatian dan kebingungan. Itu adalah pertanyaan yang sarat makna, dan aku tidak yakin apa motivasi River. Gagasan untuk bekerja sama dengan seseorang yang baru saja kukenal, terutama untuk tujuan balas dendam, adalah sebuah keputusan yang membutuhkan pertimbangan matang.“Aku bukannya ingin membalas dendam, melainkan memberi pelajaran.” River sedikit mencondongkan tubuh, tatapannya tajam. “Hampir semua bisnis yang kujalankan … Evan adalah ahli waris satu-satunya.”Aku bengong beberapa detik. “Dia tidak tampak seperti ahli waris kaya raya,” komentarku, mengingat bagaimana sederhananya hidup Evan, bagaimana dia bersikap, dan … pokoknya segala sesuatu tentangnya tak menunjukkan bahwa dia akan mewarisi bisnis yang kutaksir bernilai miliaran dolar. “Kau menipuku?”River berdecak halus. Kepalanya geleng-geleng sambil menghela napas lelah, seakan dia seda
“River Lynch sudah datang?” tanya Rory, tanpa kusadari kedatangannya yang tiba-tiba di lokasi pemotretan. Hari pemotretan River dengan Pamela Magazine sudah tiba. Rory telah memberikan tanggung jawab ini kepadaku, sebagaimana seharusnya.“Sudah,” jawabku, diam-diam memberikan isyarat kepada Koordinator Produksi yang tadi sedang berdiskusi denganku, untuk kembali melanjutkan pekerjaannya. “Dia aman bersama para stylist dan Lukas di ruang ganti. Kau ingin melihatnya?”“Tidak perlu,” jawab Rory, sambil mengecek catatan di iPad yang dipegangnya. Matanya melirik sekeliling ruangan pemotretan, memastikan semuanya berjalan sesuai rencana. “Aku yakin semuanya berjalan lancar di sini. Namun, pastikan River tahu dengan jelas apa yang diinginkan oleh tim redaksi kita.”Aku mengangguk, mencatat saran dari Rory. “Tentu. Aku akan memastikan semuanya berjalan dengan baik. Kita ingin hasil pemotretan yang memenuhi ekspektasi Pamela.”Rory tersenyum dan melanjutka
“Apa yang telah kau lakukan pada River Lynch?” Rory langsung menghampiri mejaku ketika dia baru masuk ke ruang redaksi. Tatapannya serius, membuatku merasa tegang. Batinku bertanya-tanya apa yang terjadi. Pikiranku langsung melayang pada insiden-insiden terkait River yang terjadi baru-baru ini.“A-apa yang terjadi?” tanyaku tergagap, mencuri pandang ke arah Cody dan Emma yang sama-sama memberikan tatapan khawatir dan bingung.Namun, Rory melanjutkan dengan senyuman misterius, “Dia mengajukan proposal kepada Pamela meliput ulang tahun merk parfumnya.”Aku melotot, tapi tak dapat dipungkiri juga menghela napas lega. Orang-orang yang memperhatikan langsung ikut terkaget-kaget.“Wow, sungguh?” ucapku, berusaha keras menyembunyikan rasa khawatir. “Itu tentu kesempatan besar untuk majalah kita.”Lukas dengan langkah cepat menghampiri mejaku, menatap riang pada Rory. “Ya Tuhan, itu sungguhan?”Rory mengangguk, masih mengukir senyum cera
Setelah selesai bekerja, aku langsung meluncur ke bar tempat kami bertemu beberapa hari yang lalu. Aku masih mengenakan tweed jacket dan celana jeans tadi pagi, ingin sekali menunjukkan kesan bahwa aku hanya menyempatkan waktu untuknya setelah bekerja. Tak ada niat untukku mempersiapkan diri atau berdandan untuk pertemuan kami.Hal pertama yang kulihat setelah memasuki bar tersebut adalah tatapan mata Gracie yang langsung menangkapku. Senyuman dan anggukan halus darinya memberi kesan bahwa dia tahu aku akan datang lagi ke sini.“Jujur saja, aku senang mengobrol denganmu,” kata Gracie cepat ketika aku hendak duduk di kursi bar, “tapi Mr. Lynch melarangku menahanmu di sini lagi.”“Faktanya, tempo hari kau tidak menahanku,” jawabku tegas, tapi dengan suara halus. “Itu keinginan
“Kau tidak punya teman atau kenalan di gedung ini?” tanya River setelah kami berada di dalam mobilnya.“Temanku yang tinggal di seberang unitku, masih dalam perjalanan dari Ashville dan baru akan sampai nanti, lewat tengah malam.” Aku menjelaskan. Setelah apa yang aku dan River lalui beberapa waktu terakhir, ini kali pertama kami berada dalam satu mobil. Dan dari apa yang dia kendarai, jelas aku yakin dia benar-benar seorang pria yang kaya raya.Fakta bahwa Evan merupakan ahli waris satu-satunya adalah hal terakhir yang bisa kupercaya. Tak ada tampang “kaya” dalam setiap gaya dan gerak-geriknya selama ini. Dan bagaimana dia berhasil menyembunyikan fakta itu selama ini dan menipuku habis-habisan memang patut diberikan penghargaan.Aku tersentak pelan ketika River tiba-tiba memukul
Ide itu berakhir dengan mengenaskan … dan sangat memalukan! Aku menendang-nendang selimut di udara, kemudian membekap wajahku dengan bantal dan berteriak sekeras mungkin. Bodoh sekali! Sungguh bodoh!Kejadian beberapa menit yang lalu terlintas lagi di benakku. Setelah menenggak anggur dengan tamak, aku menarik kaus River di bagian dadanya, bermaksud agar wajahnya berdekatan denganku dan aku bisa menggodanya. Namun, karena kemarahanku yang menggebu, kekuatan tanganku terlalu kencang. River yang tidak siap dan sudah terpengaruh alkohol pun tak sigap dan malah menubrukku, membuatku jatuh terjengkang dari kursi tinggi dengan posisi punggung serta kepalaku menyentuh lantai dan kakiku masih tersangkut di kaki kursi. Beruntung bagi River karena dia masih sempat berpegangan pada meja yang menempel di dinding. Tangan satunya menggantung di udara, berusaha mencegahku jatuh, tapi tidak cukup gesit. Selama sepe
(Jam berapa kau pulang? Aku akan menjemputmu.)Pesan dari River membuatku terkejut sesaat. Secara tidak langsung, dia mengisyaratkan agar aku menginap lagi di tempatnya. Aku kemudian mengetikkan balasan.(Malam ini aku akan menginap di tempat temanku. Malam para gadis!)“Dia pria itu?” tanya Addy ketika kutunjukkan pesan River padanya. “Paman Evan?”Aku mengangguk. “Sepertinya dia khawatir Evan akan datang ke rumahku lagi.”Addy manggut-manggut. Dia masih beradaptasi dan mencerna kisah yang kuceritakan padanya. Melihat aku yang sedang menangis karena sangat terpukul beberapa hari yang lalu, jelas Addy sangat membenci Evan, bahkan mungkin kebenciannya lebih besar daripada p
Richard membukakan sebuah pintu yang agak berbeda dengan pintu-pintu lainnya lalu mengisyaratkanku untuk masuk. Dan hal pertama yang kulihat adalah River yang sedang duduk di balik meja kerjanya. Dia tak lagi mengenakan jasnya, yang kemudian kulihat sedang tergantung di standing hanger dekat jendela besar di belakang bangkunya.“Apa yang ingin Anda diskusikan, Mr. Lynch?” tanyaku sopan, mengantisipasi ada orang lain di ruangan ini.Dengan gerakan mulus, River bangkit dari kursinya. “Banyak sekali,” jawabnya sambil berjalan ke arahku. Aku terlena dengan entah bagaimana waktu seakan melambat seiring dengan langkahnya yang kian mendekatiku. “Banyak sekali yang ingin kudiskusikan,” ucapnya lagi, suaranya mengalun lembut di telingaku. Dia menarikku mendekat, tangannya menangkup pipiku, dan aku merasa seperti terhipnotis oleh kehangatan sentuhan itu.Lututku mendadak terasa seperti jeli ketika bibirnya menekan bibirku, dan aku pasti sudah ambruk ke belakang jika saja tangannya tidak melingk
“Jadi, Richard tahu tentang kita?” tanyaku sambil memainkan kancing piamanya. Kami berada di atas tempat tidur River, berbaring dengan lengan besarnya berada di bawah kepalaku.“Seperti itulah,” jawabnya sederhana, tangannya memainkan rambut cokelatku.“Kau bisa saja mengirimiku pesan teks untuk bertemu. Kenapa harus menyuruh Richard berbohong?”“Kau sendiri yang tidak ingin orang-orang tahu, kan?” balasnya dengan tenang. Aku mengingat-ingat di mana ketika aku berkata pada River mengenai orang-orang di kantorku yang tak perlu mengetahui hubunganku dengan River—yang pada saat itu mengacu pada hubungan di atas perjanjian. Namun, meskipun Cody (hanya Cody) tahu mengenai bagaimana hubunganku dengan River waktu itu, dia masih belum tahu bahwa kini hubungan kami mulai berbeda. “Akan lebih masuk akal bagi rekan-rekanmu jika aku mengungkit-ungkit mengenai pekerjaan.”“Kau ada benarnya juga sih …,” gumamku, melihat ke wajahnya yang sedang menampilkan tampang sombong, seolah-olah berkata “tentu
Berhubung aku, Cody, dan Sasha—orang terpilih dari Departemen Periklanan—tidak ada yang membawa mobil ke kantor, Lukas dengan murah hati meminjami kami Volvo merahnya untuk digunakan ke kantor River Lynch.“Memangnya di mana sih mobilmu?” tanya Cody yang sedang menyetir.“Sedang diperbaiki,” jawabku berbohong, diam-diam mengirim sinyal pada Cody agar tak membicarakannya lebih lanjut karena ada orang lain yang bisa mendengar.Shasa duduk di jok belakang. Dia sedang fokus mempelajari catatan Cody sambil membuka tabletnya. Dia pernah dua kali mewakili divisi periklanan mengikuti rapat tim proyek ulang tahun merk Sèduisant. Cody memilih orang yang tepat. Atau mungkin bukan Cody yang memilihnya? Bisa saja dia mengajukan diri atau Kepala Departemen Periklanan yang menugaskannya.Cody manggut-manggut mendengar jawaban asal-asalanku, meski dilihat dari sisi wajahnya pun aku tahu dia sedang tersenyum penuh makna. “Apanya yang rusak?” tanyanya lagi, mengetes. Ya Tuhan, aku ingin memecahkan kepa
Aku tak tahu lagi mengenai nasib perjanjian yang kusepakati dengan River. Apakah sekarang perjanjian itu batal karena hubungan kami tak lagi pura-pura? Tunggu, aku bahkan jadi bingung mengenai status hubungan kami yang sebenarnya. Apakah hubungan kami masih berlandaskan simbiosis mutualisme? Apakah kami jadi pasangan sesungguhnya seperti orang normal lainnya? Hubungan berlandaskan perasaan? Memang apa perasaanku padanya? River juga tak pernah menyebut-nyebut tentang perasaannya padaku. Dia hanya bilang menginginkanku, beberapa saat sebelum kami berhubungan seks. Barangkali River hanya merujuk pada keinginan biologisnya untuk bercinta denganku.“Hei!” Sebuah kibasan tangan di depan wajahku tiba-tiba menyadarkanku di mana aku sedang berada. Aku berada di dalam mobil River yang sudah terparkir di basement gedung Pamela Magazine. Saat sarapan tadi, River meminta untuk mengantarku bekerja lagi
Mataku terbuka saat merasakan tubuh River menempel di tubuhku. Pemandangan pertama yang kulihat adalah dada bidang River, dan kurasakan lengannya melingkari pinggangku dengan erat. Beberapa titik di tubuhku terasa nyeri, dan pipiku langsung memerah saat aku mengingat kegiatan kami yang menguras tenaga semalam.“Wake up, sleepyhead,” bisiknya, bibirnya menempel di telingaku.Aku menguap dan meregangkan tubuh, merasakan lengannya mengencang di sekelilingku saat tubuhku bereaksi terhadap sentuhannya. “Jam berapa sekarang?” Aku bergumam, meringkuk lebih dekat dengannya.River tertawa pelan dan mengecup leherku. “Ini jam kau-akan-terlambat,” jawabnya.“Apa?” Kesadaran menyergapku seketika. Dengan gerakan cepat, aku bangkit dan melihat sekeliling untuk mencari benda apa saja yang bisa menunjukkan waktu. Dan tatapanku tertuju pada jam persegi di atas meja kecil di samping tempat tidur. “Kenapa kau tidak membangunkanku dari tadi?” Mataku tertuju pada angka 8.42 yang berkedip-kedip futuristik
Aku menyandarkan kepalaku ke sandaran sofa sambil terengah-engah, melihat dia melepaskan semua pakaiannya dan kemudian meraih tubuhku lagi. Dia mengangkat tubuhku dan membalikkannya, memosisikanku di atas pangkuannya sementara dia sudah duduk di sofa.Jantungku berdegup kencang saat merasakan paha keras River menekan pangkal pahaku yang sudah basah, tangannya memandu tanganku menuju ereksinya. Aku terkesiap, mataku membelalak saat dia dengan lembut membimbing tanganku, menunjukkan padaku apa yang harus kulakukan. Dengan ragu-ragu aku melingkarkan jari-jariku di sekelilingnya, pipiku memerah karena merasakan kekerasannya di tanganku.Dia tersenyum, matanya tidak pernah lepas dari mataku saat dia mendorong tanganku lebih jauh, menuntunku untuk mengelusnya. Aku menggerakkan tanganku ke atas dan ke bawah, perlahan-lahan pada awalnya, kemudian meningkatkan kecepatan saat aku merasakan nafasnya semakin cepat dan matanya penuh dengan gairah.“Kau tidak tahu betapa aku sangat menginginkan ini
“Mia,” panggilnya lagi sambil menguraikan pelukan, mengisi jarak di antara kami dengan embusan angin malam. Mata River yang sendu menatapku yang tiba-tiba merana. “Sebesar apa pun keinginanku untuk menghajar bokongnya, anak itu tetap putra dari mendiang saudara kembarku. Dan aku tidak bisa memungkiri bahwa aku juga menyayanginya.”“Jangan membelanya,” sahutku dengan kesal. Dia kemudian tersenyum lembut, begitu lembut hingga membuatku makin merana. Tatapannya berhasil mengunciku untuk tidak bergerak sama sekali. “Kesepakatan yang kita lakukan … aku melakukannya sebagai paman Evan. Namun, di sisi lain, sisi River Lynch yang berdiri sendiri, aku ingin bersikap egois karena menginginkanmu.”Aku terlalu terkejut untuk berkata-kata. Mataku terpejam ketika tangan hangatnya mengusap lembut pipiku. “River ….”Napas River makin terasa dingin ketika ia makin menyisihkan jarak di antara kami. “Mia … izinkan aku untuk menginginkanmu.”“River … kau mabuk …,” gumamku, mencoba menyadarkannya walaupu
“Aku penasaran bagaimana kondisi dapur di rumahmu.” River tiba-tiba berkata tanpa melihat ke arahku.Aku duduk di kursi bar, bersandar pada mejanya dan memandangi River yang sedang menyiapkan ravioli. Dia memakai kaus putih polos yang cukup tipis, membuat tulang belikatnya terlihat menyembul ketika tangannya melakukan gerakan tertentu. Celemek berwarna hitam memeluk tubuhnya dari depan.“Sangat rapi, tentu saja.” Karena hampir tak pernah ada aktivitas apa pun di sana … jika kau tidak menghitung melakukan hubungan seks adalah salah satu aktivitas yang wajar dilakukan di dapur.“Aku akan mengeceknya sendiri kapan-kapan,” ucapnya, yang kemudian gerakan tangannya berhenti sesaat. Aku yakin dia sendiri tidak berharap kata-kata itu akan keluar dari mulutnya.
“Orang-orang ramai berkomentar mengenai River Lynch di media sosial kita,” kata Cody dari meja kerjanya. Aku langsung menoleh padanya, tertarik dengan apa yang dia katakan.Lukas pun kelihatannya juga begitu karena dia langsung meninggalkan rak pakaian dan mendekati Cody tanpa basa-basi. “Coba aku lihat!” katanya, melongokkan kepala untuk ikut menengok layar ponsel Cody, yang cukup lama digulir ke bawah, keduanya tampak sedang membaca komentar-komentar—mungkin pada postingan mengenai peluncuran Majalah Pamela Edisi November tahun ini. “Gadis-gadis itu sangat mengerikan.” Lukas bergidik, tapi terus melanjutkan membaca.Karena penasaran, aku ikut membuka akun media sosial Pamela Magazine, membaca komentar-komentar pada postingan terakhir.Aku tidak menyangka parfum favorit