Aku memasuki ruang redaksi dengan perasaan campur aduk yang menghantui pikiran. Pernyataan River tentang hubungannya dengan Evan masih terus membelenggu pikiranku, seakan tak bisa dipercaya. Setiap langkah yang kuambil terasa begitu berat, dan ketidakpastian merayap di dalam benaknya.
Masih tak bisa dipercaya bahwa aku mengambil keputusan seperti tadi. Umpan yang dipasang River … aku telah memakannya mentah-mentah. Dia berhasil menipuku, melakukannya seolah-olah aku memutuskan semuanya sendiri. Ayolah, semuanya tampak mudah bagi pria itu!
Emma, yang sibuk menata berkas di meja kerjanya, merupakan orang pertama yang menyadari kehadiranku. Ia mengangkat kepala ketika aku memasuki ruangan. Wajahnya langsung berubah penuh perhatian, barangkali karena melihat ekspresiku yang sangat muram. “Hai! Mia, bagaimana wawancara dengan River Lynch?”
Hampir semua orang yang berada di ruangan itu langsung menoleh padaku, berharap-harap cemas.
“Sangat baik,” jawabku, tak sepenuhnya jujur. Mereka terus memperhatikan, aku memandang Cody yang sedang meringis. Aku buru-buru mengubah ekspresi yang sesuai dengan apa yang kuucapkan, membuat diriku tampak seakan sedang bersemangat dan merasa puas. “Wawancara dengan River Lynch sangat luar biasa!” Aku kemudian berjalan menuju ke mejaku. Orang-orang sudah tidak terlalu memperhatikan dan kembali ke pekerjaan masing-masing.
Langkahku terhenti ketika melewati meja Emma. Aku meletakkan jus delima di atas mejanya, minuman yang mulai sering ia konsumsi semenjak hamil. “Aku sangat berterima kasih padamu. Sungguh.”
Wajah Emma berbinar melihat minuman yang kuberikan. “Bayiku sangat menyukainya. Terima kasih kembali.” Dia langsung meminum jus itu. Matanya sampai terpejam saking ia menikmatinya. Aku tersenyum kemudian menepuk bahunya sebelum menghampiri bangkuku.
Cody langsung mendekat sedetik setelah bokongku menyentuh kursi. “Katakan padaku apa yang sebenarnya terjadi!” bisiknya sangat pelan.
“Apanya?” tanyaku balik, berpura-pura sibuk dengan langsung menyalakan komputer.
“Aku tahu kau menyembunyikan sesuatu! Ayo katakan padaku apa yang telah terjadi.” Ia terus mendesak, menempelkan kursi ergonomisnya pada kursiku.
“Nanti saja, oke?” Aku berdecak kesal kemudian mendorong kursinya menjauh. Pandanganku mencari keberadaan seseorang. “Lukas!” Cody memelotot panik. “Cody menawarkan diri untuk mencoba koleksi pakaian kita!”
“Tentu!” seru seorang pria yang sedang tersembunyi di balik rak berisi pakaian. Dialah Lukas Cheadle, redaktur rubrik fashion di Majalah Pamela. Ia menjulurkan kepala, menatap Cody yang lesu. “Kemari, Sobat!”
“Aku datang!” Cody balas berseru. Ia kemudian memberengut padaku sebelum bangkit dari kursi dan berjalan mendekati Lukas.
Aku mengembuskan napas. Setidaknya bisa terlepas dari Cody selama beberapa menit.
Kepalaku tak bisa berhenti mengingat kejadian barusan. Ketika aku mencium River di depan Evan. Ketika aku menuruti kehendak impulsifku yang didorong oleh emosi yang memuncak. Apa yang dikatakan orang-orang memang benar. Jangan memutuskan sesuatu saat kepalamu penuh sesak dan hatimu dipenuhi kemarahan. Akibatnya, inilah yang terjadi. Aku meremas kepalaku, merasa malu sekaligus putus asa.
“Sialan!” umpatku, tak sadar keluar cukup keras hingga membuat beberapa orang memperhatikan. “Bukan masalah, bukan masalah. Semuanya baik-baik saja,” ucapku cengengesan, membuat beberapa dari mereka geleng-geleng kepala.
Pintu ruang redaksi terbuka. Rory berjalan dengan langkah cepat menuju ruangannya sambil membawa gelas kertas yang kutebak berisi piccolo dengan tambahan gula.
Aku kemudian menyiapkan alat perekam dan catatan ketika wawancara dengan River tadi. Aku menatap Emma, yang memberikan semangat dengan dua tangannya yang mengepal di udara. Setelah menarik napas panjang, aku bangkit dari tempat duduk, memeluk dua benda itu di dadaku. Aku siap bertemu dengan Rory!
Aku mengetuk pintu kaca ruangan Rory kemudian membukanya. Rory mendongak dari tabletnya. Ia memundurkan tubuh dan bersandar di kursi, meletakkan benda pipih itu di meja kemudian menatapku dengan intens.
“Aku sudah bertemu dengan River Lynch,” ucapku memulai. Tidak ada respons yang berarti dari wanita bermata abu-abu kehijauan itu. “Wawancaranya berjalan lancar.” Dan bahkan aku menciumnya. Aku mengusir pemikiran itu. Kau harus fokus, Mia Abreu! Di depanmu adalah Rory Burnett, orang yang memegang kunci untuk menggapai impianmu!
Aku menangkap gerakan tubuhnya yang kuartikan bahwa dia meminta apa pun yang sedang kubawa saat ini. “Aku sudah mencatat semuanya. Dan ini juga ada rekaman yang bisa kau dengarkan.” Aku meletakkan kedua benda itu di atas mejanya. “Kupikir River Lynch adalah pengusaha yang hebat. Dia memiliki segudang pengalaman. Dan menurutku dia juga berpotensi menjadi angin segar untuk Majalah Pamela.”
Rory masih belum menjawab. Dia membaca sekilas catatan yang kutulis sambil mengangguk-angguk. Aku menunggunya dengan jantung berdebar.
“Lumayan bagus,” komentarnya pada akhirnya, membuatku menghela napas lega. Senyuman terukir di wajahku. “Kau bisa mulai menulis artikelnya. Kirimkan saja salinan rekaman ini. Aku akan mendengarkannya nanti.” Tangannya mengulurkan buku catatanku.
Aku buru-buru menerima benda itu. “Terima kasih! Aku akan mengerjakan artikelnya dengan sungguh-sungguh!” Tubuhku sudah siap berbalik hingga akhirnya aku ingat apa tujuan utamaku ke sini.
“Masih ada yang ingin kau sampaikan?” tanya wanita itu ketika menyadari pergerakan tubuhku yang mendadak terhenti.
“Aku ingin meminta maaf terkait Marcel Monaghan,” ucapku pelan, sedikit khawatir.
Rory menghela napas. Ia memajukan tubuh dan menatapku. “Kita sudah mendapatkan River Lynch. Masalah Marcel Monaghan kuanggap telah lewat. Tapi, Mia ….” Rory menjeda kalimatnya, membuat perutku mual setengah mati. Aku memasang telinga dan hati dengan sungguh-sungguh. “Kau ingat, kan, apa tujuanmu bekerja denganku?”
Aku mengangguk. “Sangat ingat.” Aku sudah mematrinya di hatiku. Tak mungkin aku melupakannya.
“Nah, kuharap kau tak melakukan kesalahan seperti ini lagi di masa mendatang.”
Aku menatap wajahnya yang kini sedang tersenyum. Dia adalah salah satu orang dengan tipe wajah ramah dan manis. Namun, terkadang apa yang ia ucapkan sangat berbalik dengan kelembutan yang terpancar di wajahnya. Walaupun sering bermulut pedas, tapi aku tahu dia peduli dengan kami semua. Rory peduli denganku.
“Aku akan menjaminnya.”
“Bagus,” tanggapnya. “Kau bisa keluar sekarang.”
Aku mengangguk, berterima kasih sekali lagi, kemudian keluar dari ruangan Rory yang suhunya lebih rendah daripada ruangan lainnya di kantor redaksi ini.
***
“APA?!” Cody hampir berseru, mengundang perhatian dari orang-orang di restoran. Aku hampir berhasil memukulnya jika saja dia tidak lihai menghindar. “Kau tak sedang bercanda?” Lanjutnya dengan suara yang lebih kecil.
Aku berdecak malas. “Pikirmu aku akan bercanda dengan topik seperti itu?”
“Tapi yang benar saja? Evan? Evan kesayangan kita … menyelingkuhimu?” tanyanya menegaskan, aku memutar bola mata sambil menyuap kentang goreng. “Oke, baiklah, dia bukan lagi kesayangan kita.”
“Aku memergokinya dengan mataku sendiri. Dan dia bahkan tidak menyangkal atau berusaha berbohong mencari alasan.”
Cody bersandar di kursi. Keningnya berkerut dalam. “Aku tak habis pikir.”
“Dan tentang River Lynch ….”
“Ada apa?” sahutnya cepat, kembali menegakkan tubuh.
“Dia paman Evan,” jawabku, bersiap-siap menerima responsnya.
“APA?! Bagaimana bisa? Siapa nama belakang Evan?”
“Dan aku tadi mencium River di hadapan Evan.”
“Fxck, Mia! Kau menciumnya?!”
Aku menenangkan Cody yang benar-benar menarik perhatian orang-orang. “Husssh, tenang sedikit ….”
“KAU GILA?!”
“Cody!” bisikku tegas.
Ia akhirnya menatap sekitar, lalu mencondongkan tubuh ke arahku. “Bagaimana ceritanya? Astaga, aku tiba-tiba sudah kenyang.”
Aku kemudian menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Bermula dari Addy yang memberitahu tentang Evan hingga aku mencium River beberapa jam yang lalu.
Cody melongo, matanya melebar seolah tidak bisa mempercayai apa yang baru saja didengarnya. “Jadi, kau mencium paman Evan di depan Evan sendiri?” ucapnya dengan nada campuran antara kagum dan keheranan. “Dan semalam kalian tidur bersama ….”
Aku mengangguk perlahan. “Ya, benar. Ini benar-benar kekacauan total. Aku tak berpikir jernih, dan River seolah sengaja memancingku.”
Cody meremas ujung meja, mencoba meresapi informasi yang baru saja dia terima. “Apa yang akan kau lakukan sekarang? Kau yakin tentang semuanya?”
“Ini seperti mimpi buruk yang tidak pernah berakhir,” ujarku sambil meraih gelas minumku.
Cody terlihat mencerna segala informasi dengan cepat. “Tentang River, apa yang akan kau lakukan?”
“Aku tidak tahu, Cody. Semuanya terlalu rumit,” sahutku dengan nada frustrasi.
Cody menarik napas panjang. “Aku tidak pernah menduga kau akan terjebak dalam drama sebesar ini.” Namun, kemudian dia menyeringai. Sisi asli Cody muncul kembali. “Well, Mia … tapi jujur saja aku penasaran dengan River Lynch ini.”
Aku menatapnya tak percaya.
Dia merogoh ponselnya dari dalam saku. “Aku akan meng-g****e-nya sekarang juga.”
“Tolong, bunuh aku sekarang juga.”
Apartemenku terasa hampa dan gelap. Aku terlalu malas untuk menyalakan lampu. Cahaya redup datang dari lampu-lampu perkotaan dan cahaya bulan yang menerobos melalui kaca jendela yang tirainya tak kututup sejak tadi. Aku duduk sendirian di sofa—aku dan Evan sering berhubungan seksual di sofa ini, sialan—botol minuman keras berjejer di meja, ada satu yang tergeletak. Pemandangan kota yang gemerlap dari jendela hanya membuatku merasa semakin terisolasi. Kekacauan yang telah menghantuiku sepanjang hari seolah menyeruak masuk ke dalam pikiranku, memenuhi setiap sudut ruangan dengan kebingungan dan keputusasaan.Aku lelah. Hari ini sangat melelahkan. Dan kacau. Bel pintu apartemen berbunyi sejak beberapa waktu yang lalu. Aku mengabaikannya.Pandanganku merana menatap koper dan kotak-kotak berisi barang-barang milik Evan. Setelah pulang dari kerja, aku mengeluarkan semua pakaian dan benda miliknya. Namun, tak butuh waktu lama bagiku untuk akhirnya meledak dalam tangis.Tanpa berpikir panjang
“Gracie, rupanya kau menahan tamuku di sini.” Sebuah suara di belakangku membuatku dan bartender wanita itu menoleh. Aku tersedak ludahku sendiri. River berdiri menjulang dengan setelah abu-abunya.“Halo, Mr. Lynch,” sapa wanita itu, membuatku menahan napas. “Wanita cantik ini tamumu? Tunggu,” jedanya, menatap bingung padaku. “Jadi pria yang akan kau temui itu adalah Mr. Lynch?”“Kalian saling kenal?” tanyaku panik, teringat dengan perkataanku beberapa waktu lalu yang menyebutnya menyebalkan dan sebagainya.“Ya,” jawab Gracie, kemudian menatapku dan River bergantian. “Bar ini milik Mr. Lynch.”Pria itu kemudian menyeringai, dan tiba-tiba rasanya aku ingin menghilang ditelan bumi saja. “Sepertinya kau tersesat,” komentarnya, mencemoohku. Aku belum bisa menemukan suara. River beralih memandang Gracie. “Biar kuambil alih dari sini, Gracie.”“Ya-ya,” jawab Gracie yang masih kebingungan, “tentu, Mr. Lynch.”“Masukkan apa pun yang nona
“Mengapa kau ingin membalas dendam kepada Evan?” Aku bertanya, suaraku diwarnai dengan perpaduan antara kehati-hatian dan kebingungan. Itu adalah pertanyaan yang sarat makna, dan aku tidak yakin apa motivasi River. Gagasan untuk bekerja sama dengan seseorang yang baru saja kukenal, terutama untuk tujuan balas dendam, adalah sebuah keputusan yang membutuhkan pertimbangan matang.“Aku bukannya ingin membalas dendam, melainkan memberi pelajaran.” River sedikit mencondongkan tubuh, tatapannya tajam. “Hampir semua bisnis yang kujalankan … Evan adalah ahli waris satu-satunya.”Aku bengong beberapa detik. “Dia tidak tampak seperti ahli waris kaya raya,” komentarku, mengingat bagaimana sederhananya hidup Evan, bagaimana dia bersikap, dan … pokoknya segala sesuatu tentangnya tak menunjukkan bahwa dia akan mewarisi bisnis yang kutaksir bernilai miliaran dolar. “Kau menipuku?”River berdecak halus. Kepalanya geleng-geleng sambil menghela napas lelah, seakan dia seda
“River Lynch sudah datang?” tanya Rory, tanpa kusadari kedatangannya yang tiba-tiba di lokasi pemotretan. Hari pemotretan River dengan Pamela Magazine sudah tiba. Rory telah memberikan tanggung jawab ini kepadaku, sebagaimana seharusnya.“Sudah,” jawabku, diam-diam memberikan isyarat kepada Koordinator Produksi yang tadi sedang berdiskusi denganku, untuk kembali melanjutkan pekerjaannya. “Dia aman bersama para stylist dan Lukas di ruang ganti. Kau ingin melihatnya?”“Tidak perlu,” jawab Rory, sambil mengecek catatan di iPad yang dipegangnya. Matanya melirik sekeliling ruangan pemotretan, memastikan semuanya berjalan sesuai rencana. “Aku yakin semuanya berjalan lancar di sini. Namun, pastikan River tahu dengan jelas apa yang diinginkan oleh tim redaksi kita.”Aku mengangguk, mencatat saran dari Rory. “Tentu. Aku akan memastikan semuanya berjalan dengan baik. Kita ingin hasil pemotretan yang memenuhi ekspektasi Pamela.”Rory tersenyum dan melanjutka
“Apa yang telah kau lakukan pada River Lynch?” Rory langsung menghampiri mejaku ketika dia baru masuk ke ruang redaksi. Tatapannya serius, membuatku merasa tegang. Batinku bertanya-tanya apa yang terjadi. Pikiranku langsung melayang pada insiden-insiden terkait River yang terjadi baru-baru ini.“A-apa yang terjadi?” tanyaku tergagap, mencuri pandang ke arah Cody dan Emma yang sama-sama memberikan tatapan khawatir dan bingung.Namun, Rory melanjutkan dengan senyuman misterius, “Dia mengajukan proposal kepada Pamela meliput ulang tahun merk parfumnya.”Aku melotot, tapi tak dapat dipungkiri juga menghela napas lega. Orang-orang yang memperhatikan langsung ikut terkaget-kaget.“Wow, sungguh?” ucapku, berusaha keras menyembunyikan rasa khawatir. “Itu tentu kesempatan besar untuk majalah kita.”Lukas dengan langkah cepat menghampiri mejaku, menatap riang pada Rory. “Ya Tuhan, itu sungguhan?”Rory mengangguk, masih mengukir senyum cera
Setelah selesai bekerja, aku langsung meluncur ke bar tempat kami bertemu beberapa hari yang lalu. Aku masih mengenakan tweed jacket dan celana jeans tadi pagi, ingin sekali menunjukkan kesan bahwa aku hanya menyempatkan waktu untuknya setelah bekerja. Tak ada niat untukku mempersiapkan diri atau berdandan untuk pertemuan kami.Hal pertama yang kulihat setelah memasuki bar tersebut adalah tatapan mata Gracie yang langsung menangkapku. Senyuman dan anggukan halus darinya memberi kesan bahwa dia tahu aku akan datang lagi ke sini.“Jujur saja, aku senang mengobrol denganmu,” kata Gracie cepat ketika aku hendak duduk di kursi bar, “tapi Mr. Lynch melarangku menahanmu di sini lagi.”“Faktanya, tempo hari kau tidak menahanku,” jawabku tegas, tapi dengan suara halus. “Itu keinginan
“Kau tidak punya teman atau kenalan di gedung ini?” tanya River setelah kami berada di dalam mobilnya.“Temanku yang tinggal di seberang unitku, masih dalam perjalanan dari Ashville dan baru akan sampai nanti, lewat tengah malam.” Aku menjelaskan. Setelah apa yang aku dan River lalui beberapa waktu terakhir, ini kali pertama kami berada dalam satu mobil. Dan dari apa yang dia kendarai, jelas aku yakin dia benar-benar seorang pria yang kaya raya.Fakta bahwa Evan merupakan ahli waris satu-satunya adalah hal terakhir yang bisa kupercaya. Tak ada tampang “kaya” dalam setiap gaya dan gerak-geriknya selama ini. Dan bagaimana dia berhasil menyembunyikan fakta itu selama ini dan menipuku habis-habisan memang patut diberikan penghargaan.Aku tersentak pelan ketika River tiba-tiba memukul
Ide itu berakhir dengan mengenaskan … dan sangat memalukan! Aku menendang-nendang selimut di udara, kemudian membekap wajahku dengan bantal dan berteriak sekeras mungkin. Bodoh sekali! Sungguh bodoh!Kejadian beberapa menit yang lalu terlintas lagi di benakku. Setelah menenggak anggur dengan tamak, aku menarik kaus River di bagian dadanya, bermaksud agar wajahnya berdekatan denganku dan aku bisa menggodanya. Namun, karena kemarahanku yang menggebu, kekuatan tanganku terlalu kencang. River yang tidak siap dan sudah terpengaruh alkohol pun tak sigap dan malah menubrukku, membuatku jatuh terjengkang dari kursi tinggi dengan posisi punggung serta kepalaku menyentuh lantai dan kakiku masih tersangkut di kaki kursi. Beruntung bagi River karena dia masih sempat berpegangan pada meja yang menempel di dinding. Tangan satunya menggantung di udara, berusaha mencegahku jatuh, tapi tidak cukup gesit. Selama sepe
Jam digital di meja menampilkan angka 07.21. Aku mengamati penampilanku di cermin dari atas sampai bawah. Gaun pilihan River sangat pas membalut tubuhku. Tenunan sutra yang ramping membentuk gaun elegan ini dengan tali spaghetti yang dapat disesuaikan dan garis leher cowl. Rok maxi A-line dengan belahan depan setinggi paha menampilkan kaki yang kupakaikan ankle-strap high heel sandals berwarna silver. Rambut cokelat sebahuku kubuat sedikit bergelombang, dengan sisi samping yang dalam.Pintu kamar diketuk, dan aku mempersilakannya untuk masuk. Sosok River yang berdiri di depan pintu terpantul dalam cermin. Kami saling bertatapan selama beberapa detik. Dia memakai setelan jas berwarna abu-abu yang entah bagaimana membuatnya tampak begitu menawan dan berkelas. Dari dalam cermin, aku dapat melihat bahwa kami tampak serasi dengan pakaian yang kami kenakan.“Ka
(Jam berapa kau pulang? Aku akan menjemputmu.)Pesan dari River membuatku terkejut sesaat. Secara tidak langsung, dia mengisyaratkan agar aku menginap lagi di tempatnya. Aku kemudian mengetikkan balasan.(Malam ini aku akan menginap di tempat temanku. Malam para gadis!)“Dia pria itu?” tanya Addy ketika kutunjukkan pesan River padanya. “Paman Evan?”Aku mengangguk. “Sepertinya dia khawatir Evan akan datang ke rumahku lagi.”Addy manggut-manggut. Dia masih beradaptasi dan mencerna kisah yang kuceritakan padanya. Melihat aku yang sedang menangis karena sangat terpukul beberapa hari yang lalu, jelas Addy sangat membenci Evan, bahkan mungkin kebenciannya lebih besar daripada p
Ide itu berakhir dengan mengenaskan … dan sangat memalukan! Aku menendang-nendang selimut di udara, kemudian membekap wajahku dengan bantal dan berteriak sekeras mungkin. Bodoh sekali! Sungguh bodoh!Kejadian beberapa menit yang lalu terlintas lagi di benakku. Setelah menenggak anggur dengan tamak, aku menarik kaus River di bagian dadanya, bermaksud agar wajahnya berdekatan denganku dan aku bisa menggodanya. Namun, karena kemarahanku yang menggebu, kekuatan tanganku terlalu kencang. River yang tidak siap dan sudah terpengaruh alkohol pun tak sigap dan malah menubrukku, membuatku jatuh terjengkang dari kursi tinggi dengan posisi punggung serta kepalaku menyentuh lantai dan kakiku masih tersangkut di kaki kursi. Beruntung bagi River karena dia masih sempat berpegangan pada meja yang menempel di dinding. Tangan satunya menggantung di udara, berusaha mencegahku jatuh, tapi tidak cukup gesit. Selama sepe
“Kau tidak punya teman atau kenalan di gedung ini?” tanya River setelah kami berada di dalam mobilnya.“Temanku yang tinggal di seberang unitku, masih dalam perjalanan dari Ashville dan baru akan sampai nanti, lewat tengah malam.” Aku menjelaskan. Setelah apa yang aku dan River lalui beberapa waktu terakhir, ini kali pertama kami berada dalam satu mobil. Dan dari apa yang dia kendarai, jelas aku yakin dia benar-benar seorang pria yang kaya raya.Fakta bahwa Evan merupakan ahli waris satu-satunya adalah hal terakhir yang bisa kupercaya. Tak ada tampang “kaya” dalam setiap gaya dan gerak-geriknya selama ini. Dan bagaimana dia berhasil menyembunyikan fakta itu selama ini dan menipuku habis-habisan memang patut diberikan penghargaan.Aku tersentak pelan ketika River tiba-tiba memukul
Setelah selesai bekerja, aku langsung meluncur ke bar tempat kami bertemu beberapa hari yang lalu. Aku masih mengenakan tweed jacket dan celana jeans tadi pagi, ingin sekali menunjukkan kesan bahwa aku hanya menyempatkan waktu untuknya setelah bekerja. Tak ada niat untukku mempersiapkan diri atau berdandan untuk pertemuan kami.Hal pertama yang kulihat setelah memasuki bar tersebut adalah tatapan mata Gracie yang langsung menangkapku. Senyuman dan anggukan halus darinya memberi kesan bahwa dia tahu aku akan datang lagi ke sini.“Jujur saja, aku senang mengobrol denganmu,” kata Gracie cepat ketika aku hendak duduk di kursi bar, “tapi Mr. Lynch melarangku menahanmu di sini lagi.”“Faktanya, tempo hari kau tidak menahanku,” jawabku tegas, tapi dengan suara halus. “Itu keinginan
“Apa yang telah kau lakukan pada River Lynch?” Rory langsung menghampiri mejaku ketika dia baru masuk ke ruang redaksi. Tatapannya serius, membuatku merasa tegang. Batinku bertanya-tanya apa yang terjadi. Pikiranku langsung melayang pada insiden-insiden terkait River yang terjadi baru-baru ini.“A-apa yang terjadi?” tanyaku tergagap, mencuri pandang ke arah Cody dan Emma yang sama-sama memberikan tatapan khawatir dan bingung.Namun, Rory melanjutkan dengan senyuman misterius, “Dia mengajukan proposal kepada Pamela meliput ulang tahun merk parfumnya.”Aku melotot, tapi tak dapat dipungkiri juga menghela napas lega. Orang-orang yang memperhatikan langsung ikut terkaget-kaget.“Wow, sungguh?” ucapku, berusaha keras menyembunyikan rasa khawatir. “Itu tentu kesempatan besar untuk majalah kita.”Lukas dengan langkah cepat menghampiri mejaku, menatap riang pada Rory. “Ya Tuhan, itu sungguhan?”Rory mengangguk, masih mengukir senyum cera
“River Lynch sudah datang?” tanya Rory, tanpa kusadari kedatangannya yang tiba-tiba di lokasi pemotretan. Hari pemotretan River dengan Pamela Magazine sudah tiba. Rory telah memberikan tanggung jawab ini kepadaku, sebagaimana seharusnya.“Sudah,” jawabku, diam-diam memberikan isyarat kepada Koordinator Produksi yang tadi sedang berdiskusi denganku, untuk kembali melanjutkan pekerjaannya. “Dia aman bersama para stylist dan Lukas di ruang ganti. Kau ingin melihatnya?”“Tidak perlu,” jawab Rory, sambil mengecek catatan di iPad yang dipegangnya. Matanya melirik sekeliling ruangan pemotretan, memastikan semuanya berjalan sesuai rencana. “Aku yakin semuanya berjalan lancar di sini. Namun, pastikan River tahu dengan jelas apa yang diinginkan oleh tim redaksi kita.”Aku mengangguk, mencatat saran dari Rory. “Tentu. Aku akan memastikan semuanya berjalan dengan baik. Kita ingin hasil pemotretan yang memenuhi ekspektasi Pamela.”Rory tersenyum dan melanjutka
“Mengapa kau ingin membalas dendam kepada Evan?” Aku bertanya, suaraku diwarnai dengan perpaduan antara kehati-hatian dan kebingungan. Itu adalah pertanyaan yang sarat makna, dan aku tidak yakin apa motivasi River. Gagasan untuk bekerja sama dengan seseorang yang baru saja kukenal, terutama untuk tujuan balas dendam, adalah sebuah keputusan yang membutuhkan pertimbangan matang.“Aku bukannya ingin membalas dendam, melainkan memberi pelajaran.” River sedikit mencondongkan tubuh, tatapannya tajam. “Hampir semua bisnis yang kujalankan … Evan adalah ahli waris satu-satunya.”Aku bengong beberapa detik. “Dia tidak tampak seperti ahli waris kaya raya,” komentarku, mengingat bagaimana sederhananya hidup Evan, bagaimana dia bersikap, dan … pokoknya segala sesuatu tentangnya tak menunjukkan bahwa dia akan mewarisi bisnis yang kutaksir bernilai miliaran dolar. “Kau menipuku?”River berdecak halus. Kepalanya geleng-geleng sambil menghela napas lelah, seakan dia seda
“Gracie, rupanya kau menahan tamuku di sini.” Sebuah suara di belakangku membuatku dan bartender wanita itu menoleh. Aku tersedak ludahku sendiri. River berdiri menjulang dengan setelah abu-abunya.“Halo, Mr. Lynch,” sapa wanita itu, membuatku menahan napas. “Wanita cantik ini tamumu? Tunggu,” jedanya, menatap bingung padaku. “Jadi pria yang akan kau temui itu adalah Mr. Lynch?”“Kalian saling kenal?” tanyaku panik, teringat dengan perkataanku beberapa waktu lalu yang menyebutnya menyebalkan dan sebagainya.“Ya,” jawab Gracie, kemudian menatapku dan River bergantian. “Bar ini milik Mr. Lynch.”Pria itu kemudian menyeringai, dan tiba-tiba rasanya aku ingin menghilang ditelan bumi saja. “Sepertinya kau tersesat,” komentarnya, mencemoohku. Aku belum bisa menemukan suara. River beralih memandang Gracie. “Biar kuambil alih dari sini, Gracie.”“Ya-ya,” jawab Gracie yang masih kebingungan, “tentu, Mr. Lynch.”“Masukkan apa pun yang nona